SURAT TERBUKA UNTUK GUBERNUR BENGKULU PERIHAL WFH KARENA BENCANA KELANGKAAN BBM
Baca Juga
Saya menulis ini di pagi hari. Bukan dari meja kerja, tapi dari jok kendaraan yang saya duduki sudah tiga jam lebih. Di depan saya, deretan mobil dan motor mengular. Diam. Tidak bergerak. Hanya sesekali klakson bersahutan, lebih karena putus asa daripada marah. Di belakang saya, tukang ojek bergumam, “Bensin tinggal satu bar, kalau gak gerak juga, saya pulang.”
Bapak Gubernur, saya tahu Anda bukan Tuhan. Tapi saya juga tahu, Anda bukan penonton. Dalam situasi seperti ini, warga menanti arahan. Kami tidak butuh pengumuman panjang, cukup satu kebijakan kecil saja, yang bisa membuat kami sedikit bernapas. Misalnya: izinkan kami bekerja dari rumah, setidaknya untuk seminggu dua minggu ke depan.
Kita sudah satu bulan hidup dalam krisis bensin yang tak masuk akal. Tapi dalam empat hari terakhir, krisis itu berubah menjadi bencana. Antrian dua kilometer bukan lagi berita, tapi rutinitas. Di SPBU Pagar Dewa, saya lihat orang-orang tidur di dalam mobil. Di SPBU lainnya, ada yang bawa tikar, selimut, bahkan termos kopi. Ini bukan antre BBM, ini mirip antre sembako zaman krisis moneter dulu.
Saya tahu betul, tidak semua pekerjaan bisa dikerjakan dari rumah. Tapi banyak yang bisa. Guru-guru bisa mengajar via daring. Pegawai administrasi bisa mengurus dokumen dari ruang tamu rumahnya. Bahkan mahasiswa, yang semestinya semangat ke kampus, kini memilih bertahan di kos karena tidak tahu harus isi bensin di mana. Kalau ini bukan alasan kuat untuk WFH, lalu apa lagi?
Saya membayangkan anak-anak sekolah yang harus jalan kaki pagi-pagi. Saya membayangkan para ibu yang harus titipkan anak ke tetangga karena harus antre bensin sampai siang. Saya juga membayangkan sopir ambulans yang mengeluh, “Kalau dapat bensin hari ini, berarti pasien bisa diantar.” Kondisi ini sudah bukan soal BBM lagi, tapi soal kemanusiaan. Dan saya percaya, pemerintah daerah punya hati untuk itu.
Dulu, waktu pandemi Covid melanda, kita bisa cepat ambil keputusan. Sekolah diliburkan, kerja dipindah ke rumah, bahkan pasar pun diatur dengan sistem ganjil genap. Sekarang, krisis ini juga soal darurat, hanya beda bentuk. Tidak berbahaya secara medis, tapi membuat ekonomi rumah tangga babak belur. Apakah kami harus menunggu semuanya lumpuh baru kita bergerak?
Bekerja dari rumah bukan kemunduran, Bapak Gubernur. Justru itu bentuk kepedulian pemerintah pada rakyatnya. Daripada warga memaksa berangkat dengan ojek mahal, atau harus menolak kerja karena kendaraan mogok kehabisan bensin, bukankah lebih bijak jika kita beri mereka opsi aman? Toh, produktivitas tidak selalu tergantung jarak tempuh. Kadang, yang membuat kami produktif justru adalah rasa dipahami.
Saya tidak menyalahkan siapa-siapa. Pendangkalan alur laut itu bukan kesalahan Anda. Kapal tidak bisa sandar bukan keputusan Pemprov. Tapi saya percaya, Anda bisa menyelamatkan situasi ini dari memburuk. Minimal, dengan memberi ruang adaptasi. Karena hari ini, yang paling kami butuhkan bukan bensin semata, tapi kebijakan yang masuk akal.
Surat ini tidak saya tujukan dengan kemarahan. Hanya keprihatinan yang ditulis dari pinggir SPBU, dengan jari gemetar karena udara pagi yang dingin dan suara keluhan yang terus terdengar. Kami tidak meminta banyak, Bapak. Hanya sedikit ruang agar kami bisa bertahan, dan terus percaya bahwa pemerintah masih ada untuk kami.
Saya percaya, Anda mendengar ini. Dan saya lebih percaya lagi, Anda bisa bertindak. Terima kasih, sebelum semuanya terlambat.
0 comments