Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami
Beberapa hari lalu, saya sedang makan pecel lele bersama anak saya di dekat kampus, tempat langganan kalau sedang ditinggal istri ke luar kota yang praktis saya kadang jadi jarang masak. Warungnya tidak besar, hanya sepetak dengan kursi plastik warna-warni dan banner yang mulai pudar warnanya. Tapi yang bikin saya tertarik justru namanya: Putra Lampung. Sebuah nama yang menimbulkan rasa penasaran. Saya tanya ke penjualnya, siapa yang dari Lampung. Dengan logat yang saya kenal betul sebagai logat PUJAKESUMA (Putra Jawa Kelahiran Sumatera / Transmigran Jawa di Sumatera), dia menjawab, "Saya, Mas. Dari Metro." Dan seperti layaknya sesama perantau yang tiba-tiba merasa ketemu sepupu jauh, obrolan kami pun mengalir ngalor-ngidul.

Ada semacam kode tak tertulis bahwa kalau dua perantau ketemu, apalagi dari daerah yang sama, maka batas-batas antara "penjual" dan "pembeli" akan luluh pelan-pelan. Kami ngobrol tentang banyak hal, mulai dari cerita kapan mulai tinggal di Bengkulu sampai soal harga sembako yang terus naik. Tapi obrolan menjadi lebih dalam ketika kami membahas soal lebaran. Bukan cuma Idul Fitri, tapi juga Idul Adha. Dua-duanya sama-sama menyisakan rasa sepi di dada perantau.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)
Saya ingat betul, beberapa kali saya shalat ied di perantauan, habis salam terakhir imam, orang-orang langsung bubar. Tak ada salaman panjang yang biasanya membuat kita berdiri berlama-lama, tak ada suara anak kecil yang tertawa sembari berlarian dengan baju baru, tak ada aroma opor dari rumah tetangga yang menguar pelan-pelan menyiksa penciuman. Yang ada hanyalah deretan kendaraan yang buru-buru balik ke rumah, atau lebih tepatnya, ke kontrakan.

Lucunya, kue-kue lebaran pun tetap dibeli. Padahal bukan untuk menyambut tamu, karena memang tidak ada tamu yang datang. Biasanya kue-kue itu akan dimakan sendiri, atau paling banter ditawarkan ke teman sesama perantau sebelah rumah yang juga sedang leyeh-leyeh di depan kipas angin. Mungkin ini cara perantau bertahan secara mental. Seolah dengan membeli kue lebaran, kita sedang meyakinkan diri bahwa ini memang lebaran.

Saya sempat nanya ke si pemilik warung, bagaimana dia biasanya merayakan Idul Adha. Dia tertawa kecil, semacam tawa getir. "Ya gitu, Mas. Kalau lagi ramai pesanan, habis shalat ied langsung buka warung. Soalnya momen kayak gitu justru yang banyak orang nyari makan di luar. Pada nggak masak." Rasanya semacam ironi, saat di kampung halaman, orang-orang pada sibuk membagikan daging kurban, di sini kita sibuk membakar lele buat orang yang lapar tapi bukan karena habis potong kambing.

Saya juga mengalami hal serupa. Beberapa kali Idul Adha lewat tanpa suara kambing. Tak ada petugas masjid yang keliling membagikan kupon, tak ada anak-anak yang ribut minta bagian jeroan, tak ada ibu-ibu yang ngomel karena plastik daging bocor di ember. Yang ada hanyalah notifikasi WhatsApp, dan itu pun kadang saya baca sambil ngopi sendirian di warung kopi yang tetap buka saat lebaran.

Kadang-kadang saya mikir, lebaran di tanah rantau ini seperti lebaran dalam film bisu. Semua elemen ada—takbir, salat ied, kue-kue, dan kadang daging—tapi tak ada suara latarnya. Tak ada riuh keluarga, tak ada gumam bapak, tak ada sendok garpu berdenting. Hanya ada kita dan kesunyian yang pelan-pelan menjadi kebiasaan.

Saya pernah mencoba pulang kampung saat Idul Adha, tapi tiket mahal dan waktu cuti yang mepet membuat pilihan itu menjadi kemewahan tersendiri. Jadilah saya lebih sering bertahan di kota, menjadi saksi betapa banyak perantau yang memilih tidak pulang, bukan karena tak rindu, tapi karena rindu itu lebih murah kalau dipendam daripada dibiayai.

Lalu, saya kembali mengenang lebaran kurban di kampung. Ada semacam kehangatan yang tidak bisa dibeli di kota. Suasana masjid yang ramai, teriakan panitia yang bingung membagi daging, dan senyum-senyum tetangga yang menyapa meski jarang ketemu. Semuanya kini seperti kenangan yang disimpan dalam toples kaca—terlihat, tapi tak bisa disentuh.

Yang membuat sedih, bukan karena tidak ada kambing yang disembelih, tapi karena tidak ada yang bisa kita bagi. Di perantauan, bahkan membagikan senyum pun terasa mahal karena orang-orang terlalu sibuk bertahan hidup. Kita menjadi pribadi-pribadi soliter yang menabung kebahagiaan untuk nanti, entah kapan dan di mana.

Pernah suatu waktu saya iseng beli daging kambing potongan kecil di pasar, lalu saya masak gulai. Cuma biar terasa seperti lebaran. Rasanya? Biasa saja. Yang luar biasa justru rasa kosongnya. Saya makan sendiri di dapur, dengan suara kipas angin sebagai teman. Tidak ada sendok cadangan, tidak ada canda. Hanya ada saya, nasi, dan rasa yang pelan-pelan hambar.

Saya pikir, mungkin begini memang nasib para perantau. Kita menggantungkan makna pada apa yang ada, bukan apa yang seharusnya. Kita ciptakan sendiri atmosfer lebaran, meski palsu, meski sementara. Karena kalau tidak begitu, kita bisa gila memikirkan betapa hidup ini ternyata sangat sepi saat yang lain berkumpul.

Saya tanya ke si pemilik warung, pernah gak kurban di sini? Dia mengangguk pelan. "Pernah, Mas. Tapi nyumbang patungan sama teman-teman. Nanti disembelih bareng, terus dagingnya dimasak di kos." Saya senyum mendengar jawabannya. Setidaknya, masih ada cara agar lebaran tak sekosong itu. Bahwa kurban bukan hanya soal menyembelih kambing, tapi juga menyambung rasa.

Kadang-kadang saya iri melihat video orang mudik lebaran. Mereka yang turun dari bus dengan peluh dan senyum, dijemput bapaknya yang membawa motor Supra tua. Mereka yang pulang membawa cerita, membawa uang, membawa rindu yang sudah mengendap lama. Saya yang nonton hanya bisa menunduk, pura-pura sibuk dengan HP.

Ada hal-hal yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang tinggal di rumah. Bukan rumah dalam arti fisik, tapi rumah yang benar-benar rumah: tempat pulang, tempat ditunggu, tempat disediakan teh hangat dan cerita. Sementara kita para perantau, tinggal di tempat tidur yang bisa digulung dan dipindah kapan saja.

Suatu malam, saya lihat seekor kambing digiring masuk ke pekarangan masjid kecil dekat kosan. Ternyata itu persiapan Idul Adha. Saya dekati kambing itu. Diam. Matanya seperti tahu bahwa esok dia akan jadi makanan. Saya diam juga. Kami sama-sama menyadari, nasib kadang tak bisa ditawar.

Ada bagian dari hidup ini yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Seperti rasa ingin pulang tapi tidak bisa. Seperti menyalakan kompor pagi-pagi untuk menggoreng ketupat instan. Seperti menyeka mata saat mendengar takbir lewat dari pengeras suara. Semuanya seperti sedang bercanda, tapi tanpa tawa.

Besoknya, saya tidak ikut salat ied. Bukan karena tidak mau, tapi karena tubuh saya terlalu berat. Bukan oleh lelah, tapi oleh sepi. Saya tidur lebih lama, berharap bangun-bangun semua sudah selesai. Tapi justru ketika bangun, sepinya makin tebal. Bahkan suara burung pun seperti malas bersuara.

Kadang saya berpikir, mungkin lebaran di perantauan ini adalah cara Tuhan mengajari kita arti kehilangan. Bahwa yang kita rindukan bukan dagingnya, bukan makanannya, tapi kebersamaan yang menghangatkan dada. Sesuatu yang tidak bisa digantikan oleh Grab atau promo makanan.

Saya bertanya lagi pada pemilik warung, "Besok buka, Mas?" Dia menjawab, "Ya buka. Mau tutup juga bingung ngapain." Kami tertawa pelan. Tertawa yang bukan karena lucu, tapi karena sama-sama paham: bahwa di perantauan, bahkan hari raya pun harus tetap dijalani seperti hari biasa.

Saya pulang dari warung itu dengan perasaan yang aneh. Campur aduk. Di satu sisi, saya merasa kuat karena tetap bisa bertahan. Tapi di sisi lain, saya merasa rapuh karena tak punya apa-apa untuk dibagi. Saya hanya punya cerita. Dan itu pun hanya bisa saya ceritakan lewat tulisan ini.

Malamnya, saya tulis catatan pendek di notes HP: “Lebaran ini saya tidak akan menangis.” Lalu saya tidur sambil mendengarkan lagu lawas Ebiet G. Ade. Di perantauan, musik kadang jadi obat paling manjur untuk luka yang tak berdarah.

Lebaran kurban memang bukan sekadar soal daging yang dibagi. Tapi tentang siapa yang datang membawa tawa. Dan kalau tidak ada yang datang, setidaknya kita bisa menyapa diri sendiri. Mengucapkan Selamat Lebaran, bro. Kau sudah bertahan sejauh ini.
Pada senja yang mencium ujung pelipis langit,
ketika angin memetik harpa di pucuk-pucuk cemara,
duduklah aku, seorang ayah,
dengan kedua putri kembarku
yang wajahnya laksana cermin memantul cahaya surya
namun jiwanya menjelma dua padma yang berbeda warna.

I. Sang Sulung: Sarah Zaheen Shanaya

Wahai putriku, engkau kunamai:
Sarah — nama ibunda para nabi,
dari tanah pasir dan doa Ibrahim,
yang di rahimnya tumbuh takdir bagi bangsa-bangsa.
Ia bukan sekadar istri,
tapi matriarka ilahi,
lambang kesabaran dan kekuatan perempuan yang bijak.

Lalu kupasangkan padamu nama: Zaheen,
dari lembah Persia yang arif,
artinya kecerdasan yang tajam bagai bilah mimpi.
Wahai buah hatiku,
biarlah otakmu berpendar seperti permata
yang menyala dalam gelap dunia,
dan tuturmu menjadi mantram yang meneduhkan bathin banyak jiwa.

Dan kuakhiri dengan nama: Shanaya,
dari akar-akar bhāratīya,
yang artinya: "terhormat, agung dalam cahaya".
Bagai jyoti yang menari di cakrawala,
engkau, wahai Shanaya,
adalah putri dari fajar,
yang berjalan di bumi membawa jejak Sarasvatī.

II. Sang Bungsu: Aisha Fatheen Kanaya

Dan engkau, wahai putri kembarku yang kedua,
kuberi nama: Aisha,
nama istri Rasul yang hidup dalam percakapan sejarah,
yang cerdas, kuat, dan penuh pesona.
Di sana ada hidup, ada gerak,
sebab ‘Aisha’ adalah nafas perempuan yang menyala
dalam rumah tangga wahyu.

Lalu kusematkan padamu nama: Fatheen,
dari Persia yang sama,
artinya: “bijak, tajam dalam nalar.”
Wahai engkau si penanya soal-soal langit,
semoga pikiranmu seperti titik-titik bindu,
yang mengurai semesta menjadi makna,
dan matamu menangkap rahasia di balik kelopak waktu.

Terakhir, kau kunamai: Kanaya,
dari bahasa ibumu yang lahir dari kitab purba,
artinya: putri yang elok, cahaya dewi, perhiasan bumi.
Wahai Kanaya, engkau adalah ratna,
batu mulia dalam guci hati ayahmu.
Setiap langkahmu adalah mantra yang bergema
dalam mandala kasih yang kuanyam dalam doa-doaku.

III. Sabda Sang Ayah

Maka, wahai Sarah dan Aisha,
Zaheen dan Fatheen,
Shanaya dan Kanaya —
enam nama, satu jiwa, dua cahaya.
Engkau bukan hanya buah rahim ibumu,
engkau adalah aksara suci yang kuukir di atas langit-langit batin,
agar dunia tahu,
bahwa cinta ayahmu bukan sekadar warisan darah,
tapi warisan makna,
yang hidup dalam sanskriti,
dalam budaya, dalam doa, dan dalam harapan.

Jadilah engkau candrikā—bulan yang memantulkan cahaya cinta,
Jadilah engkau kumudvatī—teratai yang mekar di tengah arus zaman.
Sebab dalam dirimu telah kusematkan
tiga peradaban: Arab, Persia, dan Nusantara,
agar kelak bila dunia bertanya,
mengapa ayahmu memilih nama itu,
kau bisa menjawab:
“Sebab kami adalah puisi yang ditulis dalam tiga bahasa,
namun dibaca dalam satu cinta.”

 

Dulu, nenekku punya kebiasaan menaruh cermin kecil di ambang jendela depan rumah. Katanya, supaya sinar pagi memantul dan memberi isyarat pada pak pos bahwa rumah ini ada yang menunggu surat. Aku kecil tak mengerti maksudnya, tapi kini aku paham: menunggu surat itu bukan sekadar menanti kabar, melainkan berharap pada semesta agar seseorang di tempat jauh masih mengingatmu.

Di kampung kami, suara klakson motor pak pos adalah simfoni paling ditunggu. Anak-anak akan berhenti bermain, ibu-ibu menghentikan tumbukan bumbu di dapur, dan kakek-kakek menoleh dari kursi malas mereka. Semua berharap sepucuk kabar datang untuk mereka. Anehnya, walau tahu surat itu bukan untukku, hatiku selalu ikut deg-degan.
Ilustrasi (Gambar : GeneratedAI)

Surat pernah menjadi alasan seseorang bangun pagi, mandi lebih awal, dan duduk manis di depan rumah, hanya untuk melihat adakah sepucuk amplop berwarna cokelat di tangan pak pos. Kadang kosong, kadang penuh. Tapi yang selalu hadir adalah harapan, setia menempel di hati seperti perangko.

Aku masih ingat surat pertama yang kuterima: dari saudara yang bekerja di kota. Tulisannya agak miring, tintanya sedikit pudar, tapi setiap hurufnya seperti bisikan di telingaku. "belajar yang rajin ya" katanya. Aku membacanya seperti doa, dan menyimpannya dalam kotak kayu kecil yang kini sudah usang.

Kini zaman berubah. Tak ada lagi cermin kecil di jendela, tak ada lagi bel sepeda. Kotak surat di pagar sudah penuh dengan selebaran iklan. Tapi jantungku tetap bisa berdebar untuk sebuah pesan, meskipun ia datang lewat notifikasi di layar ponsel. Meski bentuknya digital, rindu yang mengantarnya tetap sama nyatanya.

Kadang aku berpikir, apa rindu bisa merambat melalui kabel serat optik? Atau apakah cinta bisa bertahan dalam format PDF? Tapi kenyataannya, satu email dari seseorang yang lama tak menyapamu, bisa membuatmu tersenyum sepanjang hari. Sungguh, esensi surat tak berubah, hanya medianya saja yang berganti rupa.

Aku punya satu folder di inbox yang kuberi nama “Surat Emas.” Di sana, kusimpan semua pesan yang membuat hatiku hangat. Ada dari guru lamaku, dari teman sepenulisan, dan dari orang-orang yang pernah berjumpa walau sesaat. Mereka bukan lagi deretan huruf biasa. Mereka adalah pelita kecil di hari yang kelabu.

Tapi tidak semua surat membawa kabar baik. Ada surat yang menjadi palu godam, menghantam dadamu tanpa aba-aba. Surat penolakan beasiswa, surat pengunduran diri dari seseorang yang kau anggap rekan abadi, atau email singkat yang berkata, “Maaf, kami memilih kandidat lain.” Sakitnya terasa, walau tak ada perangko yang menempelkannya.

Minggu lalu, aku menunggu email penting. Sebuah peluang yang kutunggu bertahun-tahun. Mereka janji akan kirim kabar hari Senin. Aku bangun lebih pagi, menyeduh kopi, duduk di depan layar. Tapi kotak masukku diam. Seperti hutan kosong setelah badai.

Hari berlalu. Selasa datang tanpa suara. Rabu pun demikian. Aku mulai membuka spam folder, siapa tahu surat itu nyasar. Tapi yang kutemukan hanyalah penawaran aneh: pelangsing herbal, pinjaman cepat, dan warisan dari pangeran Afrika yang tidak kukenal. Dunia benar-benar telah berubah.

Di tengah semua kecanggihan ini, kita jadi mudah tersesat dalam kerumitan harapan. Dulu, ketika surat datang terlambat, kita bisa menyalahkan hujan, banjir, atau jalan rusak. Tapi kini? Kita menyalahkan sistem, menyalahkan algoritma. Atau lebih sering: menyalahkan diri sendiri.

Pernah suatu malam, aku bermimpi menerima surat dengan amplop biru. Ketika kubuka, isinya hanya satu kalimat: “Maaf, kami tidak bisa menerimamu.” Anehnya, aku terbangun bukan karena sedih, tapi karena merasa lega. Seolah ketidakpastian lebih menyiksa daripada penolakan itu sendiri.

Aku mencoba menghibur diri. Mungkin surat itu sedang dalam perjalanan panjang, menyeberangi samudra data, tersesat di antara server. Atau mungkin petugas pengirimnya sedang kelelahan, dan aku hanya perlu sedikit lebih sabar. Tapi waktu adalah ular yang licin. Ia tak pernah bisa kita genggam.

Ibu pernah bilang, “Kadang, surat yang tak kunjung datang adalah cara semesta menyelamatkan kita dari kabar yang tidak siap kita terima.” Aku mengangguk saja waktu itu. Tapi kini, kalimat itu terngiang kembali, saat aku duduk memandangi kotak masuk yang hening seperti malam tanpa jangkrik.

Dalam penantian ini, aku belajar banyak tentang diriku sendiri. Bahwa aku adalah manusia yang mudah berharap. Bahwa hatiku lembut, terlalu percaya pada janji-janji. Dan bahwa aku, seperti nenekku dulu, masih ingin menaruh cermin di jendela—meskipun tak ada pak pos lagi.

Aku membaca ulang surat-surat lama yang kusimpan. Bahkan surat elektronik sepuluh tahun lalu masih bisa membuatku berlinang. Ternyata waktu tidak bisa membunuh rasa, ia hanya mengarsipkannya. Kadang, kita hanya perlu membuka folder yang tepat.

Di kampus, aku mengajar tentang sistem digital. Tapi dalam hatiku, aku tahu: pesan yang paling menyentuh tidak selalu berasal dari teknologi tercanggih. Kadang, ia datang dari tulisan tangan di kertas murah, atau dari kata sederhana seperti “apa kabar?”

Temanku bilang, “Jangan terlalu berharap dari surat. Lebih baik tak menunggu.” Tapi aku tahu, itu bukan tentang hasilnya. Menunggu itu sendiri adalah proses mencintai, tanpa syarat. Seperti menanam pohon yang mungkin tak akan sempat kita panen.

Aku mencoba menulis surat balasan untuk email yang belum datang. Isinya? “Terima kasih sudah membuatku menunggu.” Karena menunggu surat mengajarkan kita tentang kesabaran, dan diam-diam, tentang iman.

Kadang aku merasa surat yang tak kunjung datang itu seperti cinta tak berbalas. Kita tahu kehadirannya, kita yakini kemungkinan datangnya, tapi entah mengapa, tak juga tiba. Lalu kita belajar menerima, dengan cara paling manusiawi: menangis dalam diam.

Suatu sore, aku duduk di taman kota, membawa laptop. Wifi gratis menyala, notifikasi berdenting. Bukan kabar yang kutunggu, tapi sapaan dari sahabat lama. Seketika, aku lupa surat yang tak datang. Ternyata, hidup selalu punya kejutan, meski tak selalu sesuai agenda kita.

Surat bisa saja datang terlambat. Bisa jadi, kabar yang mestinya dikirim bulan lalu baru muncul minggu depan. Tapi hidup memang begitu: tidak selalu tepat waktu, tapi selalu punya cara.

Aku menulis jurnal harian, dan di setiap halaman, aku beri catatan kecil: “Masih menunggu surat itu.” Seperti mantra, aku berharap kalimat itu mengundang datangnya kabar baik. Walau dalam hati, aku tahu, tak semua mantra bekerja.

Kawanku pernah bilang, “Mungkin surat itu tak datang karena belum waktunya.” Kalimat sederhana itu membuatku terdiam. Barangkali benar. Semesta punya cara merapikan hidup kita, bahkan dengan cara menyembunyikan kabar.

Malam ini, aku membuka laptop tanpa harap. Tapi entah kenapa, jari ini tetap mengecek kotak masuk. Masih kosong. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Hatiku tak lagi berat. Mungkin karena aku mulai belajar menerima ketidakpastian sebagai bagian dari hidup.

Di depan kantor pos, aku melihat seorang wanita membaca surat cetak. Matanya berbinar, sesekali tertawa kecil. Aku hampir ingin menanyakan siapa pengirimnya. Tapi tak perlu. Wajahnya cukup jadi jawaban: surat, betapapun ringkasnya, bisa mengubah hari seseorang.

Kadang, surat yang tidak kita terima justru membentuk kita. Ia menjadi jeda yang mengajarkan kita tentang nilai sebuah harapan. Dan dalam sunyi itu, kita mengenal suara hati sendiri.

Mungkin surat yang kutunggu bukanlah kabar yang diketik dan dikirim melalui sistem. Mungkin ia adalah pesan dari Tuhan, yang datang lewat peristiwa, lewat pertemuan, lewat kesadaran. Bukan sekadar informasi, tapi hikmah.

Maka malam ini, aku menulis satu surat untuk diriku sendiri. Isinya: “Kau telah menunggu dengan baik. Tak apa jika surat itu tak datang. Yang penting, kau tetap membuka jendela, tetap menaruh cermin kecil, dan tetap percaya pada cahaya pagi yang akan datang.”
Senja tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya tahu diri, bahwa cahayanya tak pantas menyaingi malam. Di antara desir angin yang menggugurkan daun tua, ia pamit dalam bias jingga. Di jalanan kota, pekerja menggulung harapan dalam tas ransel yang usang. Mereka pulang membawa sisa tenaga, bukan kemenangan. Sebab hidup tak selalu harus menang; kadang cukup selamat saja.

Pernah satu kali aku mengejar senja dari atas sepeda ontel. Aku kayuh sambil menggumam lagu kenangan, berharap bisa menambatkan waktu. Tapi senja, seperti cinta, hanya bisa dinikmati, bukan dikejar. Ia tak menunggu siapa pun, apalagi aku yang telat sadar. Maka aku berhenti di jembatan tua, sembari menatap matahari tergelincir dengan tenang. Di sana aku belajar: pergi tak selalu menyakitkan.
Senja di Balai Buntar Bengkulu (Foto : Dokumen Pribadi)
Orang-orang sibuk memotret langit saat senja menyala. Tapi siapa yang memotret raut wajah ibu yang menanti nasi di atas dandang? Di sela keindahan yang diburu, sering kali ada yang terlupa. Bahwa senja bukan hanya tentang warna, tapi tentang waktu yang seharusnya disedekahkan kepada Tuhan. Aku pernah terpaku di jalan, padahal azan magrib telah menggetarkan angkasa. Dan saat itu aku malu, karena memuja ciptaan lebih dari Pencipta.

Langit merah, langit yang sedang mengucapkan selamat tinggal. Tetapi manusia sering kali mengartikan itu sebagai pemandangan indah belaka. Padahal, ia adalah pertanda: malam sedang berjalan dari ufuk timur. Aku mendengar desir langkah waktu yang menua, perlahan, tapi pasti. Senja adalah undangan, bukan untuk pesta, tapi untuk perenungan. Sebab tak semua keindahan harus dirayakan dengan tepuk tangan—kadang cukup dengan sujud.

Di antara suara motor dan klakson yang bertalu-talu, ada satu waktu yang seharusnya sakral. Senja. Ia hadir untuk memberi isyarat: cukup, berhentilah. Tapi seringkali kita terlalu keras kepala untuk mendengar bahasa langit. Kita terus menambal ambisi di jalan yang retak. Dan lupa, bahwa tubuh punya hak untuk diam, dan hati punya hak untuk kembali.

Dulu aku pikir senja adalah hadiah. Tapi kini aku tahu, ia adalah pengingat. Pengingat bahwa segala yang terang akan padam, dan segala yang kuat akan rehat. Ia membelai bumi dengan warna hangat, tapi pesannya dingin: waktu habis. Aku duduk sendiri di warung kopi yang menghadap sawah, menanti kegelapan datang tanpa tergesa. Di antara isak langit dan sunyi desa, aku merasa ditatap oleh Tuhan.

Ada orang yang menyukai senja karena estetikanya, tapi aku menyukai senja karena kejujurannya. Ia tak pernah bohong tentang perpisahan. Ia selalu datang dengan batas, bukan janji. Tak seperti pagi yang menjanjikan banyak hal, senja hanya datang untuk menutup. Dan justru karena itu, ia terasa lebih bisa dipercaya.

"Sudah dulu, ya," kata senja kepada hari. Tapi manusia, entah kenapa, selalu merasa belum cukup. Masih ada pekerjaan, masih ada target, masih ada perasaan yang belum tuntas. Padahal, tidak semua hal harus selesai dalam satu waktu. Bahkan bunga pun tak mekar dalam sehari. Maka biarlah senja mengajarkan sabar—dengan warna, bukan kata.

Senja itu seperti ibu yang memanggil anaknya pulang sebelum malam terlalu larut. Ia tidak menghardik, hanya memberi isyarat lewat langit yang memerah malu. Tapi anak-anak zaman kini terlalu sibuk bermain, sampai lupa arah rumah. Mereka menunda pulang, sampai malam kehilangan kesabaran. Lalu ketika gelap benar-benar datang, mereka menangis mencari terang. Tapi senja sudah tak bisa kembali.

Dalam tiap salat magrib, ada percakapan sunyi antara hamba dan Tuhannya. Bukan sekadar ritual, tapi pengakuan bahwa waktu ini milik-Nya. Aku sering terlambat, sering kalah oleh deretan hal duniawi. Tapi saat aku benar-benar hadir dalam sujud itu, senja terasa lebih dalam. Ia bukan cuma langit merah, tapi pintu. Pintu menuju kesadaran, bahwa dunia tak harus dipeluk erat-erat.

Tak jarang aku mendengar seseorang berkata, "Ah, aku lebih suka malam." Tapi mereka lupa, bahwa malam hanya ada karena senja memberi jalan. Tak ada gelap yang tak melalui jingga lebih dulu. Maka mencintai malam tanpa memahami senja, seperti mencintai dewasa tanpa melewati luka. Dan di antara luka dan lega, senja menjadi jembatan yang paling jujur.

Pulang adalah kata paling indah diucapkan saat senja. Bukan hanya soal rumah, tapi soal kembalinya jiwa dari kebisingan dunia. Di kursi kayu depan rumah, ayahku biasa duduk dengan teh dan diam. Tidak ada obrolan, hanya anggukan perlahan. Aku baru paham, diam ayah saat senja itu adalah bentuk terima kasih kepada waktu.

Kau tahu, bahkan burung pun pulang saat senja datang. Tapi kita? Kita malah terbang lebih jauh, menantang malam dengan ambisi. Hingga kadang tersesat di gelap yang kita buat sendiri. Senja ingin kita pulang, tapi kita malah menambah langkah. Hingga saat sadar, rumah hanya tinggal alamat yang tak kita ingat.

Mereka yang meninggalkanmu di waktu senja, bukan berarti tak cinta. Mungkin mereka hanya tahu kapan harus berhenti. Seperti senja yang tahu dirinya tak bisa menggantikan malam, ia pergi dengan elegan. Perpisahan tak selalu menyakitkan jika kau tahu alasannya. Dan pergi bukan berarti menghilang, kadang hanya memberi ruang untuk rindu tumbuh.

Senja mengajarkanku satu hal yang tak pernah diajarkan sekolah: cukup itu indah. Tak harus sempurna, tak harus panjang, tak harus menang. Cukup hadir, cukup sadar, cukup pulang. Maka bila suatu hari aku pergi, biarlah aku pergi seperti senja. Tidak mengejutkan, tapi dikenang.

Kadang senja datang bukan membawa ketenangan, tapi semacam kegelisahan yang diam-diam mengetuk dada. Seorang laki-laki, yang sudah cukup dewasa untuk paham bahwa hidup bukan hanya tentang bertahan, tapi juga tentang kehilangan, duduk diam menatap langit yang mulai beranjak gelap. Tidak ada musik, tidak ada suara televisi, hanya sunyi yang menggema di kepala. Sunyi yang bentuknya bukan cuma sepi, tapi semacam rasa ditinggal oleh dirinya sendiri. Yang tersisa hanya tubuh, tapi jiwa seolah sedang berjalan pulang ke masa kecil yang jauh.

Ilustrasi (Gambar : GeneratedAI)

Ada masa ketika ia bisa tertawa hanya karena temannya terpeleset di pematang sawah. Masa di mana hujan bukan musuh, melainkan sahabat. Dulu, bermain hujan-hujanan di sawah adalah puncak kegembiraan. Basah kuyup, menggigil, lalu pulang dan dimarahi ibu karena baju penuh lumpur. Tapi setelah itu, disuguhkan tempe bakar buatan ayah yang terasa seperti hidangan raja. Tak ada restoran di dunia yang bisa menyaingi nikmatnya makan sambil berselimut sarung, usai bermain hujan dan dimarahi dengan cinta.

Kini, segalanya berbeda. Hujan hanya berarti kemacetan, banjir, atau janji yang tertunda. Tak ada lagi sawah, tak ada lagi alasan untuk berlari tanpa tujuan. Hujan tak lagi menyegarkan, malah menambah sesak hati yang sudah penuh beban. Dunia orang dewasa memang kejam, bukan karena dendam, tapi karena terlalu sunyi.

Menjadi dewasa berarti harus pandai berakting. Tersenyum ketika ingin menangis, menyapa ketika ingin menghindar, dan berteman dengan orang-orang yang sebenarnya tak pernah peduli. Persahabatan berubah jadi transaksi. Ada yang datang hanya saat butuh, pergi ketika tak berguna lagi. Ia lelah dengan kepalsuan itu, tapi tak punya pilihan lain. Dunia kerja, dunia sosial, semua menuntut topeng yang harus terus dipakai.

Di desa dulu, semua orang tahu nama semua orang. Sore-sore dihabiskan dengan memancing di sungai, menyusuri aliran air sambil bercanda dan menertawakan nasib ikan yang kurang beruntung. Seusai itu, mandi di sungai, bermain air sampai kulit keriput, lalu pulang dengan baju setengah kering dan hati yang penuh. Tak pernah ada hari yang terasa hampa.

Waktu kini jadi musuh yang tak terlihat. Setiap detiknya adalah peringatan bahwa tubuh tak sekuat dulu. Punggung yang mudah pegal, mata yang cepat lelah, dan kepala yang mulai sulit mengingat nama-nama kecil di masa lalu. Penyakit datang satu per satu seperti tamu tak diundang. Kolesterol, maag, kadang cemas yang datang tanpa sebab. Semua itu bukan hanya menyiksa tubuh, tapi juga menggerus semangat.

Pernah satu malam, ia mendengar suara tawa dari luar jendela. Beberapa anak kecil sedang bermain petak umpet. Ia tak tahu siapa mereka, tapi suara tawa itu menampar kenangannya. Begitulah dulu dirinya. Menyatu dengan malam, bermain tanpa takut esok harus bangun pagi. Kini, ia bahkan takut tidur karena mimpi sering mengembalikan luka-luka lama.

Ada rasa iri yang pelan-pelan tumbuh saat melihat anak-anak. Iri karena mereka belum tahu bahwa dunia dewasa adalah ladang duri. Iri karena mereka bisa tertawa tanpa alasan, marah tanpa dendam, dan lupa tanpa beban. Ia mencoba meniru mereka, ikut tertawa, tapi yang keluar hanya senyum yang dipaksakan.

Di rumahnya ada satu kardus penuh benda-benda lama: yoyo, gambar tempel, beberapa mainan plastik dari pasar malam. Ia tak pernah membuka kardus itu lagi, karena takut akan banjir kenangan yang tak bisa ia bendung. Kadang, benda kecil menyimpan luka besar.

Suatu sore ia duduk di taman dan melihat seorang ayah menyuapi anaknya. Tempe goreng, sambal, dan nasi hangat. Sederhana, tapi pemandangan itu membuat matanya panas. Ia ingat betul bagaimana ayahnya dulu memasak dengan alat seadanya. Makanan ayahnya bukan sekadar pengisi perut, tapi penanda bahwa rumah itu masih hangat, bahwa ada cinta yang bisa disantap.

Ada hari-hari tertentu ketika tubuhnya menolak bangun dari tempat tidur. Bukan karena sakit, tapi karena lelah yang terlalu dalam. Lelah yang bukan soal pekerjaan, tapi karena terlalu lama berpura-pura. Lelah menjadi orang dewasa yang harus kuat, yang harus mandiri, yang tak boleh merengek.

Tak jarang ia bertanya pada dirinya sendiri: untuk apa semua ini? Gaji bulanan, cicilan kredit, tanggung jawab sosial. Apa semua ini layak ditukar dengan kenangan bermain kelereng di tanah lapang? Jawabannya selalu menggantung, tak pernah benar-benar jelas.

Kalau boleh memilih, ia ingin sehari saja kembali ke masa kecil. Cukup sehari, untuk bermain, berlarian, dan tertawa lepas. Tak perlu gawai, tak perlu media sosial. Hanya dirinya, teman-temannya, dan lapangan luas tempat mereka membangun dunia khayal.

Sahabat sejatinya dulu adalah orang-orang yang kini entah di mana. Ada yang jadi guru, ada yang merantau, ada pula yang sudah tiada. Tak ada grup WhatsApp, tak ada reuni, hanya ingatan yang mulai kabur tapi masih hangat di hati.

Ia sempat mencoba menuliskan semua ini. Bukan untuk dijual, bukan untuk dibaca orang, tapi sebagai cara untuk tetap waras. Tulisan itu ia simpan dalam folder bernama "Pulang". Karena ia tahu, tiap kata adalah langkah kecil untuk kembali ke dirinya yang dulu.

Pagi hari selalu terasa kosong. Matahari terbit tanpa sambutan, kopi diseduh tanpa percakapan. Kadang ia membuka jendela, berharap ada sesuatu yang datang. Tapi yang datang hanya angin, membawa dingin dan kenangan yang samar.

Ia mencoba berdamai dengan kesendirian, meski sesekali tubuhnya menolak. Ada malam-malam di mana ia hanya ingin dipeluk. Bukan oleh kekasih, tapi oleh seseorang yang mengerti bahwa menjadi dewasa artinya kehilangan tempat pulang.

Sampai pada titik tertentu, ia menyadari: tak ada yang benar-benar bisa ia kembalikan. Masa kecil sudah usai, dan kenangan hanya bisa disimpan, bukan diulang. Tapi ia bisa belajar mencintai hidup hari ini, dengan cara yang sama seperti ia mencintai masa lalunya.

Perlahan, ia mulai menemukan momen kecil yang membuatnya tersenyum. Seorang anak yang memanggilnya "Om" lalu tertawa, seekor kucing yang tidur di teras, atau senja yang warnanya mirip sore di kampung dulu. Hidup memang tak bisa diulang, tapi bisa ditenun kembali dengan benang kenangan.

Jika ada yang ia sesali, mungkin hanya satu: dulu terlalu cepat ingin dewasa. Terlalu cepat ingin bebas, padahal kebebasan ternyata punya harganya sendiri. Kini ia tahu, masa kecil bukan tempat tinggal, tapi tempat pulang.

Dan malam ini, sebelum tidur, ia berdoa pelan. Bukan minta kaya, bukan minta terkenal, tapi minta agar esok bisa tertawa seperti anak kecil lagi. Sekali saja. Tanpa beban. Tanpa alasan. Karena kadang, satu tawa cukup untuk menghidupkan kembali seseorang yang hampir mati di dalam.

Langit sore itu merah seperti kain yang diwarnai oleh tangan-tangan tak terlihat. Hari ketika kau berdiri di depan penghulu dengan gaun putih yang kau rancang sendiri, gemetar namun tegas. Aku memandangmu, menyadari bahwa ijab qabul yang barusan kuucapkan bukanlah sekadar ritual—tapi guncangan dahsyat yang mengubah peta hidupku selamanya.  

Sepuluh tahun. Ratusan piring masakan yang kau buat pagi-pagi sebelum aku bangun. Aku belajar bahwa pernikahan bukan tentang dua orang yang sempurna, melainkan dua orang yang rela mengakui ketidaksempurnaannya.  
Aku dan Kamu (Foto : Dokumentasi Pribadi)
Kita pernah terdampar di bandara asing tengah malam, dompet kosong, dan hanya punya sekotak bekal untuk dibagi. Kau memecahnya dengan gigitan yang adil, lalu tertawa seperti itu bukan masalah. Di saat itulah aku paham: kebahagiaan kita tidak diukur dari apa yang kita miliki, tapi dari apa yang rela kita bagi.  

Anak pertama kita lahir di tengah badai pandemi. Saat dokter menaruhnya di kotak inkubator, kau menangis bukan karena sakit, tapi karena takjub. Aku melihat cahaya baru di matamu—cahaya yang sekarang selalu ada setiap kali kau memandang mereka.  

Kita seperti dua pohon yang akarnya sudah saling melilit. Terkadang kita berebut sinar matahari, berebut nutrisi, tapi selalu berakhir saling menopang ketika angin kencang datang.  

Aku mulai beruban. Kau mulai suka mengeluh pegal. Tapi matamu masih berbinar seperti gadis 25 tahun yang kutemui dulu. Mungkin cinta itu semacam keabadian—ia tidak mencegah kita menua, tapi memastikan kita tetap mengenali satu sama lain di balik keriput dan uban.  

Kita sudah melalui pemakaman bersama—keluarga, sahabat, bahkan janin yang tak sempat melihat dunia. Kehilangan itu mengajari kita bahwa yang paling berharga bukanlah benda, melainkan waktu yang kita habiskan bersama.  

Pandemi mengurung kita dalam rumah selama berbulan-bulan. Awalnya kita saling menjengkelkan, tapi lambat laun menemukan ritme baru: kau belajar memasak hidangan yang biasa kubeli di luar, aku belajar memijat kakimu yang lelah. Terkadang bencana justru mengingatkan kita pada berkah yang selama ini diabaikan.  

Aku masih suka memandangimu tidur. Cara napasmu yang pelan, sesekali mengigau hal tak penting, tangan yang terkadang meraihku dalam gelap seperti memastikan aku masih ada. Tidurmu adalah pengakuan paling jujur bahwa kau percaya padaku.  

Kita mulai lupa tanggal-tanggal penting, tapi ingat persis rasa kesal pertama kita, aroma parfum yang kau kenakan saat pertama kali kencan, bahkan nada dering teleponmu di tahun 2015 yang sudah tak dipakai lagi. Memori itu aneh—ia membuang yang seharusnya diingat, tapi menyimpan yang tak terduga.   
 

Di usia pernikahan yang kesepuluh ini, aku menyadari bahwa "mereka hidup bahagia selamanya" itu bukanlah akhir cerita. Itu justru bab baru yang lebih menantang—di mana cinta harus terus dipilih setiap hari, bukan sekadar dirasakan.  

Mungkin nanti kita akan pikun. Lupa nama satu sama lain. Tapi aku yakin kita akan tetap ingat cara mencintai—seperti sungai yang tak pernah lupa jalannya ke laut.  

Hari ini, di antara rutinitas yang sudah begitu familiar, aku ingin menegaskan lagi: sepuluh tahun lagi, ketika rambut kita sudah sepenuhnya putih, aku akan masih mencari wajahmu di keramaian, masih menggenggam tanganmu saat menyeberang jalan, dan masih bersyukur bahwa langit mempertemukan kita.  

Karena pernikahan kita bukan tentang kesempurnaan. Bukan tentang kebahagiaan yang datar. Tapi tentang dua manusia yang memilih untuk terus tumbuh bersama, meski akarnya kadang terluka, meski dahannya pernah patah.  

Dan esok, ketika matahari terbit lagi, kita akan mulai hari yang baru seperti biasa—dengan segala ketidaksempurnaan, dengan segala keajaiban kecil yang hanya kita berdua yang mengerti. Seperti sepuluh tahun yang lalu. Seperti kemarin. Seperti besok. 

Selamat Anniversary ke-10, Cinta

Kita mulai dari sunyi.  

Sebelum cahaya, sebelum suara, kita sudah lebih dulu mengenal diam. Di dalam rahim yang gelap, dalam kesendirian yang hangat, kita ada sebelum ada. Tak ada nama, tak ada wajah—hanya denyut dan desiran darah ibu yang menemani.  

Kitab suci mengingatkan bahwa manusia diciptakan dari saripati tanah, lalu menjadi setetes mani yang disimpan di tempat yang kokoh. Itulah kesunyian pertama kita. Sebelum nafas, sebelum tangis, sebelum segala keramaian hidup dimulai.  

Lalu kita lahir, dan dunia pun berteriak menyambut.  

Ilustrasi (Foto : GeneratedAI)

Tawa, tangis, panggilan nama, gemuruh pasar, deru mesin, lagu-lagu cinta, gema adzan—semua memenuhi hari-hari kita. Kita lupa bahwa sunyi pernah menjadi rumah kita. Kita sibuk mengikat diri pada orang-orang, pada benda-benda, seolah mereka akan selamanya ada.  

Tapi waktu bergerak.  

Peluk ibu yang dulu hangat, kini tinggal kenangan. Suara ayah yang dulu membimbing, sekarang hanya bisikan dalam ingatan. Teman-teman sebaya satu per satu menghilang, ada yang pergi lebih dulu, ada yang tinggal hanya dalam foto yang memudar.  

Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Itulah janji yang tak bisa ditawar. Dan ketika saatnya tiba, kita akan dikembalikan kepada-Nya—sendirian, seperti saat pertama kali diciptakan.  

Keramaian itu perlahan menipis.  

Anak-anak tumbuh, punya dunia mereka sendiri. Suara hiruk-pikuk kehidupan mulai redup. Tiba-tiba kita duduk di sore yang sunyi, menyadari bahwa hidup ini seperti lingkaran: kita datang sendiri, dan akan pergi sendiri.  

Di akhir, yang tersisa hanyalah kita dan sepi.  

Seperti dulu, di dalam kandungan.  

Seperti nanti, di dalam tanah.  

Kita datang sendirian, dan kita akan pergi dengan cara yang sama—meninggalkan segala yang pernah dikumpulkan, menghadap Sang Pencipta dengan hanya membawa amal dan dosa kita sendiri.  

Maka sebelum sepi itu tiba, sebelum kita kembali kepada-Nya dalam kesendirian yang tak terelakkan...  

Ingatlah bahwa sunyi adalah pengingat terakhir:  

Kita bukan milik dunia.  

Kita milik-Nya.  

Dan kepada-Nya kita kembali.

Aku berdiri di tengah kota yang tak pernah tidur ini, di antara ribuan langkah yang saling bersenggolan tapi tak pernah benar-benar bersua. Lampu-lampu neon berkedip, menawarkan cahaya yang palsu, seolah-olah mereka bisa menggantikan hangatnya lara-lara di rumah. Tapi di sini, di tengah gemuruh yang tak henti, justru sunyi itu yang paling nyaring terdengar.  

Bukan sepi yang kosong, bukan. Ini sepi yang penuh—penuh dengan suara orang-orang yang berbicara tapi tak pernah menyentuh, tertawa tapi tak pernah merasuk. Aku dikelilingi wajah-waajh asing yang setiap hari bertukar salam, tapi tak satu pun yang mengenal gurat-gurat kesepian di dahiku.  

Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Aku punya teman, ya. Tapi pertemuan kami seperti dua gelas kopi yang tak pernah benar-benar tercampur—meski duduk berdekatan, rasanya tetap terpisah. Mereka bercerita tentang hal-hal yang tak pernah sampai ke relung hatiku, dan aku pun mengangguk, seolah mengerti, padahal yang kupahami hanyalah betapa jauhnya jarak antara satu frekuensi dengan frekuensi lainnya.  

Kadang aku merindukan obrolan di beranda rumah, di mana senyap pun terasa ramai karena diisi oleh kehadiran yang saling mengerti. Di sini, keramaian justru menjadi tembok—sebuah ilusi kebersamaan yang tak pernah cukup hangat untuk menghangatkan malam-malam yang terasa panjang.  

Aku bertanya: apakah kesepian ini bentuk pengkhianatan tempat baru, atau justru pengakuan bahwa ada ruang-ruang dalam diri yang hanya bisa diisi oleh mereka yang sudah lama mengenal diam-diam kita?  

Tapi hidup harus berjalan. Aku belajar menelan sepi ini seperti menelan nasi sehari-hari—dikunyah, dirasakan, lalu dibiarkan mengendap di perut, menjadi tenaga untuk melangkah lagi.  

Sebab, mungkin, di balik semua ini, kesepian adalah cara bumi berbisik: bahwa kita, pada akhirnya, hanya bisa benar-benar bersama ketika berani jujur pada sunyi yang kita bawa.  

*(Titik. Tapi sepi tak pernah benar-benar berakhir.)*

Ketika senja meranggas di ufuk barat,

Sang Ayah, mentari keluarga, rebah dalam lelap abadi.

Satu nyawa, setitik debu di jagat raya,

Namun bagi putrinya, runtuhlah semesta yang ia punya.


Dunia berduka, barangkali sejenak,

Lalu kembali bercanda dalam hiruk pikuknya.

Tapi tidak baginya, yang hatinya remuk redam,

Jiwa tercabik, dunia kehilangan warna.


Ayah, gunung tempatnya berteduh,

Kini telah menjadi batu nisan yang bisu.

Pelukan hangat yang selalu menentramkan,

Kini tinggal kenangan yang membekukan kalbu.


Dulu, tawa Ayah adalah simfoni di pagi hari,

Kini hanya gema sayup yang mengiris memori.

Dulu, tangan Ayah adalah benteng pelindungnya,

Kini hanya bayangan yang menghantui mimpi.


Ia meratap, meraung dalam sunyi,

"Ayah, ke mana kau pergi?

Tinggalkan aku sendiri di dunia yang fana ini,

Siapa yang akan menuntunku arungi badai nanti?"


Oh, dunia memang tak mengerti,

Derita seorang anak yang kehilangan pelindung hati.

Bagai burung kecil kehilangan induknya,

Terombang-ambing, tak tahu arah tujuannya.


Namun, di tengah kepedihan yang menggunung,

Ia ingat pesan Ayah yang selalu terngiang,

"Nak, hidup harus terus berjalan,

Jadilah wanita kuat, hadapi dunia dengan tegar."


Air mata pun berganti tekad baja,

Ia akan bangkit, demi cinta sang Ayah.

Meski dunia terasa hampa,

Ia kan terus melangkah, menggapai asa.


Ayah, walau ragamu telah tiada,

Namun semangatmu akan selalu berkobar di jiwa.

Engkau adalah matahariku,

Yang sinarnya abadi, menerangi langkahku.


Ilustrasi (Gambar : Istimewa)


Jogja, kota yang tak pernah lelah menuntun langkah. Di sini, setiap sudut menyimpan sejuta cerita, setiap batu bata berbisik sejarah. Dan di antara hiruk pikuk kehidupan, ada satu momen sakral yang selalu dinanti: wisuda.

Lebih dari sekadar upacara kelulusan, wisuda di Jogja adalah sebuah janji. Sebuah komitmen untuk terus belajar, terus menggali, terus menemukan makna di balik setiap peristiwa. Kota ini, dengan segala kerumitan dan keindahannya, menjadi guru abadi bagi setiap anak yang pernah menginjakkan kaki di tanahnya.

Di panggung wisuda, toga membungkus tubuh muda penuh semangat. Tapi di balik toga itu, ada sejuta mimpi yang siap mengepakkan sayap. Mimpi untuk berkarya, untuk mengabdi, untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik.
Ilustrasi Wisuda (Gambar : Shutterstock)

Jogja mengajarkan bahwa ilmu tak hanya didapat dari buku. Jalanan berbatu, warung angkringan, bahkan suara gamelan di malam hari, semuanya adalah ruang kelas yang tak pernah tutup. Di sini, kita belajar tentang kehidupan, tentang cinta, tentang perjuangan.

Wisuda adalah titik awal, bukan akhir. Setelahnya, perjalanan masih panjang. Dunia luar menanti dengan segala tantangan dan godaannya. Namun, dengan bekal ilmu dan pengalaman yang didapat di Jogja, kita siap menghadapinya.

Jogja, kota yang melahirkan para pemimpi. Di sini, ide-ide liar bebas berkeliaran, kreativitas terus diasah. Dan wisuda adalah momen ketika para pemimpi itu siap mewujudkan mimpi-mimpi mereka.

Mungkin ada yang bertanya, apa yang istimewa dari wisuda di Jogja? Jawabannya sederhana: di sini, kita tidak hanya merayakan keberhasilan individu, tapi juga keberhasilan sebuah komunitas. Kita merayakan semangat gotong royong, semangat kebersamaan yang menjadi ciri khas kota ini.

Jogja adalah rumah bagi para pencari kebenaran. Di sini, kita diajarkan untuk selalu bertanya, untuk selalu meragukan, untuk tidak pernah puas dengan jawaban yang ada. Dan wisuda adalah momen ketika kita siap melanjutkan pencarian itu.

Di setiap sudut kota ini, ada jejak langkah para wisudawan yang telah berlalu. Mereka telah memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat, bagi bangsa. Dan kalian, para wisudawan baru, harus siap meneruskan estafet perjuangan mereka.

Jogja, kota yang tak pernah berhenti mengajar. Dan kita, sebagai anak didiknya, harus terus belajar sepanjang hayat. Wisuda adalah sebuah janji, sebuah janji untuk terus memberikan yang terbaik bagi diri sendiri, bagi orang lain, dan bagi negeri ini.

Wisuda di Jogja adalah lebih dari sekadar seremonial; itu adalah janji untuk terus belajar dari kota yang tak pernah berhenti mengajar.

Bandara dan terminal, tempat pertemuan dan perpisahan 

Dalam pelukan dan kecupan, ada cinta yang hadir dalam semesta 

Sepasang mata yang tak saling lepas, berharap waktu tak pernah berlalu 

Namun kadang ada juga cinta yang takkan pernah bertemu


Di sana, kisah cinta bergulir dengan seribu liku 

Seperti film yang kita tonton di layar kaca 

Tentang dua hati yang saling berpaut 

Namun takdir memisahkan mereka dalam perjalanan hidup yang berbeda


Bandara dan terminal, tempat di mana harapan bertengger di langit 

Penerbangan menuju impian dan pelabuhan bagi kerinduan 

Tapi di balik senyum dan tawa, disana ada juga air mata

Karena cinta yang datang dan pergi, dan hati yang hancur dalam kehampaan


Kita berjumpa di antara antrian dan papan keberangkatan 

Terkapar dalam kebosanan menunggu pesawat yang tertunda 

Namun di situ juga kita berpisah, melepaskan tangan dengan lara 

Hanya tinggal kenangan manis dan kata-kata cinta yang takkan pernah terucap


Bandara dan terminal, panggung tempat mimpi-mimpi berputar 

Malam-malam yang tak pernah tidur, dan hati-hati yang terluka 

Namun di sini juga ada kekuatan, dalam setiap pelukan terakhir 

Menyimpan harapan untuk bertemu lagi, di pintu gerbang yang sama


Bandara dan terminal, saksi cinta yang terbangun dan terkubur 

Tempat di mana kisah cinta berjuta warna tercipta dan terluka 

Di antara keberangkatan dan kedatangan, kita belajar tentang perpisahan 

Dan bagaimana mencintai dengan segenap hati, meski harus rela melepaskan


Bandara dan terminal, dua tempat yang menggetarkan jiwa 

Menghadirkan keajaiban dan pahitnya kenyataan 

Namun di balik segala kesedihan dan kegundahan 

Ada juga cinta yang bertahan, meski dalam bentangan waktu yang tak terbatas

Ilustrasi (Gambar : Pixabay)


Malam semakin larut
Tatkala kulihat derai rambutnya
yang semakin memutih
Ia selalu menyembunyikan putihnya rambut tersebut
Dibalik hijab yang selalu ia kenakan
Namun kini tak sengaja kulihatnya
Tatkala ia terbaring lemah

Ia yang selalu ada saat aku jatuh
Ia yang selalu ada saat aku berdiri
Ia yang selalu ada saat aku terbang

Tapi
Dimana aku saat ia terjerembab
Dimana aku saat ia butuh dukungan
Dimana aku saat ia lelah dan ingin berbagi

Mungkinkah aku durhaka?
Adakah aku berbakti padanya?
Sisakah surga darinya?

Sakit ini mungkin upaya Tuhan
Menyadarkan sang insan agar ihsan
Pada apa yang telah Ia gariskan
Tanpa lupa siapa kapan ia harus kembali
Pada ia yang membesarkan

Tuhan,
Ribuan kilometer akan berjarak
Puluhan pulau akan membatasi

Tapi
Aku ingin itu tak memutus jarak
Juga tak membatasi

Justru
Menjadikannya sebagai tabungan
Tabungan yang membawanya pada keteduhan
Keteduhan akhir yang kekal

Ya Rabb
Ampunilah kami
Kami yang selalu ingkar
Ingkar pada kewajiban-Mu
Kewajiban untuk bersujud menyembah-Mu
Juga membawa mereka
Pada bebasnya api neraka

InshaAllah
Akan selalu ada jalan pulang
Untuk terus merawat mereka
Dan menjadikan mereka mulia
Mulia karena akhlak, ilmu, serta anak-anaknya
Karena itu yang akan ditanya oleh Tuhan-Nya

Kalirejo, Juli 2016




Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • TINGGAL DI BENGKULU ITU SEPERTI PACARAN SAMA MANTAN YANG BAIK : DAMAI TAPI NGGAK TERLALU RAMAI
  • TEOLOGI UANG DAN BIDANG ILMU EKONOMI SPIRITUAL
  • LEBARAN, PERANTAU, DAN SEPI
  • PERBEDAAN PROPOSAL SKRIPSI, TESIS, DAN DISERTASI

Ramadhan Bercerita

PARIWARA

PARIWARA

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar