Era disrupsi menuntut adaptasi dan inovasi. Dunia dituntut untuk selalu berubah, beradaptasi, dan menciptakan hal baru. Namun, ironisnya, dunia akademik di Indonesia justru terbelenggu oleh regulasi yang kaku dan birokratis. Salah satunya adalah aturan ISBN (International Standard Book Number) yang semakin ketat pasca pandemi Covid-19. Perpustakaan Nasional (Perpusnas), dengan alasan mencegah penyalahgunaan ISBN, membatasi penerbitannya hanya untuk kategori buku tertentu. Akibatnya, banyak dosen, khususnya yang menerbitkan buku di luar jalur penerbit mayor, kesulitan mendapatkan ISBN. Padahal, ISBN merupakan salah satu syarat utama bagi Ditjen Dikti untuk mengakui sebuah buku sebagai karya ilmiah yang dapat meningkatkan angka kredit dosen.
Dosen, sebagai garda terdepan dalam dunia pendidikan tinggi, dituntut untuk terus mengembangkan diri dan menghasilkan karya-karya inovatif. Menulis buku merupakan salah satu cara bagi dosen untuk menuangkan ide, gagasan, dan hasil penelitian mereka, sekaligus berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan. Namun, semangat dan kreativitas dosen dalam menulis buku terhambat oleh aturan ISBN yang semakin ketat.
Perpusnas beralasan bahwa pengetatan ISBN dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan. Banyak oknum yang memanfaatkan ISBN untuk kepentingan pribadi, menerbitkan buku fiktif yang tidak pernah dicetak dan diedarkan secara publik. Kebijakan ini memang dapat dipahami sebagai upaya menjaga kredibilitas ISBN sebagai identitas resmi sebuah buku. Namun, di sisi lain, kebijakan ini justru menimbulkan masalah baru bagi para dosen yang ingin menerbitkan buku sebagai bagian dari pengembangan diri dan karir akademik mereka.
Kategori buku yang diprioritaskan untuk mendapatkan ISBN pun semakin dipersempit. Buku ajar, monograf, dan buku referensi yang diterbitkan oleh penerbit mayor dengan reputasi baik masih relatif mudah mendapatkan ISBN. Namun, buku-buku yang ditulis oleh mahasiswa, dosen, atau peneliti independen, khususnya yang diterbitkan oleh penerbit indie atau self-publishing, seringkali ditolak pengajuan ISBN-nya. Alasannya beragam, mulai dari tema yang dianggap tidak relevan, jumlah halaman yang terlalu sedikit, hingga format penulisan yang tidak sesuai standar.
Ironisnya, di saat yang sama, Ditjen Dikti mensyaratkan ISBN sebagai salah satu prasyarat pengakuan karya tulis ilmiah bagi dosen. Buku ber-ISBN memiliki nilai angka kredit yang lebih tinggi dibandingkan karya tulis lain seperti artikel jurnal atau makalah seminar. Akibatnya, banyak dosen yang merasa frustrasi karena karya mereka, meskipun berkualitas dan bermanfaat, tidak diakui secara optimal oleh Ditjen Dikti hanya karena terkendala ISBN.
Situasi ini menciptakan dilema bagi dosen. Di satu sisi, mereka dituntut untuk menghasilkan karya tulis berupa buku untuk meningkatkan angka kredit dan karir akademik mereka. Di sisi lain, mereka dihadapkan pada aturan ISBN yang semakin ketat dan membatasi ruang gerak mereka dalam berkreasi dan berinovasi.
Kebijakan Perpusnas yang memperketat ISBN sebenarnya dapat dipahami sebagai upaya untuk menjaga kualitas dan kredibilitas ISBN sebagai identitas resmi sebuah buku. Namun, dalam implementasinya, kebijakan ini justru menimbulkan dampak negatif bagi dunia akademik, khususnya bagi para dosen yang ingin menerbitkan buku.
Salah satu dampak negatif yang paling terasa adalah menurunnya motivasi dan produktivitas dosen dalam menulis buku. Banyak dosen yang merasa enggan untuk menulis buku karena dihadapkan pada proses yang rumit dan berbelit-belit dalam mendapatkan ISBN. Mereka lebih memilih untuk menulis artikel jurnal atau makalah seminar yang proses publikasinya lebih mudah dan cepat.
Selain itu, kebijakan ini juga menghambat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Buku merupakan salah satu media penting untuk menyebarkan dan melestarikan ilmu pengetahuan. Dengan semakin sulitnya dosen untuk menerbitkan buku, maka penyebaran dan perkembangan ilmu pengetahuan pun menjadi terhambat.
Di era disrupsi yang menuntut adaptasi dan inovasi, kebijakan yang kaku dan birokratis justru menjadi batu sandungan bagi kemajuan dunia akademik di Indonesia. Perlu ada penyesuaian dan fleksibilitas dalam aturan ISBN agar tidak menghambat kreativitas dan produktivitas dosen dalam menulis buku.
Pemerintah, dalam hal ini Perpusnas dan Ditjen Dikti, perlu mencari solusi yang lebih bijak dalam mengatasi masalah penyalahgunaan ISBN tanpa harus mengorbankan kepentingan para dosen yang ingin menerbitkan buku. Salah satu solusinya adalah dengan mengembangkan sistem identifikasi buku yang lebih modern, efisien, dan mudah diakses, seperti QRCBN (Quick Response Code Book Number).
QRCBN adalah sistem identifikasi buku berbasis kode QR yang dikembangkan oleh beberapa organisasi di Indonesia. Layaknya ISBN, QRCBN memberikan identitas unik pada setiap buku, memudahkan pelacakan, dan membantu pengendalian distribusi. Kelebihan QRCBN dibandingkan ISBN adalah prosesnya yang lebih cepat, mudah, dan murah. QRCBN juga lebih fleksibel dan inklusif, dapat digunakan untuk semua jenis buku, termasuk buku yang diterbitkan secara mandiri atau oleh penerbit indie.
Dengan menggunakan QRCBN, para dosen dapat lebih mudah menerbitkan buku tanpa harus melewati proses birokrasi yang rumit dan berbelit-belit. Hal ini akan mendorong peningkatan produktivitas dan kreativitas dosen dalam menulis buku, sekaligus mempercepat penyebaran dan perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia.
Selain itu, QRCBN juga sejalan dengan semangat transformasi digital yang sedang digencarkan pemerintah. Sebagai sistem identifikasi buku berbasis kode QR, QRCBN memudahkan akses dan penyebaran informasi tentang buku secara digital. Hal ini tentu saja akan mempermudah proses pencarian, pelacakan, dan verifikasi data buku.
Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah, dalam hal ini Perpusnas dan Ditjen Dikti, untuk mengakui dan menerapkan QRCBN sebagai salah satu sistem identifikasi buku yang sah di Indonesia. Dengan demikian, para dosen dapat memiliki lebih banyak pilihan dalam menerbitkan buku, baik melalui ISBN maupun QRCBN, sesuai dengan kebutuhan dan kondisi mereka.
Pengakuan dan penerapan QRCBN juga merupakan bentuk dukungan pemerintah terhadap perkembangan dunia akademik di Indonesia. Dengan memberikan kemudahan dan fleksibilitas bagi para dosen dalam menerbitkan buku, pemerintah berkontribusi dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi buku, sekaligus mendorong perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia.
QRCBN: Solusi Inklusif dan Adaptif bagi Dosen Penulis
Di tengah perdebatan seputar ISBN dan tantangan yang dihadapi dosen dalam menerbitkan buku, QRCBN hadir sebagai alternatif yang menjanjikan. QRCBN adalah sistem identifikasi buku berbasis kode QR yang dikembangkan oleh beberapa organisasi di Indonesia. Lebih mudah, cepat, dan murah, QRCBN dapat digunakan untuk semua jenis buku, termasuk yang diterbitkan secara mandiri atau oleh penerbit indie.
QRCBN lahir dari kebutuhan untuk menciptakan sistem identifikasi buku yang lebih adaptif, responsif, dan inklusif. Di era digital yang serba cepat dan dinamis, ISBN dirasa sudah tidak lagi relevan dan cukup memberatkan, terutama bagi dosen dan penulis indie yang ingin menerbitkan buku secara mandiri.
Kelebihan QRCBN dibandingkan ISBN cukup signifikan. Pertama, proses penerbitan QRCBN jauh lebih cepat dan mudah. Dosen tidak perlu melewati proses birokrasi yang rumit dan berbelit-belit seperti halnya ISBN. Cukup dengan mendaftarkan buku mereka ke lembaga penerbit QRCBN, maka kode QR unik akan segera diterbitkan.
Kedua, QRCBN lebih murah dibandingkan ISBN. Bahkan, ada beberapa lembaga penerbit QRCBN yang menawarkan jasa mereka secara gratis. Hal ini tentu saja sangat membantu dosen yang memiliki keterbatasan dana dalam menerbitkan buku.
Ketiga, QRCBN lebih fleksibel dan inklusif. QRCBN dapat digunakan untuk semua jenis buku, tanpa terkecuali. Tidak ada pembatasan kategori atau jenis buku seperti halnya ISBN. Hal ini sangat menguntungkan bagi dosen yang ingin menerbitkan buku dengan tema atau format yang tidak biasa.
Keempat, QRCBN lebih mudah diakses dan disebarluaskan. Kode QR dapat dicetak di buku fisik maupun ditampilkan di buku digital. Pembaca cukup memindai kode QR tersebut dengan smartphone untuk mendapatkan informasi lengkap tentang buku, termasuk judul, penulis, penerbit, tahun terbit, dan sinopsis.
Dengan segala kelebihannya, QRCBN memiliki potensi besar untuk mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas produksi buku di Indonesia. QRCBN memudahkan siapa saja, termasuk dosen, mahasiswa, dan masyarakat umum, untuk menerbitkan buku dan berkontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Namun, potensi QRCBN ini belum dapat dimaksimalkan secara optimal karena belum adanya pengakuan resmi dari pemerintah, khususnya Ditjen Dikti. Saat ini, buku ber-QRCBN belum diakui sebagai karya ilmiah yang dapat meningkatkan angka kredit dosen. Hal ini tentu saja sangat disayangkan.
Sudah saatnya Ditjen Dikti mengakui QRCBN sebagai identitas resmi buku dan memberikan angka kredit yang setimpal bagi dosen yang menerbitkan buku ber-QRCBN. Pengakuan ini penting untuk memberikan apresiasi dan motivasi bagi dosen yang telah berkarya dan berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Selain itu, pengakuan QRCBN oleh Ditjen Dikti juga sejalan dengan semangat transformasi digital yang sedang digencarkan pemerintah. QRCBN merupakan sistem identifikasi buku yang modern, efisien, dan mudah diakses. Dengan menggunakan kode QR, informasi tentang buku dapat diakses secara instan melalui smartphone atau perangkat digital lainnya. Hal ini tentu saja akan mempermudah proses pencarian, pelacakan, dan verifikasi data buku.
Lebih jauh lagi, pengakuan QRCBN oleh Ditjen Dikti dapat mendorong terciptanya ekosistem literasi yang lebih inklusif. QRCBN memberikan kesempatan bagi semua orang, tanpa terkecuali, untuk menerbitkan buku dan berbagi pengetahuan. Hal ini sejalan dengan tujuan pemerintah untuk meningkatkan minat baca dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Oleh karena itu, sudah saatnya Ditjen Dikti menghilangkan ego sektoral dan berpikir lebih terbuka dalam menyikapi perkembangan teknologi dan inovasi di bidang literasi. Pengakuan QRCBN bukanlah sebuah ancaman, melainkan sebuah peluang untuk memajukan dunia pendidikan tinggi di Indonesia.
Jangan biarkan para dosen yang bersemangat menulis terhambat oleh regulasi yang kaku dan tidak relevan. Berikan mereka ruang dan apresiasi yang layak, agar mereka dapat terus berkarya dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa. QRCBN adalah solusi yang menjanjikan untuk mewujudkan hal tersebut.
Dengan mengakui QRCBN, Ditjen Dikti tidak hanya memberikan keadilan bagi dosen, tetapi juga mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas produksi buku di Indonesia. Lebih jauh lagi, pengakuan terhadap QRCBN akan mempercepat transformasi digital di dunia pendidikan tinggi dan membangun ekosistem literasi yang lebih inklusif.