Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami
Bengkulu kembali macet. Tapi bukan macet seperti Jakarta. Tidak ada klakson. Tidak ada lampu merah. Tidak ada motor zig-zag. Macetnya Bengkulu itu lebih sunyi. Tidak ada yang bergerak karena tidak ada bensin. Kota terasa seperti ditahan napasnya. Jalan nampak lebih lengang, tapi wajah orang-orang tegang. Inilah jenis kemacetan yang tidak butuh polisi, tapi butuh solusi.
Ilustrasi Antrian BBM di Bengkulu (Gambar : AI Generated)

Malam tadi saya ke toko sayur langganan. Kulkas sudah kosong. Biasanya kami suka masak sendiri kalau malam. Tapi dua malam terakhir, makan malam harus pesan lewat Grab. Kata istri, “Sudahlah, toh sayur juga tidak ada.” Saya pikir hanya stok di rumah yang habis. Ternyata stok di gudang toko sayur juga habis.

Saya tanya ke penjualnya, “Bawang merahnya mana, Mbak?” Ia tersenyum kecut. Katanya, “Lagi tidak bisa kirim dari gudang, Pak. Sopirnya tidak bisa jalan. Katanya tidak ada BBM.” Ia cerita sudah telepon berkali-kali, tapi jawabannya sama. Truk tidak bisa berangkat. SPBU kosong.

Sudah hampir seminggu katanya. Mobil barang banyak yang parkir di pinggir jalan, menunggu BBM datang. Tapi BBM tak kunjung datang. Sementara di Jakarta, berita BBM malah ramai karena isu baru: Pertalite diganti etanol 10 persen.

Saya heran. Negara ini bisa bicara tentang BBM nabati, BBM hijau, BBM etanol. Tapi di Bengkulu, BBM fosil pun tidak sampai. Rasanya seperti menonton dua Indonesia. Yang satu sibuk bicara masa depan energi. Yang satu sibuk mencari bensin agar bisa kerja besok pagi.

Jarak Jakarta ke Bengkulu tidak sampai seribu kilometer. Tapi dalam hal distribusi, terasa seperti sepuluh ribu kilometer. Waktu kirim logistik terasa seperti ekspedisi ke luar negeri. Sering saya pikir, apa jarak kita bukan soal kilometer, tapi soal perhatian.

Pernah satu pagi saya iseng melihat berita sebelum berangkat ke kampus. Menteri A bicara soal efisiensi etanol. Menteri B bicara soal kedaulatan energi. Menteri C bilang kendaraan lama mogok karena bahan bakar baru. Semuanya tampak sibuk di layar. Tapi tidak ada satu pun bicara tentang SPBU di Bengkulu yang kering.

Sementara itu, di tayangan lain, muncul penemu BBM nabati dengan RON 98. Katanya lebih ramah lingkungan. Katanya siap membangun SPBU se-Indonesia. Saya tersenyum pahit. Kalau di Bengkulu, jangankan BBM RON 98. RON 92 saja sudah seperti barang mewah.

Antrian di SPBU sekarang panjang. Mobil mengular seperti ular lapar. Sopir-sopir duduk di bawah pohon. Ada yang sambil merokok, ada yang tidur. Semua pasrah. Kadang antre hingga lima jam, lalu petugas bilang: habis. Orang-orang tertawa getir. Sudah biasa.

Untuk mobil dibatasi 25 liter. Motor hanya boleh beberapa liter. Tidak cukup untuk kerja seminggu. Tapi masyarakat sudah terbiasa diatur begitu. Mungkin karena sudah sering dilatih kecewa.

Anehnya, selalu ada pengecer yang punya stok. Jeriken hijau berderet di pinggir jalan. Dijual dengan harga suka-suka. Di depan SPBU yang kosong, pengecer itu seperti pahlawan sekaligus penjahat. Orang marah, tapi tetap beli.

Saya tidak tahu mereka dapat dari mana. Pertamina bilang stok aman. Pemerintah bilang distribusi lancar. Tapi jeriken-jeriken itu bercerita lain. Ada sesuatu di jalur distribusi yang tidak jujur.

Gubernur sempat marah. Katanya Pertamina harus minta maaf. Bahkan harus bikin video permintaan maaf. Katanya, masyarakat panik karena komunikasi Pertamina buruk. Saya setuju. Tapi saya pikir, bukan cuma komunikasi yang buruk. Distribusinya juga.

Dalam dunia korporat, komunikasi adalah bahan bakar kedua setelah produk. Kalau produknya macet, minimal komunikasinya harus lancar. Supaya publik tahu, ini masalah di mana. Bukan diam seperti batu.

Perusahaan besar tidak boleh alergi pada krisis. Karena krisis adalah ujian reputasi. Kalau dalam keadaan normal semua bisa, tapi dalam krisis, hanya yang punya sistem yang kuat yang bisa bertahan.

Seharusnya Pertamina membentuk tim cepat tanggap. Datangi langsung SPBU, libatkan media lokal, buka hotline 24 jam. Transparansi lebih penting daripada seremonial. Masyarakat bukan butuh janji, tapi informasi.

Kalau ada kekurangan pasokan, bilang saja. Kalau karena kapal terlambat, jelaskan. Kalau karena jalur distribusi terganggu, tunjukkan datanya. Kejujuran membuat publik tenang. Diam membuat rumor tumbuh.

Krisis itu seperti kebocoran pipa. Kalau ditutup dengan tangan, tekanan akan naik di tempat lain. Kalau dibiarkan, bocornya makin besar. Satu-satunya cara adalah perbaiki pipa itu, dan beritahu semua orang bahwa sedang diperbaiki.

Saya lihat di kota ini, banyak usaha kecil terhenti. Ojek online parkir. Penjual sayur libur. Angkot tidak jalan. Rantai ekonomi putus hanya karena satu hal: bensin tidak ada. Begitu rapuhnya sistem ekonomi kita.

Padahal Bengkulu bukan kota kecil. Ia punya pelabuhan, punya bandara, punya tambang batu bara. Tapi tetap seperti bukan prioritas dalam hal distribusi BBM. Selalu terakhir, selalu terlambat.

Saya kadang berpikir, apa benar dulu Inggris menukar Bengkulu dengan Singapura karena malaria? Atau karena logistiknya bikin pusing? Bayangkan kalau hari ini masih ada Gubernur Jenderal Inggris di Bengkulu. Mungkin dia pun didemo warga karena SPBU kosong.

Koran mungkin akan menulis: “Gubernur Jenderal Inggris di Bengkulu dikepung massa karena antrian BBM.” Lucu, tapi tidak mustahil. Karena dari dulu sampai sekarang, masalahnya tetap sama: distribusi.

Bengkulu punya sejarah panjang. Dari Fort Marlborough sampai Soekarno diasingkan di sini. Tapi seolah tidak ada yang belajar dari sejarah itu. Infrastruktur dibangun, tapi tidak tuntas. Jalan dibuka, tapi suplai tidak lancar.

Pemerintah pusat sibuk dengan proyek besar. Ibu Kota Baru, kereta cepat, tol laut. Tapi daerah seperti Bengkulu tetap bergantung pada kapal yang datang dua minggu sekali.

Padahal, semua orang tahu, energi adalah darah ekonomi. Kalau darah tersumbat, organ-organ lain mati. Dan di Bengkulu, darah itu tidak mengalir lancar.

Saya jadi ingat waktu listrik di Jawa padam total beberapa tahun lalu. PLN langsung bikin konferensi pers. Menjelaskan penyebabnya. Minta maaf. Berjanji memperbaiki. Dalam hitungan jam, reputasi mereka pulih. Pertamina harusnya belajar dari itu.

Kalau perusahaan sebesar Pertamina tidak bisa menjelaskan kekosongan BBM di satu provinsi kecil, lalu bagaimana mau bicara soal BBM hijau dan kemandirian energi nasional?

Saya percaya, masalah ini bukan di produksi. Tapi di distribusi dan manajemen krisis. Ini bukan soal kilang. Ini soal logistik, integritas, dan koordinasi.

Kalau terus seperti ini, Bengkulu tidak akan pernah maju. Energi habis sebelum ekonomi jalan. BBM datang setelah semangat orang habis.

Saya tidak tahu siapa yang harus disalahkan. Tapi saya tahu siapa yang paling rugi: rakyat kecil yang harus antre bensin setiap minggu.

Sementara di layar TV, para pejabat masih berdebat soal etanol. Di Bengkulu, orang-orang cuma ingin satu hal: bisa mengisi bensin tanpa drama. Itu saja.

Dan mungkin, kalau Inggris tahu betapa ribetnya distribusi BBM ke Bengkulu, mereka akan bersyukur dulu sempat menukar Bengkulu dengan Singapura. Mereka selamat dari antrian panjang di SPBU.

Kemarin sore saya mampir ke tukang remote dan kunci kendaraan. Sudah seminggu saya menunda. Remote kendaraan saya mulai rewel, tombolnya susah ditekan. Setiap kali mau kunci pintu, harus dipencet agak keras. Saya selalu lupa mampir. Sampai akhirnya kemarin, sehabis ngajar dan menjemput anak sekolah, saya belok juga ke tempat kecil di pinggir jalan itu. Hanya bilik kecil, dua kursi plastik, dan satu meja berisi kabel, solder, dan alat-alat kecil yang membuat saya heran bagaimana semua itu bisa menghasilkan solusi.

Masnya menyambut dengan senyum. Dia langsung paham begitu saya tunjukkan remote-nya. Ia buka casing-nya, lihat dalamannya, lalu bilang, “Bantalan tombolnya aus, Pak.” Ia bicara tenang, tidak sok tahu, dan langsung ke inti masalah. Saya tanya bisa diperbaiki? Ia angguk, tapi dengan catatan: “Umurnya sudah uzur, Pak. Saya bisa akali dulu, tapi nanti sebaiknya ganti baru.” Ia lalu potong karet kecil, tempel di bagian tombol, dan mengelas sedikit bagian bawahnya. Tangannya lincah, matanya fokus, dan mulutnya diam. Hanya suara solder dan aroma plastik yang terbakar tipis.

Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Tak sampai sepuluh menit, remote itu hidup lagi. Saya tekan tombolnya, dan kendaraan di luar langsung menyala lampunya. Saya tersenyum. Ia juga. “Berapa?” tanya saya. Ia jawab, “Terserah Bapak saja.” Jawaban yang membuat saya malu. Saya tahu pekerjaan itu terlihat sepele. Tapi kalau saya yang disuruh mengerjakannya, saya pasti akan merusaknya. Saya keluarkan tiga lembar rupiah. Ia menolak sebentar, lalu menerimanya sambil senyum. “Terima kasih, Pak.” Saya balas, “Saya yang terima kasih.”

Sepanjang perjalanan pulang saya berpikir, betapa sering kita menilai orang bukan dari keahliannya, tapi dari tempat ia bekerja. Padahal, di depan saya tadi, ada seorang profesional sejati. Ia tahu masalahnya di mana, tahu batas kemampuan alatnya, dan tahu cara memperpanjang usia pakai. Bukankah itu inti dari kompetensi? Cepat mendiagnosis, tepat memberi solusi, dan tahu kapan berhenti. Semua itu tidak lahir dari sekadar coba-coba. Tapi dari jam terbang dan ketekunan.

Teman saya pernah punya masalah serupa. Ia ke bengkel resmi. Jawabannya standar: “Ganti baru, Pak.” Biayanya hampir sejuta. Padahal masalahnya hanya di bantalan kecil itu. Di tangan si tukang jalanan, masalah itu selesai dengan karet potongan. Bedanya, satu belajar dengan sistem, satunya belajar dari pengalaman. Tapi hasil akhirnya, siapa yang lebih efisien? Siapa yang lebih solutif? Saya tidak sedang membandingkan, tapi dunia ini sering tidak adil terhadap mereka yang belajar tanpa gelar.

Kejadian kemarin membuat saya teringat sebuah cerita yang ramai di media sosial. Seorang dosen, lulusan universitas ternama di luar negeri, menulis tentang pengalamannya menjadi pembicara di acara seminar. Ia satu panel dengan seorang influencer. Dosen itu dibayar 300 ribu rupiah. Sedangkan influencer itu dibayar jutaan, plus fasilitas penginapan dan permintaan khusus. “Rasanya lucu,” tulisnya. “Saya menyiapkan materi berhari-hari, membaca banyak referensi, menyusun data, sementara si influencer hanya datang dengan gaya bicara menarik.”

Bukan soal iri. Ia tahu posisi influencer sekarang sedang naik daun. Tapi di balik tulisannya, ada rasa getir. Tentang bagaimana bangsa ini menghargai kompetensi. Tentang bagaimana pengetahuan sering kalah oleh popularitas. Tentang bagaimana kerja otak sering kalah dari kerja kamera. Dan tentang bagaimana keringat panjang yang ditempa bertahun-tahun kalah oleh dua menit bicara yang viral di TikTok.

Saya membaca tulisan itu dengan senyum tipis. Karena saya tahu perasaan itu. Dulu, waktu masih sering diundang bicara, saya juga tidak pernah tahu berapa honor yang pantas diminta. Kadang saya dibayar besar, kadang tidak sama sekali. Tapi bukan itu poinnya. Yang saya lihat adalah bagaimana pihak pengundang menilai pekerjaan kita. Ada yang melihat isi, ada yang melihat nama. Ada yang menghitung jam, ada yang menghitung pamor. Dunia jasa memang aneh. Harga bukan ditentukan oleh waktu kerja, tapi oleh persepsi.

Di luar negeri, profesi yang berbasis kompetensi punya posisi yang jelas. Di Jepang, tukang yang bisa memperbaiki jam antik bisa dihargai lebih tinggi dari lulusan universitas. Di Jerman, mekanik mesin bisa punya penghasilan lebih besar dari pegawai kantoran. Karena di sana, keahlian dihargai setara dengan ilmu. Tidak ada yang lebih rendah, tidak ada yang lebih tinggi. Orang tahu bahwa skill tidak jatuh dari langit, tapi dari proses panjang belajar dan gagal berkali-kali.

Sementara di sini, kita masih terjebak pada simbol. Gelar, jabatan, pangkat. Semuanya menjadi ukuran nilai seseorang. Tapi begitu bicara tentang harga jasa, semua jadi serba murah. Guru les dibayar per jam seadanya. Dosen diundang bicara dibayar setara makan siang. Padahal di balik itu ada waktu yang tersita, pikiran yang terkuras, dan pengalaman yang dikumpulkan selama bertahun-tahun. Seolah pengetahuan itu tidak punya nilai tukar.

Saya kadang bertanya-tanya, sejak kapan bangsa ini kehilangan rasa hormat pada kompetensi? Dulu, seorang guru dianggap tokoh. Sekarang, sering dianggap pengisi waktu luang. Di acara resmi, sering mereka duduk di kursi belakang. Di panggung, yang utama adalah nama-nama yang ramai di media sosial. Entah sejak kapan ukuran kualitas digantikan oleh jumlah pengikut.

Masalahnya bukan hanya soal uang. Tapi juga tentang mindset. Kita terbiasa berpikir bahwa pekerjaan intelektual itu tidak perlu dihargai tinggi, karena dianggap pengabdian. Akibatnya, banyak orang pintar justru enggan berbagi. Mereka lelah menjelaskan hal yang tidak dihargai. Mereka muak melihat orang yang berbicara tanpa isi, tapi mendapat sorotan. Sementara mereka, yang belajar serius, tenggelam dalam sunyi.

Saya tidak menyalahkan panitia yang mengundang dosen itu. Mungkin mereka berpikir, influencer lebih laku dijual. Karena orang datang bukan untuk belajar, tapi untuk berfoto. Seminar sudah bergeser menjadi hiburan. Orang tidak butuh isi, tapi butuh dokumentasi. Itulah pasar. Dan pasar selalu mengikuti selera, bukan kualitas. Maka wajar jika yang populer lebih mahal daripada yang kompeten.

Tapi di titik tertentu, pasar juga butuh keseimbangan. Karena tanpa orang-orang kompeten, dunia akan penuh tipu daya. Siapa yang akan memastikan informasi yang beredar benar? Siapa yang akan menulis, meneliti, dan mengajar dengan dasar ilmu? Kalau semua hanya bergantung pada popularitas, maka kebenaran akan tergeser oleh kehebohan. Dan kehebohan, seperti yang kita tahu, umurnya pendek.

Di Taiwan dulu, saya sering melihat bagaimana universitas menghargai dosen tamu. Mereka tidak melihat titel, tapi kontribusi. Seorang pengrajin bambu bisa diundang untuk mengajar desain produk, dan dibayar sama dengan profesor. Karena yang dilihat adalah kompetensi, bukan status. Saya kagum pada cara berpikir itu. Semua orang punya nilai, asalkan ia tahu apa yang ia kuasai, dan bisa membaginya dengan orang lain.

Di sisi lain, ada budaya malu di antara kaum intelektual kita untuk bicara soal honor. Seolah uang membuat kerja mereka kehilangan makna. Padahal, tidak ada salahnya profesional dihargai sesuai kapasitasnya. Dokter dibayar mahal bukan karena rakus, tapi karena tanggung jawabnya besar. Dosen, peneliti, konsultan, atau bahkan tukang remote, semua punya tanggung jawab di bidangnya. Dan setiap tanggung jawab butuh penghargaan yang pantas.

Saya percaya, bangsa akan maju jika menghargai keahlian. Bukan sekadar popularitas. Tapi bagaimana cara mengubah cara pandang ini? Harus dimulai dari diri kita. Dari cara kita membayar tukang, guru, pembicara, penulis, atau siapa pun yang bekerja dengan otak dan tangannya. Jangan minta murah hanya karena mereka terlihat sederhana. Harga bukan soal rupa, tapi soal proses.

Saya jadi ingat, di Korea Selatan, seorang montir yang mampu memperbaiki mobil impor dengan efisien mendapat gelar “engineer,” bukan “tukang.” Gelar itu bukan formalitas. Tapi penghormatan atas kemampuan. Mereka sadar, negara maju tidak bisa berdiri di atas teori saja. Ia butuh orang-orang yang bisa mengeksekusi, memperbaiki, mencipta, dan menyelesaikan masalah nyata.

Mungkin itu juga yang hilang dari kita. Kita terlalu sibuk mengagumi gelar, tapi lupa menghargai keterampilan. Padahal, semua bangsa besar berdiri di atas dua kaki: ilmu dan keahlian. Ilmu tanpa keahlian hanya wacana. Keahlian tanpa ilmu hanya kebetulan. Dan dua-duanya harus diberi ruang yang sama, termasuk dalam hal penghargaan.

Saya sering bertemu orang-orang lapangan yang lebih bijak dari lulusan universitas. Mereka tidak banyak bicara, tapi tahu apa yang harus dilakukan. Mereka tidak hafal teori, tapi paham logika. Mereka tidak punya gelar, tapi punya kemampuan. Orang seperti itu sering luput dari perhatian, padahal merekalah yang menjaga dunia tetap berjalan.

Harga sebuah kompetensi tidak selalu bisa diukur dengan uang. Tapi uang tetap penting sebagai bentuk penghargaan. Karena manusia hidup dengan kebutuhan. Menghargai keahlian orang lain bukan berarti menyanjung, tapi memberi imbalan yang wajar atas waktu dan pengetahuan yang ia bagi. Itu etika, bukan sekadar transaksi.

Saya ingin bangsa ini belajar menghormati keahlian sejak dini. Dari rumah, dari sekolah. Jangan ajarkan anak untuk hanya jadi terkenal. Ajarkan mereka untuk jadi ahli di bidangnya. Karena ketika semua berlomba menjadi terkenal, akan semakin sedikit orang yang tahu cara memperbaiki sesuatu yang rusak.

Kembali ke si tukang remote itu. Ia tidak tahu teori ekonomi, tapi ia paham nilai waktu. Ia tidak baca buku motivasi, tapi ia bekerja dengan hati. Ia tidak minta tarif, tapi memberi solusi. Dan di situlah pelajaran berharga itu: kompetensi tidak berisik. Ia bekerja dalam diam, tapi hasilnya berbicara.

Kadang, penghargaan yang paling tulus bukan datang dari angka di kertas, tapi dari rasa hormat di hati. Tapi kalau bisa dua-duanya? Menghargai dengan hormat, dan membayar dengan pantas. Dunia ini akan terasa lebih adil.

Karena pada akhirnya, harga sebuah kompetensi bukan ditentukan oleh siapa yang melihat, tapi oleh siapa yang menghargai.

Menarik kalau dipikir. Hari ini di Samarkand, bahasa Indonesia berbicara ke dunia. Dua abad lalu di tepi Sungai Nil, sebuah batu ditemukan di reruntuhan benteng tua. Batu itu diam, hitam, berat. Tapi di permukaannya ada tiga tulisan. Tiga bahasa. Salah satunya Yunani kuno, yang sudah dikenal. Dua lainnya tidak. Batu itu kemudian diberi nama Rosetta Stone.

Batu Rosetta itu mengubah sejarah manusia. Karena dari batu itu, manusia akhirnya bisa membaca hieroglif Mesir kuno - bahasa yang sebelumnya terkunci ribuan tahun. Bayangkan, seluruh peradaban besar, seluruh pemikiran, hukum, filsafat, teknologi pertanian, astronomi, seni, dan ritual Mesir kuno. semua terkunci hanya karena satu hal: bahasa. Dunia buta pada masa lalu karena tidak tahu bagaimana membaca. Hingga Champollion, seorang filolog Prancis, berhasil membandingkan ketiga tulisan di batu itu, dan membuka pintu pengetahuan baru.

Ilustrasi Batu Rosetta Nusantara (Gambar : AI Ilustrated)

Saya jadi berpikir, hari ini yang kita rayakan di Tashkent bukan sekadar upacara bahasa. Ini mirip peristiwa Rosetta versi Indonesia. Ketika bahasa kita naik menjadi bahasa resmi UNESCO, artinya dunia mulai membuka diri untuk membaca kita. Tapi lebih dari itu, ini kesempatan bagi kita untuk membaca dunia dengan bahasa kita sendiri. Karena selama ini, banyak ilmu dan wacana global hanya tersedia dalam bahasa asing. Artinya hanya segelintir orang yang bisa membacanya. Sisanya, hanya menunggu terjemahan yang sering tidak lengkap.

Dengan pengakuan UNESCO ini, posisi bahasa Indonesia berubah. Bahasa kita bukan lagi penerima, tapi pengirim. Kita tidak hanya menerjemahkan ilmu dari luar ke dalam, tapi bisa juga menulis ilmu kita sendiri untuk dunia luar. Seperti Batu Rosetta yang membuka peradaban Mesir, bahasa Indonesia punya potensi membuka pengetahuan dunia bagi rakyatnya sendiri.

Saya teringat satu hal yang sering saya lihat di lapangan. Banyak orang pandai di desa-desa, petani, guru, nelayan, punya pengalaman dan kearifan luar biasa. Tapi semua terjebak karena tidak tersambung dengan bahasa ilmu pengetahuan modern. Buku-buku riset, hasil konferensi, jurnal internasional, semuanya dalam bahasa asing. Akibatnya, ilmu berhenti di meja akademisi. Tidak turun ke tangan rakyat. Seperti prasasti yang tidak terbaca. Seperti peradaban Mesir sebelum Batu Rosetta ditemukan.

Kalau bahasa Indonesia terus berkembang jadi bahasa ilmu pengetahuan, kita akan punya Rosetta kita sendiri. Bahasa yang bisa menjembatani laboratorium dan sawah. Bahasa yang bisa menjelaskan algoritma dan akhlak dalam kalimat yang sama. Bahasa yang bisa menjelaskan riset AI, tapi juga bisa menjelaskan filosofi gotong royong dengan presisi ilmiah. Karena inti dari semua bahasa adalah kemampuan mengubah pengetahuan menjadi pemahaman.

Hari ini Prof. Abdul Mu’ti (Mendikdasmen RI) akan berpidato di UNESCO dalam bahasa Indonesia. Pidato itu bukan hanya simbol politik, tapi pernyataan budaya: bahwa kita siap bicara dalam bahasa kita sendiri. Kita siap menyampaikan ide kita dengan kosakata kita. Kita tidak lagi hanya mendengar terjemahan dunia, tapi ikut menulis kalimatnya. Ini langkah yang kecil di mata politik, tapi besar dalam sejarah pemikiran.

Rosetta Stone dulu ditemukan secara kebetulan oleh tentara Napoleon. Tapi efeknya luar biasa. Ia membuka mata manusia terhadap masa lalu. Bahasa Indonesia di UNESCO mungkin bukan kebetulan, tapi hasil perjuangan panjang. Efeknya juga bisa luar biasa. Ia bisa membuka masa depan. Ia bisa membuka akses masyarakat terhadap ilmu. Ia bisa membuat ilmu tidak lagi terkurung di ruang elit.

Selama ini banyak anak muda takut membaca jurnal ilmiah. Bukan karena tidak pintar, tapi karena bahasanya asing. Banyak petani takut membaca laporan riset pertanian. Banyak perawat bingung membaca laporan medis global. Kalau semua itu tersedia dalam bahasa Indonesia yang kuat, yang kaya istilah ilmiah, maka bangsa ini tidak lagi menunggu diterjemahkan. Bangsa ini akan membaca langsung. Berpikir langsung. Berinovasi langsung.

Bahasa adalah alat membaca dunia. Batu Rosetta memberi manusia kunci untuk membaca masa lalu. Bahasa Indonesia, jika dikuatkan, bisa jadi kunci untuk membaca masa depan. Dan yang menarik, ini bukan tentang nasionalisme kosong. Ini tentang efisiensi pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan tidak bekerja lewat kebanggaan, tapi lewat pemahaman. Dan pemahaman hanya datang kalau bahasa yang digunakan adalah bahasa yang dipahami.

Saya ingin melihat nanti bagaimana UNESCO mencatat pidato Mendikdasmen. Apakah mereka akan menulis “Speech delivered in Bahasa Indonesia” di arsipnya. Karena kalimat itu sederhana, tapi maknanya dalam. Sama dalamnya dengan tulisan kecil di batu Rosetta yang dulu dianggap remeh tapi kemudian mengubah arah sejarah.

Kalau dulu dunia belajar memahami Mesir karena bahasa, sekarang dunia bisa belajar memahami Indonesia juga lewat bahasa. Dan lebih penting lagi, rakyat Indonesia bisa memahami dunia lewat bahasanya sendiri. Tidak perlu menunggu orang lain menuliskannya untuk kita. Tidak perlu menunggu terjemahan yang datang terlambat. Kita akan membaca sendiri. Kita akan menulis sendiri. Kita akan membuka peradaban kita sendiri.

Begitulah cara peradaban tumbuh: dimulai dari bahasa. Dan hari ini, di Tashkent, pintu itu mulai terbuka.

Baru sampai rumah sekitar jam lima sore. Belum sempat duduk tenang. Belum juga sempat ganti pakaian. Pertanyaan sudah menunggu di ruang tamu. “Lulus apa tidak?” suara itu langsung mengisi telinga. Saya tahu siapa empunya suara. Saya pun tersenyum tipis.

Jawaban “Ya, alhamdulillah lulus” ternyata tidak cukup. Malah jadi pemicu pertanyaan baru. Seperti keran yang dibuka tiba-tiba. Pertanyaan keluar deras, beruntun, tanpa jeda. Saya merasa kembali ke ruang ujian. Bedanya, sekarang yang menguji bukan Master Asesor, tapi istri sendiri.
Ilustrasi Dosen Kompeten (Gambar : AI Generated)

Dia lalu berkata: dia mau ikut sertifikasi kompetensi teknis. Bidangnya: food handler. Saya kaget, tapi juga tidak kaget. Karena dua hari sebelumnya, saya sendiri yang menyalakan apinya. Saya cerita panjang soal tragedi keracunan massal MBG. Cerita juga soal bagaimana BNSP bereaksi. Dan bagaimana peluang besar ada di sana.

Saya tambah kompor dengan ide: kalau kampusnya bisa bikin LSP, akan lebih hebat lagi. Apalagi dia dosen gizi. Mengajar mata kuliah pengawasan mutu makanan. Cocok sekali. Pas sekali. Dan rupanya, obrolan itu nyantol betul di kepalanya.

Hari ini dia cerita: seharian mencari informasi. Googling sana sini. Tanya-tanya juga. Sampai akhirnya ketemu dengan LSP P3 yang memang mengurus sertifikasi bidang pengelolaan makanan. Semangatnya jelas sekali terlihat. Saya melihat matanya berbinar seperti mahasiswa baru yang menemukan buku favorit.

Dia pun melanjutkan ceritanya. Tentang unit kompetensi. Tentang metode asesmen. Tentang portofolio yang katanya harus ditulis. Dia bingung, karena dia merasa tidak punya rekam jejak industri. “Apa bisa?” katanya. Saya tahu dia sedang mencari jawaban yang meyakinkan.

Saya langsung pede. Mungkin terlalu pede. Maklum, otak masih panas. Baru tiga jam lalu saya keluar dari ruangan pelatihan calon asesor. Semua materi masih menempel kuat. Dari mulai soal elemen kompetensi, KUK, sampai teknik asesmen. Saya seolah menjadi replika para Master Asesor yang mengajar kami.

Saya jelaskan panjang lebar. Dengan gaya seperti di kelas. Saya pakai istilah-istilah yang kemarin baru saja saya hafalkan. Saya bahkan menirukan intonasi Master Asesor. Bedanya, kalau di kelas saya peserta, kali ini saya yang bicara. Seperti tahu segalanya.

Padahal, jujur saja, saat ujian tadi pagi, kepala saya lumayan pening. Jawaban saya tidak semua lancar. Beberapa kali saya sempat terhenti. Tapi ya begitulah. Karena hasil akhirnya sudah dinyatakan “kompeten”, saya punya legitimasi untuk merasa percaya diri. Label itu memang ajaib.

Istri saya manggut-manggut. Seperti mahasiswa yang baru paham rumus sulit. Matanya cerah. Semangatnya meluap. “Kalau begitu, saya mau ambil langsung tiga skema,” katanya mantap. Saya yang tadinya cuma ingin berbagi ilmu, malah jadi terkejut.

Saya melihat ke arah wajahnya. Ada kebanggaan tersendiri. Ada semangat baru. Saya tahu, ini bukan sekadar ikut-ikutan. Dia memang merasa bidangnya cocok. Dia memang merasa inilah waktunya. Dan saya tidak bisa menahan senyum.

Dunia sertifikasi memang sedang seksi. Kata “kompeten” sekarang lebih laku daripada kata “pintar”. Label itu bisa membuka pintu kerja. Bisa mengubah nasib seseorang. Bisa menambah harga diri. Dan makin lama, makin banyak orang yang sadar akan itu.

Saya sering melihat perusahaan yang lebih percaya sertifikat kompetensi daripada ijazah. Karena kompetensi bicara bukti. Bicara praktik. Bukan sekadar nilai di atas kertas. Bukan hanya teori di ruang kuliah. Kompetensi itu terasa nyata.

Bayangkan saja kasus MBG kemarin. Puluhan orang keracunan massal. Itu bukan sekadar masalah kesehatan. Itu masalah kompetensi. Kalau saja standar food handler diterapkan, mungkin ceritanya akan berbeda. Tragedi bisa dihindari.

Saya teringat kalimat salah satu Master Asesor kemarin. “Kompetensi itu bukan hanya tentang bisa atau tidak. Tapi tentang bukti bahwa Anda betul-betul bisa.” Kalimat itu terus terngiang. Dan malam ini, kalimat itu terbukti.

Istri saya sudah memilih jalan barunya. Ia ingin bersertifikat food handler. Bukan satu, tapi tiga skema sekaligus. Itu bukan main-main. Itu keputusan besar. Dan saya tahu, ini akan jadi perjalanan panjang yang penuh tantangan.

Saya pun tidak bisa menahannya. Saya hanya bisa mendukung. Karena dunia ini memang bergerak ke sana. Dunia yang makin menghargai keterampilan. Dunia yang tidak lagi puas dengan gelar semata. Dunia yang haus pada bukti nyata.

Apalagi kalau kampus-kampus ikut turun. Membuat LSP sendiri. Membuka jalur sertifikasi untuk mahasiswanya. Betapa besar dampaknya. Mahasiswa tidak hanya lulus dengan ijazah, tapi juga dengan sertifikat kompetensi. Itu akan membuat mereka lebih siap bersaing.

Saya pernah bilang: kompetensi itu seperti SIM. Kalau bisa nyetir tapi tidak punya SIM, tetap saja tidak bisa bebas di jalan. Kalau punya SIM, semua jadi sah. Semua jadi legal. Begitu juga kompetensi. Buktinya ada. Pengakuannya jelas.

Tentu, tidak semua orang suka prosesnya. Ujian itu berat. Asesmen itu bikin deg-degan. Tapi di situlah nilai tambahnya. Kalau semua gampang, nilainya jadi rendah. Sertifikat hanya berarti kalau diperoleh dengan susah payah.

Saya sendiri baru saja melewati itu. Ujian asesor bukan main. Materinya tebal. Latihannya panjang. Simulasinya bikin pusing. Tapi saat pengumuman keluar, dan kata “kompeten” disematkan, ada rasa lega. Ada rasa bangga. Dan ada rasa percaya diri yang baru.

Sekarang saya merasakan efek itu. Saya bisa menjelaskan ke istri dengan yakin. Saya bisa menjawab pertanyaan tanpa ragu. Saya bisa merasa pantas untuk memberi saran. Label “kompeten” ternyata bukan sekadar tulisan. Ia bisa mengubah cara kita berbicara.

Dan kini, giliran istri saya. Saya melihat api semangatnya yang sama. Api yang saya rasakan kemarin, kini ada di dirinya. Dunia sertifikasi sudah mencuri hatinya. Sama seperti mencuri hati saya.

Ah, dunia ini memang bergerak cepat. Kemarin saya hanya seorang peserta. Hari ini sudah jadi asesor. Dan malam ini, saya menjadi motivator dadakan untuk istri sendiri. Perubahan itu bisa terjadi hanya dalam hitungan hari.

Besok, mungkin lebih banyak lagi orang yang ikut. Lebih banyak yang sadar. Lebih banyak yang mencari label “kompeten”. Karena kata itu kini semakin seksi. Kata itu kini semakin bernilai.

Saya pun menutup malam ini dengan satu kalimat. Salam kompeten. Karena dunia ini memang sedang menuju ke sana. Dunia yang mengukur orang bukan hanya dari gelar, tapi dari bukti nyata. Dunia yang makin percaya bahwa kompeten itu seksi.
Empat hari terakhir, media sosial di Bengkulu terasa lebih ramai dari biasanya. Bukan karena isu politik, bukan pula karena peristiwa kriminal. Ramainya kali ini karena bunga. Ya, bunga yang selama ini dianggap ikon Bengkulu: Rafflesia Arnoldi. Tiba-tiba saja, muncul suara-suara yang menggugat nama itu. Mereka ingin nama bunga langka itu dikembalikan pada nama aslinya: bungo sekedei. Nama yang jauh lebih tua dibanding nama yang disematkan oleh orang asing.

Bagi masyarakat Bengkulu, bungo sekedei bukan sekadar bunga. Ia bagian dari cerita turun-temurun. Nama itu muncul dari generasi ke generasi, jauh sebelum Thomas Stamford Raffles dan Joseph Arnold menjejakkan kaki di tanah Bengkulu. Di kampung-kampung, orang tua dulu sering menyebutnya dengan penuh hormat. Sebab ukurannya yang besar, baunya yang khas, dan kemunculannya yang langka selalu dianggap misteri. Tapi, dunia mengenalnya justru dengan nama dua orang asing itu.
Ilustrasi (AI Generated)

Sejarahnya, memang Raffles dan Arnold lah yang pertama kali memperkenalkan bunga ini ke mata dunia ilmiah. Tahun 1818, mereka melihatnya di hutan Bengkulu. Arnold, seorang dokter dan naturalis, sangat terpesona. Ia menuliskan deskripsinya. Lalu, seperti tradisi ilmiah pada masa itu, nama bunga itu diabadikan dengan nama mereka. Rafflesia Arnoldi. Dari situ, nama itu masuk jurnal, buku, lalu ensiklopedia. Sampai akhirnya menjadi rujukan global.

Di dunia botani, ada aturan tak tertulis yang sudah jadi kesepakatan: siapa yang pertama kali mendeskripsikan secara ilmiah, dia yang punya hak memberi nama. Maka tidak heran jika kemudian nama Rafflesia Arnoldi bertahan lebih dari dua abad. Ia sudah tercatat di International Code of Nomenclature for algae, fungi, and plants. Sebuah “kitab suci” bagi para ahli biologi. Mengubah nama itu sama rumitnya dengan mengubah pasal di konstitusi.

Namun, masyarakat Bengkulu merasa ada yang janggal. Kenapa bunga yang lahir di tanah mereka, yang sudah diberi nama lokal sejak lama, justru dipopulerkan dengan nama orang asing? Bukankah itu bentuk penghapusan jejak budaya lokal? Pertanyaan ini sah-sah saja. Apalagi di era ketika kesadaran atas identitas lokal makin kuat. Orang ingin sejarahnya dikembalikan. Orang ingin nama lokalnya dihargai. Orang ingin bunga itu disebut sebagaimana orang tua mereka menyebutnya: bungo sekedei.

Apakah bisa nama itu digugat? Secara hukum internasional, ini memang pelik. Nama ilmiah bukan sekadar label. Ia bagian dari sistem klasifikasi global. Mengubah nama ilmiah butuh alasan yang sangat kuat. Biasanya karena ada kesalahan identifikasi, atau karena ada temuan baru yang lebih sahih. Gugatan masyarakat lokal, meski secara moral punya kekuatan, tidak serta merta bisa mengubah nomenklatur. Dunia sains bekerja dengan tata tertib yang ketat.

Namun bukan berarti jalan itu buntu. Dalam praktiknya, banyak spesies punya dua nama: nama ilmiah dan nama lokal. Contohnya, Durio zibethinus tetap dikenal masyarakat luas sebagai durian. Pandanus tectorius tetap disebut pandan. Orang bisa saja menghidupkan kembali nama bungo sekedei, tanpa harus membatalkan nama Rafflesia Arnoldi. Justru dua-duanya bisa hidup berdampingan. Satu untuk keperluan ilmiah, satu lagi untuk kebanggaan lokal.

Saya teringat pada kasus di India. Ada tanaman obat yang oleh masyarakat lokal sudah ratusan tahun dipakai, tetapi nama ilmiahnya tetap mengikuti aturan Latin. Pemerintah India kemudian mengajukan daftar nama lokal itu dalam dokumen resmi agar diakui dalam dunia farmasi internasional. Dengan cara itu, nama lokal tidak hilang, dan masyarakat tetap merasa punya hak. Mungkin Bengkulu bisa meniru langkah itu.

Kalau mau lebih jauh, bisa juga dilakukan gugatan class action. Tapi bukan ke pengadilan sains. Melainkan ke ranah kebijakan. Pemerintah daerah bisa mengajukan usulan resmi agar nama bungo sekedei dipakai di semua dokumen pariwisata, pendidikan, dan promosi budaya. Dengan begitu, perlahan nama itu bisa sejajar dengan nama ilmiahnya. Dunia boleh tetap menyebut Rafflesia Arnoldi, tapi di Bengkulu orang akan lebih akrab dengan bungo sekedei.

Persoalan ini sebenarnya bukan hanya soal nama. Ini soal bagaimana masyarakat ingin dilihat. Apakah mereka mau terus “mengabdi” pada sejarah kolonial, atau berani menegaskan identitas lokalnya. Nama adalah simbol. Dan simbol punya kekuatan besar dalam membentuk imajinasi. Ketika orang menyebut bungo sekedei, ia sedang menghidupkan kembali cerita lama. Cerita sebelum ada kolonialisme. Cerita tentang kebanggaan lokal.

Saya melihat, semangat ini sama seperti yang terjadi di banyak daerah lain. Di Yogyakarta, orang lebih suka menyebut malioboro dengan logat mereka sendiri. Di Jawa Timur, banyak desa yang ingin mengembalikan nama asli kampungnya setelah puluhan tahun dipakai nama administrasi kolonial. Fenomena ini menunjukkan bahwa identitas itu penting. Ia tidak bisa diputus begitu saja hanya karena ada aturan ilmiah.

Apakah itu salah? Tidak. Ilmu pengetahuan memang punya logikanya sendiri. Tapi masyarakat juga punya hak atas warisan budayanya. Kalau dua logika itu bisa berjalan berdampingan, kenapa harus saling meniadakan? Saya kira itu yang harus dipikirkan. Jangan sampai karena nama ilmiah terlalu dominan, nama lokal hilang begitu saja. Padahal di situlah akar sejarahnya.

Ada cara sederhana untuk memperkuat nama lokal. Misalnya dengan festival. Buat festival Bungo Sekedei setiap tahun. Libatkan anak-anak sekolah, mahasiswa, budayawan. Ceritakan sejarahnya. Bangun narasi bahwa bunga itu memang milik Bengkulu. Dengan begitu, lama-lama dunia juga akan mengenalnya. Siapa tahu, dalam 50 tahun ke depan, orang menyebut bunga itu dengan dua nama sekaligus: Rafflesia Arnoldi alias Bungo Sekedei.

Saya kira penting juga ada penelitian akademik yang mendukung. Kampus-kampus di Bengkulu juga bisa membuat kajian tentang sejarah nama bungo sekedei. Dokumentasikan cerita-cerita lisan masyarakat. Buat jurnal internasional tentang itu. Kalau sudah begitu, dunia sains pun mau tidak mau harus membaca. Nama lokal bisa mendapat ruang terhormat, meski nama ilmiah tetap tidak berubah.

Pemerintah daerah juga bisa bikin regulasi kecil. Misalnya, setiap papan informasi di objek wisata wajib mencantumkan dua nama: nama ilmiah dan nama lokal. Itu bukan hal sulit. Justru akan membuat orang makin penasaran. Turis mancanegara akan bertanya: apa itu bungo sekedei? Dari situlah cerita mengalir. Identitas lokal pun terangkat.

Saya membayangkan, kelak anak-anak Bengkulu akan lebih bangga menyebut bunga itu dengan nama bungo sekedei. Mereka tidak lagi merasa asing dengan istilah Latin yang panjang. Mereka tahu, ini bunga mereka. Ini bagian dari budaya mereka. Dan mereka tahu, dunia pun akhirnya mengakui bahwa nama itu sama berharganya.

Bagi saya pribadi, pertarungan nama ini adalah pertarungan simbol. Sama seperti ketika kita memperjuangkan batik agar diakui UNESCO. Sama seperti ketika kopi Gayo didaftarkan sebagai indikasi geografis. Semua itu bukan sekadar soal ekonomi, tapi soal harga diri. Dan harga diri adalah hal yang tak bisa ditawar.

Apakah masyarakat Bengkulu bisa berhasil? Bisa. Tapi butuh waktu. Butuh konsistensi. Butuh strategi. Tidak bisa hanya dengan ribut di media sosial. Harus ada langkah nyata. Harus ada kerja panjang. Harus ada kolaborasi antara akademisi, pemerintah, dan masyarakat.

Jadi, mungkin pertanyaan yang lebih tepat bukan “bisakah mengganti nama Rafflesia Arnoldi menjadi bungo sekedei”. Tapi bagaimana cara agar bungo sekedei tidak hilang di tengah dominasi nama Latin itu. Bagaimana agar dua nama itu sama-sama hidup. Bagaimana agar dunia tahu, bunga itu lahir di tanah Bengkulu, dan punya cerita panjang di sana.

Saya melihat ini bukan sekadar polemik kecil. Ini bagian dari gerakan lebih besar: mengembalikan identitas lokal di tengah globalisasi. Setiap nama yang kita sebut, setiap simbol yang kita pertahankan, adalah bentuk perlawanan terhadap lupa. Dan melawan lupa adalah pekerjaan paling mulia.
Empat hari terakhir ini saya tidak masuk kelas. Semua mata kuliah yang saya ajar, saya liburkan. Mahasiswa tentu senang. Mereka mengira dosennya sedang malas. Padahal sebaliknya. Saya sedang serius belajar. Bukan belajar akademik, tapi belajar hidup. Belajar tentang standar. Belajar tentang kompetensi. Saya ikut pelatihan calon asesor.

Hari pertama, saya bertemu dengan pemateri berstatus calon master asesor. Sebenarnya beliau sudah sangat pro, tapi karena soal waktu saja, beliau belum sepenuhnya menjadi master. Bulan depan ujian kompetensinya. Setelahnya beliau resmi bergelar master. Materinya tidak main-main. Langsung mengenai jantung prodi. Saya pun undang para kaprodi. Saya ingin mereka juga merasakan. Supaya teman-teman paham. Bahwa kurikulum bukan hanya soal SKS dan RPS. Tapi juga soal standar kompetensi.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)
Hari kedua sampai kelima, suasana semakin menarik. Dua master asesor datang dari Jakarta. Mereka bukan orang biasa. Yang satu pakar SDM dan otomotif. Yang satu lagi, legenda kopi Indonesia. Ya, kopi. Minuman yang sering dianggap sepele. Padahal di baliknya, ada dunia yang luas. Ada profesi. Ada standar.

Saya tidak ingin cerita banyak tentang pelatihannya. Itu bisa kapan-kapan. Yang ingin saya ceritakan sekarang adalah kopi. Kenapa? Karena kopi ternyata tidak sekadar minuman. Kopi punya dunia sendiri. Dan saya dipertemukan dengan tokoh yang menjadikan kata “barista” dikenal di Indonesia. Beliau pencipta istilah itu.

Nama beliau sudah lama malang melintang di dunia kopi. Ia menulis tujuh buku. Semua tentang kopi. Ia keliling Indonesia. Dari Aceh sampai Papua. Hanya untuk satu hal: menstandarkan kompetensi orang-orang yang hidup dari kopi. Supaya mereka punya pengakuan. Supaya profesi barista diakui sejajar dengan profesi lain.

Kenapa harus distandarkan? Pertanyaan itu juga pernah muncul di benak saya. Apa salahnya orang bikin kopi sesuai seleranya? Ternyata salah. Profesi itu harus punya dasar. Harus ada ukuran. Barista tidak boleh seenaknya. Sama seperti dokter. Sama seperti pilot. Kesalahan kecil bisa fatal.

Semalam, kami ajak beliau ke sebuah kafe di kota saya. Pemiliknya senang sekali. Masih muda dan suami istri. Jarang-jarang ada legenda kopi singgah. Kami duduk berjam-jam. Ngobrol. Sambil menyeruput kopi buatan anak-anak muda kota ini. Waktu berjalan cepat. Dua jam terasa seperti sebentar. Saya banyak belajar.

Saya bukan maniak kopi. Pernah. Tapi berhenti. Dulu saya kecanduan kopi hitam. Tanpa gula. Pahit adalah sahabat. Tapi perut saya protes. Asam lambung saya tidak bersahabat. Maka saya kurangi. Kadang masih minum. Tapi tidak setiap hari. Jadi saya tidak bisa disebut pecandu.

Namun, saya bisa melihat bagaimana legenda itu memperlakukan kopi. Ia bisa tahu jenis kopi hanya dari uapnya. Ia tahu takaran hanya dari aroma. Lidahnya peka. Hidungnya tajam. Matanya awas. Seolah semua indranya dipersembahkan untuk kopi. Tidak berlebihan kalau saya menyebutnya sebagai legenda hidup kopi Indonesia.

Beliau bahkan mendirikan lembaga yg mensertifikasikan kompetensi khusus kopi. Mungkin satu-satunya di Indonesia. Itu bukan main. Karena mendirikan lembaga semacam ini tidak gampang. Harus ada standar. Harus ada perangkat. Harus ada asesor. Tapi ia lakukan itu. Demi satu hal: supaya profesi barista punya martabat.

Barista tidak boleh dipandang rendah. Ia bukan sekadar tukang bikin kopi. Ia adalah profesi. Dengan keterampilan. Dengan standar. Dengan sertifikasi. Sama seperti pilot. Sama seperti dokter. Sama seperti insinyur. Itulah pesan yang terus ia bawa.

Saya tahu betul betapa berat membuat standar. Tidak semua orang suka. Banyak yang menganggap itu membatasi. Padahal sebaliknya. Standar bukan membatasi. Standar melindungi. Standar menjaga mutu. Standar memberi kepastian.

Kopi adalah contoh yang menarik. Lihat bagaimana dunia internasional memperlakukan kopi. Ada kompetisi barista. Ada sertifikasi internasional. Ada standar mesin. Ada ukuran biji. Semuanya diatur. Dan itu membuat industri kopi dunia maju. Tidak asal-asalan.

Di Indonesia, jalan itu baru dimulai. Masih banyak kafe yang bikin kopi tanpa ukuran. Takaran suka-suka. Penyajian asal jadi. Konsumen pun tidak tahu harus menuntut apa. Inilah yang ingin diperbaiki oleh beliau itu. Ia ingin kopi Indonesia punya standar.

Saya bisa melihat semangat itu sama dengan semangat kami di kampus. Saya juga ingin mahasiswa punya standar. Bukan sekadar lulus kuliah. Tapi lulus dengan kompetensi. Dengan sertifikat. Dengan bukti bahwa ia bisa bekerja sesuai standar. Tidak asal pintar teori.

Maka malam tadi, obrolan kami melebar. Dari kopi ke pendidikan. Dari barista ke dosen. Dari kafe ke kampus. Ternyata sama saja. Intinya: standar. Tidak ada profesi yang bisa besar tanpa standar. Tidak ada karya yang bisa dihargai tanpa ukuran.

Di kampus, banyak mahasiswa yang merasa pintar. Banyak yang yakin bisa kerja. Tapi tanpa standar, semua itu rapuh. Hanya ilusi. Sama seperti kopi tanpa takaran. Rasanya bisa enak hari ini. Besok bisa aneh. Tidak konsisten.

Saya suka semangat beliau. Ia tidak hanya menulis buku. Ia membangun sistem. Ia turun langsung ke daerah. Ia ketemu petani. Ia latih anak muda. Ia bangun lembaga. Ia lakukan apa yang orang lain hanya bicarakan.

Itulah yang membedakan orang besar. Ia tidak berhenti di kata. Ia wujudkan dalam kerja. Ia sabar. Ia konsisten. Ia tetap berjalan. Karena ia tahu, standar akan membuat profesi ini dihormati.

Saya melihat wajah-wajah anak muda di kafe malam itu. Mereka terkesima. Mereka baru tahu ada standar di balik kopi. Selama ini mereka pikir bikin kopi hanya soal rasa. Ternyata ada ilmu. Ada teknik. Ada sertifikasi. Ada kompetensi.

Mata mereka berbinar. Barangkali mereka akan lebih serius belajar. Barangkali mereka ingin sertifikasi juga. Barangkali mereka ingin jadi barista sejati. Bukan sekadar pekerja kafe. Itu harapan yang tumbuh malam itu yang bisa saya tangkap sebelum beranjak pulang.

Saya pun merasa, pertemuan itu bukan kebetulan. Saya jadi belajar banyak. Tentang kopi. Tentang standar. Tentang profesi. Tentang perjuangan. Tentang idealisme. Dan tentang arti sebuah kompetensi.

Maka, saya ingin katakan: barista dan pilot tidak ada bedanya. Sama-sama profesi. Sama-sama harus terstandar. Sama-sama butuh sertifikasi. Sama-sama butuh tanggung jawab. Hanya medianya yang berbeda.

Kopi mengajarkan saya banyak hal. Bahwa hidup ini harus punya ukuran. Bahwa kerja harus punya standar. Bahwa kompetensi harus diakui. Dan bahwa idealisme kadang harus melawan arus.

Saya pulang malam tadi dengan perasaan lain. Ada kagum. Ada hormat. Ada juga tekad. Tekad untuk membawa semangat standar itu ke kampus. Tekad untuk menjadikan mahasiswa bukan sekadar lulusan. Tapi profesional.

Hari-hari saya mungkin kembali sibuk. Kelas akan kembali jalan. Mahasiswa akan kembali ramai. Tapi pengalaman empat hari ini, dan obrolan dua jam malam itu, akan saya simpan lama. Itu pelajaran hidup.

Saya percaya, standar bukan untuk membatasi. Standar justru membebaskan. Membebaskan dari ketidakpastian. Membebaskan dari kesalahan. Membebaskan dari keraguan. Dan itu berlaku di kopi. Berlaku di kampus. Berlaku di hidup.

Dan akhirnya, saya semakin yakin. Bahwa apa yang kami lakukan di kampus melalui lembaga sertifikasi bukan formalitas. Itu perjuangan. Itu bagian dari membangun negeri. Dari barista hingga insinyur. Dari kafe hingga kampus. Semuanya butuh standar.

Karena tanpa standar, semua hanya kebetulan. Dengan standar, profesi jadi mulia. Dengan standar, kompetensi jadi nyata. Dengan standar, hidup punya arah. Dan barista pun bisa sejajar dengan pilot.
Saya masih ingat betu, setiap kali masuk kantor pemerintahan, yang pertama kali menatap kita bukan pegawainya. Bukan juga resepsionisnya. Tapi foto presiden dan wakil presiden yang dipajang gagah di dinding. Kadang ditemani gubernur atau bupati setempat. Rasanya seperti ada yang mengawasi dari atas, meski tak pernah benar-benar menegur kalau kita telat kerja.

Kebiasaan itu sudah berlangsung lama. Dari zaman saya kecil, setiap sekolah selalu punya sudut wajib: papan tulis, lambang Garuda, dan foto presiden serta wakilnya. Ada semacam paket lengkap. Tidak bisa salah satu hilang. Kalau salah satunya tidak ada, seperti rumah tanpa atap. Seperti sayur tanpa garam.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)
Pertanyaan saya sederhana: untuk apa sebenarnya foto itu? Apakah benar ada hubungannya dengan kinerja? Apakah pegawai jadi lebih rajin kalau tiap hari dipandangi wajah presiden? Atau malah tidak ada bedanya, hanya jadi formalitas belaka. Sekadar dekorasi dinding biar tidak kosong.

Saya pernah iseng bertanya kepada seorang pejabat teras di daerah. Kenapa selalu ada foto bupati di setiap ruangannya? Jawabannya singkat: “Tradisi.” Dia tidak tahu apakah ada dasar hukum yang mewajibkan. Tapi katanya, kalau tidak dipasang, bisa dianggap tidak loyal. Bisa dipertanyakan kesetiaannya pada pimpinan.

Di sisi lain, ada pegawai yang melihat foto itu seperti pengingat. Katanya, setiap kali melihat wajah presiden, ia merasa sedang bekerja untuk negara. Untuk rakyat. Jadi, sedikit banyak ada efek psikologis. Meski, kalau kita jujur, sering kali yang bekerja justru lebih dipengaruhi oleh gaji, tunjangan, dan atasan langsung.

Saya pernah masuk ke sebuah kantor swasta yang besar. Tidak ada foto presiden di sana. Yang ada hanya foto pendiri perusahaan. Bahkan fotonya dibuat lebih besar dari lukisan-lukisan yang lain. Apakah ini salah? Tidak. Bagi mereka, simbol pemersatu bukan presiden, melainkan sang pendiri yang berjasa besar mendirikan perusahaan.

Di negara lain, tradisi ini tidak selalu sama. Di Amerika Serikat, misalnya. Tidak semua kantor pemerintah memasang foto presiden. Yang lebih sering dipasang justru bendera. Bintang-bintang dan garis merah putih itu yang dianggap simbol paling penting. Foto presiden? Tidak wajib. Bahkan di beberapa kantor kecil, tidak pernah ada.

Di Taiwan, tradisi semacam itu hampir tidak ditemukan. Pegawai lebih sibuk menunduk pada pekerjaannya daripada menatap foto pemimpinnya. Bagi mereka, simbol penghormatan ada pada etos kerja. Mereka menunjukkan nasionalisme dengan produktivitas. Bukan dengan foto. Itu sebabnya, kantor mereka sering kosong dari gambar pemimpin.

Lain lagi di Korea Utara. Di sana foto pemimpin bukan sekadar pajangan. Melainkan kewajiban. Bahkan harus dijaga kebersihannya setiap hari. Warga bisa dianggap tidak hormat kalau foto pemimpin berdebu. Ini sudah masuk ke ranah ideologi. Pemimpin menjadi semacam dewa. Beda jauh dengan di sini, meski kadang-kadang kita menirunya dalam versi lebih halus.

Kalau di Indonesia, keberadaan foto presiden seolah jadi aturan tak tertulis. Saya coba telusuri. Ada beberapa surat edaran dari kementerian dalam negeri dan sekretariat negara soal tata cara penggunaan lambang negara. Tapi soal foto presiden? Tidak ada aturan eksplisit yang mengatur. Artinya, ini lebih pada kebiasaan daripada hukum.

Saya teringat pada era Presiden Soeharto. Foto beliau seperti bagian dari paket wajib pembangunan. Di sekolah, kantor, bahkan pos ronda pun kadang ada. Setelah reformasi, kebiasaan itu tetap bertahan. Berganti presiden, berganti foto. Tapi intinya sama: wajah pemimpin tetap harus menatap kita dari dinding.

Pernah juga ada cerita menarik. Ada kantor daerah yang telat mengganti foto presiden baru. Masih terpajang wajah presiden sebelumnya. Lalu datang inspeksi. Pegawai kantor itu ditegur. Katanya, itu dianggap tidak menghormati presiden baru. Padahal mungkin hanya karena lupa atau belum sempat mengganti.

Sebenarnya, apa hubungannya foto dengan nasionalisme? Kalau saya perhatikan, lebih banyak simbolisme daripada substansi. Rasa cinta tanah air tidak otomatis tumbuh hanya dengan menatap foto. Ia tumbuh dari kebijakan yang adil, pelayanan yang baik, dan kesejahteraan yang nyata. Foto hanya hiasan. Nasionalisme butuh isi.

Meski begitu, saya tidak bisa menolak bahwa simbol tetap punya peran. Foto presiden bisa jadi simbol legitimasi. Seperti ingin mengatakan: kantor ini resmi, sah, dan berada di bawah negara. Simbol semacam ini memang penting, apalagi di daerah yang jauh. Kadang foto itu menjadi bukti nyata bahwa negara hadir.

Ada juga yang bilang, memasang foto presiden itu bagian dari budaya timur. Budaya menghormati pemimpin. Di Barat, hubungan rakyat dan pemimpin lebih egaliter. Foto bukan hal penting. Tapi di sini, penghormatan harus ditunjukkan dengan cara-cara simbolis. Termasuk dengan foto yang dipajang di dinding.

Saya ingat pernah masuk ke sebuah kantor desa di satu daerah. Fotonya lusuh, warnanya pudar, bingkainya berkarat. Tapi pegawai bilang, foto itu sakral. Tidak boleh dilepas meski sudah usang. Mereka lebih memilih membiarkannya begitu daripada dianggap kurang hormat. Saya tersenyum. Simbol bisa lebih kuat dari fungsi.

Namun, kadang simbol bisa membingungkan. Ada kantor yang menempel foto presiden dan wakil presiden, tapi lupa bendera merah putih. Ada juga yang menaruh foto presiden lama berdampingan dengan presiden baru. Jadi semacam galeri. Orang luar yang masuk jadi bingung, ini kantor atau museum?

Bagi saya pribadi, melihat foto presiden tidak pernah menambah semangat kerja. Tapi saya tahu, bagi sebagian orang, itu penting. Sama seperti kita menaruh foto keluarga di meja kerja. Tidak semua merasa perlu. Tapi bagi yang merasa perlu, ada energi psikologis yang lahir dari tatapan wajah di foto itu.

Di negara berkembang lain, kebiasaan ini juga ada. Di Filipina, foto presiden sering dipajang di kantor pemerintah. Di India, lebih banyak patung atau gambar tokoh besar. Gandhi, misalnya. Jadi, pola ini bukan hanya milik kita. Tapi setiap negara punya variasinya sendiri.

Kalau ditanya soal dasar hukum, jawabannya: tidak ada aturan khusus. Yang ada hanya surat edaran atau kebiasaan administratif. Jadi, sebenarnya tidak wajib. Kalau ada kantor pemerintah yang tidak memasang foto presiden, itu tidak melanggar hukum. Hanya saja, konsekuensi sosialnya bisa dianggap kurang hormat.

Pernah ada aktivis yang menolak memasang foto presiden di kantornya. Alasannya: presiden bukan simbol negara, melainkan pejabat politik yang bisa berganti. Simbol negara adalah bendera dan Garuda. Argumen ini masuk akal. Tapi tentu saja, di level praktik, orang tetap memilih aman. Lebih baik pasang foto daripada ribut.

Pertanyaannya, sampai kapan kebiasaan ini bertahan? Apakah kelak, di era digital, foto presiden di dinding akan diganti dengan layar elektronik? Yang bisa otomatis berganti saat presidennya berganti. Atau malah hilang sama sekali, diganti dengan QR code yang mengarahkan ke profil resmi presiden di website.

Di balik semua itu, saya tetap melihat ada sisi baik. Foto presiden di dinding memberi pesan: kita punya pemimpin. Entah suka atau tidak suka, itu adalah pemimpin kita. Seperti halnya di keluarga, kadang kita tidak selalu setuju dengan orang tua. Tapi tetap harus mengakui bahwa merekalah yang memimpin rumah tangga.

Sebagian orang mungkin bosan dengan simbol. Mereka lebih ingin melihat kerja nyata. Jalan yang mulus, pelayanan cepat, birokrasi efisien. Foto tidak bisa memperbaiki jalan rusak. Tidak bisa mempercepat izin. Tidak bisa menurunkan harga kebutuhan pokok. Jadi, jangan sampai simbol lebih kuat dari substansi.

Tapi saya juga paham. Dalam politik, simbol itu penting. Kadang lebih penting daripada substansi. Orang rela mengeluarkan uang besar hanya untuk membuat baliho besar. Padahal isinya hanya foto senyum. Tanpa program. Itu karena simbol bisa menciptakan rasa hadir. Bisa menumbuhkan loyalitas. Bisa memberi ilusi kehadiran.

Apakah kita harus terus melestarikan kebiasaan ini? Mungkin iya. Tidak ada salahnya. Selama tidak menganggap foto sebagai sumber segala semangat. Biarlah ia jadi pajangan. Tapi jangan lupa, isi dari kerja lebih penting daripada bingkai di dinding.

Kalau memang ingin menunjukkan loyalitas pada negara, sebaiknya ditunjukkan lewat pelayanan yang baik. Bukan lewat foto. Kalau ingin menunjukkan nasionalisme, lakukan lewat kerja yang bermanfaat bagi rakyat. Foto hanya pelengkap. Kerja nyata adalah inti.

Saya teringat ucapan seorang PNS yang sudah senior. Katanya, ia tidak peduli siapa presidennya. Fotonya boleh berganti. Tapi pekerjaannya tetap sama. Pelayanan pada rakyat. Mungkin inilah kunci sebenarnya. Foto boleh jadi simbol, tapi isi dari kerja tetap yang menentukan.

Kalau begitu, apakah ada gunanya kita memperdebatkan soal foto? Bagi sebagian orang, penting. Bagi sebagian lain, tidak. Tapi saya memilih melihatnya sebagai bagian dari budaya. Budaya menghormati pemimpin. Selama tidak berlebihan, tidak ada yang salah.

Toh, di ruang tamu kita pun sering ada foto keluarga. Itu tidak menjamin keluarga selalu harmonis. Tapi tetap saja kita pasang. Karena simbol itu penting, meski bukan segalanya. Begitu juga dengan foto presiden di kantor. Penting, tapi bukan penentu segalanya.

Pada akhirnya, yang kita butuhkan bukan foto. Yang kita butuhkan adalah kepemimpinan yang nyata. Pemimpin yang hadir lewat kebijakan. Pemimpin yang hadir lewat solusi. Foto hanya memberi wajah. Tapi kepemimpinan memberi arah.

Dan arah itulah yang sesungguhnya kita cari. Di balik semua bingkai di dinding. Di balik semua simbol yang kita jaga. Kita tetap menunggu kerja nyata. Dari siapa pun yang wajahnya sedang kita pandang di dinding itu.
Saya baru saja pesan makanan. Dari warung yang jaraknya tidak sampai 3 kilometer. Mestinya, perjalanan semacam itu tidak lebih dari 15 menit. Tapi pagi ini, pesanan saya baru sampai hampir 40 menit kemudian. Saya lihat di aplikasi, titik merah driver itu seperti menari-nari. Kadang maju, kadang mundur, kadang melipir masuk gang kecil. Saya tahu, bapak driver ini bingung membaca peta di aplikasi. Saya akhirnya chat beliau. Saya arahkan jalannya. “Jangan ikuti map. Lewat jalan besar saja, pak. Nanti gampang.” Dan benar, setelah diarahkan manual, beliau sampai. Agak terlambat, tapi akhirnya datang juga.

Usianya mungkin sekitar 55 tahun. Dari caranya menjelaskan, nampak beliau bukan tinggal di sekitar sini. Saya bisa bayangkan betapa repotnya bagi bapak-bapak seusia itu menghadapi peta elektronik. Dulu, generasi beliau terbiasa dengan peta lipat. Paling banter, mengandalkan petunjuk orang sekitar. Tidak seperti anak-anak sekarang yang dengan gampangnya membaca panah biru dan garis hijau. Saya jadi maklum. Tapi ini bukan kejadian pertama. Saya sudah sering mengalaminya.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Pernah juga, driver ojol yang mengantar saya ke sebuah acara, minta saya arahkan jalan lain. “Pak, saya gak familiar jalan yang ditunjukkan aplikasi. Bisa lewat jalan besar saja?” katanya. Saya akhirnya jadi navigator. Padahal harusnya beliau yang mengantar saya. Saya jadi merasa seperti penumpang yang kebagian dua tugas: duduk dan mengarahkan.

Ini sering membuat saya berpikir: kenapa perusahaan aplikasi itu tidak membuat program edukasi untuk para driver? Mereka bisa bikin pelatihan sederhana. Misalnya, bagaimana membaca peta dengan benar. Bagaimana memilih jalur alternatif. Bagaimana memahami simbol-simbol di layar. Tidak semua orang lahir di era digital. Ada banyak driver yang memang sepuh. Tapi mereka tetap harus bekerja. Tetap harus cari nafkah.

Kalau ada pelatihan semacam itu, saya yakin akan membantu banyak. Bukan hanya bagi driver, tapi juga bagi pelanggan. Driver jadi lebih percaya diri. Pelanggan jadi lebih nyaman. Dan perusahaan juga untung. Karena keluhan soal keterlambatan akan berkurang. Tapi sayangnya, sampai hari ini, belum saya dengar ada program edukasi serius soal itu.

Saya tahu, perusahaan aplikasi sudah sering bikin pelatihan. Biasanya tentang etika layanan, keselamatan berkendara, atau cara menjaga rating. Itu semua bagus. Tapi bagaimana dengan literasi digital? Bukankah map itu nyawa dari layanan transportasi online? Kalau mereka tidak bisa membacanya, maka layanan bisa berantakan.

Saya teringat saat dulu pertama kali belajar bahasa inggris saat SMP. Ada kursus kilat “bahasa inggris untuk orang awam”. Itu membantu banyak orang yang tadinya tidak tahu bahasa inggris sama sekali, jadi percaya diri. Kenapa aplikasi ojol tidak membuat kursus semacam itu? Bisa berbentuk online. Bisa juga tatap muka di basecamp. Tinggal dikasih contoh kasus. Nanti mereka diajak latihan membaca peta di layar.

Kalau mau lebih modern, bisa dibuat simulasi. Misalnya, ada aplikasi dummy yang memunculkan titik-titik perjalanan. Driver diminta menemukan jalur tercepat. Dari situ, mereka bisa belajar. Bisa salah, bisa benar. Tapi akan ada pembimbing. Jadi, ketika mereka kembali ke jalan nyata, mereka lebih percaya diri.

Saya kira, biaya program seperti itu tidak besar. Bahkan perusahaan bisa melibatkan kampus-kampus IT. Biar mahasiswa yang membantu memberi pelatihan. Itu bisa jadi proyek sosial yang bermanfaat. Mahasiswa dapat pengalaman, driver dapat ilmu, perusahaan dapat reputasi baik.

Sebab, yang sering terjadi sekarang adalah: driver belajar sendiri. Mereka trial and error di jalanan. Kadang berhasil. Kadang justru membuat pelanggan dongkol. Apalagi kalau pesanannya makanan. Makanan bisa basi di jalan karena muter-muter.

Saya yakin, banyak pelanggan yang akhirnya memberi bintang rendah bukan karena drivernya tidak sopan, tapi karena drivernya salah jalan. Padahal, salah jalan itu bisa dihindari kalau ada edukasi. Itu bukan soal kemampuan bawaan. Itu soal dilatih atau tidak.

Kita sering bicara soal revolusi digital. Tapi revolusi macam apa kalau sebagian besar pekerja di sektor digital justru tidak dilatih digital? Kita lupa, transformasi digital bukan hanya soal aplikasi yang canggih. Tapi juga soal manusia yang mengoperasikannya.

Bapak driver 55 tahun itu memberi saya pelajaran. Bahwa teknologi tidak selalu ramah bagi semua orang. Ada kelompok yang tertinggal. Dan kalau tidak dibantu, mereka bisa makin tertinggal. Mereka bisa kehilangan pekerjaan. Padahal, mereka butuh pekerjaan itu.

Saya juga sadar, aplikasi map tidak selalu sempurna. Kadang jalur yang ditunjukkan memang lebih pendek, tapi tidak ramah motor. Bisa jadi tanjakan curam. Bisa jadi jalan sempit. Bisa jadi jalur macet. Peta tidak selalu bisa membaca kenyataan.

Karena itu, literasi membaca peta juga harus diimbangi dengan logika. Driver harus tahu kapan harus percaya aplikasi, kapan harus percaya insting. Itu butuh latihan. Butuh jam terbang. Dan lebih cepat lagi kalau ada bimbingan.

Bayangkan kalau ada satu program sederhana: setiap driver baru wajib ikut “kursus peta” selama sehari. Saya yakin hasilnya akan signifikan. Mereka akan lebih percaya diri. Perjalanan jadi lebih efisien. Pelanggan juga lebih senang.

Saya sering mendengar cerita teman-teman yang sama: pesan makanan, tapi drivernya keliling berkali-kali. Padahal alamat sudah jelas. Kadang sampai harus telepon berkali-kali. Itu menyita waktu. Itu menyita energi. Dan akhirnya menurunkan kualitas layanan.

Kalau perusahaan berpikir jangka panjang, program ini harus masuk agenda. Jangan hanya fokus ke promo diskon. Jangan hanya fokus ke branding. Tapi juga ke hal-hal mendasar. Sebab, layanan tidak hanya ditentukan iklan. Tapi juga pengalaman nyata pelanggan.

Saya tahu, bicara soal edukasi kadang dianggap membosankan. Tapi percayalah, dampaknya sangat nyata. Apalagi di bisnis jasa. Senyum dan sopan santun memang penting. Tapi kalau pesan makanan jadi basi karena drivernya salah jalan, senyum pun tidak ada artinya.

Driver-driver muda mungkin cepat belajar. Tapi tidak semua driver muda. Banyak driver senior. Dan mereka punya semangat kerja yang tinggi. Jangan sampai semangat itu padam hanya karena mereka bingung membaca peta.

Saya membayangkan, kalau perusahaan mau serius, dalam lima tahun ke depan, kualitas layanan bisa jauh lebih baik. Driver tidak lagi bingung di jalan. Pelanggan lebih puas. Dan ekosistem ojol akan lebih sehat.

Tentu, ini semua kembali ke kemauan manajemen. Apakah mereka hanya ingin untung cepat, atau membangun sistem yang berkelanjutan. Saya berharap yang kedua. Sebab, layanan transportasi online sudah jadi bagian penting kehidupan kota.

Banyak orang bergantung pada mereka. Dari mahasiswa yang malas jalan, sampai ibu-ibu yang malas ke pasar. Dari pekerja kantoran, sampai orang yang sedang sakit. Semua mengandalkan layanan ini.

Kalau begitu pentingnya, masa iya perusahaan tidak mau investasi sedikit untuk edukasi? Bukankah itu investasi yang paling menguntungkan?

Saya tidak tahu apakah bapak driver 55 tahun itu masih mau mengambil order di daerah yang dia tidak familiar setelah kejadian itu. Tapi saya berharap beliau tidak menyerah. Beliau hanya butuh sedikit bantuan. Sedikit bimbingan.

Kita sering menganggap literasi itu hanya soal membaca buku. Padahal, literasi digital juga penting. Dan di era ini, membaca peta di layar adalah salah satu bentuk literasi digital.

Saya yakin, kalau perusahaan mau peduli, maka kasus-kasus seperti ini akan berkurang. Tidak akan ada lagi driver yang muter-muter tidak jelas. Tidak akan ada lagi pelanggan yang harus jadi navigator.

Dan yang paling penting, tidak akan ada lagi bapak-bapak 55 tahun yang kehilangan rasa percaya dirinya hanya karena peta elektronik.

Itulah sebabnya, saya menulis ini. Untuk para operator, para provider ojol: tolonglah. Buat program terencana untuk mengedukasi para mitra driver. Ajari mereka membaca peta dengan benar. Ajari mereka kapan harus percaya peta, kapan harus percaya jalan besar.

Kasihan mereka yang awam. Kasihan mereka yang sepuh. Mereka tetap butuh nafkah. Mereka tetap butuh dihargai. Jangan biarkan mereka tersisih hanya karena gaptek.

Saya percaya, perusahaan besar bisa melakukannya. Tinggal apakah mereka mau atau tidak. Kalau mereka mau, semua pihak akan diuntungkan.

Kalau tidak, ya siap-siap saja. Pelanggan akan terus mengeluh. Driver akan terus bingung. Dan reputasi layanan tidak akan pernah naik.

Semoga, tulisan kecil ini sampai ke meja manajemen. Semoga mereka sadar. Bahwa di balik aplikasi yang canggih, ada manusia yang masih butuh dibimbing.
Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • APA ITU BEM SI, BEM NUSANTARA, DAN BEM-BEM LAINNYA?
  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • HARGA SEBUAH KOMPETENSI
  • INKLUSIFITAS KAMPUS : ILMU [PENGETAHUAN] UNTUK SEMUA
  • DOSEN DAN INDUSTRI INDEX JURNAL

Ramadhan Bercerita

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar