Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • Glamping
  • Serba-Serbi Jurnal
    • Pengertian dan Jenis Jurnal
    • Indeks Jurnal
    • Cek Jurnal
      • Cek Jurnal Scopus
      • Cek Jurnal SCI
      • Cek Jurnal SCIE
      • Cek Jurnal SSCI
      • Cek Jurnal ISI
      • Cek Jurnal EI Compendex
      • lt;/ul>
    • Request Download Jurnal/Buku
  • BIPA
    • Mengenal BIPA
    • Materi Ajar BIPA
    • MOOCs BIPA
    • Kirim Tugas
  • Hubungi Kami

Beberapa bulan yang lalu, saya ditugaskan oleh kampus untuk membawa belasan perguruan tinggi di Taiwan untuk melaksanakan pameran pendidikan tinggi di Jogja, Surabaya, dan Malang. Kegiatan ini rutin dilaksanakan setiap tahunnya sebagai upaya mengenalkan pendidikan tinggi Taiwan ke masyarakat Indonesia. Dari beberapa kota penyelenggaraan, Surabaya adalah kota yang pasti dikunjungi setiap ada gelaran kegiatan ini, karena selain kantor Taiwan Education Center Indonesia di Surabaya (TECSID) berada, juga Surabaya merupakan salah satu kota asal mayoritas mahasiswa Indonesia di Taiwan. Tapi kita tidak akan berbicara soal ini. Mungkin lain waktu.


Ilustrasi : Sarjana dan Pengangguran (Gambar : Gary Varvel / www.garyvarvel.com)

Saat di Jogja, saya iseng membuka aplikasi grab food. Saat itu sudah larut malam. Saya mencoba menscroll makanan apa saja yang masih tersedia jam segitu di Jogja. Mata saya lantas tertuju pada sebuah brand makanan yang tidak asing bagi saya. Sesaat kemudian pikiran saya melayang membawa ke memori saat masih tinggal di Jogja 7 tahun yang lalu.


***


Namanya mas Aam. Saya mengenalnya karena ia satu fakultas dengan saya,/namun berbeda jurusan dan angkatan. Istrinya (waktu itu masih pacarnya) kebetulan beberapa kali jadi pengawas UTS dan UAS di tingkat fakultas bersama saya dan teman-teman lainnya. Selain itu, mas Aam ini cukup dikenal karena ia salah satu lulusan terbaik dan orangnya pekerja keras.


Suatu ketika, istrinya itu membawakan bingkisan untuk kami nikmati di kantor di sela-sela mengawas ujian mahasiswa. Bingkisan tersebut ternyata adalah martabak. Kami semua tanpa aba-aba langsung berebut menikmati martabak tersebut. Bagi saya yang memang penyuka martabak sejak kecil, martabak ini cukup enak dan toping/isiannya banyak. Setelah dua kotak martabak amblas oleh kami, barulah si mbaknya membuka pembicaraan.


“Bagaimana rasa martabaknya?”

“Enak, empuk dan banyak isiannya. Kamu beli dimana?”

“Ini yang masih percobaan sebenarnya. Mas Aam mau jualan martabak. Kalau ada kritik atau saran, kami welcome sekali”

“Kritiknya cuma satu, bawanya kurang banyak”


Seketika seiisi ruangan berubah menjadi riuh dengan tertawaan para pengawas ini. Dan keriuhan ini segera mereda dengan bunyi bel yang menandakan kami harus kembali ke kelas untuk mengawasi ujian para mahasiswa.


***


Suatu sore, saya menyempatkan mampir ke jualannya mas Aam yang kebetulan juga tidak terlalu jauh dari kos saya. Sembari membuatkan pesanan saya, dia banyak bercerita tentang berbagai hal. Salah satunya soal mengapa ia mau membuka usaha martabak ini, padahal ia adalah lulusan terbaik di jurusannya. Ia bercerita juga bahwa ia sebenarnya sudah ditawari untuk sekolah magister dan diberikan beasiswa. Namun ia menolaknya. Ia ingin mewujudkan impiannya menjadi seorang pengusaha. Baginya, memiliki usaha martabak ini adalah idealisme yang telah lama ia jaga dan ingin wujudkan. Ia tidak mau larut dalam euforia sarjana yang berlomba-lomba melamar kerja di berbagai perusahaan, atau bagi yang mampu bersekolah lagi. Menurutnya salah satu tugas yang sebenarnya diemban oleh para sarjana adalah membantu menciptakan lapangan kerja, bukan malah menjadi pencari kerja. Dia berseloroh bahwa karena idealismenya dia ini, dia dicemooh oleh teman-teman seangkatannya.


“Moso lulusan terbaik dagang martabak. Malu dong sama ijazah”


Itu satu dari sekian banyak cemoohan teman-temnannya tatkala tahu bahwa dia membuka usaha martabak. Ia sendiri tidak menghiraukannya. Baginya mewujudkan idealismenya ini jauh lebih penting dibanding menghiraukan celotehan-celotehan orang lain yang tidak tahu apa-apa tentang dirinya tersebut.


Selama beberapa bulan, saya perhatikan ia selalu bongkar pasang menu. Mulai dari martabak biasa hingga martabak hijau / pandan. Belum lagi ia berusaha membuat strategi marketing dengan menggunakan kupon dimana setiap beli martabak akan dapat 1 kupon. Setelah mendapat 10 kupon, bisa ditukarkan dengan martabak rasa apa saja.


***


Waktu pun berlalu, selepas menyelesaikan studi S1, saya meninggalkan Jogja. Sebenarnya setahun berikutnya saya sempat berkunjung ke Jogja, namun tidak sempat mampir ke warungnya mas Aam. Tapi saya sempat melintas di salah satu kedainya yang ternyata sudah punya beberapa cabang.


Tahun lalu saat saya berada di Jogja, saya akhirnya bisa kembali menikmati martabak mas Aam tersebut. Di aplikasi Grab Food, kedai miliknya menawarkan banyak ragam makanan lainnya. Ia ternyata berhasil melebarkan usahanya hingga memiliki banyak cabang di Jogja. Ia juga berhasil meramu jenis-jenis makanan yang sebenarnya sudah familiar menjadi lebih istimewa.


Mas Aam adalah satu contoh seorang sarjana yang tidak mau begitu saja bergantung pada ijazahnya. Ia menganggap bahwa proses ia kuliah adalah proses membangun idealisme untuk mencari solusi atas problem-problem yang dihadapi oleh masyarakat, yang salah satu terbesarnya adalah minimnya lapangan kerja dan meroketnya pengangguran.


Ia menganggap bahwa ijazah hanyalah bukti bahwa ia telah menyelesaikan pendidikan. Namun yang terpenting baginya setelah lulus kuliah adalah bagaimana ia bisa mewujudkan idealismenya dan membangun karya yang itu bisa memberikan dampak bagi masyarakat. Saat ini, ia sendiri telah merekrut banyak anak-anak muda lulusan SMA yang tidak bisa lanjut kuliah, untuk bekerja menjadi karyawan di cabang-cabang kedai martabaknya. Ini adalah bukti bahwa ia berhasil membantu mencarikan solusi untuk permasalahan minimnya lapangan kerja.


“Menjadi pengusaha makanan atau jajanan pasar bukanlah aib bagi seorang sarjana atau yang bergelar lebih tinggi. Selama pekerjaan itu tidak merugikan orang lain (terlebih apalagi bisa ikut membantu orang lain), maka teruskan saja. Tinggi rendahnya seseorang itu bukan dilihat dari pekerjaannya, tapi seberapa besar manfaat yang ia bisa berikan untuk orang di sekitarnya” 
-Abi Naya-


*Tulisan ini seharusnya muncul tahun lalu, namun baru bisa sekarang saya publikasikan

Beberapa waktu yang lalu, di salah satu forum pengajian daring, Ust. Adi Hidayat memaparkan bahwa beliau telah melakukan riset selama berbulan-bulan untuk mencari obat dari penyakit yang menjadi wabah dunia saat ini, yaitu Covid 19. Ia melakukan riset berbasiskan Al-Quran dan Al Hadist sesuai otoritas keilmuan beliau yang memang ahli dibidang tafsir. Ia menyebut bahwa nabi pernah menyebut tentang sebuah obat yang bisa menyembuhkan beberapa macam penyakit, salah satunya adalah selaput dada. Beliau (Ust. Adi Hidayat) memberikan inisial PH 7 untuk bahan obat ini yang hanya tumbuh di dua tempat di dunia, yaitu Himalaya dan Saudi Arabia bagian Timur.

Saya tergelitik untuk ikut mencari apa yang dimaksud dengan PH 7 tersebut. Ust Adi Hidayat sendiri belum mau mempublikasikannya karena sudah memberikan hasil kajian beliau tersebut ke pihak-pihak terkait yang berkompeten untuk mengujinya dan mengumumkannya. Banyak orang yang mengira bahwa PH 7 yang dimaksud adalah garam Himalaya karena istilah PH biasanya merujuk pada sifat kimia asam dan basa suatu zat. Saya sendiri berusaha mencari hadist / riwayat nabi terkait obat yang dimaksud. Dan ketemulah hadist nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dengan nomor hadis 5260. Berikut bunyi hadis nabi tersebut.

“Bahwa dirinya pernah mengunjungi Rasulullah SAW bersama anaknya yang baru saja diobati dengan cara memasukan jari-jari ke kerongkongannya, lalu beliau bersabda, ‘Bertakwalah kepada Allah, dengan maksud apa kamu mengobati penyakit tenggorokan anakmu dengan memasukan jemari tangan? Gunakanlah kayu India ini, karena padanya terdapat tujuh ragam penyembuhan, diantaranya adalah penyakit radang selaput dada”

Ternyata PH 7 yang dimaksud bukanlah garam Himalaya, karena garam Himalaya tidak ditemukan di Arab Saudi bagian timur. Dan kemungkinan yang dimaksud PH 7 oleh Ust Adi Hidayat adalah Kayu India, seperti yang disebut dalam hadis diatas. Lalu pertanyaannya, benarkah kayu India yang disebut dalam hadis ini adalah jawaban kita untuk menghentikan wabah Covid 19? Apakah ada dasar ilmiah pemanfaatan kayu India ini sebagai obat?

Disinilah tulisan ini coba mendedah klaim ini dari referensi-referensi ilmiah terkait informasi yang sedang hangat dibicarakan oleh warganet saat ini. 

***

Di India tumbuhan ini disebut qusth India. Dalam kamus lisan al-‘Arob, disebutkan:

“Al-Aluwwah dan Al-Uluwwah, dengan memfatahkan hamzah dan mendlommahkannya serta mentasydid waunya, memiliki dua lugot, yaitu lugot persi yang dijadikan ‘arab ialah kayu gaharu. Bentuk pluralnya adalah Alaawiyah. Imam Al-Ashmu’i berkata, “Al-Uluwwah adalah kayu gaharu”, Abu Manshur berkata, “Al-Uluwwah adalah kayu gaharu”. (Kitab digital Marji’ al-Akbar)

Imam Ibnu Al-Qayim Al-Jauzi dalam kitabnya Al-Thib Al-Nabawi menjelaskan tentang macam dan fungsi kayu gaharu, beliau mengatakan:

”Kayu gaharu India itu ada dua macam. Pertama adalah kayu gaharu yang digunakan untuk pengobatan, yang dinamakan kayu kusth. Ada yang menyebutnya dengan Qusth. Yang kedua adalah yang digunakan sebagai pengharum. Kayu ini disebut Uluwwah.” (At-Thib An-Nabawiy, hlm 265)

Dalam dunia internasional, kayu India ini populer dengan nama Qust Al Hindi atau dalam Bahasa inggris disebut Indian Costus Root. Sebenarnya ada 2 jenis kayu ini, yang satu qust al hindi yang berwarna hitam dan qust al bahri yang berwarna putih. Qust al hindi ini lebih panas disbanding qust al bahri.

Dalam banyak literature disebutkan bahwa qust al hindi ini sudah lama dipakai oleh masyarakat di timur tengah dan asia selatan sebagai pengobatan herbal. Klaimnya ada beberapa manfaat, seperti memudahkan aliran menstruasi, memudahkan aliran urin, membunuh cacing di usus, menangkal racun, mencegah demam, memanaskan perut (memperlancar pencernaan), meningkatkan hasrat seksual, serta menghilangkan bintik-bintik di wajah.

Qust Al Hindi / Kayu India /  Indian Costus Root  (Foto : Istimewa)
 

Dilihat dari publikasi riset di jurnal-jurnal ilmiah, belum ada satupun jurnal yang mengaitkan efektifitas qust al hindi ini sebagai obat Covid 19. Namun ada beberapa penelitian yang sudah dipublikasikan yang mencoba meneliti efektifitas qust al hindi ini sebagai obat untuk melawan bakteri dan mikroba jahat yang menyerang tubuh manusia.

1.    Penelitian Nagwa M. Sidkey et. al dari Universitas Al-Azhar Mesir dan Universitas Taibah Arab Saudi

Dalam penelitian yang berjudul “Antimicrobial Activity of Costus Plant Extract Against Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA, I3)”, para peneliti menyimpulkan bahwa dari studi menyeluruh dan investigasi literatur yang tersedia tentang Costus speciosus, jelas ditemukan bahwa ekstrak tersebut (qust al hindi) memiliki senyawa dengan sifat antimikroba dan berfungsi sebagai sumber penting untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh strain Staphylococcus aureus (MRSA) yang resisten Methicillin. Rimpang C. speciosus (Qust Hindi) memiliki potensi untuk digunakan sebagai nutrisi dalam makanan yang memberikan manfaat kesehatan. Tulisan ini terbit di  International Journal of Science and Research (IJSR), tahun 2015

2.     Penelitian Ebedi Nastaran et.al dari Tehran University of Medical Science, Iran

Penelitian ini mengungkap bahwa beberapa efek farmakologis yang identik seperti aktivitas antiinflamasi, antimikroba, hepatoprotektif, hipolipidemia, hipoglikemik, spasmolitik, analgesik, dan antioksidan telah dibuktikan pada S. costus dan C. speciosus dan kesamaan ini dapat menjadi alasan untuk aplikasi dan penggantian tumbuhan ini daripada satu sama lain. . Lakton sesquiterpene seperti costunolide umum ditemukan dalam famili Asteraceae dan S. costus, tetapi telah dipisahkan dari beberapa tanaman obat lain seperti C. speciosus juga; jadi, ada kemungkinan bahwa komponen aktif ini bertanggung jawab atas efek farmakologis serupa pada S. costus dan C. speciosus. Penelitian ini membuktikan bahwa ada kandungan aktif yang terdapat dalam qust al hindi yang berfungsi sebagai anti mikroba dan antioksidan yang diperlukan tubuh untuk melawan bakteri dan mikroba-mikroba yang menyerang tubuh manusia. Penelitian ini dipublikasikan di Research Journal of Pharmacognosy (RJP) tahun 2018.

3.      Penelitian oleh Zainab A. Bakhsh et.al dari Universitas King Abdul Azis, Arab Saudi

Dalam penelitian ini yang mengambil metode pilot study ini mengungkapkan kemanjuran yang signifikan dari penggunaan ekstrak air rimpang C. speciosus pada pasien yang menderita faringitis akut dan tonsilitis. Intervensi ini menunjukkan perbaikan gejala akut pada 60% pasien yang dirawat dalam 24 jam pertama, dan 93% sembuh total pada hari ke-5 tanpa perkembangan efek samping. Temuan ini menunjukkan bahwa para peneliti dapat mempertimbangkan ekstrak rimpang ini sebagai terapi alternatif untuk manajemen antibiotik pada faringitis akut dan tonsilitis. Penelitian ini dipublikasikan pada Saudi Medical Journal tahun 2015.

4.     Penelitian oleh Al-Kattan dan Manal Otthman dari Universitas King Abdul Azis, Arab Saudi

Penelitian ini mengungkap bahwa ekstrak air dari qust al hindi  terlihat tinggi efektivitasnya melawan Aspergillus niger, Aspergillus flavus dan Candida albicans. Hasil yang diperoleh dari riset ini memberikan bukti tentang pentingnya menggunakan berbagai jenis Costus dalam pengobatan penyakit bakteri yang mempengaruhi saluran pernapasan pada manusia, baik kering maupun ekstrak air. Costus (qust al hindi) adalah salah satu tanaman obat yang telah digunakan sejak zaman dahulu di berbagai negara untuk pengobatan berbagai penyakit yang menyerang manusia. Sebagai pengobatan profetik, ini telah direkomendasikan penggunaan spesies Costus ini dalam pengobatan penyakit selama ribuan tahun. Saat ini, qust al hindi ini adalah salah satu alternatif medis untuk mengurangi risiko resistensi terhadap antibiotik. Penelitian ini dipublikasikan pada Journal of Medicinal Plants Research pada tahun 2013.

5.    Penelitian oleh Shabnam Ansari dari Jamia Millia Islamia, India

Penelitian mengungkap bahwa qust al hindi dan senyawa aktifnya telah membuktikan potensinya sebagai antivirus, hepatoprotektif, anti-inflamasi, imunomodulator, anti mikroba, antiulcer, gastroprotective, antikanker, anti oksidan, aktivitas anthelminthic, hipolipidemik, hipoglikemik, anti-angiogenesis, antidiare, spasmolitik dan antikonvulsan dalam berbagai studi in vitro, in vivo dan klinis. Penelitian ini dipublikasikan di Journal of Pharmacognosy Reviews tahun 2019.

*** 

Selain kelima penelitian diatas, masih banyak sekali tulisan-tulisan di jurnal lain yang membahas efektifitas kandungan qust al hindi sebagai obat. Jika ditarik benang merahnya, maka qust al hindi ini bekerja dengan cara meningkatkan imunitas agar tubuh mampu melawan bakteri maupun virus yang menyerang tubuh. Ini artinya bahwa hadis Rasulullah SAW yang kami sitir di awal tulisan ini terbukti benar bahwa kayu india bisa menjadi obat untuk beberapa penyakit, yang salah satunya adalah radang selaput dada. Namun terkait dengan apakah qust al hindi ini juga bisa menyembuhkan penyakit covid 19, ini masih belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Klaim ini masih memerlukan pengujian dan penelitian secara ilmiah agar penggunaannya bisa tepat. Walaupun dalam literature disebut bahwa qust al hindi bisa menyembuhkan radang paru-paru, dan covid 19 ini juga sebenarnya menyerang paru-paru, namun sekali kali kami sebutkan bahwa ini belum ada dasar ilmiahnya (belum ada publikasi jurnal ilmiah terkait hal ini). Bisa jadi saat ini ada peneliti di suatu tempat sedang berkejaran dengan waktu untuk meneliti kandungan qust al hindi sebagai solusi mengatasi wabah covid 19 ini. 

Saat ini, ikhtiar yang bisa dilakukan oleh kita adalah meningkatkan imunitas diri dengan cara berolahraga, makan makanan bergizi, terus berpikir positif, dan minum multivitamin. Selain itu, sebagai langkah antisipasi juga wajib patuhi protokol yang berlaku. Sebagai masyarakat awam, sudah seyogyanya kita mendoakan agar obat covid 19 ini bisa segera ditemukan dan wabah ini segera mereda sehingga kehidupan bisa kembali seperti semula. Wallahu’alam bishawab

Beberapa tahun yang lalu, di Indonesia sempat geger isu soal halal haram penggunaan vaksin meningitis, karena katalisator pembuatan vaksin maupun salah satu komponen penyusun vaksin adalah terbuat dari hewan yang diharamkan, seperti babi. Pihak-pihak yang pro maupun kontra masing-masing memiliki argumentasinya sendiri. Para ulama saling silang pendapat mengenai hukum fiqih vaksin ini. Namun, terlepas dari pro kontra ini, vaksin memiliki peran penting di masa sekarang sebagai upaya untuk menjaga diri serta kelangsungan hidup manusia.

Apa itu vaksin?

Vaksin adalah zat atau senyawa yang berfungsi untuk membentuk daya tahan tubuh. Vaksin dapat merangsang tubuh agar menghasilkan antibodi yang dapat melawan kuman penyebab infeksi. Vaksin mengandung virus atau bakteri, baik yang masih hidup maupun yang sudah dilemahkan. Vaksinasi dapat diberikan dalam bentuk suntikan, tetes minum, atau melalui uap (aerosol).

Apakah vaksinasi sama dengan imunisasi?

Fenomena yang terjadi di masyarakat, orang sering mengartikan sama vaksinasi dan imunisasi. Dua kata itu sama-sama diartikan sebagai tindakan di dunia medis yang bertujuan untuk mencegah orang sakit. Tetapi sebenarnya vaksinasi dan imunisasi mempunyai arti yang berbeda, meskipun mempunyai tujuan yang sama yaitu mencegah agar tubuh tidak sakit. Vaksinasi sendiri berasal dari bahasa latin “vacca” yang berarti sapi. Menggunakan kata sapi, karena pada awalnya, vaksinasi dibuat untuk memberikan kekebalan kepada binatang sapi yang terinfeksi oleh virus cacar sapi. Pada perkembangannya, vaksinasi bukan hanya diberikan kepada binatang, tetapi juga kepada manusia. Pada manusia, vaksinasi juga dimaksudkan untuk memberikan kekebalan kepada tubuh manusia. Berbeda dengan imunisasi, vaksinasi pada dasarnya adalah memasukkan zat asing berupa bakteri dan virus yang sudah dilemahkan ke dalam tubuh.

Ilustrasi Vaksinasi


Manfaat Vaksin

Vaksin dapat merangsang tubuh untuk membentuk antibody terhadap penyakit tertentu. Virus atau bakteri aktif sebelumnya dilemahkan di proses produksi, kemudian diberikan melalui suntikan atau oral ke tubuh manusia. Tubuh akan menganggapnya sebagai benda asing. Kemudian tubuh akan membentuk antibody tersendiri melawan virus atau bakteri yang telah dilemahkan tersebut. Harapannya, tubuh menjadi lebih kebal terhadap virus atau bakteri tertentu sehingga tubuh kita akan senantiasa sehat.

Corona dan Vaksin

Di tengah pandemic covid 19 seperti saat ini, semua negara berlomba membuat vaksin agar wabah ini segera usai. Dalam prosesnya, pembuatan vaksin tidaklah mudah dan memerlukan waktu yang tidak sebentar. Dibutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menciptakan sebuah vaksin untuk penyakit tertentu yang aman untuk manusia. Di saat normal, pengembangan vaksin memerlukan waktu hingga 5 tahun hingga akhirnya siap untuk diproduksi secara massal. Namun di tengah situasi pandemic seperti ini, semua negara berlomba agar proses panjang ini bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Dan terbukti, hingga saat ini setidaknya sudah ada 30 an vaksin yang sedang dalam tahap uji.

Beberapa pihak meyakini bahwa pandemic covid 19 ini akan berhenti / mereda ketika vaksin ditemukan. Sejarah telah mencatat bahwa penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh virus hingga menyebabkan pandemic lebih efektif dijinakkan ketika virus ditemukan, seperti wabah flu spanyol yang menjadi wabah selama 3 tahun di dunia. Jika saat ini covid 19 dinilai sebagai penyakit yang ganas dan mematikan, maka bisa jadi setelah vaksin ditemukan, maka covid 19 akan menjadi seperti penyakit biasa lain yang ditimbulkan oleh virus. Virus ini akan tetap ada, namun tingkat keganasannya bisa kendalikan. Oleh karena itu, keberadaan vaksin di masa kini merupakan sebuah keniscayaan sebagai upaya agar kelangsungan hidup manusia bisa terus diupayakan.

Tingkat literasi vaksin dan kemajuan teknologi informasi

Saat ini, setiap orang memiliki akses ke gawai masing-masing yang juga terhubung dengan internet. Setiap orang bisa dengan mudah mencari informasi tentang covid 19, vaksin, maupun info lain seputar vaksinasi. Mereka tinggal memasukkan kata kunci di mesin pencari dan mesin mencari akan menyajikan banyak sumber mengenai kata kunci yang mereka masukkan.

Salah satu portal informasi yang menyajikan informasi-informasi seputar kesehatan, penyakit, maupun vaksinasi adalah website halodoc.com. Website ini cukup lengkap menyajikan informasi seputar kesehatan, informasi klinik dan rumah sakit, hingga menawarkan telemedicine dengan berbagai dokter umum maupun spesialis. Selain dalam bentuk website, mereka juga menyajikannya melalui aplikasi di ponsel pintar. Sehingga membuat penggunanya semakin nyaman.

Dengan adanya website semacam halodoc.com dan lainnya, memberikan manfaat meningkatkan literasi warganet terhadap informasi terkait kesehatan. Sehingga diharapkan masyarakat bisa lebih aware dengan kesehatannya. Bahkan, melalui website halodoc juga, kita bisa mencari tempat-tempat / klinik dan rumah sakit yang membuka layanan tertentu. Ini sangat penting apalagi di masa wabah saat ini tentu riskan mendatangi tempat tersebut satu persatu. Sebagai contoh, jika kita ingin mencari informasi seputar klinik yang menawarkan vaksinasi di kota Medan, maka cukup ketikkan vaksin medan di kolom pencarian. Maka akan muncul banyak klinik yang telah terindeks di database halodoc yang menawarkan layanan vaksinasi.

Kedepan, ketika vaksin covid 19 telah ditemukan, maka keberadaan portal-portal informasi seperti ini akan sangat dibutuhkan. Selain praktis juga memudahkan kita agar bisa secara cepat menemukan informasi tempat dimana menawarkan vaksin tersebut. Adanya portal ini seharusnya juga menurunkan jumlah hoax seputar kesehatan yang sering tersebar melalui media online.


Beberapa waktu yang lalu, publik digegerkan dengan RUU HIP yang disahkan masuk kedalam Prolegnas DPR RI. Masuknya sebuah RUU kedalam prolegnas sebenarnya hal biasa, namun konten dari RUU ini menjadi pemicu kegaduhan ditengah konsentrasi publik yang sedang berjuang menghadapi pandemi Covid 19. Walaupun kini RUU tersebut ditarik kembali dan diganti dengan nama lain, namun kita harus tetap waspada dengan isinya. Publik berhak tahu dan mengkritisinya, mengingat konsentrasi kita sedang terpecah. Namun pertanyaan mendasarnya, masih perlukah RUU ini dilanjutkan pembahasannya (walau dengan nama lain)? Dimana letak unsur mendesak dari perlunya RUU ini dibahas dan disahkan? Tulisan pendek ini mencoba mengelaborasi beberapa hal untuk menjawab pertanyaan diatas secara singkat.

PANCASILA DAN KESALAHAN KONSEPSI

Pancasila adalah dasar negara, sumber dari segala sumber hukum, yang mestinya jadi acuan dalam setiap regulasi atau undang-undang. Adanya RUU HIP ini sebenarnya malah mendegradasi Pancasila menjadi kebawah dalam tata aturan hukum kita. Ketika ia diturunkan menjadi sebuah UU, menjadi tidak tepat karena Pancasila jadi dimaknai ulang untuk bisa menjadi UU dan juga ditempatkan seakan-akan di bawah.

 

Ilustrasi (Gambar :  Sindonews)
Ilustrasi (Gambar :  Sindonews)

Pancasila adalah nilai. Jika ia dibuat menjadi UU, maka justru merubahnya menjadi yang dinilai. Logikanya adalah jika Pancasila adalah nilai, maka seluruh turunannya (UU) harus berdasarkan nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Maka jika Pancasila justru dibuat menjadi UU, maka ini sama saja seperti menilai Pancasila dengan Pancasila. Hal ini akan mengacaukan logika ketatanegaran kita.

WACANA DAN NORMA

Pancasila dengan kelima silanya adalah norma. Norma Pancasila ini lantas menjadi norma-norma hukum dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Pancasila sebagai norma diabadikan dalam preambul UUD 45.

Adanya frasa Trisila dan Ekasila, justru membuktikan bahwa penyusun RUU ini gagal memahami sejarah. Soekarno hanya sekali menyebut Trisila dan Ekasila dalam pidatonya. Jika kita pahami pidatonya secara utuh, maka kita akan mendapati bahwa Trisila dan Ekasila hanyalah sebuah wacana. Ini berbeda dengan Pancasila yang justru menjadi norma.

Pancasila yang kita miliki saat ini adalah Pancasila hasil dari proses panjang perdebatan para founding fathers kita tentang dasar negara. Dimulai dari 1 Juni 1945 hingga disahkan 18 Agustus 1945. Dan dalam pengesahannya, Pancasila adalah tetap 5 dasar / norma seperti yang kita kenal saat ini. Wacana Ekasila dan Trisila tidak ada disebutkan dalam putusan tersebut. Oleh karena itu, adanya kedua frasa ini dalam RUU HIP membuktikan bahwa penyusun RUU ini gagal memahami sejarah.

MASALAH KITA ADALAH IMPLEMENTASI PANCASILA

Yang sesungguhnya terjadi di Indonesia saat ini bukanlah menjadikan Pancasila sebagai sebuah UU, melainkan bagaimana mengimplementasikan Pancasila dan segenap nilai-nilainya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua lapisan masyarakat, mulai dari rakyat hingga pejabat sudah seyogianya menjadikan Pancasila sebagai spirit dalam mengelola negara ini.

Namun pada kenyataanya, harapan ini masih jauh. Kita bisa melihatnya dari banyaknya UU yang dibatalkan oleh MK karena saling bertentangan dan bahkan bertolak belakang dengan UUD 45 sebagai tata aturan hukum yang menginstitusionalisasi Pancasila. Muhammadiyah sendiri melalui gerakan jihad konstitusionalnya bahkan sudah banyak berhasil mengajukan Judicial Review ke MK dan dikabulkan. JR yang dilakukan oleh Muhammadiyah ini semata-mata diajukan karena Muhammadiyah menemukan ada ketidaksesuaian konten UU yang disahkan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 45. Keberhasilan Muhammadiyah dalam men-JR kan banyak UU ini membuktikan bahwa masih banyak produk legislasi kita yang jauh dari implementasi nilai-nilai Pancasila. Dan ini baru satu contoh letak dimana persoalan Pancasila di negeri ini. Masih banyak persoalan lain dari Pancasila yang lebih urgen dibanding menjadikannya sebagai UU seperti perilaku elit negeri yang banyak mempertontonkan 'dagelan' politik yang jauh dari nilai-nilai Pancasila.

LANTAS APA URGENSI RUU HIP INI?

Satu-satunya alasan yang bisa diterima dari keberadaan RUU ini adalah institusionalisasi lembaga BPIP yang dibentuk presiden sejak tahun 2018. Namun, walaupun bisa dirasionalisasi, keberadaan RUU ini sebenarnya tidak mendesak. Keberadaan BPIP sendiri sudah dikuatkan dengan Perpres. Memang lazimnya, sebuah lembaga negara dilahirkan sebagai bentuk turunan dari sebuah UU, dan BPIP menjadi anomali sebenarnya karena BPIP bukan sebuah lembaga adhoc. Usaha mengembalikan kelaziman kelahiran BPIP sebagai lembaga negara melalui RUU ini makin menjadi sebuah anomali, karena konten RUU yang diajukan justru sangat tidak operasional. Walaupun penting, namun sangat tidak mendesak ditengah kondisi pandemi seperti saat ini. Toh nyatanya BPIP hingga saat ini belum menampakkan hasil kerja yang signifikan, justru pimpinannya malah sering membuat pernyataan blunder di media.

***

Dari poin-poin diatas, maka sudah jelas tidak ada alasan untuk tidak mencabut RUU dalam prolegnas DPR RI. Jikapun ini dirubah namanya menjadi RUU BPIP agar bisa disesuaikan dengan tujuannya untuk melegalkan lembaga BPIP, kita masih harus tetap kritisi kontennya, karena nyatanya isinya bertentangan dengan judul besar RUU itu sendiri.

*Tulisan ini telah terbit di Majalah At-Tanwir milik Muhammadiyah Pakistan, edisi perdana, Juli 2020

Ùˆَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ ÙˆَالصَّÙ„َاةِ ÙˆَØ¥ِÙ†َّÙ‡َا Ù„َÙƒَبِيرَØ©ٌ Ø¥ِÙ„َّا عَÙ„َÙ‰ الْØ®َاشِعِينَ

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (QS. Al-Baqarah: 45)

Hari-hari terakhir ini cukup berat bagi saya dan istri. Semua yang terjadi diluar kuasa kami. Mungkin bagi orang lain ini hal biasa, namun tidak untuk kami yang baru saja memulai peran menjadi orangtua yang diamanahi dua orang putri setelah menunggu hampir lima tahun lamanya.

Semua seolah terjadi begitu cepat. Akhir April, dokter yang menangani kami sejak bulan-bulan pertama sudah menanyakan kapan bayi akan dilahirkan. Namun kami berdua masih gamang, kapan waktu yang tepat mengingat ada banyak sekali hal yang menjadi pertimbangan kami berdua.

Selasa 5 Mei 2020, dokter meminta kami menemuinya lagi untuk mengecek semua kondisi sebelum menentukan apakah akan dioperasi tanggal 6 nya atau ditunda minggu depannya menunggu sampai mencukupi 37 minggu. Soal berat badan, berdasarkan hasil USG nya, BB Sarah mencapai 2,3 Kg dan Aisha 2,9 Kg. Namun karena ini adalah alat yg tidak sepenuhnya valid, masih ada margin error sebesar 10-20% (asumsinya bertambah atau berkurang 200 gram). Disini kami mulai ragu untuk memilih tanggal 6 Mei karena jika errornya ke bawah, maka BB Sarah akan hanya 2,1 Kg, 100 gram dibawah standar Taiwan. Sebagai informasi, standar BB bayi baru lahir minimal di Taiwan adalah 2,2 Kg (berbeda dg di Indonesia yg beberapa masih mensyaratkan minimal 2,5 Kg) sesuai dengan kaidah ilmiah terbaru yg menjadi rujukan resmi Kementerian Kesehatan Taiwan.

Ruang PICU, tempat Sarah dan Aisha dirawat selama 8 hari (Foto : Dok Pribadi)

Setelah berdiskusi hampir satu setengah jam dengan dokter, kami memutuskan untuk dioperasi esok harinya. Malam Pkl. 21.30 kami memulai prosedur pra operasi secara maraton hingga subuh sebagai prasyarat. Istri pun mulai di cek NST (Fetal Non Stress Test) untuk merekam kondisi detak jantung bayi dan kontraksi rahim. Kemudian istri juga dites darahnya. Beberapa saat setelah hasilnya keluar, tim perawat yg mengetahui hasil pemeriksaannya buru-buru menelpon dokter kami di rumahnya dan memintanya datang karena ada hasil yg mengkerenyitkan dahi. Dokter pun datang tergesa-gesa walau waktu itu sudah tengah malam dan ia sebenarnya sudah bersiap beranjak tidur.

Dokter menyampaikan bahwa detak jantung Sarah cukup lemah dan terus melemah. Kami pun cukup kaget, karena selama ini di saat kontrol rutin, tidak ditemukan masalah. Dokterpun mengatakan bahwa USG tidak bisa menjadi patokan mengingat ini adalah kehamilan kembar. Selain itu, dokter menemukan bahwa istri saya terkena anemia yg cukup parah yang lagi-lagi tidak terdeteksi saat hamil. Hb nya turun hingga 4 level menjadi 8, padahal Hb manusia normal adalah 12. Apalagi ini akan dioperasi besar, sehingga sangat berpotensi pendarahan dan sangat beresiko tinggi. Dokter memutuskan untuk melakukan transfusi darah sebanyak 2 kali. Selain anemia, istri juga terkena edema yg membuat kakinya bengkak-bengkak. Dan ia juga terkena groin pain di perut bagian bawah yg praktis membuatnya tidak bisa tidur lelap dalam sebulan terakhir akibat nyeri yg tak tertahankan. Hasil NST terakhir yang dijelaskan oleh dokter kepada kami adalah bahwa ternyata rahim istri saya sudah mulai berkontraksi cukup sering walau istri saya tidak merasakannya sama sekali. Ini jika tidak diketahui sejak awal bisa membahayakan ketiganya.

Saat subuh, istri kembali dites darahnya dan Hb sudah naik menjadi 10. Walau masih beresiko, tim dokter menyatakan sudah cukup untuk kemudian dioperasi 2 jam setelahnya. Rabu 6 Mei jam 8 pagi, kami bergerak menuju ruang anestesi sebagai transit pertama sebelum memasuki ruang operasi. Disana sudah menunggu tim dokter anestesi yg dipimpin seorang dokter senior yang ternyata berkebangsaan Malaysia. Ia seorang keturunan tionghoa Malaysia yg sudah lebih dari 30 tahun belajar dan bekerja di Taiwan sebagai dokter anestesi.

Saya diminta menunggu di luar ruangan karena prosedur disini sangat ketat dengan tidak membolehkan siapapun memasuki ruang operasi, walaupun suaminya sekalipun. Di luar ruangan, saya diminta bersiap jika ada hal-hal penting yg memerlukan persetujuan saya.

50 menit pertama, saya terus merapal doa. Ini kali pertama saya punya pengalaman menunggui keluarga yg harus dioperasi. Di tengah rapalan doa, perawat meminta saya untuk segera mengikutinya menuju suatu ruangan. Ia memberitahu, walau dengan bahasa inggris yg terbata-bata namun ia berusaha menjelaskan selengkap mungkin, bahwa kedua bayi kami telah lahir dan istri saya masih di ruang operasi untuk proses menjahit luka. Ia memberitahu bahwa kedua bayi kami mengalami masalah dengan paru-paru dan pernapasannya. Ia meminta saya menandatangani setumpuk dokumen sebagai prasyarat perawatan khusus di ruang PICU. Mendengar penjelasan dari perawat, seketika itu juga kaki saya lemas. Pikiran saya 'blank' sesaat meneropong lorong ruangan PICU yang berisikan perawat dan dokter yg agak berjalan terburu-buru kesana kemari. Dengan perasaan lemas setelah mendengar penjelasan mereka, saya pun menandatangani semua dokumen tanpa menanyakan dokumen apa itu. Dalam pikiran saya, yg penting kedua anak saya dan ibunya selamat. Setelah sekira 45 menit menyelesaikan semua dokumen yg diperlukan, saya diizinkan melihat kedua anak saya.

Deg! Jantung dan seluruh aliran darah saya seolah berhenti, melihat dua bayi kami terbaring di kotak inkubator dengan selang ventilator di hidung dan mulutnya, selang infus di tangannya, dan kabel-kabel di dada dan kakinya untuk memantau detak jantung mereka. Kaki saya lemas melihat pemandangan ini semua. Tak pernah terbayangkan sebelumnya jika kedua anak kami di masa ia baru melihat dunia, sudah harus berjibaku dengan seabreg alat-alat medis untuk membantunya bertahan melewati masa-masa kritis.

Para perawat yang sebelumnya mengantar saya melihat mereka, membiarkan saya berdiri menyendiri di samping kedua kotak inkubator yg di dalamnya berbaring Sarah dan Aisha. Saya berusaha untuk mengontrol emosi saya. Sebagai manusia, saya memiliki batasan untuk bisa membendung air mata saya melihat apa yang saya saksikan saat itu. Saya terisak, larut dalam kesedihan. Sarah, si kakak yg sejak sehari sebelumnya divonis detak jantungnya terus melemah, nampak bernapas tersengal-sengal.  Di tengah emosi yang bergulung-gulung dan air mata yg terus keluar, saya berusaha menguasai diri agar tidak larut dalam kesedihan terus menerus.

"Andi, kamu sekarang sudah menjadi Ayah. Ada istri dan kedua putrimu yg harus kamu pimpin. Mereka butuh melihatmu tegar agar mereka juga bisa kuat". Samar-samar saya mendengar ucapan ini yg terdengar seperti orang berbisik. Entah siapa yang membisiki kalimat ini.

Saya pun buru-buru menguatkan agar bisa menguasai diri. Saya teringat bahwa sebagai orangtua, saya memiliki hal-hal yg harus saya lakukan untuk kedua putri kami sebagai bagian dari melaksanakan sunnah nabi.

Doa nabi Ibrahim AS dan beberapa doa lain yg dicontohkan oleh Rasulullah SAW saya rapalkan di samping telinga mereka berdua yg disekat menggunakan box plastik. Di tengah rapalan doa tersebut, air mata saya kembali tumpah. Padahal, saya sendiri tidak hafal arti doa tersebut kata perkatanya. Hanya beberapa kata saja saya tahu artinya karena dulu pernah sebentar belajar bahasa arab sewaktu S1. Entahlah, mungkin ini yg dinamakan getaran doa disaat doa diucap dengan kesungguhan, walau tak mengetahui arti utuhnya, namun karena kesungguhan menjadikan makna bait-bait doanya larut menjadi getaran yang terus mengetuk pintu 'arsyi sehingga seolah menjadikan pembacanya mengetahui makna bait per bait dari doa tersebut.

Sebenarnya saya ingin melaksanakan sunnah yang kedua untuk Sarah dan Aisha, yaitu mentahnik mereka dengan kurma. Namun karena kondisi yg sangat tidak memungkinkan, saya tidak jadi melaksanakannya. Mungkin ada yg bertanya, apakah saya mengadzani mereka berdua seperti kebanyakan orang?

Kotak Inkubator yang dilengkapi dengan ventilator dan monitor jantung serta paru-paru (Foto : Dok Pribadi)

Sebagai seorang yg awam dalam masalah agama, saya mempercayakan urusan agama kepada para ulama yg kompeten membahas dan memutuskannya. Dan sebagai seorang kader Muhammadiyah, kewajiban saya menaati putusan ulama Muhammadiyah yg terhimpun dalam Kitab HPT yg salah satunya membahas tentang sunnah-sunnah untuk bayi yg baru dilahirkan. Saya berharap bahwa kepatuhan saya pada putusan para ulama Muhammadiyah ini, membawa kebaikan kepada kami sekeluarga karena keberkahan ilmu dari para ulama yg mengkaji dan memutuskannya.

Kurang lebih 15 menit perawat membiarkan saya terus merapal doa di kedua box tersebut, ia lantas memanggil saya untuk diberikan penjelasan lanjutan. Mereka menjelaskan bahwa Sarah dan Aisha bisa 1-2 minggu di ruang PICU - NICU, tergantung kondisinya. Mereka meminta persetujuan saya lagi terkait pemberian susu formula kepada mereka karena jika harus menunggu ASI dari ibunya, bisa jadi tidak cukup dan perlu waktu. Saya dan istri sejak awal sudah bersepakat tidak akan menjadi orangtua anti SUFOR. Bukan, bukan karena kami tinggal di negara Taiwan. Tapi lebih karena kami sadar bahwa sejak awal kehamilan, kami mengetahui bahwa kehamilan istri saya sangat beresiko tinggi. Bahkan di bulan pertama kehamilan, istri sempat masuk ICU di rumah sakit saat tengah malam karena pendarahan. Ini semua menjadikan kami orangtua yang lebih terbuka dengan segala kemungkinan yg akan terjadi, termasuk soal memakai SUFOR ketika kedua bayi kami lahir nantinya.

Setelah berhasil menguasai diri sepenuhnya, saya kembali ke ruangan pemulihan pasca operasi sembari menunggu istri keluar dari ruangan. Ketika perawat memanggil saya, saya melihat wajah istri saya yang masih setengah sadar karena pengaruh anestesi selama operasi berlangsung. Ia pun bertanya soal Sarah dan Aisha karena ia tidak sempat melihat keduanya ketika baru keluar. Dokter langsung membawanya ke ruang PICU setelah mengetahui keadaan mereka ketika diambil dari perut ibunya. Dia hanya bisa mendengar suara tangis mereka berdua dan samar-samar melihat kaki mereka, karena selama operasi, kacamata istri dilepas oleh perawat.

"Alhamdulillah, Sarah dan Aisha sehat. Fisiknya sempurna dan lengkap" jawab saya untuk menenangkannya. Saya segera mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan seputar operasi sembari guyon agar tidak stress.

Sore harinya, setelah ia sepenuhnya sadar dari obat bius yang menguasainya, saya mulai ceritakan pelan-pelan soal Sarah dan Aisha. Ia tidak menangis, namun saya hapal sekali dengan perubahan raut mukanya. 5 tahun cukup untuk membuat saya hapal karakternya. Ia sebenarnya sedih dan ingin menangis, namun mungkin karena sakit bekas operasi, ia susah mengeluarkan airmatanya. Saya berusaha menenangkannya dengan mengatakan bahwa Sarah dan Aisha sudah berada di tangan yg tepat. Semua dokter dan perawat berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan mereka. Saya terus yakinkan dengan mengambil contoh saat saya dioperasi 6 tahun lalu di Taichung. Disini, di Taiwan, keselamatan akan nyawa manusia menjadi prioritas setinggi-tingginya. Tak perduli si pasien apakah punya uang atau tidak, muda belia atau tua renta sekalipun, tapi jika nyawanya terancam karena hal medis, maka prioritasnya adalah menyelamatkan nyawanya. Soal bisa membayar atau tidak, itu nomor 10 dari 11 prioritas.

Saya terus berusaha tegar dan menenangkannya, walau saya sendiri emosinya sangat labil. Saya ingin menangis, namun tidak mungkin saya tunjukkan di depannya.

Di ponsel saya, terus berdatangan ucapan, doa, dan dukungan dari keluarga serta para sahabat. Mereka terus menawarkan bantuan jika saya membutuhkannya. Mereka tahu bahwa saya sendirian saja di Rumah Sakit menunggui dan merawat istri. Bahkan ada yg menawarkan untuk ikut menemani saya di RS. Namun karena kebijakan RS di tengah wabah saat ini, tidak semua orang bisa masuk RS. Hanya mereka yg memiliki kartu NHI yg bisa masuk sebagai upaya tracing jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Disini, cukup satu kartu untuk semua akses. Selain itu, kebijakan di ruang rawat ibu melahirkan, setiap penunggu pasien harus terdaftar terlebih dahulu dan hanya diizinkan satu orang saja. Itupun tiap beberapa jam saya harus dicek suhu tubuhnya.

Beberapa hari di RS, Sarah dan Aisha terus menunjukkan perkembangan yang sangat baik. Saya percaya bahwa selain karena kecanggihan alat medis dan tingginya ilmu pengetahuan yang dikembangkan disini, semakin membaiknya mereka adalah karena doa yang terus diucap oleh ratusan sahabat dan keluarga kami yang tak putus hari-hari ini. Inilah yang kami yakini sebagai kekuatan iman, meyakini sesuatu yang tak tampak namun sangat berdampak.

Memasuki hari kelima, ternyata Allah masih memberikan tanda cintanya untuk menguatkan kami. Istri saya terkena postpartum hypertension. Tekanan darahnya melonjak menjadi 170/100 dan tidak turun seharian. Selalu berkisar antara 150-170/90-100. Dokter segera memberikan obat anti hipertensi. Namun esok harinya, tetap tak kunjung turun. Dokterpun mengatakan kami harus bersiap untuk memeriksakannya ke dokter kardiovaskular untuk mencari tahu penyebabnya seminggu lagi sembari melihat efek obat yg ia berikan. Ia khawatir ini terkait dengan jantung.

Di hari ketujuh, kami sudah diizinkan pulang walau tekanan darah masih tinggi. Namun Sarah dan Aisha masih harus tinggal beberapa hari lagi di RS. Dokter masih ingin melihat perkembangan paru-parunya, cara bernapasnya, memeriksa bilirubinnya (yang sempat tinggi dan alhamdulillah bisa diturunkan setelah di fototerapi sebanyak 2 kali di hari yang berbeda), mengecek pendengaran mereka/ear test echo (karena mereka lahir 10 hari sebelum hari H), mengecek gelombang otaknya/brain echo dan serangkaian tes lainnya (total mencapai 26 items yg harus diuji). Itu semua adalah protokol Taiwan untuk bayi lahir prematur demi memastikan mereka sudah siap untuk dikembalikan ke orangtuanya.

Di hari ke-9, Sarah dan Aisha sudah diizinkan pulang ke rumah. Mereka sudah bisa berkumpul bersama kami. Walau masih ada kekhawatiran, tapi kami percaya bahwa Allah akan senantiasa menjaga mereka. Dan bagi kami yang menerima amanah, kami sudah komitmenkan untuk melakukan yang terbaik dalam menjaga dan merawat amanah Allah ini.

***

Bagi kami, 9 hari ini bukanlah sebuah cobaan ataupun hukuman, melainkan tanda cinta dari Allah untuk menguatkan kami berempat. Allah senantiasa mencintai ciptaan-Nya dengan cara berbeda. Dan kini giliran kami mendapatkan tanda cinta itu. Mungkin dengan cara ini, Allah ingin menjadikan Sarah dan Aisha menjadi pribadi-pribadi kuat agar mampu melewati kerasnya hidup di masa depan. Dan bagi kami orangtuanya, ini adalah bagian dari upaya 'upgrade' keimanan agar terus bisa mentadabburi setiap takdir yang telah Allah catatkan pada kitab Lauhul Mahfuz. Semoga kita senantiasa berada pada jalur iman dan Islam dalam kondisi apapun.

Chiayi, 20 Ramadan 1441 H / 13 Mei 2020

BANI AZHAR

(Andi, Risda, Sarah, Aisha)


Pagi ini, di tengah berita-berita tentang Corona yang belum juga jinak, menyembul berita yang tak perlu menunggu lama untuk menjadi headline dan mendominasi media sosial hari ini. Republik Cendol Dawet berduka. Sang maestro, Didi Kempot, berpulang ke haribaan Illahi. ia ditemukan tidak sadar di rumahnya dan langsung dibawa ke RS. Namun karena sudah waktunya kembali, Allah memanggilnya pulang.

Meninggalnya Didi Kempot ini bak syair-syair yang ada di lagunya. Dalam tulisan saya tahun lalu, kabar meninggalnya Didi Kempot ini seperti Kelangan pas lagi sayang-sayangnya. Sangat mendadak. Tidak ada pemberitaan sebelumnya yang mengabarkan apakah ia sedang sakit atau sehat. Hampir semua media dalam 3 bulan terakhir mungkin terlalu fokus dengan pemberitaan soal Corona, hingga lupa mengabarkan soal kabar “Keroncongers Sejuta Umat” ini.
 
Lord of Didi Kempot (Photo : Istimewa )
Didi Kempot mungkin menjadi satu-satunya penyanyi lagu keroncong [yang bait-baitnya menggunakan Bahasa jawa] yang bisa membuat semua orang bergoyang dan bernyanyi bersama walau mereka tak memiliki latarbelakang kesukuan Jawa. Lagu-lagu hits nya senantiasa berhasil membuat semua orang kompak bernyanyi walau entah mereka ngerti atau tidak dengan maknanya. Yang penting bisa kompak tak kintang kintang, tak kintang kintang………

Tiap bait syair yang ditulisnya, selalu dipenuhi makna dan cerita. Ia menyimpulkan bahwa bait-bait lagu ciptaannya mengarah pada sebuah antitesa : Patah hati bukan untuk ditangisi, tapi dijogeti.

Corona memang membawa masalah, namun ia juga membawa hikmah. Di penutup usianya yang terbilang masih cukup muda, 53 tahun, ia masih sempat berbuat kebaikan yang berdampak luas bagi masyarakat di tengah situasi wabah seperti saat ini. Belum hilang ingatan kita, beberapa minggu yang lalu, ia menggelar konser dari rumah penggalangan dana untuk korban Corona. Jika tak salah, ia berhasil mengumpulkan lebih dari 4 milyar hanya dalam kurun waktu 2 jam saja. Bisa jadi, ini penggalangan dana terbesar dengan waktu tercepat yang dilakukan dari rumah.

Bulan lalu, Yuval Noah Harari mendadak viral karena tulisannya tentang The World After Coronavirus, ia menceritakan bagaimana dunia akan berubah total karena virus ini. Rasanya tulisan dia walau tidak menyebut soal Didi Kempot, namun juga berimbas pada kita. Sayangnya Noah Harari tidak kenal Didi Kempot sebelumnya atau jadi #SobatAmbyar cabang Rusia, kl kenal bisa jadi ia akan menulis juga tentang Indonesia After Didi Kempot. Indonesia juga akan berubah setelah corona ini. Bukan, bukan karena virusnya, melainkan karena ketiadaan sang bapak patah hati nasional. Tidak akan adalagi konser yang bisa mendatangkan ribuan orang dengan latarbelakang kesukuan yang berbeda, namun bisa larut dalam kekompakan gerak dan cendol dawet lima ngatusan. [Mungkin] Tidak akan adalagi yang menjadi magnet anak muda untuk menyukai lagi keroncong dangdut hingga sebegitu Die Hard nya. Juga tidak adalagi konser bapak-bapak yang sampai bisa membuat anak muda nangis ketika menyanyikannya.

Didi Kempot ini adalah sebuah anomali. Ia jawa, umurnya sudah 50 tahunan, musiknya keroncong dangdut, wardrobe yang ia pakai juga sering beradat Jawa, lirik lagunya berbahasa Jawa, namun penggemarnya hampir ada di sebuah daerah. Bait-baitnya sangat magis yang seolah mampu menghipnotis ribuan penggemarnya untuk melupakan yang namanya “gengsi” untuk menyukai musik lokal.


Mas Didi, sugeng tindak. Lagu-lagumu akan selalu dikenang di segenap #SobatAmbyar seluruh dunia. Maturnuwun sudah menciptakan lagu-lagu terbaik yang menemani jatuh bangunnya kisah cinta saya. Semoga tenang disisi-Nya !
Postingan Lama Beranda

ABOUT AUTHOR


Warga negara Indonesia yang bermukim di Taiwan bersama istri. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Punya hobi mencicipi kuliner dari berbagai daerah

Follow us

POPULAR POSTS

  • KAMUS [SERAPAN] BAHASA SANSKERTA - BAHASA INDONESIA
  • KAMUS [KECIL] BAHASA BELANDA - INDONESIA
  • INKONSISTENSI PEMERINTAH DALAM SIDANG ISBAT 1434 H / 2013 M
  • NAPAK TILAS LOKASI KAMPUS FILM METEOR GARDEN
  • TAIBAO SEA FLOWERS ; TAMAN BUNGA DADAKAN DI KOTA CHIAYI

PARIWARA

FOLLOW US @ INSTAGRAM

About Me

DMCA.com Protection Status

ADVERTORIAL

ADVERTORIAL

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2016 Andi Azhar. Created by OddThemes