Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • Glamping
  • Serba-Serbi Jurnal
    • Pengertian dan Jenis Jurnal
    • Indeks Jurnal
    • Cek Jurnal
      • Cek Jurnal Scopus
      • Cek Jurnal SCI
      • Cek Jurnal SCIE
      • Cek Jurnal SSCI
      • Cek Jurnal ISI
      • Cek Jurnal EI Compendex
      • lt;/ul>
    • Request Download Jurnal/Buku
  • BIPA
    • Mengenal BIPA
    • Materi Ajar BIPA
  • Hubungi Kami

Di salah satu group media sosial yang berisikan para pegiat astronomi muslim, masih ramai memperbincangkan soal hisab dan rukyat awal ramadan kemarin yang ternyata ada perbedaan dalam implementasinya. Walaupun ramadan telah berlalu hamper 18 hari, namun perdebatan soal kriteria ini masih terus berlangsung. Bahkan diskusi mulai meluas soal standar kriteria awal waktu subuh yang ternyata juga ada perbedaan antara pemerintah dan Muhammadiyah.

Seperti yang selalu di katakan di artikel-artikel sebelumnya, Muhammadiyah itu tidak menuhankan sains, namun justru menggunakan sains untuk menyingkap tanda-tanda kebesaran Allah yang telah disebutkan dalam Alquran dan hadist. Selain menggunakan sains dalam menentukan awal bulan, Muhammadiyah juga menggunakan sains dalam menentukan awal waktu solat. Setiap awal waktu solat, dihitung berdasarkan penerjemahan posisi matahari pada saat-saat tertentu.

Istilah awal waktu solat merupakan hasil ijtihad para ‘ulama ketika menafsirkan ayat-ayat Qur’an dan Hadits yang berkaitan dengan waktu solat. Menentukan awal waktu solat, pada dasarnya adalah menentukan posisi Matahari pada waktu yang telah ditentukan (Qur’an dan Hadits) pada tempat tertentu. Hisab waktu solat adalah menentukan kedudukan Matahari sehingga dapat diketahui kedudukan Matahari pada bola langit di saat-saat tertentu.

Dalam khazanah ilmu hisab waktu solat, diketahui ada banyak metode dan kriteria yang ditawarkan, seperti University of Islamic Karachi, Islamic Science of North America, Muslim World League, Ummul Qura dan Egyptian. Dari Indonesia sendiri, kriteria yang jamak ditemui adalah kriteria dari Kemenag RI. Kriteria milik Kemenag ini telah menjadi kriteria yang lama digunakan hingga kemudian Muhammadiyah membuat koreksi atas kriteria awal waktu subuh yang berbeda hasilnya dengan milik Kemenag RI.

Kriteria awal waktu subuh dari berbagai lembaga di dunia (Gambar : PPT Adi Damanhuri, dipresentasikan dalam Munas Tarjih ke-31)

Dalam Alquran, tiap-tiap waktu solat telah dijelaskan melalui ciri-ciri yang ada di langit. Misalkan waktu isya’ itu ditandai dengan mulai memudarnya cahaya merah (asy-Syafaq al-Amar) di bagian langit sebelah barat, seperti yang dituliskan dalam Quran Surat Al-Isra ayat 78. Begitu juga dengan tanda awal waktu subuh. Alquran menjelaskan bahwa subuh dimulai dengan hadirnya fajar sadiq.

Alquran yang sebagai kitab suci, memiliki banyak fungsi. Salah satunya adalah memberikan petunjuk. Dan ilmu pengetahuan / sains yang kemudian menjalankan perannya menyingkap petunjuk-petunjuk tersebut.

Fenomena awal waktu subuh hampir sama dengan awal waktu ‘Isya. Untuk ‘Isya ditandai dengan terlihatnya bintang-bintang di langit atau ketika hilangnya mega merah di ufuk Barat, atau perubahan dari terang ke gelap. Untuk waktu Subuh kebalikan dari waktu ‘Isya, yaitu mulai surutnya cahaya bintang-bintang di langit, atau perubahan dari gelap ke terang. Praktisnya, pada saat zenit Matahari hari 90º + standar waktu Subuh, untuk Indonesia standar yang digunakan adalah 20º dibawah horizon, jadi jarak zenitnya menjadi 90º + 20º = 110º.

Dalam menentukan awal waktu salat subuh, dikenal ada 2 fajar, yaitu fajar shadiq dan fajar kadzib. Fajar shadiq adalah sebuah cahaya yang terlihat pada waktu dini hari sebagai batas antara akhir malam dan permulaan pagi. Sementara, fajar kadzib adalah sebuah cahaya yang agak terang yang terlihat memanjang dan mengarah ke atas (secara vertikal) di tengah-tengah langit, berbentuk seperti ekor serigala.

Meskipun, fajar kadzib telah berakhir, umat Islam belum bisa melaksanakan shalat Subuh karena cahaya putih fajar shadiq belum lagi menyebar di ufuk timur. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW, "Bukanlah fajar cahaya yang meninggi di ufuk, tetapi yang membentang berwarna merah (fajar putih kemerah-merahan)" (HR Ahmad, dari Qais ibn Thalq dari ayahnya).

Fajar sadiq dan fajar kadzib (Foto : OIF UMSU)

Imam Abu Mijlaz (Lahiq ibn Humaid as-Sadusi al-Bashri, wafat pada 101 H), seorang tabiin yang meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy'ari RA, Hasan ibn Ali RA, Muawiyah ibn Abi Sufyan RA, dan Imran ibn Hushain RA berkata, "Cahaya yang menjulang (meninggi) di langit bukanlah Subuh, melainkan itu adalah fajar kadzib. Sesungguhnya subuh itu adalah apabila ufuk menjadi terbuka (tersingkap) berwarna putih".

Fenomena awal waktu subuh ini bukanlah fenomena binary (1 atau 0) seperti ruang yang gelap dengan lampu dimatikan lalu dihidupkan sehingga terangnya bisa berubah dengan cepat. Fenomena waktu subuh ini merupakan proses perubahan yang gradual (bertahap) seiring dengan posisi matahari.

Muhammadiyah telah lama menyadari akan keganjilan kriteria waktu subuh di Indonesia yang dinilai terlalu cepat. Pernah satu waktu ada seorang ulama dari timur tengah yang datang ke Indonesia. Saat terdengar adzan subuh, ia lantas keluar dan melihat ke langit. Ia pun heran karena langit masih tampak gelap dan merasa bahwa awal waktu subuh di Indonesia ini terlalu cepat.

Mungkin banyak orang bertanya, mengapa Muhammadiyah ngotot sekali untuk mencari ketepatan waktu dalam hal waktu subuh ini. Jawabannya adalah karena penentuan awal waktu subuh ini berkaitan erat dengan tiga ibadah, yaitu batas akhir salat witir, tanda masuk salat subuh, dan tanda waktu dimulainya puasa. Sehingga penentuan awal waktu subuh ini sangat menjadi prioritas guna sempurnanya ibadah.

Dalam upaya menyingkap ketepatan awal waktu subuh, Muhammadiyah menggunakan kajian 3 aspek, yaitu pendapat ulama falak atau astronomi sejak abad ke-4 hijriah hingga saat ini. Yang kedua menggunakan sampel dari sejumlah negara tentang penetapan awal waktu subuh. Dan yang terakhir adalah menggunakan hasil kajian dari 3 lembaga astronomi milik Muhammadiyah, yaitu Observatorium Ilmu Falak (OIF) yang berada di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Medan, Pusat Studi Astronomi (Pastron) yang berada di Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Yogyakarta, dan Islamic Science Research Network (ISRN) yang berada di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA), Jakarta.

Ketiga Lembaga astronomi Muhammadiyah tersebut telah melakukan pengamatan selama 4 tahun di lebih dari 20 kota di seluruh Indonesia. Bahkan ISRN Uhamka juga menggunakan data-data sekunder dari 30 negara di dunia. Ketiga Lembaga ini memiliki usulan berbeda untuk awal waktu subuh berdasarkan kesimpulan dari hasil kajian mereka selama ini.

Data hasil pengamatan awal waktu subuh dari 3 lembaga astronomi milik Muhammadiyah (Gambar : PPT Adi Damanhuri, dipresentasikan dalam Munas Tarjih ke-31)

ISRN Uhamka menyimpulkan waktu subuh berada pada posisi sekitar -13º dibawah ufuk. OIF UMSU menyimpulkan waktu subuh dimulai pada posisi -16.48º. Sedangkan PASTRON UAD berkeyakinan bahwa awal waktu subuh terjadi ketinggian dibawah -18º.

Dari hasil pengamatan bertahun-tahun ini, didapati bahwa munculnya fajar sadiq sebagai tanda awal waktu subuh tidak selalu sama setiap harinya. Terkadang fajar sadiq muncul di ketinggian -18º, kadang juga di ketinggian yang lebih rendah, dan ada yang muncul di ketinggian -19º. Perbedaan-perbedaan ketinggian ini bisa disebabkan oleh banyak hal. Salah satunya adalah polusi cahaya dan pengaruh atmosfer.

Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid sebagai pemangku urusan keagamaan di lingkungan persyarikatan, perlu untuk menetapkan awal waktu subuh ini. Melalui Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih ke-31, Muhammadiyah menetapkan bahwa awal waktu subuh atau waktu munculnya fajar sadiq adalah Ketika posisi matahari berada pada ketinggian -18º. Dengan perbedaan 2 derajat dimana 1 derajat itu bernilai sekitar 4 menit, maka akan ada perbedaan 8 menit dengan jadwal yang masih digunakan oleh masyarakat umum dengan standar ketinggian Matahari -20º. Angka -18º didapat dari diskusi mendalam dengan para ilmuwan astronomi serta ulama-ulama yang sengaja diundang untuk memberi masukan dan pendapat.

Inilah salah satu bukti bagaimana Muhammadiyah menggunakan sains/ilmu pengetahuan untuk menyingkap petunjuk-petunjuk yang ada dalam Alquran dan hadits, dalam kaitannya dengan hal ibadah. Ilmu pengetahuan/sains adalah alat dengan sumber utama berasal dari Alquran dan hadits

Tahapan dalam pengoreksian awal waktu subuh yang dilakukan oleh Muhammadiyah (Gambar : AA)

Apa yang telah diputuskan oleh Muhammadiyah ini bisa jadi akan menjadi bahan gunjingan, cemoohan, ejekan, dan lainnya. Namun sebagai organisasi yang telah melintasi berbagai periode dan zaman ini, hal tersebut bukanlah hal yang serius yang perlu diperhatikan. Dalam memutuskan berbagai hal yang terkait dengan agama, Muhammadiyah telah memiliki prosedur yang rapih, modern, dan terstruktur, sehingga apa yang diputuskan benar-benar bisa dipertanggungjawabkan secara sains/ilmu pengetahuan, maupun secara agama. Inilah salah satu bentuk ijtihad Muhammadiyah dalam kaitannya untuk menyempurnakan ibadah.

***

Lalu bagaimana agar mendapatkan notifikasi waktu-waktu solat yang sesuai dengan standar dan kriteria yang telah ditetapkan oleh Muhammadiyah?

Ada salah seorang kader Muhammadiyah, alumni Madrasah Muallimin Yogyakarta, yang telah membuat telegram bot bernama Muadzin Bot, yang berfungsi memberikan pengingat Ketika masuk waktu solat melalui notifikasi chat telegram. Dalam Muadzin Bot ini, ada beberapa kriteria dan metode hisab yang bisa dipilih. Dan menariknya, ada kriteria Muhammadiyah disana.

Sejauh saya menggunakan perangkat ponsel pintar (dan telah mencoba lebih dari 5 aplikasi waktu solat), baru Muadzin Bot inilah yang mencantumkan kriteria dan metodologi hisab dari Muhammadiyah. Sehingga bagi umat muslim (kader maupun non kader Muhammadiyah) yang ingin mendapatkan notifikasi awal waktu solat sesuai perhitungan Muhammadiyah (termasuk awal waktu subuh terbaru / -18º), maka bisa mencoba menggunakan telegram bot bernama Muadzin Bot ini. Bagi yang sudah menginstal aplikasi telegram, cukup tambahkan akun Muadzin Bot dan ikuti instruksinya (silahkan lihat poster yang ada di kolom advertorial 2 dibawah).

Di akhir bulan kemarin, saya menulis soal bagaimana metode yang dipakai oleh Muhammadiyah dalam menentukan awal ramadan, syawal, dan zulhijjah yang berbeda dari metode yang dipakai oleh pemerintah maupun ormas lainnya.

Sebenarnya perbedaan yang terjadi di awal ramadan tahun ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Sekira 7 tahunan yang lalu juga terjadi perbedaan awal ramadan / syawal dan kebetulan selama 7 tahun terakhir, awal ramadan serta syawal antara Muhammadiyah dengan pemerintah selalu sama atau berbarengan.

Saat terjadi perbedaan seperti awal ramadan tahun ini, orang-orang ramai membincangkan kembali soal ayat dalam Alquran tentang kewajiban untuk menaati Ulil Amri.

Adapun ayat yang menyebut soal kewajiban ini terdapat dalam surat An-Nisa ayat 59 :

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Muhammadiyah dianggap "melanggar" perintah tuhan dengan menyelisihi ketetapan pemerintah yang oleh kebanyakan orang awam dianggap sebagai ulil amri (padahal Muhammadiyah sudah jauh lebih dulu mengumumkan ketetapan awal ramadan, syawal, dan zulhijjah sejak awal tahun ini) soal hasil sidang isbat.

Muhammadiyah sendiri sudah sejak lama berijtihad menggunakan metode hisab hakiki wujudul hilal dalam menentukan awal bulan. Muhammadiyah bukan tanpa dasar memilih metode ini. Sebagai organisasi dan gerakan islam modern, Muhammadiyah selalu berusaha menggunakan agama dan sains sebagai pijakannya. Sains digunakan bukan untuk menggantikan agama. Muhammadiyah tidak menuhankan sains. Justru Muhammadiyah menggunakan sains untuk mengungkap tanda-tanda kebesaran Allah yang disebut dalam Alquran dan hadits.

Lantas dengan keyakinannya ini soal metode hisab, apakah Muhammadiyah bisa dianggap tidak patuh pada Ulil Amri? Apakah Muhammadiyah membangkang pada perintah Allah dalam Alquran?

Khusus tentang persoalan ulil amri, yang jadi persoalan bukanlah tentang keharusan patuh pada ulil amri, karena perintah patuh pada ulil amri sudah dinashkan secara jelas dalam Al-Qur’an.

Tetapi yang jadi persoalan adalah siapakah yang berhak disebut ulil amri dalam ayat tersebut. Satu pihak menyatakan bahwa ulil amri itu adalah pemerintah. Untuk urusan penetapan awal Ramadhan dan terutama awal Syawal, ulil amrinya adalah Menteri Agama. Dengan demikian, apabila Pemerintah sudah menetapkan awal bulan Ramadhan dan Syawal, maka semua umat Islam harus mematuhinya. Dalam hubungannya dengan Muhammadiyah, jika Muhammadiyah mengumumkan berbeda dengan Pemerintah, berarti Muhammadiyah tidak taat dengan ulil amri, berarti juga tidak melaksanakan perintah Allah dalam ayat di atas.

Kitab HPT, merupakan kumpulan hasil pembahasan dan penetapan urusan-urusan keagamaan para ulama Muhammadiyah yang tergabung dalam Majelis Tarjih dan Tajdid (Foto : Istimewa)

Sementara itu, pihak lain, terutama Muhammadiyah, dengan keyakinan tinggi tanpa keraguan sedikit pun, tidak menolak untuk patuh dalam ayat tersebut. Tapi yang dipertanyakan adalah apakah menteri agama itu sah disebut sebagai ulil amri sesuai dengan terminologi yang disebut dalam surat An-Nisa tersebut?

Untuk urusan keagamaan, apalagi ibadah mahdhah, harusnya diputuskan oleh lembaga yang punya kompetensi dan otoritas untuk itu. Misalnya di Mesir yang memutuskan satu Syawal adalah Grand Mufti, sementara Menteri Agama/Wakaf hanya menyaksikan. Di Saudi Arabia yang memutuskan adalah Mahkamah Agung. Di Malaysia yang memutuskan adalah Mufti Negara. Dan sebagian besar negara-negara Islam lainnya yang memutuskan juga adalah seorang mufti.

Mufti atau grand mufti ditunjuk oleh pemerintah berdasarkan kriteria keulamaan, keilmuan, dan keahlian dalam hal agama. Sementara di Indonesia menteri agama adalah jabatan politik, ditunjuk oleh presiden berdasarkan pertimbangan politik bukan dengan pertimbangan keilmuan dan keulamaannya. Indonesia tidak memiliki mufti atau grand mufti.

Oleh sebab itu selama ini fatwa-fatwa keagamaan dikeluarkan oleh lembaga-lembaga fatwa yang ada pada ormas-ormas Islam seperti Majelis Tarjih dan Tajdid (Muhammadiyah), Lajnah Bahtsul Matsail (Nadhlatul Ulama), dan Komisi Fatwa (Majelis Ulama Indonesia).


Pengertian Ulil Amri

Secara bahasa ulî adalah bentuk jamak dari wali yang berarti pemilik atau yang mengurus dan menguasai. Bentuk jamak dari kata tersebut menunjukkan bahwa mereka itu banyak. Sedangkan kata al-amr adalah perintah atau urusan.

Dengan demikian ulil amri adalah orang-orang yang berwewenang mengurus urusan kaum muslim. Mereka adalah orang-orang yang diandalkan dalam menangani persoalan-persoalan kemasyarakatan.

“Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (Q.S. Al-Maidah 5: 55)

Siapakah ulil amri tersebut? Jika dikaitkan dengan Surat Al-Maidah ayat 55 diatas maka ulil amri itu adalah pemimpin umat yang menggantikan kepemimpinan Rasulullah SAW.

Dalam ayat di atas dijelaskan tiga hirarki kepemimpinan: Allah, Rasul-Nya dan orang- orang yang beriman. Secara operasional, kepemimpinan Allah SWT itu dilaksanakan oleh Rasulullah SAW, dan sepeninggal beliau kepemimpinan itu dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman.

Empat Syarat Menjadi Ulil Amri

Sebagai Nabi dan Rasul, Nabi Muhammad SAW tidak bisa digantikan, tapi sebagai kepala negara, pemimpin, ulil amri tugas beliau dapat digantikan. Orang-orang yang dapat dipilih menggantikan beliau sebagai pemimpin minimal harus memenuhi empat kriteria sebagai mana yang dijelaskan dalam Surat Al-Maidah ayat 55 di atas. Empat syarat tersebut adalah

1. Beriman kepada Allah SWT

Karena ulil amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah SAW, sedangkan Rasulullah sendiri adalah pelaksana kepemimpinan Allah SWT, maka tentu saja yang pertama sekali harus dimiliki oleh penerus kepemimpinan beliau adalah keimanan (kepada Allah, Rasul dan rukun iman yang lainnya).

Tanpa keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya bagaimana mungkin dia dapat diharapkan memimpin umat menempuh jalan Allah di atas permukaan bumi ini.

2. Mendirikan Shalat

Shalat adalah ibadah vertikal langsung kepada Allah SWT. Seorang pemimpin yang mendirikan shalat diharapkan memiliki hubungan vertikal yang baik dengan Allah SWT. Diharapkan nilai-nilai kemuliaan dan kebaikan yang terdapat di dalam shalat dapat tercermin dalam kepemimpinannya.

Misalnya nilai kejujuran. Apabila wudhu’ seorang imam yang sedang memimpin shalat batal, sekalipun tidak diketahui orang lain dia akan mengundurkan diri dan siap digantikan orang lain, karena dia sadar bahwa dia tidak lagi berhak menjadi imam.

3. Membayarkan Zakat

Zakat adalah ibadah mahdhah yang merupakan simbol kesucian dan kepedulian sosial. Seorang pemimpin yang berzakat diharapkan selalu berusaha mensucikan hati dan hartanya. Dia tidak akan mencari dan menikmati harta dengan cara yang tidak halal (misalnya dengan korupsi, kolusi dan nepotisme).

Dan lebih dari pada itu dia memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap kaum dhu’afa’ dan mustadh’afin. Dia akan menjadi pembela orang-orang yang lemah.

4. Selalu Tunduk Patuh Kepada Allah SWT

Dalam ayat di atas disebutkan pemimpin itu haruslah orang-orang yang selalu ruku’ (wa hum râki’ûn). Ruku’ adalah simbol kepatuhan secara mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya yang secara konkret dimanifestasikan dengan menjadi seorang muslim yang kafah (total), baik dalam aspek aqidah, ibadah, akhlaq maupun mu’amalat.

Aqidahnya benar (bertauhid secara murni dengan segala konsekuensinya, bebas dari segala bentuk kemusyrikan), ibadahnya tertib dan sesuai tuntutan Nabi, akhlaqnya terpuji (shidiq, amanah, adil, istiqamah dan sifat-sifat mulia lainnya) dan mu’amalatnya (dalam seluruh aspek kehidupan) tidak bertentangan dengan syari’at Islam.

***

Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa umarâ’ atau hukâm adalah ulil amri dengan syarat-syarat minimal yang sudah disebutkan di atas. Tetapi sebagian memperluas makna ulil amri tidak hanya kepada pemerintah atau penguasa semata tetapi jug kepada siapa saja yang mempunyai kompetensi dan mendapatkan amanah untuk memimpin suatu urusan, baik itu perorangan atau lembaga.

Ahlul halli wal aqdi adalah ulil amri dalam bidang-bidang yang ditugaskan dan menjadi wewenang mereka, misalnya dalam pemilihan kepala negara, menetapkan undang-undang, dan urusan-urusan lainnya.

Menurut Ibn ‘Abbâs, ulil amri adalah ahli fiqh dan agama. Menurut Mujâhid, ‘Athâ’ dan Abu al-‘Aliyah serta Hasan al-Bashri, ulil amri itu adalah ulama. Menurut Ibn Katsîr sendiri, ulil amri mencakup keduanya, umara dan ulama.

Menurut Muhammad ‘Abduh, ulil amri adalah jamaah ahlul ahli wal aqdi dari kaum Muslimin. Mereka adalah umara’ (pemerintah) dan hukama’ (penguasa), ulama, para panglima, dan semua pemimpin masyarakat.

Jika mereka semua sepakat tentang suatu urusan, kita semua wajib mematuhinya asal tidak bertentang perintah Allah dan Rasul-Nya.

Menurut sebagian ulama, karena kata al-amr yang berbentuk ma’rifah atau difinite, maka wewenang pemilik kekuasaan terbatas hanya pada persoalan-persoalan kemasyarakatan (umum) semata, bukan persoalan akidah atau keagamaan murni. Untuk persoalan aqidah dan keagamaan murni harus dikembalikan kepada nash-nash agama (Al-Qur’an dan As-Sunnah).

Dalam hal ini, Muhammad Abduh mengatakan bahwa perbedaan pendapat sangat mungkin terjadi dalam pemahaman terhadap nash, bukan dalam mematuhi nash. Dalam masalah hadits tentang tata cara untuk mengetahui awal Ramadhan dan awal Syawal, persoalannya bukan pada masalah patuh atau tidak patuh pada petunjuk Rasul tersebut, tetapi tentang bagaimana memahami hadits tersebut.

Menurut pandangan Muhammadiyah, hadits itu ada ‘illatnya (alasan/fakta yang melingkupinya), yaitu karena umat pada masa itu belum mempunyai cara lain untuk mengetahui awal bulan kecuali dengan melihat hilal. Kalau gagal melihat hilal karena mendung, maka bulan yang sedang berjalan itu digenapkan 30 hari. Sekarang, ilmu astronomi sudah demikian maju, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui awal bulan.

Oleh sebab itu Muhammadiyah berkeyakinan bahwa apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah tidak melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya tatkala menggunakan metode hisab hakiki wujudul hilal untuk menentukan awal bulan.

Sebagian memahami, bahwa yang bersifat ta’abbudi (tidak boleh dirubah sedikitpun) adalah puasa Ramadhan dimulai tanggal 1 Ramadhan dan shalat ‘Idul Fitri tanggal 1 Syawal. Sedangkan bagaimana cara menentukan awal Ramadhan dan awal Syawal itu adalah sesuatu yang bersifat ta’aqquli (rasional, dapat berubah mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi) dan lebih bersifat teknis.

***

Dari apa yang sudah dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa ulil amri itu adalah

1. Umarâ’ dan hukâm dalam pengertian yang luas (legislatif, eksekutif dan yudikatif) dengan segala perangkat dan wewenangnya yang terbatas

2. Semua pemimpin masyarakat dalam bidangnya masing- masing

3. Para ulama baik perorangan ataupun kelembagaan seperti lembaga-lembaga fatwa

Jika terjadi perbedaan pendapat dalam persoalan pemahamaan nash-nash agama, diselesaikan dengan menggunakan kaedah-kaedah perbedaan pendapat yang sudah ada dan biasa dalam sejarah pemikiran hukum Islam.

Pemerintah tidak dapat mengintervensi dalam persoalan pemahaman terhadap nash, karena hal itu bukan wilayah wewenangnya. Tetapi jika terjadi perbedaan pendapat dalam persoalan kemasyarakatan yang bersifat ijtihadi, maka pemerintah dapat memutuskan pendapat mana yang akan diikuti.

Dalam perbedaan pendapat dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal, dalam kaitannya dengan pelaksanaan ibadah puasa dan shalat ‘Ied, maka penyelesaiannya diserahkan kepada para pemimpin agama dalam urusan membimbing umat. Tetapi urusan libur ‘Iedul Fithri dan hal-hal lain di luar urusan keagamaan murni / ibadah, diputuskan oleh Pemerintah.

***

Dari apa yang sudah dijelaskan panjang lebar diatas, maka Muhammadiyah menegaskan bahwa apa yang selama ini diyakini dan dilakukan oleh Muhammadiyah tidaklah melanggar perintah tuhan. Muhammadiyah memahami dalil untuk menaati ulil amri ini secara komprehensif dengan mengambil literatur pemaknaan dari berbagai ulama dan akademisi yang sejak ratusan tahun lalu juga telah membahasnya secara mendetail, bukan hanya dari pemaknaan secara letterleijk (tertulis apa adanya).

Gaya pemahaman dalil seperti ini telah menjadi langgam Muhammadiyah sejak awal didirikannya.

Semoga ini bisa menjelaskan dan memberikan pemahaman kepada masyarakat ketika melihat bahwa ada sedikit perbedaan antara Muhammadiyah dengan pemerintah untuk hal-hal yang terkait dengan urusan ibadah. Wallahu'alam bishawab.

_____________________

Catatan :

1. Artikel ini mengutip dan mengambil tulisan dari makalah yang disampaikan oleh Allahuyarham Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, M.Sc (Ketua PP Muhammadiyah periode 2005-2020) yang disampaikan dalam sarasehan dan sosialisasi hisab rukyat Muhammadiyah, yang diadakan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Yogyakarta pada hari Kamis 4 Sya’ban 1434 H / 13 Juni 2013. Tulisan ini juga telah beliau publikasikan dalam Jurnal Tarjih

2. Perbedaan yang terjadi seperti penetapan awal ramadan tahun ini jangan dinilai sebagai sebuah perpecahan, tapi jadikanlah sebagai sebuah khazanah dan kekayaan intelektual dalam berislam.

3. Untuk bisa disebut sebagai ulama, Muhammadiyah memiliki kriteria tersendiri bukan sekedar dilihat dari garis nasab saja.

Mengutip apa yang disampaikan oleh Prof. Dr. H.  Syafiq Mughni (Ketua PP Muhammadiyah periode 2015-2022), ulama adalah konsep teologis, yakni orang yang menguasai ilmu agama, bertakwa kepada Allah (yakhsyallaha), dan membawa misi kenabian (waratsatul anbiya’). Kualitas keilmuan seseorang mungkin bisa diukur oleh manusia, tetapi dua kualitas lainnya (ketakwaan dan misi kenabian) hanya diketahui oleh Allah. Dengan kata lain, apakah seseorang berhak disebut ulama atau tidak, dengan tiga kriteria itu, adalah urusan Allah yang Maha Tahu.

4. Dalan hal membahas dan memutuskan segala urusan terkait masalah keagamaan, Muhammadiyah memiliki lembaga khusus yang bernama Majelis Tarjih dan Tajdid. Dalam bahasa sederhana, lembaga ini disebut juga sebagai lembaganya para ulama Muhammadiyah untuk membahas dan memutuskan segala persoalan keagamaan dan ibadah. Majelis/lembaga ini ada di semua jenjang organisasi di Muhammadiyah, mulai dari pusat (Nasional) hingga ranting (desa).

Hari-hari ini, media-media arus utama di Indonesia disesaki oleh pemberitaan seputar rencana demonstrasi besar-besaran yang digawangi oleh BEM Seluruh Indonesia (BEM SI). Berita ini bertambah seru tatkala ada BEM lain yang justru nyelonong bertemu dengan mantan Panglima ABRI dan mantan Menkopolhukam, Wiranto.


BEM ini adalah BEM Nusantara. Walau banyak bersliweran informasi bantahan soal BEM Nusantara ini ternyata palsu (orang-orangnya, bukan BEM nya), namun justru ini membuat berita soal rencana aksi besar-besaran tanggal 11 April 2022 ini menjadi semakin seru bak sinetron.

Tulisan ini tidak akan mengupas soal rencana aksi ini, namun akan mencoba memberi gambaran soal BEM-BEM yang hari-hari ini menjadi buah bibir percakapan di jagad maya.

Apa itu BEM?

Badan Eksekutif Mahasiswa (biasa disingkat BEM) merupakan organisasi resmi intra kampus yang bernaung dibawah suatu perguruan tinggi. Organisasi ini merupakan organisasi resmi yang termaktub secara tersirat dalam UU No. 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi serta lebih dahulu tersurat dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan Di Perguruan Tinggi yang menjadi pedoman organisasi kemahasiswaan di setiap kampus di seluruh Indonesia.

BEM ada di dua tingkatan, yaitu BEM Universitas dan BEM Fakultas. Untuk di tingkat jurusan, ada Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), walau di beberapa kampus ada juga yang menamainya dengan BEM Jurusan, walau ini tidak lazim di banyak perguruan tinggi.

Apakah boleh BEM berpolitik?

BEM merupakan organisasi mahasiswa resmi dibawah payung perguruan tinggi dimana hakikat dari adanya BEM ini adalah sebagai tempat untuk mengaktualisasikan diri para mahasiswa dalam berbagai hal. Namun, berpolitik adalah hal yang dilarang ketika membawa nama resmi BEM suatu kampus.

Yang diizinkan adalah bersikap untuk menjadi mitra kritis pemerintah guna mengawasi berbagai produk kebijakan pemerintah. Peran yang dimainkan disini lebih pada peran intelektual sebagaimana ruh dari BEM itu sendiri yang berisikan para sivitas akademika perguruan tinggi.
Demonstrasi Mahasiswa (foto : Media Indonesia)


Alhasil, aksi-aksi demontrasi yang kadang dilakukan oleh BEM tidak bisa serta merta dipandang sebagai bentuk berpolitiknya BEM, namun lebih pada bentuk aktualisasi menyuarakan aspirasi kepada pemerintah melalui parlemen jalanan. Jikapun mau dikatakan bahwa aksi-aksi BEM ini sebagai bentuk berpolitik, maka aksi ini bisa saja disebut sebagai bentuk politik adiluhung yang menyuarakan isu-isu berkaitan dengan kepentingan rakyat.

Lantas, apa itu BEM SI dan BEM Nusantara?

Salah satu kawan saya berkomentar di suatu postingan di Facebook soal BEM Nusantara. Dia, yang saya tahu merupakan seorang pegawai pemerintah, berkomentar sinis dengan mengatakan bahwa : BEM Nusantara itu apanya Islam Nusantara?

Di komentar-komentar berikutnya pun saya temui banyak sekali warganet yang menanyakan soal keberadaan BEM Nusantara.

BEM SI dan BEM Nusantara adalah bentuk aliansi dari para BEM-BEM Universitas dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Alasan mengapa mereka membentuk aliansi ini adalah agar gerakan mereka (para BEM perguruan tinggi) untuk suatu isu/tujuan menjadi lebih kuat.

Bayangkan saja, misal BEM Kampus A ingin menyoroti soal naiknya harga minyak goreng. Jika mereka tidak beraliansi, maka isu yang mereka suarakan, atau ketika mereka berdemonstrasi tidak akan sekuat dan senyaring ketika mereka beraliansi dengan BEM-BEM lainnya. Dari sisi "angle pemberitaan" pun tidak menarik jika misal hanya satu BEM kampus saja yang bersuara.

BEM SI dan BEM Nusantara lahir di era pemerintahan Presiden SBY. BEM SI lahir di Bogor pada tahun 2007 dengan komposisi awal berisikan BEM-BEM kampus seputaran JABODETABEK dan sekitarnya.

BEM Nusantara sebenarnya lahir lebih awal, yaitu tahun 2005 di Yogyakarta. Namun BEM Nusantara awalnya justru bernama Lingkar Mahasiswa yang baru setelah BEM SI dibentuk, aliansi Lingkar Mahasiswa ini berubah menjadi BEM Nusantara dan mulai membuka komunikasi lebih luas dengan berbagai kampus di Indonesia. BEM Nusantara lahir untuk mengimbangi keberadaan BEM SI.

Seiring berjalannya waktu, banyak BEM kampus yang keluar masuk menjadi anggota dari kedua aliansi tersebut. Keluar masuknya BEM kampus ini lebih disebabkan karena perbedaan ideologi dan tujuan dari kabinet/kepengurusan BEM kampus tersebut yang biasanya berganti tiap dua tahun.

Alhasil, latarbelakang dan visi presiden mahasiswa / ketua BEM yang menjabat di suatu kampus akan sangat menentukan keberlangsungan keanggotaan BEM tersebut di aliansi tadi. Bisa saja periode kemarin BEM kampus A jadi anggota aliansi BEM SI, lalu di periode berikutnya dengan kepengurusan yang berbeda, BEM kampus A tersebut keluar dari BEM SI lalu bergabung dengan BEM Nusantara.

Di tahun 2010 an, BEM SI dan BEM Nusantara di image kan sebagai bentuk aliansi dari status perguruan tinggi. BEM SI di framing sebagai aliansi BEM-BEM perguruan tinggi negeri, sedangkan BEM Nusantara adalah sebaliknya. Walaupun framing ini cukup kencang di era tersebut, namun faktanya ada juga PTS yang menjadi anggota aliansi BEM SI dan begitu juga sebaliknya.

Ada satu hal menarik dalam aliansi-aliansi BEM ini, yaitu adanya suatu kesepakatan tidak tertulis bahwa BEM kampus "dilarang" berkeanggotaan ganda diantara dua aliansi ini. Mereka harus memilih salah satu dari kedua aliansi ini. Namun untuk aliansi lain masih diperbolehkan.

Apakah aliansi BEM hanya dua?

Tidak. Ada banyak sekali aliansi-aliansi BEM di Indonesia. Diantaranya adalah BEM PTKIN (aliansi BEM-BEM UIN/STAIN/IAIN), BEM PTMI (aliansi BEM-BEM kampus Muhammadiyah dan Aisyiyah), BEM Nasional (aliansi kampus-kampus swasta). Ada juga ABJ (aliansi BEM Jogja), dan aliansi-aliansi lain di tingkat lokal/regional.

Banyaknya aliansi-aliansi BEM ini diduga menjadi salah satu penyebab tidak "garang" dan efektifitasnya gerakan yang dimainkan oleh para mahasiswa pasca reformasi. Kita bisa bandingkan di era 1966, 1972, 1988, dan 1998 dimana saat itu mahasiswa tidak banyak terkotak-kotak dalam suatu aliansi.

Dalam perjalanan panjang gerakan mahasiswa, kita hanya mengenal beberapa aliansi saja dalam setiap momentum aksi mahasiswa yang justru sangat efektif. Sebut saja KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) di era 1966 yang sukses mencatatkan keberhasilan gerakan dengan Trituranya.

Tahun 1998 justru hampir tidak ada aliansi formal BEM-BEM dan mahasiswa, namun mahasiswa kompak bergerak menuntut reformasi dan berhasil mengubah arah sejarah Indonesia.

Pasca reformasi, BEM-BEM ini lebih terkotak-kotak dalam suatu aliansi dengan harapan untuk membesarkan gerakan dengan isu yang sama. Namun sayangnya keinginan untuk beraliansi kadang tidak sepenuhnya dipahami secara utuh oleh BEM lain sehingga terjadi diskonektisitas serta mispersepsi terhadap suatu isu yang diangkat.

Kita bisa nilai bagaimana efektifitas dari aliansi-aliansi ini selama kurun waktu 20 tahunan setelah reformasi. Walau sempat beberapa kali berhasil menjadi "pressure society" di era presiden SBY untuk beberapa kebijakan, namun di era presiden Jokowi, aliansi-aliansi BEM ini seperti tak berdaya. Padahal sejak dimulainya kabinet presiden Jokowi di tahun 2014, sudah puluhan kali aliansi-aliansi berdemontrasi yang tak jarang berakhir rusuh.

Tapi faktanya, hampir tidak ada satupun kebijakan pemerintah yang berhasil di tekan melalui aksi-aksi aliansi ini, baik aksi parlemen jalanan maupun jalur diplomasi di istana. Yang ada justru makin melempem.

Berkaca dari hal ini, kita perlu menanyakan : apakah aliansi BEM / mahasiswa sudah tidak efektif lagi berperan sebagai kelompok penekan?

Atau malah jangan-jangan memang karena kepemimpinannya presiden Jokowilah yang terlalu kuat untuk mahasiswa?

Beberapa hari menjelang puasa ramadan, orang-orang ramai menyiapkan datangnya bulan suci ini. Mulai dari membersihkan masjid, lingkungan, hingga bahan-bahan makanan agar ibadah selama ramadan bisa nyaman dan fokus. Tak terkecuali ramai-ramai soal kapan awal puasa/ramadan.

Selama kurun waktu 7 tahun terakhir, tidak ada perbedaan tanggal awal puasa ramadan antara pemerintah dengan Muhammadiyah. Ini disebabkan salah satunya karena pemerintah (dalam hal ini Kementerian Agama RI) menggunakan metode Imkan Rukyat dengan standar tinggi hilal 2⁰. Dan selama 7 tahun terakhir ini pula, rata-rata ketinggian awal bulan ramadan tiap tahunnya juga segitu.

Untuk tahun ini, pemerintah menggunakan standar baru untuk menetapkan awal bulan, yaitu standar Imkan Rukyat negara-negara MABIMS (Menteri-menteri Agama Brunei-Indonesia-Malaysia-Singapore) yang ditetapkan tahun lalu. Adapun kriteria yang diusulkan dan disepakati adalah Imkan Rukyat dengan ketinggian hilal 3 derajat dan sudut elongasi bulan-matahari saat terbenam 6,4 derajat (secara singkat ditulis dan disebut IR 3-6,4).

Ilustrasi rukyatul hilal (foto : antaranews)


Mengutip dari lembaga astronominya Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (OIF UMSU), secara visibilitas dan kriteria, visibilitas 3-6,4 ini tentu lebih baik dari visibilitas 2-3-8 (ketinggian hilal 2 derajat, sudut elongasi 3 derajat, dan umur hilal paska konjungsi 8 jam) yang selama ini digunakan Kementerian Agama RI dan juga negara-negara MABIMS, ini tentu langkah maju dan patut diapresiasi, tinggal bagaimana uji dan kompatibilitasnya di lapangan.

Dengan kriteria MABIMS baru (ketinggian hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat) secara teoretis-otomatis akan menolak laporan dan atau kesaksian hilal dibawah ambang batas 3 derajat (dan sudut elongasi 6,4 derajat).

Jika diimplementasikan pada perhitungan (hisab) tahun ini, maka pada hari Jumat sore tanggal 1 April 2022 (29 sya'ban 1443 H) diseluruh Indonesia rata-rata ketinggian hilal berkisar 2⁰. Hanya daerah Aceh yang ketinggian hilalnya sudah diatas 2⁰ lebih.

Apabila pemerintah masih menggunakan standar lama, tentu ketinggian ini sudah masuk sebagai bulan baru, sehingga 1 ramadan jatuh pada hari sabtu 2 april 2022. Namun seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dengan kriteria baru ini maka kesaksian perukyat yang berhasil melihat hilal pasti akan tertolak karena secara teoritis belum sesuai standar, alhasil bulan sya'ban akan digenapkan menjadi 30 hari dan 1 ramadan jatuh di hari minggu tanggal 3 april 2022.

Ini berbeda dengan Muhammadiyah yang menggunakan metode hisab hakiki wujudul hilal dimana metode ini mensyaratkan tiga hal, yaitu pertama, telah terjadi ijtimak bulan dan matahari. Kedua, Ijtimak bulan dan matahari terjadi sebelum terbenam matahari, dan ketiga pada saat terbenam matahari bulan belum terbenam, bulan masih di atas ufuk.

Berdasarkan metode yang dipedomani oleh Muhammadiyah, pada hari Jumat, 29 Sya'ban 1443 H bertepatan dengan 1 April 2022 M, ijtimak jelang Ramadan 1443 H terjadi pada pukul 13:27:13 WIB.

Tinggi Bulan pada saat Matahari terbenam di Yogyakarta ( f = -07° 48¢  LS dan l = 110° 21¢ BT ) = +02° 18¢ 12² (hilal sudah wujud), dan di seluruh wilayah Indonesia pada saat Matahari terbenam itu Bulan berada di atas ufuk.

Karena ketiga syarat tersebut telah terpenuhi semuanya, maka jumat sore tersebut telah terhitung sebagai bulan baru, dan 1 ramadan jatuh pada hari sabtu 2 april 2022 (FYI, dalam penanggalan islam, tanggal / bulan baru dimulai ba'da ashar).

Dengan melihat fakta-fakta tersebut, maka [dimungkinkan] akan terjadi perbedaan awal ramadan antara Muhammadiyah dengan pemerintah dimana Muhammadiyah akan lebih dahulu memulai puasa pada hari sabtu 2 april 2022.

***

Jika kita pahami lebih dalam tentang metode yang dipakai oleh pemerintah, maka sebenarnya itu bukanlah ruk'yat (melihat) murni seperti yang dipahami sebagai metode yang dicontohkan di zaman Rasulullah saw.

Mengutip apa yang disampaikan oleh Prof. Agus Purwanto, guru besar ITS sekaligus anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, perbedaan awal ramadan tahun ini antara Muhammadiyah dengan pemerintah bukanlah karena perbedaan metode. Ini karena secara logika, pemerintah sebenarnya juga menggunakan hisab walau mereka menyebutnya imkan rukyat.

Pemerintah dengan imkan rukyatnya telah menetapkan standar tinggi hilal dimana ini biasanya hanya ada dalam metode hisab. Rukyat dipahami sebagai metode mencari hilal dengan melihat (menggunakan bantuan alat ataupun dengan mata telanjang). Namun dengan adanya kriteria tinggi derajat hilal, jika besok ada perukyat yang menyatakan berhasil melihat hilal, maka kesaksiannya akan tertolak, karena secara teoritis hitungan, tidak mungkin terlihat (karena imkan rukyat yang digunakan pemerintah telah menetapkan standar 3⁰ sebagai ketinggian hilal).

Dengan logika sederhana, ini berarti sebenarnya pemerintah secara tidak langsung juga menggunakan hisab sebagai metode menentukan awal ramadan.

Alhasil, perbedaan awal ramadan antara Muhammadiyah dengan Pemerintah bukanlah karena perbedaan metode, melainkan karena perbedaan standar/kriteria dimana dengan hisab hakiki wujudul hilalnya, Muhammadiyah akan menetapkan bahwa pada tanggal tertentu telah masuk bulan baru asal telah memenuhi tiga syarat walaupun tinggi hilal baru 0,1⁰ sekalipun. Dan pemerintah baru akan menentukan tanggal tertentu sebagai bulan baru ketika ketinggian hilal sudah 3⁰.

Jadi lantas mengapa pemerintah harus "repot-repot" mengirim perukyat jika memang sebenarnya telah tahu hasilnya?

***

Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan Islam sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan / sains. Muhammadiyah menempatkan sains untuk memahami dan mengimplementasikan ajaran Islam. Sejak lahir, Muhammadiyah telah berusaha menempatkan sains untuk menjabarkan berbagai petunjuk-petunjuk dalan Alquran dan Hadis sehingga bisa dipahami secara rasional.

Dalam bahasa orang awam, Muhammadiyah itu beragama dengan rasional, namun tidak kemudian mendewakan sains. Tetap bahwa Alquran dan Hadis merupakan petunjuk utama sekaligus sumber ajaran Islam.

So, selamat menyambut bulan suci ramadan. Semoga kita mampu beribadah maksimal dan menjadikan ramadan ini sebagai ramadan terbaik dari tahun-tahun sebelumnya. Wallahu'alam bishawab

Gelaran Musyawarah Nasional (Munas) ke-7 Keluarga Alumni Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (KAUMY) telah resmi dibuka tadi malam oleh Rektor UMY. Acara yang menjadi agenda tertinggi dalam organisasi alumni besutan kampus matahari ini dilaksanakan di tengah “huru-hara” periode kepengurusan yang sejatinya sudah harus demisioner tahun lalu, namun terpaksa diperpanjang karena adanya pandemi. 

Bagi sebuah organisasi, hal-hal semacam ini tentu sudah biasa terjadi dan menjadi dinamika tersendiri untuk mematangkan Lembaga itu sendiri. Kita masih ingat bagaimana organisasi alumni ITB juga sempat menghangat jelang agenda permusyawaratan tertingginya. Pun begitu dengan kampus-kampus besar lainnya. 


Ilustrasi (Gambar : Istimewa)

Satu hal yang pasti, semakin besar dan semakin terlihat maju suatu kampus maka akan semakin dinamis perjalanan organisasi alumninya. Ibarat karang di pantai, maka karang yang kokoh adalah karang yang terus dihempas oleh ganasnya ombat lautan, namun tetap dapat berdiri tergak. Sebaliknya, karang yang kadang berdiri tegak belum tentu teruji kokoh Ketika ombak di depannya kecil dan cenderung tenang.

KAUMY dilahirkan sejak 28 tahun yang lalu, terpaut 12 tahun dari usia kampus induknya yang tahun ini genap berusia 40 tahun. Perjalanan Panjang KAUMY ini tentu bukan tanpa bekas. Setiap periode kepengurusan selalu menghadapi tantangan dan dinamika yang berbeda. Juga meninggalkan legacy yang berbeda-beda juga. 

Dalam tulisan singkat ini, saya hanya ingin "nambahi PR" untuk KAUMY (dan pengurusnya) kedepannya berbekal dari diskusi-diskusi kecil dengan beberapa alumni yang terlibat maupun tidak terlibat dalam struktur KAUMY. Saya tidak akan mengomentari maupun mengkritik pengurus KAUMY periode sebelumnya karena jelas tidak ada wewenang untuk itu di saya maupun tulisan ini. Bagi saya, KAUMY ini adalah asset besar, baik itu persyarikatan Muhammadiyah maupun bangsa ini yang harus terus dirawat dan didukung. KAUMY ini layaknya bahtera Nuh yang berisikan banyak bentuk dan rupa pemikiran dari alumni-alumninya yang walaupun berbeda namun memiliki tujuan yang sama : merajut jejaring dan mendorong kemajuan bagi para alumni UMY.

UMY merupakan kampus swasta yang bukan berlokasi di ibukota maupun kota-kota besar lainnya. UMY bukan pula kampus yang berada di pusat ibukota propinsi DIY. UMY adalah kampus yang berlokasi di pinggiran kota, di sebuah kecamatan yang dulunya adalah daerah sepi. Namun UMY telah mampu melahirkan puluhan ribu alumni yang bertalenta di berbagai bidang. Sebut saja diplomat, direktur BUMD/BUMN, komisaris BUMN, politisi, penulis, CEO Media nasional, dan masih banyak lagi. Ini menandakan bahwa UMY bukanlah kampus kaleng-kaleng yang bisa disepelekan. Ribuan alumni yang telah berdiaspora ke berbagai tempat di dunia ini menjadi “bahan bakar” untuk memajukan negeri ini. Oleh karena itu peran KAUMY sebagai wadah pemersatu alumni menjadi sangat vital dan strategis.

Di era revolusi industry generasi keempat ini, sudah saatnya KAUMY berbenah dan berubah. Adapun pembenahan KAUMY terdiri dari pembenahan internal dan eksternal. Sedangkan untuk perubahan KAUMY, terdiri dari beberapa hal yang secara garis besar dibagi dalam beberapa kategori.

Pembenahan Internal Organisasi

Seiring semakin majunya zaman, ditambah kondisi pandemic dalam dua tahun terakhir ini, menjadikan perubahan dalam segala bidang menjadi lebih cepat. Semua hal dipaksa untuk mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang sangat signifkan. Begitu juga dengan organisasi sebuah alumni perguruan tinggi.

Secara internal, KAUMY harus mampu fleksibel dalam menata organisasinya, tidak lagi kaku dan rigid. Dalam praksisnya, ini bisa diwujudkan melalui :

  • Merubah AD ART agar tidak alergi teknologi dan beradaptasi dengan perkembangan zaman. Misalkan dalam pemilihan Ketua KAUMY, sudah saatnya menggunakan IT agar semua alumni bisa berpartisipasi dalam penentuan pemimpinnya, sehingga KAUMY tidak lagi dianggap eksklusif milik segelintir alumni yang tergabung dalam kepengurusan di berbagai tingkatan saja. Lebih jauh, dengan menghadirkan IT dan merubah pola pemilihan menjadi one man one vote akan memberikan keuntungan bagi KAUMY menjadi lebih inklusif dan dikenal oleh para alumninya. Saat ini kita tidak bisa pungkiri bahwa masih banyak alumni UMY yang tidak tahu akan KAUMY. Mereka hanya tahu bahwa saat wisuda mereka diberikan Kartu Anggota Alumni UMY. Tapi siapa ketuanya, programnya apa, kantornya dimana, tidak pernah tahu. 
  • Menghilangkan paradigma “dia orangku, itu orang dia” yang mengangkat pengurus hanya berdasarkan kedekatan dan balas budi atas jasanya sebagai tim sukses saat pemilihan ketua. Di era yang penuh persaingan seperti saat ini, dibutuhkan orang-orang yang bertalenta dan memiliki jam terbang tinggi. Namun terkadang orang-orang seperti ini (bertalenta) tidak senang, atau bahkan tidak pernah berorganisasi. Sehingga circle pertemanannya lebih banyak ke kalangan professional, bukan aktifis. Padahal dalam memodernisasi sebuah organisasi, tidak sedikit dibutuhkan peran alumni-alumni yang bertalenta di bidangnya, bukan sekedar berpengalaman menjadi aktifis tapi minim inovasi.
  • Membuat biro/divisi/Lembaga yang khusus untuk menjalin komunikasi dengan alumni-alumni baru. Organisasi alumni biasanya identik dengan orang-orang lawas dan senior. Alumni-alumni baru menjadi canggung untuk bergabung, apalagi jika tidak ada yang mengajak. Maka untuk merubah keadaan ini, perlu adanya sebuah task force yang intens berkomunikasi dengan calon-calon alumni dan mendampingi mereka sehingga terjalin komunikasi yang efektif. Task force ini juga berfungsi membina alumni agar tiap Angkatan memiliki coordinator di tiap jurusan, sehingga akan memudahkan untuk membangun komunikasi kedepannya.
  • Menambah struktur kepengurusan alumni menjadi tiap jurusan. Salah satu yang menjadi tantangan terbesar dalam merajut jejaring antar alumni adalah adanya gap jurusan, selain juga Angkatan. Namun perbedaan atmosphere dari tiap jurusan saat kuliah, sedikit banyak mempengaruhi jurang komunikasi antar alumni ini. Sehingga dibutuhkan struktur alumni di tiap jurusan. KAUMY sendiri saat ini baru sebatas Pusat, Daerah, dan Komisariat. Walaupun sudah ada kepengurusan tingkat komisariat sebagai representasi fakultas, nyatanya hal ini belum mampu menjadikan daya Tarik bagi para alumninya untuk aktif di KAUMY. Belajar dari KAGAMA sebagai “saudara jauh” dari KAUMY, kehadiran organisasi alumni tingkat jurusan mampu merajut benang silaturahmi alumninya, seperti di KAHIGAMA sebagai organisasi alumni HI UGM yang mampu solid dan sevisi dalam mendukung kemajuan alumni-alumni HI nya.
  • Membuat “rumah Bersama” di dunia maya. Salah satu jalan memfamiliarkan KAUMY ke alumni-alumni UMY adalah dengan membuat “rumah-rumah Bersama” di dunia maya sehingga alumni bisa dengan mudah mendapatkan informasi. Rumah-rumah Bersama ini bisa berupa website, platform semacam mailing list (zaman dulu) atau semacam kaskus, dan sebagainya.

Pembenahan Eksternal Organisasi

Sebagai organisasi alumni dari sebuah perguruan tinggi dibawah persyarikatan Muhammadiyah, KAUMY memiliki keistimewaannya sendiri. KAUMY menjadi bagian tak terpisahkan dalam ekosistem besar persyarikatan dimana struktur ekosistemnya tersebar merata dari pusat hingga ranting / desa. Dengan konsekuensi ini, apapun latarbelakang alumninya (Muhammadiyah atau bukan) maka sudah seharusnya bisa bersinergi dengan struktur persyarikatan di berbagai tingkatan dan bidang. Satu contoh diantaranya adalah bagaimana seharusnya KAUMY bisa menjadi semacam supplier tenaga-tenaga ahli bagi kepentingan persyarikatan. Misalnya, Ketika sebuah PWM sedang mendirikan rumah sakit Muhammadiyah, maka KAUMY bisa berkontribusi membantu mencarikan dokter-perawat (tenaga Kesehatan) yang berasal dari kalangan alumni UMY. Hal seperti ini tentu akan menjadi bantuan tak ternilai bagi pengembangan persyarikatan kedepannya. Ada banyak hal lain tentu yang bisa dilakukan oleh KAUMY dalam upaya ikut berkontribusi membesarkan persyarikatan Muhammadiyah.

Bersambung, lanjut ke Bagian 2 

 

Pada satu waktu, saya mengajak teman saya ikut kajian di Muhammadiyah secara luring (sebelum pandemi Covid-19). Kebetulan yang mengisi kajian adalah seorang sarjana lulusan timur tengah. Kajian berlangsung sekitar dua jam. Materinya berkisar soal bagaimana membangun spirit tauhid sosial sebagai paradigma muslim progresif. 

Teman saya ini bukan kader maupun simpatisan Muhammadiyah. Ia yang dibesarkan dalam lingkungan Pendidikan agama di kalangan tradisionalis, terkagum-kagum dengan isi ceramah tersebut. Ia berseloroh bahwa dibanding mendatangi kajian agama Islam, ia justru merasa seperti ikut kuliah [lagi] di kampus. Ia bilang, lebih mudah mengidentifikasi kader Muhammadiyah sebagai akademisi, dibandingkan mengidentifikasinya sebagai seorang juru dakwah / dai / ustadz karena “beratnya” isi materi yang dibawakan dalam majelis-majelis ilmu.

Selesai kajian, ia mengajak saya ngebakso di pinggir jalan sembari berdiskusi.

“Ndi, tema-tema kajian di Muhammadiyah emang berat-berat gini ya?”

“Berat gimana?”

“Ya berat, dengerinnya harus serius dan pake mikir untuk mencernanya”

“Hahahaha….. nggak juga sih, ada dan banyak juga tema-tema ringan yang dibawakan. Kebetulan saja yang dirimu datangi ini temanya agak berat, apalagi yang masih baru ikut di kajian ini”

Diskusi terpotong sejenak karena saya minta nambah satu mangkok bakso lagi ke abang penjualnya.

“Ngomong-ngomong, sejauh yang aku tahu dari baca-baca artikel di internet maupun lihat ceramah di youtube, jarang bahkan hampir tidak ada ustadz-ustadz Muhammadiyah yang ngebahas soal wali. Padahal di tempat lain, kenceng sekali soal pembahasan siapa-siapa saja wali yang di tanah jawa, sumatera, maupun di negara lain. Emang tidak ada ya wali di Muhammadiyah sampai kalian tidak pernah membahasnya?”

“Hahahaha…….. Kata siapa tidak ada wali di Muhammadiyah? Justru di Muhammadiyah ada banyak sekali wali. Saking banyaknya jadi tidak dibahas”

“Loh iya kah? Kok aku gak pernah tau ya. Di internet juga tidak ada yang membahas”

“Iya dong. Di Muhammadiyah itu banyak sekali wali. Mulai dari wali murid, wali santri, wali mahasiswa, sampai wali rongpuluh yang berisikan para aktifis Muhammadiyah yang berasal dari Jawa Timur di era ’20 an. Bayangkan ada berapa juta wali di Muhammadiyah sejak dulu sampai sekarang”, jawab saya sambil seolah meyakinkan dia tentang jawaban saya ini.

Ia pun menggerutu mendengar jawaban saya. Sayapun mesam mesem melihatnya yang tadinya bermuka serius ingin tahu, berubah menjadi bermuka sebal dan agak menggerutu. Saya lantas meneruskan jawaban saya dengan lebih serius agar sebalnya tidak berlarut-larut.

***

Di Muhammadiyah, sebagaimana sudah diketahui oleh banyak orang, mendasarkan ibadahnya pada Alquran dan Assunnah. Ini artinya setiap hal yang berkaitan dengan kepercayaan kita sebagai orang Islam haruslah berdasarkan 2 sumber tersebut. Tak terkecuali soal waliyullah, yang memang ada disebut dalam salah satu hadist nabi.

Ilustrasi (Gambar : Istimewa)


Selain beragama dengan mendasarkan pada 2 sumber tersebut, di Muhammadiyah juga jamak terdengar kalimat : beragama dengan ilmu. Ini bermaksud bahwa beragama dengan cerdas itu bukan karena doktrin dogmatis, melainkan dengan cara menuntut ilmu, yaitu mempelajari sesuai dengan referensi ajaran agama, yaitu Al-Qur’an. Selain itu juga, ilmu dalam agama Islam merupakan pengetahuan yang mengantarkan kita agar dapat mengenal Allah agar kita selalu menghamba kepada-Nya dan juga mencontoh ajaran nabi dan rasul-Nya. Oleh karena itu, cara mempelajari ilmu agama itu melalui referensi yang berkualitas yaitu al-Qur’an.

Dalam soal wali, Muhammadiyah pun melihatnya dari kacamata ilmu. Dalam bahasa Arab kata “Wali” diambil dari kata “al-walayah” yang artinya kedekatan. Maksudnya adalah orang yang mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan-amalan yang shalih dan perkataan yang lurus. Semakin shalih amalan seseorang, maka akan semakin dekat juga kedudukannya dengan Allah. Ini berarti, tingkat / derajat kewaliannya juga akan semakin tinggi. Sebaliknya, semakin sedikit amalan shalihnya seseorang, maka akan semakin jauh kedudukannya dari  Allah, dan tingkat kewaliannya juga akan semakin rendah.

Di masyarakat kita, ada perbedaan persepsi antara Islam dan pandangan sebagian masyarakat kita tentang kriteria wali Allah. Dalam Islam, wali Allah adalah mereka yang beriman dan bertakwa. Mereka merasa gerak-geriknya diawasi oleh Allah sehingga selalu menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan menurut persepsi yang berkembang di sebagian masyarakat, Wali Allah adalah mereka yang bisa menghilang, bisa terbang, bisa berjalan di atas air, bisa pulang pergi ke Mekkah dalam tempo satu jam, bisa menyembuhkan orang dengan “karomah” nya dan lain sebagainya.

Padahal, kesaktian-kesaktian itu bisa juga dilakukan dan diperlihatkan oleh dukun, paranormal, atau tukang sihir. Dalam Islam, ada atau tidaknya karomah dalam diri seseorang bukanlah menjadi ukuran bagi seseorang dianggap sebagai wali Allah atau bukan. Ukurannya adalah kokohnya keimanan di dalam hati dan ketakwaan yang terpancar dalam ibadahnya serta akhlak dan muamalah kepada sesamanya.

Jadi, makna wali Allah yang dimaksud adalah ghirah Ibadah seseorang yang dia lakukan secara konsisten dalam rangka menjalin kedekatan kepada dirinya kepada Allah SWT.

***

Di Muhammadiyah, ibadah yang dilakukan bukan saja ibadah yang berdimensi vertical saja, melainkan juga yang berdimensi horizontal. Adanya tafsir-tafsir surat dalam Alquran yang kemudian diramu menjadi praksis sosial oleh Muhammadiyah menjadi bukti bahwa untuk mendekatkan diri kepada Allah, tidak saja hanya dilakukan dengan ibadah maghdah seperti salat, puasa, dan sebagainya. Namun membantu sesama manusia dan memanusiakannya sebagai manusia juga menjadi “alat” untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Dimensi ibadah seperti ini lantas diejawantahkan oleh Muhammadiyah dengan mendirikan rumah sakit-rumah sakit, kampus-kampus, panti asuhan, mengirimkan bantuan kepada para pengungsi bencana alam, mendampingi dan memberdayakan para petani, mengalokasikan puluhan milyar rupiah untuk penanganan pandemi Covid-19, dan banyak hal lainnya yang semuanya bertujuan untuk membantu masyarakat. 

Inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa jarang dan bahkan hampir tidak ada pembahasan soal siapa-siapa wali Allah itu di berbagai daerah di Muhammadiyah. Karena Muhammadiyah "sibuk bekerja" sebagai bentuk implementasi ibadah dalam dimensi horizontal. Semua kerja-kerja Muhammadiyah selalu mendasarkannya pada ibadah yang bertujuan untuk mendekatkan diri sekaligus bentuk ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya. Selain itu, tidak ada urgensinya untuk membahas hal semacam itu. Jika ditarik lebih dalam, sebenarnya tiap kerja-kerja Muhammadiyah [bisa jadi] sudah merupakan representasi dari makna wali itu sendiri sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Jadi, masihkah menganggap tidak ada wali [Allah] di Muhammadiyah?


Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Warga negara Indonesia yang bermukim di Taiwan bersama istri. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

Ikuti Kami di Media Sosial

Artikel Populer

  • KAMUS [KECIL] BAHASA BELANDA - INDONESIA
  • KAMUS [SERAPAN] BAHASA SANSKERTA - BAHASA INDONESIA
  • INKONSISTENSI PEMERINTAH DALAM SIDANG ISBAT 1434 H / 2013 M
  • EKSISTENSI DUA FORUM
  • MUHAMMADIYAH DAN SAINS (1) ; MENGOREKSI AWAL WAKTU SUBUH

PARIWARA

DMCA.com Protection Status

Galeri Kegiatan

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2022 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar