Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami
Berbicara tentang wilayah 3T hari ini sesungguhnya berbicara tentang kegagalan sistemik dalam desain kelembagaan negara. Kita mewarisi model pemerintahan berbasis hierarki administratif yang rigid, lambat, dan tidak kontekstual. Ketika pusat bicara tentang “percepatan pembangunan”, Enggano dan wilayah serupa hanya mampu menunggu dan seringkali menunggu terlalu lama. Dalam logika pembangunan nasional, kawasan seperti ini sering disebut “wilayah prioritas”, tapi kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya: mereka justru menjadi sisa-sisa perhatian pembangunan. Ini bukan soal anggaran semata, melainkan desain kelembagaan yang tidak pernah kompatibel dengan realitas wilayah ekstrem.

Sudah terlalu lama wilayah seperti Enggano dikurung dalam struktur pemerintahan yang terlalu tinggi di atas tanah yang terlalu jauh. Setiap keputusan penting harus melalui lintasan birokrasi yang panjang dan ruwet. Di era di mana kecepatan adalah kunci dan respons adalah nyawa kebijakan publik, kita justru mengandalkan sistem yang mengharuskan warga mengisi formulir ke kecamatan, lalu menunggu disposisi dari kabupaten, baru kemudian berharap belas kasihan provinsi. Tidak heran jika banyak program tidak tepat waktu, tidak tepat sasaran, bahkan tidak pernah sampai.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Di tulisan saya sebelumnya, saya mengajukan gagasan pembentukan Otorita Khusus Terintegrasi (OKT) untuk bentuk pemerintahan di wilayah 3T. Alasan mengapa perlu membentuk model yang berbeda adalah membuka peluang untuk mendekonstruksi cara kerja negara di daerah terpencil. Tapi agar gagasan ini tidak hanya berhenti pada wacana, kita harus memikirkan strategi normatif dan struktural untuk menjadikannya nyata. Salah satu celah penting yang bisa dimanfaatkan adalah ketentuan Pasal 7 dan 18B UUD 1945 yang memberi ruang pengakuan atas kekhususan daerah. Dalam lingkup perundangan, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pun menyebutkan kemungkinan pengelolaan daerah dengan kekhususan tertentu.

Artinya, secara yuridis kita punya cukup dasar untuk merumuskan bentuk pemerintahan baru, sepanjang memiliki argumentasi sosial, geografis, dan fungsional yang kuat. Pengalaman Batam sebagai kawasan otorita industri, dan kini IKN (Ibu Kota Nusantara) sebagai entitas dengan status khusus, menegaskan bahwa negara sudah punya preseden untuk membentuk kelembagaan ad hoc yang bertanggung jawab langsung ke pusat. Lalu, pertanyaannya: jika negara bisa membentuk Otorita IKN demi alasan strategis-politik, mengapa tidak bisa membentuk Otorita 3T demi keadilan sosial?

Jika kita ingin serius membenahi wilayah 3T, maka pendekatan “asimetris” seperti dikemukakan oleh Prof. Djohermansyah Djohan, mantan Dirjen Otonomi Daerah, harus menjadi dasar utama. Asimetri tidak hanya berarti berbeda secara status administratif, tapi juga berbeda dalam cara berpikir dan menyusun kebijakan. Asimetri adalah pengakuan bahwa Indonesia terlalu kompleks untuk diatur dengan pola tunggal. Dan dalam banyak literatur governance modern, seperti yang ditulis oleh Gerry Stoker (2006), pengelolaan wilayah ekstrem membutuhkan desain tata kelola yang non-linier, fleksibel, dan kolaboratif.

Dalam konteks itu, pendekatan hybrid governance bisa menjadi solusi. Model ini memadukan unsur negara, pasar, dan masyarakat sipil dalam satu kerangka koordinasi yang saling mengisi. Alih-alih mengandalkan birokrasi tradisional yang lambat, otorita 3T bisa dikelola dengan struktur fungsional dan jaringan kerja yang lebih adaptif. Teori ini didukung oleh Lynn, Heinrich, dan Hill (2001) dalam "Improving Governance: A New Logic for Empirical Research", yang menyebutkan bahwa unit pemerintahan dengan mandat khusus dan struktur lean lebih efektif dalam eksekusi kebijakan.

Model Otorita juga memungkinkan implementasi prinsip-prinsip manajemen publik baru (New Public Management) yang menekankan efisiensi, akuntabilitas, dan hasil nyata. Dalam praktiknya, ini berarti program pembangunan tidak lagi sekadar output (jumlah proyek), tapi juga outcome (manfaat bagi masyarakat). Pendekatan ini sejalan dengan pemikiran Christopher Hood (1991), bahwa sektor publik harus mulai bergerak seperti sektor swasta dalam hal efisiensi dan orientasi hasil, tanpa meninggalkan prinsip akuntabilitas dan publik interest.

Kita juga belajar dari model lain di luar negeri. Di Kanada, wilayah Nunavut dibentuk sebagai teritori dengan otonomi luas karena posisinya yang terpencil dan komunitas Inuit yang sangat spesifik. Di Australia, Northern Territory mendapatkan bentuk pemerintahan yang semi-mandiri karena alasan geografis dan sosial yang mirip dengan kondisi 3T di Indonesia. Kedua contoh ini menunjukkan bahwa negara maju pun tidak ragu mengadopsi model kelembagaan khusus demi menjawab kebutuhan daerah yang unik. Indonesia sudah saatnya mengambil langkah yang sama.

Namun untuk menghindari jebakan eksklusivitas, otorita ini tidak boleh menjadi pulau birokrasi baru yang tertutup. OKT harus dibangun dengan prinsip collaborative governance sebagaimana dikembangkan oleh Ansell dan Gash (2008) yang menekankan bahwa kolaborasi antara negara, masyarakat sipil, dan sektor bisnis adalah kunci efektivitas tata kelola. Tanpa keterlibatan lokal, otorita akan kembali jatuh pada kesalahan sentralisme lama.

Dalam tataran praktis, pembentukan OKT bisa dimulai dengan pilot project di beberapa wilayah 3T terpilih, termasuk Enggano. Ini sekaligus menjadi laboratorium kebijakan (policy lab) yang bisa dievaluasi secara berkala untuk mengembangkan best practices. Evaluasi ini harus berbasis data dan metode partisipatif agar tidak menjadi sekadar audit kertas. Laporan dari OECD (2019) dalam “Territorial Approach to SDGs” menekankan pentingnya evaluasi berbasis lokalitas untuk memastikan program tidak melenceng dari tujuan awal.

Perlu digarisbawahi bahwa OKT bukanlah semata-mata pemekaran wilayah. Ini bukan tentang membuat daerah baru dengan DPRD dan bupati sendiri. OKT adalah instrumen manajerial negara yang bersifat fungsional dan ad hoc, namun memiliki kekuasaan administratif, fiskal, dan regulatif yang cukup untuk bergerak cepat dan tepat. Ini justru kebalikan dari logika pemekaran yang seringkali lebih didorong kepentingan politik lokal ketimbang kebutuhan masyarakat.

Masalah besar kita adalah ketakutan terhadap perubahan. Banyak pejabat di level provinsi dan kabupaten takut kehilangan kewenangan dan anggaran jika OKT dibentuk. Tapi inilah titik kritisnya: kita harus mulai membedakan antara kepentingan birokrasi dan kepentingan rakyat. Negara tidak boleh tunduk pada logika pelestarian struktur yang telah gagal. Dalam hal ini, pendapat Paul Pierson dalam "Politics in Time" (2004) penting untuk dicatat: institusi yang tidak direformasi akan melahirkan path dependency, yaitu kebiasaan lama yang terus berulang karena struktur terlalu malas untuk berubah.

Lantas, bagaimana dengan pembiayaannya? OKT justru memberi efisiensi fiskal karena semua anggaran bisa dikelola dalam bentuk block grant yang langsung dikontrol dan diaudit oleh kementerian dan lembaga pengawasan independen. Tidak ada lagi pemotongan anggaran berlapis atau “kehilangan” dana di tingkat provinsi. Block grant ini juga bisa dikombinasikan dengan skema Dana Alokasi Khusus (DAK) berbasis kebutuhan lokal, bukan sekadar formula nasional.

Sistem kepegawaian juga harus reformis. OKT harus diberi kewenangan merekrut tenaga profesional lintas daerah berdasarkan merit system, bukan mutasi atau pengangkatan politik. Dalam praktiknya, ini berarti membuka lowongan bagi ASN dan non-ASN yang punya track record kinerja, bukan sekadar status kepegawaian. Skema ini bisa ditopang oleh revisi terbatas UU ASN dengan menambahkan klausul pengelolaan sumber daya manusia di kawasan dengan status otorita khusus.

Untuk menjamin keberlanjutan dan legitimasi sosial, masyarakat lokal harus dilibatkan sejak awal dalam desain, implementasi, dan evaluasi OKT. Prinsip co-production seperti dijelaskan oleh Alford (2009) menjadi penting di sini: masyarakat bukan hanya penerima manfaat kebijakan, tapi produsen bersama layanan publik. OKT tidak akan berhasil jika hanya menjadi instrumen negara tanpa ruh partisipasi warga.

Tidak kalah penting, OKT juga bisa menjadi motor inovasi daerah. Dengan dukungan universitas, lembaga riset, dan startup teknologi, wilayah 3T bisa dikembangkan menjadi pusat eksperimen sosial dan teknologi. Di sinilah konsep living lab bisa diterapkan—di mana solusi dikembangkan bersama masyarakat lokal, diuji langsung di lapangan, dan diperbaiki secara iteratif. Banyak negara Eropa sudah menggunakan pendekatan ini untuk mengelola wilayah rural dan marginal.

Dalam kerangka geopolitik, pembentukan OKT juga mempertegas kehadiran negara di wilayah perbatasan. Ini bukan hanya soal pembangunan, tetapi juga strategi pertahanan dan identitas nasional. Di tengah dinamika regional seperti Laut Cina Selatan, wilayah seperti Enggano menjadi buffer zone yang harus dikelola secara strategis. Kelembagaan yang kuat adalah bagian dari strategi ketahanan nasional.

Namun semua ini tidak akan berjalan tanpa komitmen politik yang tegas. Pemerintah pusat harus benar-benar menaruh perhatian dan keberanian untuk menabrak tembok-tembok regulasi yang usang. Bahkan, bila perlu, Presiden bisa mengeluarkan Peraturan Presiden sebagai instrumen awal pembentukan OKT, sembari menyiapkan revisi UU secara paralel.

Sebagai penutup, kita harus memahami bahwa keterpencilan bukan hanya soal jarak geografis, tapi juga soal jarak kebijakan. Jika negara gagal menjembatani keduanya, maka wilayah 3T akan terus menjadi bayang-bayang dalam narasi besar pembangunan. Otorita Khusus Terintegrasi bukan solusi final, tetapi ia adalah lompatan pertama untuk membuktikan bahwa negara bisa berubah, beradaptasi, dan hadir secara bermakna di wilayah paling terluar.
Membincangkan wilayah 3T seperti Enggano sesungguhnya berbicara tentang keadilan pembangunan yang tak kunjung tiba. Pulau kecil yang menjorok ke Samudra Hindia ini kerap menjadi citra tentang tepi NKRI yang masih menanti sentuhan negara secara nyata. Selama puluhan tahun, status Enggano sebagai kecamatan di bawah kabupaten menandakan bahwa negara hadir, namun sekadar secara administratif.

Tak dapat dimungkiri, skema birokrasi yang kaku dan hierarkis justru sering memperpanjang jarak antara kebutuhan nyata warga dengan solusi kebijakan yang diharapkan. Dalam banyak kasus, keputusan strategis tentang layanan publik, infrastruktur, bahkan penanganan bencana, kerap kali harus menunggu proses panjang yang melibatkan lintas tingkatan pemerintahan. Tidak jarang, hasil akhirnya justru tak menyentuh akar persoalan.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Bila menilik lebih dalam, model pemerintahan kecamatan di wilayah seperti Enggano ternyata lebih banyak menghadirkan batasan daripada peluang. Kewenangan yang terbatas serta anggaran yang serba pas-pasan menambah rumit upaya memajukan wilayah yang sudah sejak awal berangkat dari posisi tidak setara.

Banyak warga dan pelaku pembangunan di Enggano mengakui bahwa tantangan terbesar adalah pada kecepatan dan ketepatan respons pemerintah. Seringkali, ada jarak waktu yang sangat lama antara pengajuan kebutuhan masyarakat dengan realisasi program pemerintah. Dalam konteks ini, wilayah terluar seperti Enggano nyaris selalu menjadi prioritas kedua setelah kebutuhan daerah pusat atau kabupaten.

Ketika pembangunan berjalan lamban, masyarakat lokal harus menerima fakta bahwa akses kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur tetap tersendat. Bahkan, dalam kondisi krisis, seperti saat pandemi atau bencana alam, respons pemerintah menjadi ujian nyata bagi tata kelola wilayah terpencil. Keadaan ini semakin menegaskan bahwa model birokrasi lama tidak sanggup menjawab kompleksitas kebutuhan wilayah 3T.

Ada pertanyaan yang mengemuka, mengapa negara belum berani mendesain ulang model pemerintahan untuk wilayah dengan tantangan unik seperti Enggano? Jawaban yang sering muncul adalah kekhawatiran akan inkonsistensi kebijakan serta potensi tumpang tindih kewenangan. Namun, jika stagnasi dibiarkan, wilayah seperti Enggano akan semakin jauh tertinggal.

Pengalaman masa lalu, di mana pemerintah pusat pernah bereksperimen dengan berbagai model pemerintahan khusus, menjadi pembelajaran penting. Model otorita Batam, otonomi khusus Papua dan Aceh, hingga keistimewaan DIY, merupakan upaya negara untuk menjawab tantangan lokalitas, meski dengan motivasi yang beragam. Namun, belum ada model yang benar-benar didedikasikan khusus bagi wilayah 3T yang berkarakter geografis dan sosial unik seperti Enggano.

Kalau kita bicara mengenai pengelolaan wilayah khusus, Batam memang sering disebut sebagai contoh otorita yang efektif. Namun, Batam adalah kawasan ekonomi strategis yang berbeda orientasinya dengan wilayah 3T. Sementara itu, Aceh dan Papua diberi otonomi khusus karena sejarah konflik dan identitas. Lalu, di mana posisi Enggano dan puluhan wilayah 3T lain yang bukan kawasan industri, bukan pula wilayah dengan status politik khusus?

Banyaknya tantangan itu memperlihatkan bahwa upaya membangun wilayah 3T harus dimulai dari desain tata kelola yang benar-benar baru dan tidak sekadar hasil adaptasi dari model lama. Justru, keberanian untuk keluar dari zona nyaman model birokrasi konvensional menjadi syarat utama agar wilayah seperti Enggano mampu mengejar ketertinggalan.

Sebagai pengajar, saya kerap mendapati bahwa logika “one size fits all” dalam tata kelola pemerintahan justru memperparah ketimpangan antarwilayah. Enggano hanyalah salah satu dari banyak wilayah yang menjadi korban generalisasi kebijakan yang tidak peka pada konteks. Sudah saatnya, negara berani mendesain sistem yang benar-benar tailor-made.

Jika menilik Undang-Undang Pemerintahan Daerah, memang ada ruang untuk pembentukan entitas administratif baru. Namun, realisasi di lapangan masih sangat minim. Salah satu sebabnya, tidak adanya model yang benar-benar relevan bagi kebutuhan wilayah 3T seperti Enggano—yang, sekali lagi, bukan wilayah industri, bukan pula kantong konflik, melainkan pulau terdepan dengan segala keterbatasannya.

Merumuskan Otorita Khusus Terintegrasi

Atas dasar refleksi panjang atas kegagalan model lama, saya menawarkan satu gagasan baru: Otorita Khusus Terintegrasi (OKT). OKT adalah model pemerintahan yang tidak sekadar menambah struktur birokrasi, namun mendesain ulang secara radikal cara negara hadir dan bekerja di wilayah-wilayah ekstrem seperti Enggano.

Dalam skema OKT, wilayah seperti Enggano dikelola oleh sebuah otorita yang bertanggung jawab langsung kepada kementerian, khususnya Kementerian Dalam Negeri. Mandat yang diberikan luas dan terintegrasi, mulai dari pengelolaan layanan publik, pengembangan infrastruktur, hingga penyusunan kebijakan pembangunan. Kepala Otorita diangkat Presiden, sehingga stabilitas kepemimpinan lebih terjaga.

Dengan model ini, tidak lagi terjadi tumpang tindih atau tarik-ulur kepentingan antara kabupaten, provinsi, maupun pusat. Otorita Khusus Terintegrasi diberi kewenangan penuh dalam hal perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, namun tetap dengan mekanisme pengawasan ketat dari pusat dan lembaga audit independen.

OKT juga memiliki karakteristik utama, yaitu fleksibilitas dan keterbukaan dalam merekrut tenaga profesional serta ASN dari seluruh Indonesia. Model pengelolaan sumber daya manusia ini memungkinkan wilayah 3T mendapatkan SDM terbaik dengan insentif yang kompetitif dan sistem merit yang jelas.

Lebih jauh, Otorita Khusus Terintegrasi diberikan kewenangan fiskal khusus. Anggaran yang dialokasikan tidak lagi terfragmentasi, melainkan berbentuk block grant yang dapat dikelola secara mandiri, disesuaikan dengan kebutuhan dan prioritas nyata di lapangan. Ini membuka ruang bagi inovasi dalam pengelolaan keuangan daerah.

Berbicara tentang regulasi, tentu pembentukan OKT membutuhkan dasar hukum yang kuat, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun revisi undang-undang terkait. Namun, urgensi pembentukan OKT dapat lebih cepat dijawab dengan mengadopsi semangat “affirmative action” untuk wilayah 3T. Dengan demikian, proses hukum berjalan seiring dengan eksekusi nyata di lapangan.

Melalui OKT, Enggano diharapkan bisa menjadi lokomotif percepatan pembangunan di wilayah 3T. Semua program dan proyek strategis bisa langsung dirancang, diputuskan, dan dieksekusi oleh Otorita, tanpa harus menunggu restu dari level pemerintahan di atasnya. Hal ini akan sangat membantu percepatan layanan publik dan pembangunan infrastruktur dasar.

Model serupa sudah diterapkan di beberapa negara lain dengan karakteristik wilayah terpencil dan terluar. Misalnya, Northern Territory di Australia dan Nunavut di Kanada, yang mendapatkan kewenangan administratif langsung dari pemerintah pusat. Keberhasilan dua wilayah itu dalam menata pelayanan publik dan infrastruktur menjadi referensi penting, meski tentunya harus diadaptasi dengan konteks Indonesia.

Perlu dicatat, meski langsung di bawah kementerian, Otorita Khusus Terintegrasi tidak boleh menjadi lembaga yang tertutup. Harus ada ruang partisipasi masyarakat dan mekanisme checks and balances. Proses perumusan kebijakan, penyusunan anggaran, hingga pelaksanaan program harus terbuka bagi publik dan melibatkan pemangku kepentingan lokal.

Selain pengawasan internal dan audit eksternal, pelibatan universitas, lembaga riset, dan organisasi masyarakat sipil akan memperkuat tata kelola OKT. Mereka berperan tidak hanya sebagai mitra pembangunan, tetapi juga sebagai watchdog yang kritis terhadap pelaksanaan kebijakan di lapangan.

Pada titik ini, transformasi digital juga menjadi pilar utama. Dengan kondisi geografis Enggano yang menantang, pengelolaan layanan publik berbasis digital akan sangat membantu transparansi, efisiensi, dan kecepatan layanan. Sistem e-government bisa dioptimalkan untuk manajemen keuangan, administrasi kependudukan, hingga layanan kesehatan dan pendidikan.

Tentu saja, keberhasilan Otorita Khusus Terintegrasi sangat bergantung pada komitmen politik pemerintah pusat. Alokasi dana, kejelasan kewenangan, serta konsistensi pengawasan harus benar-benar dijaga. Jangan sampai model baru ini hanya menjadi nama tanpa substansi, atau justru menjadi ruang baru bagi praktik-praktik penyimpangan.

Di sisi lain, teori administrasi negara klasik yang dikemukakan Max Weber tentang birokrasi memang menekankan pentingnya struktur hierarkis dan rasionalitas aturan. Namun, dalam konteks wilayah 3T seperti Enggano, model weberian ini acap kali justru menghadirkan hambatan baru, sebagaimana dikritik Herbert Simon lewat gagasan bounded rationality—di mana pengambilan keputusan dalam organisasi publik tidak pernah sepenuhnya rasional karena terbatasnya informasi dan sumber daya di lapangan. Dalam prakteknya, keterbatasan tersebut semakin nyata di wilayah terpencil, sehingga diperlukan lembaga yang lebih luwes dan adaptif. Menarik untuk dicermati, Elinor Ostrom pernah menegaskan bahwa kelembagaan publik harus dibangun secara tailor-made, sesuai konteks sosial dan lingkungan lokal, agar dapat benar-benar menjawab kebutuhan warga.

Kemudian, konsep governance dari James Rosenau serta pendekatan collaborative governance yang diusung Ansell dan Gash mempertegas urgensi sinergi multi-aktor dalam tata kelola publik, terutama untuk wilayah-wilayah yang kompleks seperti 3T. Keduanya menyebut bahwa pemerintahan yang efektif membutuhkan keterlibatan langsung masyarakat sipil dan dunia usaha, bukan hanya negara. Sementara itu, Christopher Hood dalam konsep new public management menekankan perlunya efisiensi, akuntabilitas, dan inovasi dalam organisasi publik—suatu prinsip yang sangat sesuai dengan semangat Otorita Khusus Terintegrasi yang penulis tawarkan. Dengan mengadopsi pemikiran para ahli tersebut, desain OKT bagi Enggano dan wilayah 3T lain dapat benar-benar berakar pada landasan teoritik kuat, sekaligus tetap adaptif terhadap dinamika zaman.

Menyusun Jalan Baru Wilayah 3T

Setiap kebijakan baru selalu berpotensi menimbulkan resistensi. Tidak terkecuali OKT. Penolakan bisa datang dari birokrasi lama yang merasa kehilangan kewenangan, atau dari elite lokal yang khawatir kehilangan pengaruh. Oleh sebab itu, komunikasi publik yang jujur dan dialogis sangat diperlukan sejak awal.

Masyarakat lokal perlu dilibatkan secara aktif dalam proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan OKT. Mereka harus didengarkan aspirasinya, diberi ruang dalam pengawasan, dan diberdayakan dalam pelaksanaan program. Dengan demikian, keberadaan Otorita benar-benar menjadi milik bersama, bukan sekadar proyek dari atas.

Pemberdayaan masyarakat lokal juga menjadi kunci dalam memastikan keberlanjutan program. Tidak cukup hanya membangun infrastruktur atau layanan publik, namun juga membangun kapasitas warga agar mampu mengelola, merawat, dan mengembangkan hasil pembangunan secara mandiri di masa depan.

Penguatan identitas dan budaya lokal menjadi bagian integral dari OKT. Setiap kebijakan pembangunan harus menghargai dan merangkul kearifan lokal, memastikan Enggano tidak kehilangan identitasnya di tengah derasnya arus modernisasi dan pembangunan.

Dalam konteks geopolitik, pembentukan Otorita Khusus Terintegrasi juga menjadi bukti nyata kehadiran negara di wilayah perbatasan. Ini sangat penting dalam mempertegas kedaulatan dan integrasi nasional, khususnya di tengah meningkatnya dinamika kawasan regional.

Tidak kalah penting, pembangunan OKT harus berorientasi pada keberlanjutan lingkungan. Setiap proyek pembangunan wajib memastikan perlindungan ekosistem pulau, mengingat Enggano adalah wilayah yang sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan. Pelibatan ahli lingkungan dan komunitas lokal mutlak diperlukan.

Di sisi lain, ekonomi lokal harus menjadi prioritas. Otorita perlu mendorong pengembangan sektor-sektor potensial, seperti perikanan, pariwisata berbasis alam, dan pertanian organik yang sesuai dengan daya dukung pulau. Dukungan teknologi tepat guna dan akses pasar juga harus menjadi agenda strategis.

Agar pelayanan publik benar-benar berkualitas, penempatan guru, tenaga kesehatan, dan ASN profesional di Enggano perlu diberikan insentif khusus dan perlakuan afirmatif. Dengan demikian, wilayah 3T tidak lagi menjadi tempat “buangan” ASN, melainkan menjadi lokasi pengabdian yang bergengsi.

Selanjutnya, sinergi dengan perguruan tinggi dan dunia usaha akan mempercepat transfer teknologi dan inovasi. Enggano bisa menjadi laboratorium inovasi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kolaborasi dengan universitas akan membuka peluang riset terapan dan pengembangan kapasitas lokal yang berkelanjutan.

Dalam hal pembiayaan, Otorita perlu memastikan transparansi dan akuntabilitas anggaran. Seluruh proses perencanaan dan penggunaan dana harus terbuka, dengan sistem pelaporan daring yang dapat diakses publik dan diaudit oleh lembaga independen. Ini menjadi pondasi utama membangun kepercayaan masyarakat dan mencegah praktik korupsi.

Tak kalah penting adalah membangun indikator keberhasilan yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada peningkatan kualitas hidup warga. Indeks kebahagiaan, kesehatan, pendidikan, dan pelestarian lingkungan menjadi ukuran utama keberhasilan OKT di masa depan.

Setiap proses perubahan membutuhkan waktu dan adaptasi. Oleh karena itu, pembentukan OKT harus diiringi dengan mekanisme monitoring dan evaluasi yang rutin. Setiap kebijakan yang tidak berjalan efektif harus segera dievaluasi dan diperbaiki, dengan melibatkan masukan dari masyarakat dan para ahli.

Akhirnya, yang terpenting dari semua ini adalah memastikan bahwa Otorita Khusus Terintegrasi bukan sekadar solusi teknokratis, tetapi benar-benar menjadi jalan baru bagi keadilan pembangunan di wilayah 3T. Enggano harus menjadi contoh nyata bagaimana negara hadir, bukan sekadar di atas kertas, tetapi juga dalam realitas keseharian warga.

Pembentukan OKT tidak boleh dianggap sebagai proyek sementara. Ini harus menjadi komitmen jangka panjang negara dalam menuntaskan ketimpangan pembangunan. Setiap perubahan yang terjadi harus berpihak pada masyarakat, bukan pada elit atau kelompok tertentu.

Dengan kehadiran OKT, diharapkan wilayah 3T seperti Enggano tak lagi terpinggirkan. Sebaliknya, mereka justru bisa tumbuh menjadi pusat-pusat inovasi yang menginspirasi wilayah lain. Negara tidak lagi hadir sebagai “tamu”, melainkan benar-benar menjadi “tuan rumah” di rumahnya sendiri.

Afirmasi Komitmen dan Argumen Kunci

Pada akhirnya, gagasan pembentukan Otorita Khusus Terintegrasi adalah refleksi dari tanggung jawab negara yang sesungguhnya. Inilah saatnya membuktikan bahwa keadilan pembangunan tidak berhenti di pulau-pulau besar, melainkan menjangkau hingga ke pulau terluar seperti Enggano.

Argumen utama yang harus dipegang adalah tidak ada satupun wilayah yang boleh dibiarkan berjalan sendiri tanpa uluran tangan negara. OKT menjadi instrumen nyata mewujudkan janji keadilan sosial dalam konstitusi dan cita-cita Nawacita yang digadang-gadang selama ini.

Kita belajar dari kegagalan masa lalu bahwa tata kelola birokrasi lama tidak sanggup melayani kebutuhan unik wilayah 3T. Kini, keberanian dan inovasi kebijakan adalah jawaban. Dengan OKT, negara bisa melompat lebih cepat, tanpa dibelenggu pola lama yang justru menghambat.

Dengan modal desain kelembagaan yang adaptif, komitmen politik yang kuat, dan pengawasan publik yang ketat, OKT sangat mungkin menjadi lokomotif baru pembangunan di wilayah 3T. Tentu, kesuksesannya membutuhkan gotong royong semua pihak—masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha.

Tidak ada kata terlambat untuk berubah. Justru, menunda berarti memperdalam jurang ketimpangan dan menambah beban masa depan bangsa. Enggano dan puluhan wilayah 3T lainnya pantas memperoleh keadilan yang telah lama mereka nanti-nantikan.

Referensi dalam tulisan ini cukup sebagai penguat argumen utama, bukan sebagai ornamen akademik. Pengalaman Batam, praktik otonomi di negara lain, serta pengalaman Indonesia dalam membangun kawasan khusus menjadi bahan pembelajaran yang memperkaya argumentasi.

Saya percaya, kehadiran Otorita Khusus Terintegrasi akan menjadi babak baru dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia. Model ini bukan sekadar solusi teknis, tetapi sekaligus bukti kehadiran negara yang lebih adil, responsif, dan berpihak pada yang paling membutuhkan.

Semoga Enggano, dan wilayah 3T lain, segera merasakan perubahan nyata dari keberanian negara dalam mendesain ulang tata kelola wilayahnya. Hanya dengan cara inilah, Indonesia benar-benar hadir dan berdaulat di setiap jengkal tanah airnya.
Enggano bukan nama asing bagi sebagian besar pejabat pusat. Pulau ini sering disebut dalam berbagai forum strategis, masuk dalam dokumen RPJMN, dan bahkan sampai memunculkan Inpres No. 12 Tahun 2025. Tapi di balik nama yang cantik itu, ada luka yang tak terlihat dari atas meja rapat: isolasi. Selama ini, kita menyangka pembangunan telah menjamah ke seluruh pelosok negeri. Kita bangga dengan narasi "dari Sabang sampai Merauke." Namun Enggano menunjukkan bahwa realitas di lapangan sering kali tak seindah dokumen resmi. Pulau ini kini benar-benar di ujung tanduk, tercekik oleh dua krisis sekaligus: macetnya distribusi hasil bumi dan kelangkaan BBM.

Di tengah gempita pembangunan nasional, Enggano tertinggal sendirian. Bayangkan sebuah pulau yang punya sumber daya alam melimpah, hasil laut segar, dan hutan yang belum banyak terjamah. Tapi semua itu tak berarti jika tidak ada jalan keluar. Selama empat bulan terakhir, alur laut menuju Pelabuhan Pulau Baai di Bengkulu mengalami pendangkalan parah. Dampaknya sangat nyata: tak ada kapal logistik yang bisa masuk atau keluar. Warga tidak bisa menjual kelapa, ikan, atau pisang. Semua menumpuk dan rusak di tempat.
Demonstrasi Menyuarakan Kondisi Darurat Enggano (Foto : AMAN Bengkulu)

Saya pernah bilang, bangsa ini bisa besar jika konektivitasnya utuh. Tapi konektivitas bukan hanya jalan tol atau bandara megah. Konektivitas adalah ketika warga di ujung Enggano bisa menjual hasil bumi ke Bengkulu tanpa harus menunggu kapal yang tak kunjung datang. Ketika pasokan BBM datang tepat waktu, bukan menunggu dua minggu hingga genset mati dan listrik padam. Ketika harga BBM bukan Rp 13 ribu per liter untuk pertalite, atau Rp 6 ribu untuk solar. Konektivitas adalah urusan nyawa dan masa depan. Dan di Enggano, konektivitas kini menjadi kemewahan.

Sebagian orang mungkin menganggap ini masalah teknis. Bahwa pengerukan pelabuhan sedang dilakukan oleh Pelindo II dan butuh waktu. Bahwa kapal logistik akan kembali beroperasi setelah alur laut kembali normal. Tapi bagi warga Enggano, ini bukan sekadar soal teknis. Ini tentang ekonomi rumah tangga yang lumpuh. Tentang anak-anak yang tak bisa belajar karena listrik padam. Tentang nelayan yang bingung harus bagaimana karena hasil lautnya tidak bisa dibawa ke darat. Ini tentang negara yang absen, meski dalam dokumen terlihat hadir.

Saya tidak sedang mengkritik siapa-siapa. Saya hanya ingin kita semua membuka mata. Apa yang terjadi di Enggano adalah gambaran telanjang dari gagalnya sistem distribusi logistik kita di wilayah terluar. Kita sering bicara soal transformasi digital, tapi lupa bahwa ada warga yang bahkan tak punya sinyal. Kita bicara ekonomi hijau, tapi lupa bahwa hasil bumi tidak bisa keluar dari pulau. Kita bicara soal ketahanan energi, tapi lupa bahwa PLTD di Enggano mati karena solar tidak masuk. Bukankah ini ironi?

Sejak Inpres 12/2025 dikeluarkan, harapan sebenarnya tumbuh. Tapi sayangnya, pelaksanaan di lapangan belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan sistemik. Tidak ada kapal pengangkut hasil bumi. Tidak ada SPBU darurat. Tidak ada trayek logistik tetap. Padahal, dalam 3 hari saja, langkah-langkah cepat sebenarnya bisa dilakukan. Mengapa belum? Mungkin karena Enggano terlalu jauh dari Jakarta. Mungkin karena laporan belum lengkap. Tapi alasan-alasan itu tidak layak lagi.

Bila kita mau, sebenarnya solusinya ada di depan mata. Kita bisa segera aktifkan kapal LCT berkapasitas dangkal untuk melayani trayek Enggano-Bengkulu secara mingguan. Tidak butuh infrastruktur mewah. Kita hanya butuh koordinasi cepat antarinstansi. Kita bisa bangun gudang transit untuk mengonsolidasikan hasil bumi. Kita bisa tugaskan koperasi atau BUMDes menjadi agregator komoditas. Pemerintah daerah punya SDM, pemerintah pusat punya anggaran. CSO dan warga juga siap.

Saya bertemu banyak kepala daerah yang frustrasi. Mereka ingin bergerak cepat, tapi terbentur birokrasi. Padahal krisis seperti ini tak bisa diatasi dengan mekanisme biasa. Perlu perlakuan luar biasa. Perlu pendekatan darurat. Ketika alur laut tertutup, jangan menunggu surat resmi untuk bertindak. Ketika listrik mati, jangan tunggu rapat koordinasi nasional. Ini soal keberpihakan. Kita harus berani membuat keputusan yang melompat.

Tentu saja, kita tidak sedang bicara tentang solusi jangka panjang hari ini. Itu penting, tapi yang lebih penting adalah menjamin bahwa warga Enggano bisa hidup layak mulai minggu depan. Listrik menyala, hasil bumi bisa dijual, dan BBM bisa dibeli dengan harga wajar. Maka, seharusnya sekarang pemerintah pusat menetapkan status "darurat distribusi logistik Enggano." Dengan begitu, anggaran bisa cair lebih cepat, dan kewenangan lintas instansi bisa digunakan secara luwes.

Setelah itu, kita bisa bicara tentang jangka menengah. Tentang pengerukan permanen alur Pulau Baai. Tentang penempatan SPBU mini permanen di Enggano. Tentang insentif bagi operator logistik yang mau masuk ke rute sulit ini. Bahkan tentang pembentukan BUMN Logistik 3T yang secara khusus melayani kawasan terluar. Tapi semua itu tidak akan terjadi kalau kita tidak memulai dari sekarang.

Saya sering ditanya, apa sih yang paling dibutuhkan di wilayah seperti Enggano? Jawabannya sederhana: kepastian. Kepastian bahwa kapal datang tiap minggu. Kepastian bahwa listrik menyala tiap hari. Kepastian bahwa harga BBM tidak melonjak setiap bulan. Kepastian bahwa warga tidak harus menunggu bantuan atau belas kasihan. Mereka butuh sistem, bukan hanya simpati.

Sebagai bangsa, kita tak bisa terus bergantung pada belas kasihan alam. Apalagi dengan iklim yang makin tak menentu. Kita butuh sistem logistik yang tahan terhadap guncangan. Maka, penting untuk menggabungkan kekuatan logistik, energi, dan transportasi dalam satu sistem respons darurat. Bukan sektoral, bukan ego kementerian, tapi terintegrasi. Enggano adalah panggilan untuk membentuk sistem itu.

Saya paham, kita sedang dalam masa transisi pasca Pemilu. Banyak yang fokus pada konstelasi politik. Tapi di sisi lain, rakyat di Enggano tidak bisa menunggu. Anak-anak tetap harus belajar. Warga tetap butuh makan. Kalau listrik mati, kalau BBM habis, maka pemerintahan apapun tak akan berarti bagi mereka. Di mata mereka, negara itu hadir ketika mereka bisa hidup wajar.

Kalau kita ingin Enggano menjadi contoh keberhasilan pembangunan wilayah terluar, maka kita harus serius hari ini. Kita tidak bisa hanya menjadikan pulau ini sebagai bahan presentasi atau indikator pencapaian politik. Kita harus menjadikannya laboratorium kebijakan konektivitas dan layanan dasar. Karena kalau Enggano saja bisa hidup normal, pulau-pulau lain pun pasti bisa.

Kita juga harus belajar dari kesalahan. Pendangkalan alur laut tidak bisa lagi dianggap sebagai kejadian biasa. Kita perlu sistem pemantauan alur pelabuhan yang real-time. Kita perlu standar minimum akses logistik untuk pulau terluar. Harus ada sistem alarm dini yang membuat kapal pengganti otomatis bergerak begitu jalur utama terganggu. Ini teknologi sederhana, tinggal kemauan politiknya.

Saya ingin tegaskan satu hal: warga Enggano tidak minta dibantu. Mereka hanya minta haknya dikembalikan. Hak atas energi, atas akses, atas pasar, atas layanan publik. Hak untuk merasa menjadi bagian dari Indonesia. Ini bukan soal bantuan, tapi soal kewajiban negara. Jadi, jangan salah tempatkan simpati. Tempatkan ia dalam kebijakan.

Tentu saya tidak menutup mata bahwa pengerukan alur itu butuh waktu. Tapi bukan berarti semua harus menunggu. Kita bisa melakukan solusi paralel. Kirim kapal kecil sekarang. Kirim solar sekarang. Bangun koordinasi darurat sekarang. Sekecil apapun gerakannya, asal terukur dan terjadwal, akan terasa dampaknya.

Mari kita ingat, Enggano bukan sekadar pulau terpencil. Ia adalah wajah Indonesia di batas terluar. Jika kita gagal di sana, kita akan kehilangan wajah kita sendiri. Pembangunan tak boleh berhenti di Sumatera. Ia harus melampaui, menjangkau, dan merangkul.

Saya percaya bangsa ini besar bukan karena kota-kota megapolitan, tapi karena kita mau menjaga desa-desa kecil, pulau-pulau sepi, dan orang-orang yang tinggal jauh dari pusat. Justru dari merekalah kita belajar apa arti keadilan sosial dan pembangunan inklusif. Enggano adalah pengingat, bukan penghalang.

Kalau hari ini kita biarkan Enggano sendiri, maka besok akan datang pulau lain yang senasib. Jangan tunggu satu per satu jatuh baru kita bergerak. Mari jadikan Enggano sebagai momentum untuk memperbaiki sistem kita. Bukan sekadar tambal sulam, tapi perubahan cara pandang dan pola tindak.

Dalam setiap perubahan besar, selalu ada satu krisis kecil yang menggerakkan semuanya. Mungkin, Enggano-lah krisis kecil itu. Jangan kita lewatkan.
Saya mengenal sekolah alam seperti mengenal kembali sebuah bentuk rumah yang lama hilang dari peta. Ia bukan rumah yang sempurna, tetapi terasa betul bahwa di dalamnya anak-anak bisa tumbuh, bukan hanya diasuh. Pertemuan pertama saya dengan sekolah alam terjadi belasan tahun lalu, ketika saya ikut pelatihan calon Pengajar Muda Gerakan Indonesia Mengajar. Kami diajak mengunjungi sekolah alam di Jawa Barat, dan saat itu, entah mengapa, hati saya tenang. Seperti menemukan sebuah konsep pendidikan yang selama ini hanya hadir sebagai desah kesal di dalam kepala: pendidikan yang tidak memaksa anak untuk jadi seragam. Di sekolah ini, saya melihat pendidikan bukan sebagai lintasan lomba, tapi sebagai perjalanan yang boleh pelan, boleh belok-belok, dan boleh istirahat.

Waktu itu saya belum punya anak. Tapi dalam hati saya menanam niat seperti menanam biji: “Kelak, aku akan menyekolahkan anakku di sekolah semacam ini.” Bukan karena sekolah ini keren. Bukan karena katanya berbasis alam. Tapi karena di tempat seperti itu, saya merasa anak-anak tidak perlu berpura-pura jadi siapa-siapa hanya untuk membuat orang dewasa bangga. Mereka cukup jadi anak-anak saja. Lucu, penasaran, kadang nakal, kadang diam-diam mengamati semut di tanah tanpa merasa bersalah.
Ilustrasi (Gambar : Foto Pribadi + Poles AI)

Bertahun kemudian, hidup membawa saya ke Bengkulu. Saya menikah, membangun keluarga kecil, dan punya dua anak kembar yang rasanya seperti matahari ganda: terang dua kali, riuh dua kali, repot dua kali. Tapi ketika Sarah dan Aisha, nama anak kembar saya, akhirnya masuk usia sekolah, saya ingat lagi niat lama itu. Dan ternyata, Bengkulu juga punya sekolah alam. Tidak sepopuler yang saya kunjungi dulu, tapi semangatnya sama. Sekolah ini tidak menjual mimpi jadi juara olimpiade, tapi menawarkan ruang untuk menjadi manusia utuh.

Saya tahu, banyak orang tua yang mendambakan sekolah dengan target-target tinggi: anak usia lima tahun sudah lancar membaca, anak TK sudah bisa menulis tegak bersambung, anak SD harus bisa jadi juara kelas. Tapi saya pernah belajar satu hal penting: perkembangan anak bukan lomba cepat-cepatan. Dan sekolah bukan tempat pabrikasi kecerdasan buatan. Maka saya membiarkan Sarah dan Aisha belajar sesuai ritmenya. Tidak saya paksa. Tidak saya cemas-cemaskan. Saya biarkan mengalir.

Waktu rapor tiba, saya deg-degan bukan karena ingin tahu nilai anak, tapi karena penasaran: bagaimana guru memandang proses anak saya? Bukan hasilnya, tapi langkah-langkah kecilnya. Dan ketika saya membaca rapor Sarah dan Aisha, saya seperti sedang membaca catatan perjalanan. Ada cerita tentang keberaniannya menyapa dan bersosialisasi dengan teman baru, ada observasi tentang kemandiriannya dalam makan dan pergi ke kamar mandi, ada pujian kecil tentang bagaimana ia mulai suka mendengarkan. Rapor itu seperti surat cinta dari guru yang ditulis dengan mata hati, bukan dengan kalkulator.

Saya terharu. Terharu karena sekolah ini tidak mempermalukan anak yang belum bisa membaca dan mengeja. Tidak memberi label “bodoh” pada anak yang menulis huruf kebalik. Tidak mencap “bermasalah” pada anak yang masih suka bengong memandangi pepohonan saat pelajaran berlangsung. Sekolah ini percaya bahwa proses lebih penting dari produk. Dan bahwa menjadi anak-anak adalah tahap penting yang tak boleh dicuri.

Saya pernah membaca analogi yang sangat menampar: jangan mengajarkan ikan untuk memanjat pohon. Itu bukan kegagalan ikan, tapi kegagalan sistem yang tidak mau mengenali keberagaman. Anak-anak bukan barang produksi, mereka adalah benih yang tumbuh dengan cara berbeda. Bahkan pohon yang sama pun bisa punya cabang dan arah tumbuh yang tidak identik. Jadi kenapa kita masih suka menyeragamkan anak-anak dalam satu kotak yang sama sempitnya?

Saya bersyukur, sekolahnya Sarah dan Aisha tidak memberi ranking. Tidak membuat piala plastik bertuliskan “juara satu” sebagai syarat merasa berhasil. Karena di usia TK, keberhasilan bukan soal bisa membaca dua halaman buku. Tapi bisa mengenal dirinya sendiri, bisa mengelola emosi, bisa bilang “maaf” ketika salah. Ranking dan pujian semu bisa menipu banyak hal. Tapi karakter? Itu investasi jangka panjang yang efeknya terasa seumur hidup.

Saya tahu sistem pendidikan kita masih belum berubah banyak. Masih banyak guru dan kepala sekolah yang lebih sibuk mendandani angka di raport daripada memperbaiki cara mendengarkan anak-anak. Tapi saya percaya, perubahan bisa dimulai dari ruang-ruang kecil. Dari kelas kecil di sekolah alam, dari guru-guru yang memutuskan untuk menilai anak dengan kata-kata, bukan angka. Dari orang tua yang mulai sadar bahwa prestasi anak tidak bisa disamakan seperti membandingkan jeruk dan apel.

Saya pernah mendengar curhat guru SD yang merasa frustrasi. Ia bilang, “Anak-anak sekarang pintar, tapi cepat stres.” Saya tidak heran. Karena sejak kecil mereka diajari bahwa nilai buruk adalah aib, bukan sinyal untuk belajar. Mereka ditakut-takuti dengan ujian, dibebani PR dari tiga mata pelajaran sekaligus, dan dipaksa duduk diam selama 4 jam seolah mereka robot pabrik. Anak-anak itu kehilangan haknya untuk merasa nyaman dengan proses.

Di sekolah Sarah dan Aisha, saya tidak melihat itu. Mereka memang belajar. Tapi juga berkebun, membuat kerajinan dari daun, berjalan-jalan ke banyak tempat baru, memasak bersama. Mereka membawa hewan peliharaan ke sekolah dan mengenal rasa tanggung jawab dari sana. Saya melihat Aisha, kini bisa bercerita panjang dengan diksi yang mengejutkan saya. Katanya, “Ayah, ayah berhentilah dulu nyopir. Dari tadi ayah menguap terus. Bahaya. Ayah belilah kopi biar tidak mengantuk", ucapnya secara spontan. Saya tidak tahu dari mana ia dapat kata-kata itu. Tapi saya yakin, sekolahnya menyuburkan kosakata instruksionalnya.

Rapor anak-anak di sekolah alam ini tidak hanya menilai “pencapaian belajar”, tapi juga menarasikan perjalanan batin mereka. Ada catatan tentang bagaimana anak menghadapi konflik dengan temannya, bagaimana ia belajar sabar ketika mainannya diambil, atau bagaimana ia mulai belajar mengantre tanpa merengek. Saya tidak tahu apakah semua orang tua merasa itu penting. Tapi saya, sebagai ayah, merasa itu adalah bagian paling krusial dari pendidikan.

Saya sering membayangkan begini: andai kita dulu diajari mengelola rasa marah, diajari untuk mengenali diri sendiri, diajari untuk menghargai proses, mungkin kita tidak akan tumbuh menjadi generasi yang gampang baper hanya karena beda pendapat di media sosial. Mungkin kita tidak akan cepat lelah menghadapi tekanan. Mungkin kita akan lebih siap menghadapi dunia yang keras dengan hati yang tetap lembut.

Memang, tidak semua sekolah bisa seperti ini. Tidak semua guru mau repot menulis narasi hingga berlembar-lembar untuk satu anak. Tidak semua orang tua menganggap penting catatan tentang “bagaimana anak bersikap saat kegiatan makan bersama”. Tapi jika kita bicara pendidikan anak usia dini, maka hal-hal semacam itu justru yang paling penting. Karena dasar karakter dibentuk dari hal-hal remeh yang dilakukan berulang.

Saya tidak anti dengan angka. Tapi saya yakin, angka tidak bisa menceritakan segalanya. Bahkan IPK tinggi pun kadang tidak menjamin seseorang punya rasa empati yang baik. Maka ketika rapor anak saya tidak menampilkan angka, saya tidak merasa kehilangan. Saya malah merasa mendapatkan lebih banyak: cerita, perhatian, dan arah.

Anak-anak saya memang belum bisa mengeja huruf dengan lancar. Tapi mereka bisa menyapa para petugas kebersihan di kampus saya dengan sopan. Mereka bisa bilang “terima kasih” tanpa disuruh. Mereka bisa memungut sampah dan meletakkannya ke tempat sampah tanpa drama. Buat saya, itu rapor yang nilainya paling tinggi.

Saya pernah menjadi siswa dengan rapor berisi tinta merah. Dulu saya malu. Sekarang saya sadar, tinta merah itu bukan luka, tapi alarm bahwa saya butuh pendekatan lain. Sayangnya dulu tak ada guru yang bisa membaca alarm itu. Sekarang, saya berharap anak saya tidak perlu mengalami hal yang sama.

Di hari pembagian rapor, saya tidak membawa pulang angka. Saya membawa pulang narasi. Saya membaca catatan guru seperti membaca jurnal kehidupan anak saya. Saya mencermati tiap kalimat seperti mencermati puisi. Saya tahu, guru yang menulis itu tidak sedang menilai, tapi sedang menemani. Dan itu adalah pekerjaan yang tidak semua orang bisa lakukan.

Saya percaya, sekolah seharusnya tempat anak merasa aman untuk tumbuh, bukan tempat takut untuk gagal. Maka saya bahagia melihat anak saya senang berangkat ke sekolah. Tidak ada drama pura-pura sakit. Tidak ada tangisan karena PR yang tak selesai. Mereka pulang dengan cerita, bukan keluhan.

Kita sering lupa: yang paling diingat anak dari masa sekolah bukan soal berapa nilai matematikanya, tapi bagaimana ia diperlakukan oleh gurunya. Apakah ia diterima, dihargai, didengarkan? Atau justru dibanding-bandingkan, dibentak, dan dijadikan kambing hitam?

Rapot anak saya kali ini tak membuat saya sombong. Tapi membuat saya semakin rendah hati: bahwa mendidik anak itu bukan lomba antar orang tua, tapi kerja sama penuh sabar antara keluarga dan sekolah. Kerja sunyi, yang hasilnya baru tampak setelah belasan tahun.

Saya tahu, kelak anak-anak saya akan bersekolah di tempat lain. Mungkin mereka akan masuk sistem yang tidak seideal sekarang. Tapi saya percaya, bekal karakter yang sedang mereka bangun di sekolah ini, akan menjadi kompas yang menuntun mereka saat nanti tersesat.

Maka hari ini, saya hanya ingin berterima kasih. Kepada para umi, sebutan untuk guru-guru di sekolah anak saya, yang sudah memilih menilai dengan kasih sayang, bukan hanya dengan angka. Yang sudah percaya bahwa tiap anak adalah makhluk unik, bukan bahan baku standar.

Dan tentu saja, terima kasih untuk anak-anak saya. Yang setiap hari memberi saya pelajaran tentang bagaimana menjadi ayah yang lebih baik. Yang kadang marah tanpa alasan, tapi juga bisa memeluk saat saya lelah. Terima kasih karena sudah tumbuh, meski pelan. Sudah berproses, meski belum sempurna.

Sekolah alam ini bukan tempat yang sempurna. Tapi ia memberi ruang untuk anak-anak jadi manusia. Dan buat saya, itu cukup.
Kemarin sore, udara Bengkulu masih mengandung sisa-sisa panas dari matahari yang seharian tak mau berkompromi. Saya melangkah keluar dari gedung pertemuan, hasil workshop kawan-kawan aktivis lingkungan masih bergema di kepala. Hari itu, saya memang sengaja tidak membawa kendaraan. Bukan karena ingin bergaya hemat, tapi lebih ke alasan efisiensi yang kini terasa semakin relevan. Di tengah krisis BBM, antrean motor dan mobil mengular sampai ke mulut jalan. Daripada harus ikut mengantre lima jam hanya demi 5 liter bensin, lebih baik saya minta istri yang menjemput anak—sementara saya memesan ojek online saja.

Pengemudi ojol yang datang sore itu mengenakan jaket hijau lusuh yang warnanya mulai pudar. Helmnya ada dua: satu untuk dia, satu untuk saya. Kami menyusuri jalan utama kota Bengkulu yang kini menjadi semacam lorong bensin. Di kiri-kanan jalan, SPBU disesaki motor. Dalam kondisi seperti itu, saya rasa, mengobrol lebih baik daripada mengutuk jalanan.
Ilustrasi Ojol dan Penumpang (Gambar : AI Generated)

Saya mulai dengan pertanyaan ringan: sudah antre berapa jam hari ini? Dia tersenyum miris, “Tadi pagi lima jam, Pak. Itu pun cuma dapat tiga liter.” Saya mengangguk, pura-pura tidak kaget. Walau dalam hati saya tetap bertanya-tanya, bagaimana orang seperti dia bisa tetap tersenyum dalam tekanan seperti itu? Mungkin karena sudah terbiasa, atau mungkin karena dalam hidupnya, senyum adalah salah satu bentuk perlawanan.

Obrolan kami lalu mengalir. Ia mulai bercerita tentang rekan-rekannya sesama pengemudi ojol yang kini sebagian sudah pindah kerja karena keadaan kelangkaan BBM saat ini. Ada yang jadi pedagang bensin eceran, ada yang jadi joki pengunjal bensin (tukang beli bensin dengan kendaraan, lalu dijual ke pengecer dengan harga tinggi). “Yang penting gak nganggur, Pak,” katanya. Saya diam sejenak. Ada kebenaran sederhana yang terasa begitu kuat dari kalimat itu. Karena dalam hidup, kadang yang kita butuhkan bukan jabatan, tapi keberanian untuk terus bergerak.

Lalu ia bertanya saya kerja di mana. Saya jawab singkat, “Ngajar di kampus.” Ia tampak tertarik. Lalu bertanya di program studi apa. Saya bilang di manajemen. Saat itu saya mulai merasa bahwa pengemudi ini bukan pengemudi biasa. Ada ketertarikan yang khas dalam pertanyaannya. Dia tahu istilah akademik. Tahu bahwa manajemen bukan sekadar mengelola orang, tapi juga mengelola kemungkinan.

Dan seperti mendapat bahan bakar baru, ia pun mulai menyodorkan pertanyaan demi pertanyaan soal manajemen. Tentang kepemimpinan, tentang bagaimana orang bisa tahu arah kalau tidak ada peta, tentang mengapa strategi tak selalu berhasil. Saya menjawab semampu saya. Kadang serius, kadang dengan contoh dari kehidupan pribadi saya. Salah satunya tentang bagaimana saya membangun sistem kecil di keluarga.

Saya ceritakan padanya, bahwa saya percaya sistem itu bukan hanya milik perusahaan besar. Di keluarga kecil saya, kami punya sistem keuangan, sistem waktu belajar anak, sistem darurat kalau saya tiba-tiba harus absen selamanya. Karena saya percaya, manajemen bukan teori. Ia adalah cara menyusun hidup supaya tidak kacau ketika guncangan datang tiba-tiba.

Saya tambahkan, bahwa kalau sistem itu bagus, maka orangnya bisa diganti, tapi kerja tetap jalan. Dan dalam hal ini, seorang gubernur atau walikota mestinya tidak sibuk tampil di televisi atau media sosial. Ia mestinya sibuk merancang sistem. Agar ketika dia lengser, rakyat tetap bisa menikmati hasil kerja, bukan cuma kenangan foto bersama.

Ia mengangguk, entah benar-benar paham atau hanya sopan. Tapi saya lanjutkan, karena momentum percakapan itu terlalu sayang untuk dilewatkan. Ia lantas bertanya mengaitkannya dengan politik. Di Bengkulu, warganya ini sangat tertarik dengan obrolan politik. Bahkan mungkin 70% obrolan warung kopi topiknya soal politik. Inilah kenapa Bengkulu ini beda dengan yang lain.

Saya katakan bahwa dalam politik, sistem itu sering kalah oleh popularitas. Karena sistem tidak bisa dijual cepat. Ia tidak memukau. Ia bekerja diam-diam, di balik layar.

Saya lalu mencontohkan Anies Baswedan. Saat ia memimpin Jakarta, banyak yang mengkritiknya tidak “kelihatan kerja.” Padahal, ia sedang membuat sistem transportasi bernama Jaklingko. Sistem itu tidak menggantungkan diri pada satu operator, tapi menyambungkan berbagai moda dan tarif dalam satu integrasi. Itu bukan ide populer. Tapi lima tahun kemudian, orang baru sadar bahwa sistem itu menyelamatkan banyak orang dari keruwetan harian.

“Kalau gubernur Bengkulu sekarang gimana, Pak?” tiba-tiba dia bertanya. Saya tertawa kecil. Saya jawab, “Saya bukan komentator politik.” Tapi ia terus mendesak. Katanya, “Saya ingin tahu dari sisi manajemen. Kan sudah seratus hari kerja, tapi belum terasa sistemnya.” Pertanyaan itu menohok, tapi juga jujur. Saya tidak bisa menolaknya.

Saya lalu menjelaskan bahwa seratus hari bukan waktu yang cukup untuk membangun sistem. Tapi cukup untuk menunjukkan arah. Kalau sampai seratus hari rakyat tidak bisa menebak arah ke mana kepemimpinan ini akan dibawa, maka itu masalah manajerial. Karena seorang pemimpin yang baik adalah seorang komunikator sistem.

Saya tidak menjawab apakah gubernur sekarang baik atau tidak. Saya lebih suka menunjukkan bahwa ukuran keberhasilan bukan pada pidato atau trending di Media Sosial, tapi pada apakah rakyat bisa hidup lebih mudah. Kalau antre BBM tetap lima jam, maka itu tanda sistem distribusi belum berubah.

Ia mengangguk lagi. Kali ini lebih dalam. “Berarti jadi gubernur itu kayak manajer ya, Pak?” Saya jawab, “Ya. Tapi lebih rumit, karena stakeholder-nya banyak, dan ekspektasinya liar.” Ia tertawa. Saya pun ikut tertawa. Tawa dua orang di atas motor, di tengah jalan yang padat kendaraan yang sedang mengantre, terasa seperti jeda dari peliknya hidup.

Saya tahu, pengemudi ini tidak sedang bercanda. Ia serius ingin tahu. Mungkin karena ia juga pernah kuliah. Mungkin karena ia sedang mencari arah baru dalam hidup. Atau bisa jadi, karena hidup telah mengajarkannya bahwa ilmu tidak hanya milik mereka yang di balik meja.

Kami tiba di depan rumah. Saya turun dari motor, mengembalikan helm. Ia tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Saya pun mengangguk, mengucapkan doa dalam hati: semoga sistem dalam hidupnya terus menguat. Karena dalam dunia yang tak menentu ini, sistem adalah satu-satunya jaring pengaman.

Saat saya masuk rumah, obrolan tadi masih membekas. Saya berpikir, mungkin seharusnya kita semua belajar manajemen. Bukan untuk jadi manajer perusahaan, tapi untuk jadi manajer hidup. Supaya kita tidak tenggelam dalam kekacauan yang kita ciptakan sendiri.

Saya jadi teringat mahasiswa-mahasiswa saya. Mereka sering bertanya, “Pak, kalau nanti saya tidak kerja di kantor, apa gunanya belajar manajemen?” Sekarang saya tahu jawaban terbaiknya: karena hidupmu sendiri adalah perusahaan terpenting yang akan kamu kelola seumur hidupmu.

Jadi, jika suatu hari kamu jadi sopir, guru, kepala dusun, atau bahkan hanya kepala dapur, jangan minder. Selama kamu tahu cara mengatur, menyusun, dan membenahi, kamu sudah menjalankan peranmu sebagai manajer. Dan itu sudah cukup mulia.

Saya tidak tahu latar belakang pengemudi tadi. Tapi saya tahu, ia telah membuat saya menulis ini. Ia telah mengingatkan saya bahwa ilmu bukan untuk digantung di dinding, tapi untuk dijalani dalam keseharian.

Maka saya percaya, selama masih ada orang seperti dia, negeri ini tidak akan benar-benar kehilangan arah. Karena harapan tak selalu lahir dari kantor gubernur. Kadang, harapan itu datang dalam bentuk tukang ojol, di tengah sore yang panas, dengan dua helm dan sejuta cerita.
Bengkulu itu seperti rumah di ujung gang sempit. Jalannya cuma satu. Kalau ada truk besar mogok di tengah gang itu, semua penghuni rumah harus jalan kaki atau menunggu sampai mogoknya selesai. Tidak ada pintu belakang. Tidak ada jalur alternatif.

Saya tidak sedang membesar-besarkan masalah. Cobalah tengok berita-berita beberapa hari terakhir. BBM langka, antrean mengular sepanjang dua kilometer di banyak SPBU. Tidak hanya motor dan mobil, kadang sampai truk pengangkut sayur pun ikut antre. Tentu saja semua ini tidak terjadi dalam ruang hampa.
Ilustrasi Multi Jalur Suplai BBM ke Bengkulu (Gambar : AI Generated)
Pendangkalan di alur pelabuhan Pulau Baai jadi pangkal perkara. Kapal tanker tidak bisa bersandar. BBM tak bisa diturunkan. Dan begitu satu jalur ini terhambat, bengkulu seperti dikerangkeng. Tidak ada opsi lain.

Lalu datanglah solusi darurat: mendatangkan BBM dari luar, lewat darat. Lewat jalur yang kalau kita sering lewati, tahu persis betapa berkeloknya. Truk dari Jambi dan Linggau jadi penyambung nyawa. Tapi biaya logistik melonjak. Setiap liter yang dikirim, Pertamina rugi—tapi tetap dikirim.

Kita harus berterima kasih pada para sopir tangki BBM itu. Mereka adalah pahlawan logistik dalam senyap. Jalanan lintas Sumatera itu tidak main-main. Tanjakan, tikungan tajam, longsoran di musim hujan, itu semua adalah sahabat harian mereka.

Tapi kita tidak bisa terus-menerus hidup dalam mode darurat. Maka saya ingin bicara tentang tiga hal: jangka pendek, menengah, dan panjang. Tiga skala waktu ini harus kita pikirkan bersama. Tidak bisa hanya berharap satu solusi ajaib turun dari langit.

Jangka pendek dulu. Yang paling mudah dan harus segera dilakukan: keruk alur laut Pulau Baai. Ini seperti membersihkan saluran air mampet. Bukan soal politik, ini soal teknis. Tinggal alokasikan anggaran dan kerja cepat.

Jangan tunggu investor. Jangan tunggu lelang internasional. Waktu tidak sedang memihak. Setiap hari menunggu, antrean makin panjang, kepercayaan publik makin tergerus.

Gubernur, Wali Kota, dan DPRD bisa patungan anggaran jika Pelindo, Kementerian, atau pemerintah pusat tidak mau membiayai. Saya tahu, anggaran daerah tidak sekuat itu. Tapi untuk kepentingan mendesak seperti ini, pemanfaatan belanja tidak terduga bisa digeser.

Sambil mengeruk, kita juga perlu mendata semua SPBU. Mana yang bisa dijadikan prioritas distribusi. Mana yang bisa difungsikan khusus untuk sektor strategis: rumah sakit, ambulans, dan logistik pangan dan mana yang SPBU banyak bocor ke para pengecer.

Masyarakat juga perlu diberi informasi yang jelas. Jangan hanya bicara "panic buying" tanpa menunjukkan bukti. Warga antre bukan karena panik, tapi karena benar-benar butuh. Menyalahkan rakyat adalah cara paling malas dalam manajemen krisis.

Sekarang jangka menengah. Kita harus membuka opsi logistik darat secara lebih serius. Artinya, perbaikan jalan lintas barat dan tengah Sumatera dan penyelesaian jalur tol Bengkulu-Linggau yang baru selesai 1 tahap saja, harus menjadi prioritas. Pendalaman studi untuk usulan pembukaan jalur kereta api Linggau-Pulau Baai. Pemerintah pusat dan daerah harus duduk satu meja.

Jangan anggap pembangunan jalan itu cuma proyek infrastruktur biasa. Ini adalah soal konektivitas hidup dan mati. Bengkulu tidak boleh lagi mengandalkan satu jalur pelabuhan.

Logistik BBM bisa dipecah. Sebagian masuk lewat pelabuhan, sebagian lewat darat. Diversifikasi sumber distribusi. Ini sama dengan membagi risiko. Kalau satu jalur terganggu, jalur lain bisa menopang.

Di jangka menengah pula, kita bisa mulai membangun depo penyangga. Gudang BBM dengan cadangan untuk 30 hari. Letaknya di titik strategis, misalnya perbatasan dengan Sumatera Selatan. Sehingga pengiriman dari dua arah tetap memungkinkan.

Saya pernah membaca dalam satu artikel tentang depo BBM kecil di daerah terpencil di Kalimantan. Fungsinya bukan untuk distribusi harian, tapi cadangan saat cuaca ekstrem atau jalur terganggu. Di Bengkulu, ini bahkan lebih relevan.

Nah, masuk ke jangka panjang. Inilah waktunya Bengkulu memikirkan kemandirian energi. Saya tidak sedang bicara kendaraan listrik (mobil). Itu terlalu jauh, dan ekosistemnya belum sepenuhnya siap. Teknologinya masih terlalu mahal. Tapi kita bisa bicara biogas, panel surya, atau teknologi hybrid.

Bengkulu punya banyak potensi air. Mikrohidro bisa dijadikan sumber listrik lokal. Bisa juga dijadikan pengganti untuk pompa-pompa BBM yang selama ini tergantung genset. Di kampung-kampung, listrik dari mikrohidro bisa menyokong ekonomi kecil.

Energi matahari? Sangat mungkin. Daerah pantai punya paparan cahaya hampir maksimal. Tapi butuh kemauan dan dukungan teknologi. Pemerintah daerah bisa mulai dari kantor-kantor OPD. Jadikan contoh, bukan sekadar slogan.

Di masa depan, kemandirian energi tidak boleh lagi jadi jargon. Ia harus jadi sistem. Kalau selama ini kita membangun jalan tol untuk konektivitas mobilitas, maka energi adalah konektivitas kehidupan.

Pendidikan juga tidak boleh ketinggalan. Anak-anak SMA dan SMK di Bengkulu bisa diberi kurikulum energi terbarukan. Bangun semangat kemandirian dari sekolah. Siapa tahu, insinyur yang akan menemukan solusi energi murah lahir dari sini. SMA Muhammadiyah 4 Bengkulu dan SMAK St. Carolus sudah mencontohkannya. Bahkan Kepala Sekolahnya sampaiu diundang ke Brazil untuk menceritakan projectnya ini sebagai praktik baik di institusi pendidikan.

Saya tahu, semua ini tidak mudah. Tapi kalau kita terus berpikir seperti sekarang, kita hanya akan jadi penonton. Sementara krisis demi krisis datang silih berganti.

Menunggu solusi dari pusat bisa seperti menunggu janji mantan. Bisa datang, bisa juga tidak. Maka biarkan Bengkulu menulis skenario solusinya sendiri. Lewat tangan-tangan warganya yang bekerja dengan ketulusan dan kemauan.

Krisis BBM ini membuka mata kita: Bengkulu terlalu rapuh untuk dibiarkan tanpa rencana cadangan. Sudah saatnya kita berpikir seperti daerah kepulauan. Mandiri dalam logistik. Tangguh dalam konektivitas.

Saya menulis ini bukan untuk menyalahkan siapa pun. Tapi untuk mengingatkan bahwa waktu kita terbatas. Dan kalau kita tidak berubah sekarang, mungkin nanti kita tidak bisa lagi memilih untuk berubah.
Hari senin siang (26 Mei 2025), gubernur menjelaskan di media bahwa salah satu penyebab terjadinya antrian panjang kendaraan di berbagai SPBU di Bengkulu adalah karena adanya Panic Buying. Istilah ini mungkin terdengar asing, namun sebenarnya sering terjadi di sekitar kita dalam beberapa tahun terakhir. 

Panic buying atau pembelian panik adalah perilaku konsumen yang membeli barang dalam jumlah besar dan tidak wajar karena ketakutan akan kelangkaan atau kenaikan harga barang tersebut di masa depan. Perilaku ini biasanya dipicu oleh krisis, rumor, atau informasi yang menimbulkan kecemasan, seperti bencana alam, konflik, pandemi, atau isu kenaikan harga.
Ilustrasi Panic Buying (Gambar : AI Generated)
Lalu apakah fenomena antrian super panjang di Bengkulu ini termasuk dalam panic buying seperti yang dijelaskan oleh Gubernur?

Antrian BBM di Bengkulu saat ini tidak semata-mata disebabkan oleh panic buying, meskipun fenomena tersebut mungkin ikut memperburuk keadaan. Ada beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa masalah utamanya adalah gangguan pasokan struktural, bukan kepanikan konsumen.

Beberapa hal yang bisa menjelaskan mengapa ini bukan masuk kategori panic buying :

• Masalah Utama: Pendangkalan Alur Laut

Sejak pelabuhan Pulau Baai mengalami pendangkalan, kapal tanker Pertamina tidak bisa lagi bersandar. Ini menyebabkan distribusi BBM harus dialihkan lewat darat dari Jambi dan Lubuk Linggau. Hal ini menyebabkan pasokan melambat dan terbatas.

• Tren Antrian Terjadi Sebelum Panic Buying

Antrian panjang di SPBU sudah terjadi secara bertahap selama beberapa minggu terakhir. Ini menunjukkan krisis pasokan sudah berlangsung lama dan bukan reaksi sesaat akibat kepanikan.

• Panic Buying sebagai Efek, Bukan Sebab

Ketika masyarakat melihat SPBU kosong atau mendengar kabar bahwa pengiriman BBM tersendat, sebagian memang akhirnya berebut isi BBM saat ada pengiriman. Ini menciptakan ilusi panic buying, padahal mereka hanya mencoba bertahan hidup dalam kondisi pasokan terbatas.

• Kelangkaan BBM Eceran dan Ojek Online

Banyak pertamini tutup. Ojek online tidak beroperasi karena kehabisan BBM. Ini menunjukkan bahwa sistem distribusi informal pun lumpuh, bukan hanya karena kepanikan, tapi memang karena tidak ada stok BBM yang bisa dibeli.

• Harga BBM Eceran Melonjak

Jika ini murni panic buying, BBM tetap tersedia namun mahal. Tapi kenyataannya, harga naik karena barangnya memang sangat langka, bukan karena diborong. Buktinya pembelian BBM di SPBU dibatasi per kendaraan maksimal hanya 30 liter untuk mobil dan 5 liter untuk motor.

Kesimpulannya, indikasi ke arah panic buying memang ada, namun bukan faktor utama. Yang lebih dominan adalah krisis pasokan akibat kendala logistik struktural yang seharusnya jadi perhatian serius pemerintah daerah dan pusat.
Di Jakarta, orang ribut karena laut ditimbun-timbun. Alasannya macam-macam, mulai dari ancaman lingkungan, rusaknya ekosistem, sampai kekhawatiran tentang siapa yang bakal menikmati hasil reklamasi itu. Sebagian khawatir kalau daratan baru itu nanti akan jadi milik segelintir orang kaya yang bisa beli pulau seharga dua mobil Pajero. Sementara rakyat jelata cuma bisa menikmati laut dari jendela bus Transjakarta, sambil ngelus dada. Tapi itu Jakarta, tempat segala hal bisa jadi polemik nasional.

Sementara itu, di Bengkulu, kondisinya agak nyeleneh. Kalau di Jakarta orang khawatir laut ditimbun, di Bengkulu justru lautnya semakin timbul sendiri. Bukan karena pembangunan, tapi karena pendangkalan. Alur laut Pulau Baai pelan-pelan mulai berubah nasibnya, dari jalur logistik menjadi semacam kolam rendam berpasir. Kapal-kapal pengangkut BBM pun mendadak merasa seperti sedang main sand castle di pantai.

Di tengah hiruk-pikuk orang Jakarta yang khawatir lautnya menyusut, Bengkulu malah sibuk memikirkan gimana caranya supaya lautnya bisa sedikit lebih dalam. Ini ironi yang sebetulnya enak buat dibikin meme. Tapi karena kita bukan bangsa pememe, ya akhirnya cuma bisa jadi bahan obrolan sambil ngopi di warung. Orang sini kalau bahas soal pendangkalan alur laut nadanya udah kayak ngomongin mantan yang gak move on-move on.
Ilustrasi Pengerukan Pasir (Gambar : AI Generated)

Kalau dibiarkan terus, nanti kapal-kapal Pertamina bisa nyangkut beneran di tengah laut, nunggu pasang. Lucunya, kita bukan marah sama laut, tapi malah maklum. “Namanya juga laut,” kata orang. Seolah laut itu semacam manusia yang bisa salah jalan gara-gara kurang tidur.

Yang membuat geli, untuk urusan ini, kita justru mesti bayar kapal keruk buat bantu ngambil pasir yang bikin alur laut jadi dangkal. Padahal di tempat lain, kapal-kapal pengangkut pasir justru diusir. Di Bangka, misalnya. Kapal keruk datang, masyarakat demo. Di Bengkulu, kapal keruk datang, masyarakat malah kasih kopi. Aneh, tapi nyata.

Harusnya, pasir laut yang bikin susah ini malah bisa jadi peluang. Bayangkan, kalau kita bisa kelola hasil kerukannya, bisa saja jadi pemasukan daerah. Tak usah jauh-jauh dipikirkan untuk ekspor ke luar negeri dulu. Dijual ke proyek-proyek lokal pun udah lumayan. Hitung-hitung bantu pembiayaan perbaikan jalan yang lubangnya sudah seperti danau mini.

Tapi ya itu, kadang kita ini terlalu baik. Pasir laut yang jelas-jelas bisa dijual, malah kita perlakukan seperti masalah. Kita bayar orang untuk mengambilnya, bukan untuk membeli. Ini kalau ibarat makan, seperti beli nasi uduk tapi yang dibayar tukang nasinya biar mau diambil.

Ada juga yang bilang, mungkin karena belum ada perda yang ngatur soal pengelolaan hasil pengerukan pasir laut. Maka dari itu, niat baik pun sering kali mandek di tengah jalan. Bukan karena gak ada kemauan, tapi karena terlalu banyak prosedur yang harus dicium dulu. Belum lagi soal siapa yang boleh mengelola, siapa yang nanti ambil untung, dan siapa yang bisa bikin proposal dengan kop surat berwarna.

Sementara menunggu itu semua dibereskan, kapal-kapal besar yang mau sandar di Pelabuhan Pulau Baai hanya bisa melongo. Mereka tahu, semakin dangkal alurnya, semakin besar kemungkinan mereka harus balik kanan. Sudah rugi waktu, rugi BBM, rugi marwah juga. Kapal sebesar itu, masa nyangkut di dasar laut kayak ember tua.

Kondisi ini bukan cuma merugikan Pertamina, tapi juga bikin masyarakat Bengkulu menanggung dampaknya. BBM makin langka. Antrian di SPBU makin panjang. Orang yang biasanya ngopi pagi di warung, sekarang pagi-pagi sudah berdiri di depan motor, meratap. Bensin tinggal satu bar, tapi SPBU antrinya satu kilometer.

Sekarang, kalau ada yang bilang Indonesia itu kaya pasir, saya setuju. Tapi kalau orang Jakarta kaya pasir karena proyek reklamasi, Bengkulu kaya pasir karena lautnya memang sedang berubah jadi taman pasir. Ini kaya yang bikin bangkrut. Kaya yang bikin kapal ogah datang. Kaya yang bikin gubernur bingung cari cara.

Ironi ini makin kentara kalau kita lihat potensi yang terbuang. Pasir yang bisa dijual, malah dibuang. Dana yang bisa masuk, malah bocor. Masyarakat yang bisa untung, malah buntung. Kalau ini terus terjadi, jangan salahkan kalau nanti ada yang minta pisah dari NKRI karena merasa dianaktirikan—tentu ini cuma satire, jangan baper.

Maka, perlu cara pandang yang agak nyentrik. Jangan selalu lihat pasir laut itu sebagai biang kerok. Kadang, biang kerok itulah yang bisa jadi penyelamat. Asal dikelola dengan benar, hasil kerukan itu bisa jadi penyambung hidup. Minimal bisa mengurangi beban APBD yang selama ini kerja keras cuma buat nutupi jalan bolong.

Bahkan kalau perlu, kita bisa belajar dari Singapura yang beli pasir dari mana-mana buat tambah daratan. Kita, yang punya pasir melimpah, malah bingung sendiri. Ini seperti orang yang punya kebun durian, tapi tiap hari sarapan gorengan. Bukan karena gak suka durian, tapi karena gak tahu cara manjat pohon.

Padahal kalau mau jujur, potensi Bengkulu ini luar biasa. Lautnya indah, hasil buminya lumayan, dan sekarang, pasirnya pun banyak. Tinggal butuh keberanian untuk bilang: “Kita bisa.” Sayangnya, keberanian itu sering terhalang oleh ketakutan dikira korupsi. Kadang, niat baik bisa tampak jahat kalau prosedurnya belum dilengkapi.

Sudah waktunya Bengkulu ambil langkah maju. Tak perlu menunggu komando dari pusat. Kalau menunggu terus, bisa-bisa nanti kapal Pertamina datang bukan bawa BBM, tapi bawa nasi kotak buat rapat koordinasi. Kita terlalu sering mengadakan rapat, padahal yang kita butuh cuma satu: tindakan.

Kalau proyek pengerukan ini bisa dibereskan, dampaknya bisa luar biasa. BBM bisa kembali lancar. Logistik bisa jalan lagi. Pendapatan daerah naik. Dan yang terpenting: masyarakat bisa kembali hidup tanpa harus begadang antri bensin.

Harusnya kita bangga punya laut yang masih bisa dikeruk. Daripada punya gunung yang tinggal nama. Daripada punya jalan yang tinggal lubang. Daripada punya SPBU yang isinya cuma papan bertuliskan: “BBM Habis.”

Tapi tentu semua itu butuh keseriusan. Pemerintah daerah harus bisa jadi pelopor. Tak cukup hanya dengan lempar pernyataan di media. Harus ada tindakan nyata. Entah itu menggandeng swasta, atau mendirikan BUMD yang khusus mengelola pasir laut.

Bayangkan, betapa bahagianya nelayan, sopir truk, tukang parkir, sampai mahasiswa jika kapal BBM kembali bisa sandar tanpa drama. Tak perlu lagi susah payah cari bensin eceran harga dua puluh ribu. Tak perlu lagi bangun subuh cuma untuk antri. Semua kembali normal, semua kembali wajar. Semua berawal dari: mengelola pasir.

Saya percaya, dari pasir pun kita bisa bangkit. Kita ini bangsa besar, yang sering jatuh bukan karena kurang sumber daya, tapi karena kurang ngopi bareng. Kurang ngobrol. Kurang percaya sama potensi sendiri. Padahal, laut itu milik kita semua.

Kalau dikelola dengan benar, hasil kerukan pasir bisa jadi berkah. Bisa untuk membangun jalan-jalan yang lubangnya sudah kayak permukaan bulan. Bisa untuk membiayai beasiswa anak-anak nelayan. Bisa untuk perawatan puskesmas yang lampunya masih pakai senter.

Orang Jakarta boleh terus ribut soal reklamasi. Biarkan mereka dengan kegelisahannya. Sementara Bengkulu, bisa mengambil peran lain. Peran sebagai daerah yang cerdas mengelola kekayaan alamnya. Termasuk pasir laut yang selama ini dianggap hama.

Yang kita butuhkan sekarang bukan orang-orang pintar baru. Tapi orang-orang yang berani mengambil keputusan. Yang paham bahwa pasir bisa jadi musuh, tapi juga bisa jadi kawan. Tinggal bagaimana kita memperlakukannya.

Kalau perlu, kita bikin slogan baru untuk Bengkulu. “Bengkulu: Negeri Seribu Pasir, Seribu Solusi.” Mungkin terdengar lucu. Tapi dalam kelucuan itu, terkandung harapan. Harapan bahwa suatu hari nanti, Bengkulu bisa berdiri gagah—berkat pasirnya.
Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • ENGGANO DI UJUNG TANDUK
  • RAPOR TANPA MERAH DAN SEKOLAH TANPA LUKA
  • EKSISTENSI DUA FORUM
  • KESEPIANNYA PARA ORANG TUA DI KALA SENJA

Ramadhan Bercerita

PARIWARA

PARIWARA

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar