Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami
Membincangkan wilayah 3T seperti Enggano sesungguhnya berbicara tentang keadilan pembangunan yang tak kunjung tiba. Pulau kecil yang menjorok ke Samudra Hindia ini kerap menjadi citra tentang tepi NKRI yang masih menanti sentuhan negara secara nyata. Selama puluhan tahun, status Enggano sebagai kecamatan di bawah kabupaten menandakan bahwa negara hadir, namun sekadar secara administratif.

Tak dapat dimungkiri, skema birokrasi yang kaku dan hierarkis justru sering memperpanjang jarak antara kebutuhan nyata warga dengan solusi kebijakan yang diharapkan. Dalam banyak kasus, keputusan strategis tentang layanan publik, infrastruktur, bahkan penanganan bencana, kerap kali harus menunggu proses panjang yang melibatkan lintas tingkatan pemerintahan. Tidak jarang, hasil akhirnya justru tak menyentuh akar persoalan.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Bila menilik lebih dalam, model pemerintahan kecamatan di wilayah seperti Enggano ternyata lebih banyak menghadirkan batasan daripada peluang. Kewenangan yang terbatas serta anggaran yang serba pas-pasan menambah rumit upaya memajukan wilayah yang sudah sejak awal berangkat dari posisi tidak setara.

Banyak warga dan pelaku pembangunan di Enggano mengakui bahwa tantangan terbesar adalah pada kecepatan dan ketepatan respons pemerintah. Seringkali, ada jarak waktu yang sangat lama antara pengajuan kebutuhan masyarakat dengan realisasi program pemerintah. Dalam konteks ini, wilayah terluar seperti Enggano nyaris selalu menjadi prioritas kedua setelah kebutuhan daerah pusat atau kabupaten.

Ketika pembangunan berjalan lamban, masyarakat lokal harus menerima fakta bahwa akses kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur tetap tersendat. Bahkan, dalam kondisi krisis, seperti saat pandemi atau bencana alam, respons pemerintah menjadi ujian nyata bagi tata kelola wilayah terpencil. Keadaan ini semakin menegaskan bahwa model birokrasi lama tidak sanggup menjawab kompleksitas kebutuhan wilayah 3T.

Ada pertanyaan yang mengemuka, mengapa negara belum berani mendesain ulang model pemerintahan untuk wilayah dengan tantangan unik seperti Enggano? Jawaban yang sering muncul adalah kekhawatiran akan inkonsistensi kebijakan serta potensi tumpang tindih kewenangan. Namun, jika stagnasi dibiarkan, wilayah seperti Enggano akan semakin jauh tertinggal.

Pengalaman masa lalu, di mana pemerintah pusat pernah bereksperimen dengan berbagai model pemerintahan khusus, menjadi pembelajaran penting. Model otorita Batam, otonomi khusus Papua dan Aceh, hingga keistimewaan DIY, merupakan upaya negara untuk menjawab tantangan lokalitas, meski dengan motivasi yang beragam. Namun, belum ada model yang benar-benar didedikasikan khusus bagi wilayah 3T yang berkarakter geografis dan sosial unik seperti Enggano.

Kalau kita bicara mengenai pengelolaan wilayah khusus, Batam memang sering disebut sebagai contoh otorita yang efektif. Namun, Batam adalah kawasan ekonomi strategis yang berbeda orientasinya dengan wilayah 3T. Sementara itu, Aceh dan Papua diberi otonomi khusus karena sejarah konflik dan identitas. Lalu, di mana posisi Enggano dan puluhan wilayah 3T lain yang bukan kawasan industri, bukan pula wilayah dengan status politik khusus?

Banyaknya tantangan itu memperlihatkan bahwa upaya membangun wilayah 3T harus dimulai dari desain tata kelola yang benar-benar baru dan tidak sekadar hasil adaptasi dari model lama. Justru, keberanian untuk keluar dari zona nyaman model birokrasi konvensional menjadi syarat utama agar wilayah seperti Enggano mampu mengejar ketertinggalan.

Sebagai pengajar, saya kerap mendapati bahwa logika “one size fits all” dalam tata kelola pemerintahan justru memperparah ketimpangan antarwilayah. Enggano hanyalah salah satu dari banyak wilayah yang menjadi korban generalisasi kebijakan yang tidak peka pada konteks. Sudah saatnya, negara berani mendesain sistem yang benar-benar tailor-made.

Jika menilik Undang-Undang Pemerintahan Daerah, memang ada ruang untuk pembentukan entitas administratif baru. Namun, realisasi di lapangan masih sangat minim. Salah satu sebabnya, tidak adanya model yang benar-benar relevan bagi kebutuhan wilayah 3T seperti Enggano—yang, sekali lagi, bukan wilayah industri, bukan pula kantong konflik, melainkan pulau terdepan dengan segala keterbatasannya.

Merumuskan Otorita Khusus Terintegrasi

Atas dasar refleksi panjang atas kegagalan model lama, saya menawarkan satu gagasan baru: Otorita Khusus Terintegrasi (OKT). OKT adalah model pemerintahan yang tidak sekadar menambah struktur birokrasi, namun mendesain ulang secara radikal cara negara hadir dan bekerja di wilayah-wilayah ekstrem seperti Enggano.

Dalam skema OKT, wilayah seperti Enggano dikelola oleh sebuah otorita yang bertanggung jawab langsung kepada kementerian, khususnya Kementerian Dalam Negeri. Mandat yang diberikan luas dan terintegrasi, mulai dari pengelolaan layanan publik, pengembangan infrastruktur, hingga penyusunan kebijakan pembangunan. Kepala Otorita diangkat Presiden, sehingga stabilitas kepemimpinan lebih terjaga.

Dengan model ini, tidak lagi terjadi tumpang tindih atau tarik-ulur kepentingan antara kabupaten, provinsi, maupun pusat. Otorita Khusus Terintegrasi diberi kewenangan penuh dalam hal perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, namun tetap dengan mekanisme pengawasan ketat dari pusat dan lembaga audit independen.

OKT juga memiliki karakteristik utama, yaitu fleksibilitas dan keterbukaan dalam merekrut tenaga profesional serta ASN dari seluruh Indonesia. Model pengelolaan sumber daya manusia ini memungkinkan wilayah 3T mendapatkan SDM terbaik dengan insentif yang kompetitif dan sistem merit yang jelas.

Lebih jauh, Otorita Khusus Terintegrasi diberikan kewenangan fiskal khusus. Anggaran yang dialokasikan tidak lagi terfragmentasi, melainkan berbentuk block grant yang dapat dikelola secara mandiri, disesuaikan dengan kebutuhan dan prioritas nyata di lapangan. Ini membuka ruang bagi inovasi dalam pengelolaan keuangan daerah.

Berbicara tentang regulasi, tentu pembentukan OKT membutuhkan dasar hukum yang kuat, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun revisi undang-undang terkait. Namun, urgensi pembentukan OKT dapat lebih cepat dijawab dengan mengadopsi semangat “affirmative action” untuk wilayah 3T. Dengan demikian, proses hukum berjalan seiring dengan eksekusi nyata di lapangan.

Melalui OKT, Enggano diharapkan bisa menjadi lokomotif percepatan pembangunan di wilayah 3T. Semua program dan proyek strategis bisa langsung dirancang, diputuskan, dan dieksekusi oleh Otorita, tanpa harus menunggu restu dari level pemerintahan di atasnya. Hal ini akan sangat membantu percepatan layanan publik dan pembangunan infrastruktur dasar.

Model serupa sudah diterapkan di beberapa negara lain dengan karakteristik wilayah terpencil dan terluar. Misalnya, Northern Territory di Australia dan Nunavut di Kanada, yang mendapatkan kewenangan administratif langsung dari pemerintah pusat. Keberhasilan dua wilayah itu dalam menata pelayanan publik dan infrastruktur menjadi referensi penting, meski tentunya harus diadaptasi dengan konteks Indonesia.

Perlu dicatat, meski langsung di bawah kementerian, Otorita Khusus Terintegrasi tidak boleh menjadi lembaga yang tertutup. Harus ada ruang partisipasi masyarakat dan mekanisme checks and balances. Proses perumusan kebijakan, penyusunan anggaran, hingga pelaksanaan program harus terbuka bagi publik dan melibatkan pemangku kepentingan lokal.

Selain pengawasan internal dan audit eksternal, pelibatan universitas, lembaga riset, dan organisasi masyarakat sipil akan memperkuat tata kelola OKT. Mereka berperan tidak hanya sebagai mitra pembangunan, tetapi juga sebagai watchdog yang kritis terhadap pelaksanaan kebijakan di lapangan.

Pada titik ini, transformasi digital juga menjadi pilar utama. Dengan kondisi geografis Enggano yang menantang, pengelolaan layanan publik berbasis digital akan sangat membantu transparansi, efisiensi, dan kecepatan layanan. Sistem e-government bisa dioptimalkan untuk manajemen keuangan, administrasi kependudukan, hingga layanan kesehatan dan pendidikan.

Tentu saja, keberhasilan Otorita Khusus Terintegrasi sangat bergantung pada komitmen politik pemerintah pusat. Alokasi dana, kejelasan kewenangan, serta konsistensi pengawasan harus benar-benar dijaga. Jangan sampai model baru ini hanya menjadi nama tanpa substansi, atau justru menjadi ruang baru bagi praktik-praktik penyimpangan.

Di sisi lain, teori administrasi negara klasik yang dikemukakan Max Weber tentang birokrasi memang menekankan pentingnya struktur hierarkis dan rasionalitas aturan. Namun, dalam konteks wilayah 3T seperti Enggano, model weberian ini acap kali justru menghadirkan hambatan baru, sebagaimana dikritik Herbert Simon lewat gagasan bounded rationality—di mana pengambilan keputusan dalam organisasi publik tidak pernah sepenuhnya rasional karena terbatasnya informasi dan sumber daya di lapangan. Dalam prakteknya, keterbatasan tersebut semakin nyata di wilayah terpencil, sehingga diperlukan lembaga yang lebih luwes dan adaptif. Menarik untuk dicermati, Elinor Ostrom pernah menegaskan bahwa kelembagaan publik harus dibangun secara tailor-made, sesuai konteks sosial dan lingkungan lokal, agar dapat benar-benar menjawab kebutuhan warga.

Kemudian, konsep governance dari James Rosenau serta pendekatan collaborative governance yang diusung Ansell dan Gash mempertegas urgensi sinergi multi-aktor dalam tata kelola publik, terutama untuk wilayah-wilayah yang kompleks seperti 3T. Keduanya menyebut bahwa pemerintahan yang efektif membutuhkan keterlibatan langsung masyarakat sipil dan dunia usaha, bukan hanya negara. Sementara itu, Christopher Hood dalam konsep new public management menekankan perlunya efisiensi, akuntabilitas, dan inovasi dalam organisasi publik—suatu prinsip yang sangat sesuai dengan semangat Otorita Khusus Terintegrasi yang penulis tawarkan. Dengan mengadopsi pemikiran para ahli tersebut, desain OKT bagi Enggano dan wilayah 3T lain dapat benar-benar berakar pada landasan teoritik kuat, sekaligus tetap adaptif terhadap dinamika zaman.

Menyusun Jalan Baru Wilayah 3T

Setiap kebijakan baru selalu berpotensi menimbulkan resistensi. Tidak terkecuali OKT. Penolakan bisa datang dari birokrasi lama yang merasa kehilangan kewenangan, atau dari elite lokal yang khawatir kehilangan pengaruh. Oleh sebab itu, komunikasi publik yang jujur dan dialogis sangat diperlukan sejak awal.

Masyarakat lokal perlu dilibatkan secara aktif dalam proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan OKT. Mereka harus didengarkan aspirasinya, diberi ruang dalam pengawasan, dan diberdayakan dalam pelaksanaan program. Dengan demikian, keberadaan Otorita benar-benar menjadi milik bersama, bukan sekadar proyek dari atas.

Pemberdayaan masyarakat lokal juga menjadi kunci dalam memastikan keberlanjutan program. Tidak cukup hanya membangun infrastruktur atau layanan publik, namun juga membangun kapasitas warga agar mampu mengelola, merawat, dan mengembangkan hasil pembangunan secara mandiri di masa depan.

Penguatan identitas dan budaya lokal menjadi bagian integral dari OKT. Setiap kebijakan pembangunan harus menghargai dan merangkul kearifan lokal, memastikan Enggano tidak kehilangan identitasnya di tengah derasnya arus modernisasi dan pembangunan.

Dalam konteks geopolitik, pembentukan Otorita Khusus Terintegrasi juga menjadi bukti nyata kehadiran negara di wilayah perbatasan. Ini sangat penting dalam mempertegas kedaulatan dan integrasi nasional, khususnya di tengah meningkatnya dinamika kawasan regional.

Tidak kalah penting, pembangunan OKT harus berorientasi pada keberlanjutan lingkungan. Setiap proyek pembangunan wajib memastikan perlindungan ekosistem pulau, mengingat Enggano adalah wilayah yang sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan. Pelibatan ahli lingkungan dan komunitas lokal mutlak diperlukan.

Di sisi lain, ekonomi lokal harus menjadi prioritas. Otorita perlu mendorong pengembangan sektor-sektor potensial, seperti perikanan, pariwisata berbasis alam, dan pertanian organik yang sesuai dengan daya dukung pulau. Dukungan teknologi tepat guna dan akses pasar juga harus menjadi agenda strategis.

Agar pelayanan publik benar-benar berkualitas, penempatan guru, tenaga kesehatan, dan ASN profesional di Enggano perlu diberikan insentif khusus dan perlakuan afirmatif. Dengan demikian, wilayah 3T tidak lagi menjadi tempat “buangan” ASN, melainkan menjadi lokasi pengabdian yang bergengsi.

Selanjutnya, sinergi dengan perguruan tinggi dan dunia usaha akan mempercepat transfer teknologi dan inovasi. Enggano bisa menjadi laboratorium inovasi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kolaborasi dengan universitas akan membuka peluang riset terapan dan pengembangan kapasitas lokal yang berkelanjutan.

Dalam hal pembiayaan, Otorita perlu memastikan transparansi dan akuntabilitas anggaran. Seluruh proses perencanaan dan penggunaan dana harus terbuka, dengan sistem pelaporan daring yang dapat diakses publik dan diaudit oleh lembaga independen. Ini menjadi pondasi utama membangun kepercayaan masyarakat dan mencegah praktik korupsi.

Tak kalah penting adalah membangun indikator keberhasilan yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada peningkatan kualitas hidup warga. Indeks kebahagiaan, kesehatan, pendidikan, dan pelestarian lingkungan menjadi ukuran utama keberhasilan OKT di masa depan.

Setiap proses perubahan membutuhkan waktu dan adaptasi. Oleh karena itu, pembentukan OKT harus diiringi dengan mekanisme monitoring dan evaluasi yang rutin. Setiap kebijakan yang tidak berjalan efektif harus segera dievaluasi dan diperbaiki, dengan melibatkan masukan dari masyarakat dan para ahli.

Akhirnya, yang terpenting dari semua ini adalah memastikan bahwa Otorita Khusus Terintegrasi bukan sekadar solusi teknokratis, tetapi benar-benar menjadi jalan baru bagi keadilan pembangunan di wilayah 3T. Enggano harus menjadi contoh nyata bagaimana negara hadir, bukan sekadar di atas kertas, tetapi juga dalam realitas keseharian warga.

Pembentukan OKT tidak boleh dianggap sebagai proyek sementara. Ini harus menjadi komitmen jangka panjang negara dalam menuntaskan ketimpangan pembangunan. Setiap perubahan yang terjadi harus berpihak pada masyarakat, bukan pada elit atau kelompok tertentu.

Dengan kehadiran OKT, diharapkan wilayah 3T seperti Enggano tak lagi terpinggirkan. Sebaliknya, mereka justru bisa tumbuh menjadi pusat-pusat inovasi yang menginspirasi wilayah lain. Negara tidak lagi hadir sebagai “tamu”, melainkan benar-benar menjadi “tuan rumah” di rumahnya sendiri.

Afirmasi Komitmen dan Argumen Kunci

Pada akhirnya, gagasan pembentukan Otorita Khusus Terintegrasi adalah refleksi dari tanggung jawab negara yang sesungguhnya. Inilah saatnya membuktikan bahwa keadilan pembangunan tidak berhenti di pulau-pulau besar, melainkan menjangkau hingga ke pulau terluar seperti Enggano.

Argumen utama yang harus dipegang adalah tidak ada satupun wilayah yang boleh dibiarkan berjalan sendiri tanpa uluran tangan negara. OKT menjadi instrumen nyata mewujudkan janji keadilan sosial dalam konstitusi dan cita-cita Nawacita yang digadang-gadang selama ini.

Kita belajar dari kegagalan masa lalu bahwa tata kelola birokrasi lama tidak sanggup melayani kebutuhan unik wilayah 3T. Kini, keberanian dan inovasi kebijakan adalah jawaban. Dengan OKT, negara bisa melompat lebih cepat, tanpa dibelenggu pola lama yang justru menghambat.

Dengan modal desain kelembagaan yang adaptif, komitmen politik yang kuat, dan pengawasan publik yang ketat, OKT sangat mungkin menjadi lokomotif baru pembangunan di wilayah 3T. Tentu, kesuksesannya membutuhkan gotong royong semua pihak—masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha.

Tidak ada kata terlambat untuk berubah. Justru, menunda berarti memperdalam jurang ketimpangan dan menambah beban masa depan bangsa. Enggano dan puluhan wilayah 3T lainnya pantas memperoleh keadilan yang telah lama mereka nanti-nantikan.

Referensi dalam tulisan ini cukup sebagai penguat argumen utama, bukan sebagai ornamen akademik. Pengalaman Batam, praktik otonomi di negara lain, serta pengalaman Indonesia dalam membangun kawasan khusus menjadi bahan pembelajaran yang memperkaya argumentasi.

Saya percaya, kehadiran Otorita Khusus Terintegrasi akan menjadi babak baru dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia. Model ini bukan sekadar solusi teknis, tetapi sekaligus bukti kehadiran negara yang lebih adil, responsif, dan berpihak pada yang paling membutuhkan.

Semoga Enggano, dan wilayah 3T lain, segera merasakan perubahan nyata dari keberanian negara dalam mendesain ulang tata kelola wilayahnya. Hanya dengan cara inilah, Indonesia benar-benar hadir dan berdaulat di setiap jengkal tanah airnya.
Beberapa hari terakhir jagat media sosial dan ruang-ruang redaksi diramaikan oleh berita yang tak hanya menggelitik nalar publik, tetapi juga membuat banyak profesional mengernyitkan dahi. Beberapa nama yang sebelumnya duduk sebagai menteri dan wakil menteri, kini dilantik menjadi komisaris di sejumlah BUMN besar. Salah satunya bahkan diketahui tidak menamatkan pendidikan S1-nya, namun ditunjuk menjadi komisaris di perusahaan plat merah yang berperan strategis dalam perekonomian nasional. Lebih menarik lagi, latar belakangnya adalah seorang musisi band, bukan pebisnis, bukan ekonom, apalagi orang dengan pengalaman manajerial. Paling tinggi pengalaman manajerialnya adalah pimpinan partai kelas medioker.

Ini bukan sekadar guyonan dunia maya. Ini soal serius. Sebab ketika jabatan komisaris dijadikan tempat menampung tim sukses, loyalis, bahkan artis, maka arah tata kelola perusahaan negara berada di jalur yang salah. Kita semua tahu, komisaris bukan jabatan simbolik. Mereka adalah penjaga gawang, pengawas strategis yang menentukan apakah perusahaan berjalan sesuai arah atau justru tergelincir karena keputusan yang asal-asalan.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Saya tidak sedang mempermasalahkan latar belakang profesi seseorang. Banyak seniman dan musisi yang cerdas dan memiliki wawasan luas. Tapi menjadi komisaris BUMN itu bukan soal pintar bernyanyi atau punya banyak followers. Ini soal kemampuan memahami strategi bisnis, risiko pasar, dinamika ekonomi global, hingga tata kelola korporat yang sehat. Kalau hanya sekadar populer atau dekat dengan kekuasaan, lantas siapa yang akan menjaga integritas dan keberlanjutan perusahaan?

Bayangkan jika kita memilih pilot pesawat bukan karena kemampuannya menerbangkan pesawat, tapi karena dia sering ikut kampanye dan loyal pada partai tertentu. Apa kita rela hidup kita dipertaruhkan di tangan orang yang salah? Logika yang sama harusnya berlaku dalam dunia bisnis, terlebih ketika yang dipertaruhkan adalah uang rakyat.

BUMN bukan milik pemerintah. Mereka milik negara. Ada perbedaan besar antara “pemerintah” dan “negara”. Pemerintah bisa berganti tiap lima tahun, tapi negara adalah entitas yang harus dijaga lintas generasi. Maka, pejabat yang duduk di struktur BUMN seharusnya dipilih bukan karena kedekatannya dengan kekuasaan, tetapi karena kemampuannya menjaga aset publik ini agar terus tumbuh, kompetitif, dan memberi manfaat luas.

Satu hal yang sering dilupakan: jabatan komisaris bukan “hadiah” politik. Ia adalah posisi strategis yang menentukan hidup matinya sebuah perusahaan. Komisaris harus mampu membaca laporan keuangan, memahami portofolio bisnis, mengawasi proyek-proyek strategis, dan memastikan perusahaan taat pada prinsip tata kelola yang baik (good corporate governance). Jika tidak, maka yang terjadi bukan BUMN yang maju, melainkan BUMN yang dikerjai.

Saya khawatir, dalam praktik seperti ini, yang terjadi bukan meritokrasi tapi mediokritas. Orang-orang yang seharusnya duduk karena kompetensi, tersingkir karena tidak punya kedekatan dengan elite politik. Akibatnya, talenta-talenta terbaik bangsa memilih berkarier di luar negeri atau di sektor swasta. Padahal, kita membutuhkan mereka untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional dari dalam.

Sebagian orang mungkin berkata, “Ah, komisaris kan hanya duduk manis, datang rapat sesekali.” Justru itu masalahnya. Karena persepsi bahwa komisaris hanya posisi “titipan”, maka pengawasan menjadi lemah. Banyak kasus korupsi di BUMN terjadi karena pengawasan yang tidak efektif. Dan itu terjadi karena komisarisnya tidak berfungsi sebagai pengawas strategis, melainkan sekadar pelengkap struktur.

Di mata publik, BUMN adalah etalase negara. Ketika masyarakat melihat orang yang tak relevan secara keahlian menduduki posisi strategis di sana, maka kepercayaan publik ikut runtuh. Dan saat kepercayaan runtuh, maka apapun yang dilakukan BUMN akan dipandang dengan sinis, bahkan kalau itu sebenarnya adalah langkah baik.

Saya selalu percaya bahwa organisasi yang baik dibangun di atas fondasi profesionalisme. Kita bisa menengok ke belakang, ke era ketika Bank Mandiri, BNI, hingga BRI mulai bertransformasi bukan karena orang-orangnya dekat dengan penguasa, tetapi karena mereka membawa keahlian, rekam jejak, dan visi jangka panjang.

Kita bisa ambil pelajaran dari perusahaan-perusahaan global yang kuat bukan karena afiliasi politik, tapi karena struktur kepemimpinannya berisi para profesional terbaik. Apakah Apple, Toyota, atau Siemens menunjuk komisaris hanya karena mereka populer di TikTok atau aktif di partai politik? Tidak. Mereka tahu bahwa profesionalisme bukan pilihan, tapi keharusan.

Namun saya juga tidak naif. Politik adalah realitas. Saya paham bahwa dalam sistem demokrasi, selalu ada semacam “utang politik” yang ingin dibayar pasca kemenangan. Tapi membayar utang politik tidak harus merusak sistem yang sudah dibangun dengan susah payah. Ada banyak posisi yang lebih cocok untuk itu—di luar urusan bisnis negara.

Yang perlu kita tanyakan hari ini: mau kita bawa ke mana BUMN kita? Apakah kita ingin mereka menjadi pemain global, menciptakan inovasi, menguasai teknologi, membuka lapangan kerja luas? Atau kita biarkan mereka menjadi ladang balas jasa dan tempat parkir politik?

Masalahnya bukan hanya pada siapa yang duduk, tapi pada budaya dan sistem yang mengizinkan itu terjadi. Kita butuh sistem rekrutmen yang transparan, berbasis kompetensi, dan diawasi publik. Penunjukan komisaris seharusnya melewati proses seleksi terbuka, dengan uji kelayakan, bukan hanya sekedar rapat terbatas di ruangan elit.

Mari kita belajar dari masa lalu. Dulu, banyak BUMN jadi sarang korupsi dan kerugian. Salah satu penyebabnya adalah karena jabatan strategis diisi oleh orang yang tidak kapabel. Mereka tidak paham bisnis, tidak paham risiko, tapi ikut menandatangani keputusan strategis. Hasilnya: kerugian triliunan, dan akhirnya negara juga yang menalangi.

Anak muda hari ini makin kritis. Mereka tahu siapa yang layak duduk di posisi strategis dan siapa yang hanya “nebeng kekuasaan.” Kalau negara tidak segera memperbaiki pola rekrutmen ini, jangan salahkan generasi muda kalau mereka makin apatis terhadap politik dan pemerintahan.

Saya tahu, tulisan ini mungkin tidak populer bagi sebagian kalangan. Tapi ini harus dikatakan. Karena mencintai bangsa bukan berarti membiarkan kesalahan terus berulang. Justru karena cinta, kita harus berani bicara. Kalau bukan kita, siapa lagi?

Pekerjaan rumah kita bukan hanya membangun infrastruktur fisik, tapi juga infrastruktur etika dan profesionalisme. Tanpa itu, maka gedung-gedung tinggi dan proyek-proyek megah tidak akan berarti. Kita butuh pemimpin dan pengawas yang bisa dipercaya, bukan sekadar terkenal.

Satu pertanyaan penting untuk para pengambil kebijakan: apakah kalian ingin tercatat dalam sejarah sebagai pembangun fondasi, atau sebagai perusak sistem? Sejarah akan mencatat. Dan rakyat, perlahan tapi pasti, mulai menyadari siapa yang benar-benar bekerja, dan siapa yang hanya numpang nama.

Saya percaya, kita masih punya harapan. Tapi harapan itu hanya akan hidup jika kita punya keberanian untuk memperbaiki yang salah. Dan perbaikan itu dimulai dari siapa yang kita percayakan untuk mengelola aset publik. Bukan karena dia tim sukses, tapi karena dia ahli dan layak.

Mari berhenti menjadikan komisaris sebagai jabatan pelengkap. Jadikan mereka mitra strategis yang memperkuat bisnis, bukan sekadar stempel kekuasaan. Kalau tidak, kita akan terus berada di lingkaran setan kegagalan.

Karena pada akhirnya, bukan hanya BUMN yang gagal. Tapi kepercayaan rakyat yang hilang. Dan itu jauh lebih berbahaya daripada sekadar laporan keuangan merah.

Negeri ini dipenuhi hiruk-pikuk organisasi, partai, perkumpulan, yang berlomba-lomba mendeklarasikan diri sebagai wadah aspirasi,  benteng perubahan,  pelopor kemajuan.  Namun di balik gegap gempita retorika dan parade slogan,  tersembunyi kenyataan pahit yang kerap luput dari sorotan.  Realitas itu bernama ketergantungan. Ketergantungan yang membelenggu,  melumpuhkan,  dan pada akhirnya mereduksi organisasi menjadi budak kekuasaan.


Organisasi-organisasi ini,  dengan segala atribut dan klaim idealismenya,  kerap kali berdiri di atas fondasi rapuh.  Mereka gagap dalam kemandirian,  terutama dalam hal finansial.  Alih-alih membangun sistem pengelolaan yang sehat dan berkelanjutan,  mereka justru terjebak dalam lingkaran setan;  mengemis belas kasihan,  mengharap kucuran dana,  dari para penguasa.


Awalnya mungkin terasa mudah.  Pintu-pintu terbuka lebar,  dana mengalir deras,  kegiatan berjalan meriah.  Namun perlahan tapi pasti,  jerat ketergantungan mulai mengikat.  Organisasi yang seharusnya menjadi pilar demokrasi,  berubah menjadi pion dalam permainan politik.  Suara kritis terbungkam,  idealime tergadai,  demi menjaga aliran dana yang menjadi napas kehidupan.

Ilustrasi (Gambar : Istimewa)


Ironisnya,  fenomena ini terjadi di semua lini.  Partai politik yang seharusnya menjadi lokomotif perubahan,  justru asyik bermanuver demi mendapatkan jatah kekuasaan.  Organisasi masyarakat sipil yang seharusnya menjadi pengawal demokrasi,  malah tergoda menjadi kepanjangan tangan penguasa.  Lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi kawah candradimuka,  terjerembab dalam kubangan pragmatisme.


Mereka lupa,  atau mungkin pura-pura lupa,  bahwa kemandirian adalah harga mati.  Kemandirian finansial memberi organisasi kekuatan untuk bergerak bebas,  menyuarakan kebenaran,  tanpa takut kehilangan dukungan.  Kemandirian organisasi adalah fondasi utama bagi tegaknya demokrasi yang sehat.  Tanpa kemandirian,  organisasi hanya akan menjadi kumpulan oportunis yang haus kekuasaan.


Lihatlah partai-partai politik kita.  Banyak yang terjebak dalam pusaran pragmatisme.  Ideologi dan platform perjuangan hanya menjadi jargon kosong,  yang siap ditukar dengan kursi empuk dan pundi-pundi rupiah.  Mereka berlomba-lomba mendekati penguasa,  menawarkan dukungan,  demi mendapatkan imbalan.  Akibatnya,  partai politik kehilangan ruhnya sebagai wadah aspirasi rakyat.


Organisasi masyarakat sipil pun tak luput dari jerat ini.  Banyak yang awalnya lahir dari semangat idealisme,  berjuang untuk keadilan,  menyuarakan suara rakyat yang tertindas.  Namun seiring berjalannya waktu,  godaan kekuasaan dan materi mulai menggerogoti.  Mereka terbuai janji-janji manis,  terlena iming-iming proyek,  hingga akhirnya kehilangan independensinya.


Lembaga pendidikan,  yang seharusnya menjadi benteng moral dan intelektual,  juga tak kebal dari virus pragmatisme.  Universitas-universitas berlomba-lomba menjalin kerjasama dengan penguasa,  menawarkan program-program yang menggiurkan,  demi mendapatkan kucuran dana.  Akibatnya,  riset-riset kritis terpinggirkan,  kebebasan akademik terancam,  dan kampus kehilangan marwahnya sebagai tempat pencarian kebenaran.


Ketergantungan pada kekuasaan telah menciptakan budaya ABS (Asal Bapak Senang).  Organisasi-organisasi sibuk menebar pujian,  menutupi borok,  menghindari kritik,  demi menjaga hubungan baik dengan penguasa.  Akibatnya,  ruang publik dipenuhi kepalsuan,  kebenaran dibungkam,  dan masyarakat terjebak dalam ilusi.


Ketergantungan ini juga melahirkan mentalitas instan.  Organisasi-organisasi enggan membangun sistem pengelolaan yang mandiri dan berkelanjutan.  Mereka lebih memilih jalan pintas,  mengemis dana,  mencari sponsor,  daripada bekerja keras membangun kemandirian.  Akibatnya,  organisasi menjadi rapuh,  rentan terhadap intervensi,  dan mudah dibajak oleh kepentingan politik.


Fenomena ini tentu saja sangat memprihatinkan.  Organisasi-organisasi yang seharusnya menjadi pilar demokrasi,  justru terjebak dalam lingkaran setan ketergantungan.  Mereka kehilangan ruhnya,  mengorbankan idealismenya,  demi memuaskan dahaga kekuasaan.  Akibatnya,  demokrasi kita berjalan tertatih-tatih,  masyarakat kehilangan kepercayaan,  dan negara terancam stagnasi.


Lalu,  apa yang harus dilakukan?  Tentu saja,  solusinya adalah membangun kemandirian.  Organisasi-organisasi harus berani melepaskan diri dari jerat ketergantungan,  menciptakan sistem pengelolaan yang sehat,  dan mencari sumber pendanaan yang independen.  Hanya dengan kemandirian,  organisasi dapat menjalankan fungsinya secara optimal,  menyuarakan kebenaran tanpa rasa takut,  dan menjadi motor penggerak perubahan.


Partai politik harus kembali pada khitahnya sebagai wadah aspirasi rakyat.  Mereka harus berani menolak godaan kekuasaan,  mengutamakan kepentingan rakyat,  dan membangun sistem kaderisasi yang kuat.  Partai politik yang mandiri dan berintegritas adalah kunci bagi tegaknya demokrasi yang sehat.


Organisasi masyarakat sipil harus tetap menjaga independensinya.  Mereka harus berani mengkritik penguasa,  menyuarakan aspirasi rakyat,  dan mengawal jalannya pemerintahan.  Organisasi masyarakat sipil yang kritis dan mandiri adalah pilar penting bagi terciptanya masyarakat yang adil dan demokratis.


Lembaga pendidikan harus menjadi benteng moral dan intelektual.  Universitas-universitas harus berani menolak intervensi politik,  menjaga kebebasan akademik,  dan memprioritaskan riset-riset yang bermanfaat bagi masyarakat.  Lembaga pendidikan yang mandiri dan berintegritas adalah kunci bagi kemajuan bangsa.


Membangun kemandirian memang bukan perkara mudah.  Dibutuhkan komitmen,  kerja keras,  dan keberanian untuk keluar dari zona nyaman.  Namun,  ini adalah harga yang harus dibayar jika kita ingin membangun organisasi yang kuat,  berintegritas,  dan bermartabat.


Kemandirian adalah kunci bagi tegaknya demokrasi yang sehat.  Organisasi-organisasi yang mandiri akan menjadi pilar-pilar penyangga,  yang mampu menahan terpaan badai dan menjaga keseimbangan.  Mereka akan menjadi pengawal kebenaran,  penyuarakan aspirasi rakyat,  dan motor penggerak perubahan.


Jangan biarkan organisasi kita terjebak dalam belenggu emas kekuasaan.  Mari kita bangun kemandirian,  jaga integritas,  dan perjuangkan idealisme.  Hanya dengan cara itu,  kita dapat mewujudkan cita-cita luhur bangsa,  menciptakan masyarakat yang adil,  makmur,  dan bermartabat.  Ingatlah,  organisasi yang merdeka adalah organisasi yang mandiri!

Panggung kekuasaan itu hangat. Setiap langkah terasa penting, setiap ucapan dicatat, dan setiap keputusan membawa dampak besar. Maka tak heran bila banyak orang sulit beranjak ketika masa jabatannya selesai. Ada semacam magnet psikologis yang menahan mereka untuk tetap berada di titik pusat, walau sebetulnya panggung telah berubah. Begitu lampu sorot dipadamkan, sebagian tak sanggup duduk di bangku penonton. Mereka ingin tetap bicara, ikut mengatur alur cerita, bahkan kalau perlu—menulis ulang naskahnya.

Ada ironi yang sering muncul: mereka yang dahulu lantang bicara tentang regenerasi dan keterbukaan, justru menjadi penghalang terbesar ketika harus memberi ruang bagi pengganti. Mereka tak rela jika keputusan diambil tanpa “minta izin” kepadanya. Bahkan dalam hal-hal kecil, ia ingin dilibatkan, seolah pengganti hanyalah pelaksana teknis dari pikirannya. Bukan karena mereka tidak percaya, tapi karena mereka tak siap melepaskan. Di sinilah post power syndrome menyelinap, bukan sebagai penyakit, tapi sebagai kebiasaan yang tak disadari.
Ilustrasi Post Power Syndrome (Gambar : GeneratedAI)
Saya sering mendengar cerita dari para pemimpin muda yang menggantikan tokoh senior. Mereka bercerita bagaimana bayangan pemimpin sebelumnya terus hadir: dalam rapat, dalam kebijakan, bahkan dalam pergaulan internal. Sang mantan tak benar-benar pergi. Ia hanya bergeser posisi, tapi tetap mencengkeram. Ketika keputusan baru dibuat, selalu ada komentar, kritik, dan bisikan: "Dulu saya tidak begitu." Apa dampaknya? Inovasi terhambat, tim merasa terbelah, dan sang pemimpin baru seperti berjalan di atas garis tipis.

Ada kebutuhan manusiawi yang sangat mendasar yang sering terabaikan di sini: kebutuhan untuk merasa penting. Kekuasaan, selain memberi akses dan pengaruh, juga menjadi penanda identitas. Maka ketika jabatan hilang, rasa "siapa saya sekarang?" muncul dengan nyaring. Tak semua siap menjawabnya. Banyak yang kemudian berusaha mengganti kekosongan itu dengan menghidupkan kembali peran lamanya. Mereka jadi komentator atas keputusan-keputusan yang bukan lagi miliknya. Bahkan dalam forum sosial, mereka tetap ingin disebut dengan gelar kekuasaan yang sudah selesai.

Lucunya, fenomena ini tidak hanya terjadi di tingkat atas. Kepala sekolah yang pensiun pun bisa mengalami hal serupa. Ia masih merasa berhak menata ruang guru, mengatur jadwal, bahkan menegur staf baru. Semua itu dilakukan bukan karena niat buruk, tapi karena keterikatan emosional yang belum terurai. Kekuasaan telah menyatu dengan identitasnya. Dan melepaskannya sama sulitnya seperti memisahkan daun dari ranting yang telah lama kering.

Banyak orang menyangka post power syndrome hanya dialami oleh mereka yang ambisius. Tidak selalu. Justru kadang mereka yang paling tulus mengabdi, yang paling lama mengurus, yang paling mencintai pekerjaannya—adalah yang paling sulit melepas. Bagi mereka, jabatan bukan semata status, tapi rumah kedua. Maka ketika harus meninggalkannya, ada perasaan kehilangan yang dalam. Sama seperti orang tua yang harus melepas anaknya menikah—penuh restu tapi diam-diam menyimpan cemas.

Ada yang menyikapinya dengan terus hadir di lingkungan lama. Mereka datang ke kantor, duduk di ruang tamu, ikut makan siang. Kadang ikut nimbrung rapat meski tak diundang. Semuanya dilakukan dengan alasan “kangen suasana”. Tapi lama-lama, keberadaan itu menjadi beban. Bayangan masa lalu menghambat langkah masa kini. Dan pengganti pun merasa terus diawasi, bukan diberi ruang.

Saya percaya, seseorang tak perlu menduduki posisi untuk tetap memberi makna. Banyak pemimpin besar yang lebih dihormati setelah turun dari panggung, justru karena mereka tahu kapan harus mundur. Mereka menepi, bukan karena kalah, tapi karena sadar: saatnya yang lain tampil. Mereka tetap berkontribusi, tapi lewat cara yang berbeda—menulis, berbicara, memberi nasihat hanya ketika diminta.

Tantangannya adalah: tidak semua orang bisa membedakan antara kontribusi dan intervensi. Mereka yang terjebak dalam post power syndrome sering mengira campur tangan mereka adalah bentuk peduli. Mereka merasa sedang menjaga warisan, padahal sedang menghambat pertumbuhan. Mereka lupa bahwa setiap pemimpin baru punya konteks yang berbeda. Situasi berubah, tantangan berganti. Maka cara lama tak selalu relevan.

Sering kali, perasaan “saya masih tahu yang terbaik” muncul karena kesalahan dalam mengelola egonya sendiri. Ego yang dulu digunakan untuk memimpin, kini justru menjadi tembok yang menutupi kenyataan. Padahal, semakin tinggi posisi seseorang dulu, seharusnya semakin besar pula kebesaran hatinya untuk mundur. Tapi itu tidak mudah. Sebab yang ditinggalkan bukan hanya jabatan, tapi juga rasa dihormati, disambut, dan dituruti.

Budaya kita juga berperan dalam memperpanjang fenomena ini. Kita terlalu mudah menyanjung masa lalu dan enggan mengoreksi ketidaksesuaian. Kita masih suka memanggil mantan pejabat dengan gelarnya, masih memberi kursi khusus di forum-forum diskusi, dan masih meminta pendapat atas isu yang sudah tidak lagi menjadi wilayahnya. Tanpa sadar, kita ikut memelihara ilusi bahwa kekuasaan bisa diwariskan secara informal.

Tak salah menghormati mereka yang dulu berjasa. Tapi salah bila itu membuat sistem tidak berjalan sehat. Pemimpin baru perlu ruang. Ia butuh kebebasan untuk mengambil keputusan, gagal, belajar, dan tumbuh. Bila setiap langkahnya dibayang-bayangi penilaian orang lama, maka perubahan sulit terjadi. Dan organisasi hanya akan berjalan di tempat, seperti roda yang berputar tanpa bergerak.

Saya tidak sedang menyalahkan siapapun. Ini soal pemahaman. Soal kesiapan mental untuk menyambut babak baru dalam hidup. Ketika seseorang gagal menata fase pasca-kekuasaan, maka ia akan terjebak dalam nostalgia yang tidak produktif. Hidupnya diisi dengan mengomentari masa kini, bukan menjalani masa depan. Ia tak sadar, bahwa semakin ia mendikte, semakin ia kehilangan pengaruh.

Di sisi lain, tidak sedikit juga yang berhasil melewati fase ini dengan elegan. Mereka bertransformasi menjadi penasehat, mentor, atau pelaku sosial. Mereka tidak ngotot didengarkan, tapi justru semakin dihormati karena sikap bijaknya. Mereka hadir bukan untuk bersaing dengan pengganti, tapi untuk menjadi sumber refleksi. Mereka menghidupi peran barunya, tanpa mengaitkan semua pada masa kejayaannya.

Mereka tahu, kemuliaan seorang pemimpin tidak terletak pada berapa lama ia berkuasa, tetapi pada bagaimana ia mengakhiri kekuasaannya. Apakah ia mundur dengan kepala tegak dan hati lapang, ataukah ia terus menggantung di balik layar, menolak ditinggal pergi oleh zamannya? Pilihan ini menentukan apakah ia akan dikenang sebagai tokoh, atau hanya sebagai bayang-bayang yang mengganggu.

Kita perlu membangun kultur baru: bahwa setiap jabatan itu ada waktunya, dan setiap orang akan punya panggungnya sendiri. Perubahan adalah keniscayaan. Yang tidak berubah hanyalah kebutuhan untuk terus memberi makna. Maka, daripada terus berada di pinggir ring, lebih baik turun dan melatih petinju baru. Ajari mereka teknik, beri mereka semangat, lalu beri mereka ruang bertarung sendiri.

Saya percaya, bangsa yang sehat adalah bangsa yang tidak bergantung pada satu tokoh. Ia tumbuh karena ekosistemnya mendukung. Karena setiap generasi belajar dari yang lama, tapi tidak diikat olehnya. Karena pemimpin-pemimpin terdahulu legowo melepas kendali dan percaya pada estafet kepemimpinan.

Bila kita ingin sistem yang kuat, kita butuh pemimpin yang tahu kapan harus pergi. Yang tidak memaksakan cara lama untuk zaman baru. Yang tidak memonopoli kebenaran. Karena pada akhirnya, kepemimpinan bukan soal siapa yang paling lama memimpin, tapi siapa yang paling bijak mengakhiri kepemimpinannya.

Setiap kali pemerintah membubarkan sebuah organisasi masyarakat (ormas), publik terbelah antara yang mendukung dan yang mencibir. Namun satu pola yang konsisten muncul: pemerintah terlihat galak kepada ormas yang berbau keagamaan, apalagi jika dikait-kaitkan dengan radikalisme. HTI dibubarkan. FPI dibubarkan. Tanpa pengadilan, tanpa kesempatan membela diri di ruang hukum. Seakan hanya satu jenis ormas yang menjadi ancaman: yang berbicara tentang ideologi.

Ironisnya, pada waktu yang sama, banyak ormas yang justru terang-terangan membuat kekacauan di jalan, menggusur warung rakyat, memukul warga, bahkan menantang aparat. Mereka tidak dibubarkan. Tidak dikejar. Tidak ditertibkan. Mereka dibiarkan tumbuh seperti benalu yang makin hari makin merasa berdaulat.

Ilustrasi (Gambar : GeneratedAI)

Di pelataran hukum, pemerintah kerap berdalih menggunakan Perppu sebagai senjata cepat—mengklaim situasi darurat yang tak bisa menunggu proses pengadilan. Tapi anehnya, darurat itu seperti punya seleksi rasa. Hanya terasa jika ormas tersebut mengusung simbol Islam. Begitu bukan agama, atau tidak membawa isu ideologi negara, pemerintah jadi penonton pasif, penuh pertimbangan yang entah demi siapa.

Beberapa pekan terakhir, publik dibuat terperangah oleh berita tentang ormas yang mengancam pejabat tinggi. Seorang gubernur. Bahkan mantan Panglima TNI. Di negara yang sehat, ancaman semacam itu bisa dianggap kriminal. Tapi di negeri ini, pelakunya justru tenang-tenang saja. Tidak ada pernyataan keras dari pemerintah pusat. Tidak ada tindakan tegas dari aparat. Diam.

Barangkali kita sedang hidup di masa ketika loyalitas politik lebih penting daripada kepatuhan hukum. Ormas-ormas jalanan yang jago mengumpulkan massa mendadak diperlakukan istimewa. Mereka tidak disentuh, karena tahu kapan harus teriak dan kapan harus diam. Mereka menguasai ritme politik lokal dan nasional. Suara mereka dibutuhkan saat kampanye. Maka wajar jika setelah pemilu, mereka seolah mendapat piagam kebal hukum.

Fenomena ini bukan soal satu-dua ormas. Ini tentang sikap negara. Tentang kegagalan pemerintah menjaga konsistensi hukum. Ketika satu kelompok dibubarkan karena dianggap mengancam negara, sementara kelompok lain yang merusak tatanan sipil justru diberi ruang, maka keadilan menjadi ilusi.

Tidak ada negara yang kuat jika aparatnya tunduk pada tekanan jalanan. Indonesia bukan negara preman. Tapi perlakuan istimewa terhadap ormas yang gemar memamerkan otot justru menciptakan ilusi kekuasaan alternatif. Warga pun mulai bertanya: siapa sebenarnya yang berkuasa? Negara atau ormas?

Kekhawatiran ini bukan sekadar teori. Sudah banyak warga yang takut membuka usaha di wilayah tertentu karena harus bayar ‘keamanan’. Harus lapor pada ormas. Bukan polisi. Harus tunduk pada peraturan kampung yang dibuat bukan oleh pemerintah, tapi oleh organisasi sipil yang merasa punya hak menentukan hidup orang lain.

Lalu bagaimana dengan HTI dan FPI? Sekali lagi, bukan soal setuju atau tidak setuju terhadap ideologi mereka. Tapi soal prosedur. Soal keadilan. Jika mereka dibubarkan tanpa pengadilan, mengapa ormas kekerasan yang tidak berbasis ideologi justru tetap hidup dan bahkan dirawat?

Konstitusi memberi hak berserikat dan berkumpul. Negara boleh membatasi, tapi harus melalui mekanisme hukum. Tanpa itu, negara menjadi pelaku ketidakadilan. Dan ketika negara tidak adil, maka kekacauan justru lahir dari dalam tubuh kekuasaan sendiri.

Kita tidak boleh memaklumi ormas yang mengancam pejabat negara. Apalagi mantan panglima TNI, simbol kekuatan pertahanan kita. Ini bukan soal pribadi, ini soal martabat negara. Jika ancaman itu tidak ditindak, maka pesan yang kita kirim ke publik adalah: siapa pun bisa menantang negara, asal punya massa.

Ada sebuah kalimat lama yang kini terasa relevan: “Jika negara takut pada rakyat, itu demokrasi. Tapi jika negara takut pada ormas, itu malapetaka.” Kita mungkin sedang mendekati titik itu. Negara yang tunduk pada tekanan ormas bukan negara demokrasi, tapi negara yang disandera oleh suara jalanan.

Mengapa pemerintah tidak berani bertindak tegas? Apakah karena sudah terlanjur berhutang suara pada ormas-ormas itu? Atau karena struktur kekuasaan kita kini sudah terlalu tergantung pada mobilisasi politik berbasis massa?

Dalam banyak kasus, kekuasaan memang berhutang pada organisasi yang mampu menggerakkan lapisan bawah. Tapi hutang itu tidak boleh dibayar dengan diamnya hukum. Hukum tidak boleh kalah oleh logistik kampanye. Hukum tidak boleh tunduk pada massa.

Wajah negara tercermin dari keberaniannya bersikap adil, bukan dari kehebatannya membungkam yang lemah. Jika ormas agama bisa dibubarkan karena ideologinya, maka ormas kekerasan berbasis premanisme juga harus dibubarkan karena perilakunya.

Sungguh memalukan jika negara hanya berani menghadapi mereka yang tidak bisa melawan balik. Tapi mendadak lembek ketika berhadapan dengan mereka yang siap kerahkan ratusan orang dalam sehari. Padahal hukum tidak mengenal jumlah pendukung. Hukum hanya mengenal benar dan salah.

Kita juga harus jujur. Sebagian aparat memang punya kedekatan emosional dengan ormas-ormas tertentu. Karena pernah sama-sama “berjuang” di masa lalu, atau karena hubungan pribadi. Tapi negara tidak boleh dikelola dengan rasa sungkan. Negara harus dikelola dengan prinsip dan keberanian.

Apa yang terjadi saat ini bukan hanya soal ketidakadilan, tapi soal krisis keteladanan. Jika rakyat melihat aparat tunduk pada ormas, maka mereka juga akan ikut mencari pelindung informal. Ini melahirkan budaya perlindungan ala mafia: siapa kuat, dia yang mengatur.

Pemerintah harus segera membenahi pendekatan terhadap ormas. Bukan hanya soal siapa dibubarkan dan siapa tidak. Tapi soal konsistensi. Jika HTI dianggap mengancam NKRI, maka ormas yang menantang panglima TNI jelas lebih nyata mengancam. Jangan pura-pura buta.

Ketika aparat takluk pada tekanan massa, maka hukum berubah menjadi alat politik. Ini berbahaya. Karena hukum tidak lagi menjadi pagar yang melindungi warga, tapi menjadi senjata yang diarahkan hanya pada pihak yang tidak menguntungkan kekuasaan.

Kita harus bicara jujur. Di banyak kota, ormas-ormas ini telah mengambil alih peran pemerintah lokal. Mereka menentukan siapa boleh berjualan di mana. Siapa boleh buka warung. Bahkan siapa boleh mengadakan konser. Ini bukan lagi civil society. Ini kekuasaan tandingan.

Mereka memakai jaket ormas, tapi gaya mereka lebih mirip geng jalanan. Premanisme yang dibungkus dengan narasi ‘kearifan lokal’. Mereka menuntut dihormati, tapi tak pernah mau mengikuti hukum. Mereka meminta ruang, tapi tidak pernah memberi rasa aman.

Adalah tanggung jawab kita semua untuk mengingatkan pemerintah: keberanian tidak boleh dipilih-pilih. Jika berani kepada HTI dan FPI, maka harus lebih berani lagi kepada ormas yang melanggar hukum di jalan. Kalau tidak, maka keberanian itu hanya jadi topeng politik.

Saat publik menyaksikan perbedaan perlakuan ini, maka kepercayaan terhadap negara akan terkikis. Negara terlihat tidak adil. Dan ketidakadilan adalah pintu masuk kehancuran negara manapun dalam sejarah dunia.

Mungkin inilah saatnya kita bertanya ulang: apakah pemerintah masih punya kendali atas negara ini? Ataukah kendali itu sudah diam-diam berpindah ke tangan ormas-ormas yang kini merasa kebal, merasa berhak, merasa berkuasa?

Jika pembubaran ormas harus dilakukan, lakukan dengan adil. Jangan hanya karena mereka tidak punya backing politik. Jangan hanya karena mereka tidak bisa mengancam dengan ribuan massa. Negara tidak boleh bersikap pengecut.

Kita tidak butuh negara yang galak ke satu sisi tapi cengeng ke sisi lain. Kita butuh negara yang tegas kepada semua. Yang adil kepada semua. Karena hanya dengan itu, hukum akan dihormati, dan demokrasi akan tumbuh sehat.

Sudah cukup kita menonton aksi ormas yang menantang negara. Sudah cukup kita membiarkan ancaman pada pejabat dianggap sebagai hal biasa. Ini saatnya negara bangun. Bangkit. Dan berdiri tegak dengan hukum.

Tidak ada kompromi untuk premanisme. Apalagi jika premanisme itu dibungkus baju ormas. Tidak ada ruang untuk kekerasan yang dilabeli perjuangan. Tidak ada tempat untuk tirani jalanan dalam negara hukum.

Semoga keberanian yang dulu dipakai untuk membubarkan ormas agama, bisa juga dipakai untuk membereskan ormas yang justru membuat rakyat takut di negeri sendiri.

Ada yang menggelitik dari cara kepala daerah di Indonesia berpakaian belakangan ini. Dari yang semula sederhana, kini semakin banyak yang tampil dengan seragam kebesaran penuh atribut—bordiran nama jabatan di dada, brevet berjejer, pin mengilap, bahkan tak jarang tongkat komando ikut serta. Kalau tak hati-hati, sekilas mirip parade perwira militer, bukan pejabat sipil yang seharusnya mewakili keramahan birokrasi.  

Memang, tak ada yang melarang seorang gubernur atau bupati mengenakan seragam resmi. Tapi ketika atribut itu menumpuk seperti medali di dada jenderal, pertanyaannya menjadi lain: apa sebenarnya yang ingin mereka tunjukkan? Kewibawaan? Atau justru hasrat terselubung untuk tampil bak panglima di tengah rakyatnya?  

Ilustrasi Pejabat Sipil Dengan Atribut Seperti di Militer (Gambar : GenerateAI)

Yang menarik, fenomena ini kian mencolok di kalangan kepala daerah yang berlatar belakang militer atau polisi. Meski sudah pensiun, bintang di kerah tetap dipakai, wing di dada masih lengkap, seakan jabatan sipil yang diembannya hanyalah kelanjutan dari karier kemiliteran. Padahal, memimpin daerah bukanlah memimpin pasukan. Rakyat bukanlah anak buah yang harus digertak dengan simbol-simbol.  

Di negara demokrasi, seharusnya tak ada ruang untuk glorifikasi atribut militeristik dalam kepemimpinan sipil. Tapi realitanya, kita justru melihat semakin banyak pejabat daerah yang—entah sadar atau tidak—mengadopsi gaya seragam militer sebagai bagian dari citra diri. Apakah ini bentuk ketidakpercayaan diri, sehingga mereka merasa perlu "berdandan" seperti tentara agar dianggap berwibawa?  

Presiden Soekarno pernah punya penjelasan menarik soal ini. Dalam autobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno mengaku bahwa rakyat Indonesia—secara tidak sadar—merindukan figur "Raja". Itulah mengapa ia kerap tampil dengan seragam kebesaran militer, lengkap dengan tongkat komando dan berbagai atribut yang membuatnya terlihat seperti penguasa. Tapi itu era 60-an. Apakah logika yang sama masih berlaku hari ini?  

Yang pasti, demokrasi seharusnya mengikis mentalitas feodal semacam itu. Kepala daerah bukanlah raja, bukan pula jenderal. Mereka adalah pelayan publik yang dipilih untuk mengurus urusan warganya, bukan untuk pamer medali atau bintang jabatan. Tapi ketika seragam dan atribut menjadi lebih penting daripada substansi kerja, kita patut bertanya: apakah ini pertanda bahwa budaya politik kita masih terjebak dalam simbolisme kekuasaan ala Orde Baru?  

Coba bandingkan dengan gaya kepemimpinan kepala daerah di era awal reformasi. Dulu, pejabat lebih sering tampil dengan kemeja batik atau safari sederhana. Atribut yang mencolok justru dianggap tidak perlu, bahkan bisa dilihat sebagai upaya menggiring opini bahwa kekuasaan harus terlihat "angker". Sekarang, kita malah menyaksikan tren sebaliknya: semakin banyak bupati atau gubernur yang seragamnya lebih mirip perwira aktif ketimbang birokrat sipil.  

Lalu, apa fungsi sebenarnya dari seabreg pin, brevet, atau bordiran nama jabatan itu? Jika tujuannya sekadar identifikasi, name tag sederhana sudah cukup. Tapi ketika atribut itu dibuat sedemikian rupa hingga menyerupai seragam dinas kepolisian atau TNI, kesannya jadi berbeda. Seolah ada hasrat untuk mencitrakan diri sebagai sosok yang "harus dihormati", bukan karena kinerja, melainkan karena simbol yang menempel di bajunya.  

Tidak ada yang salah dengan seragam, selama proporsional. Tapi ketika seorang bupati—yang sehari-hari berurusan dengan petani dan pedagang kecil—tampil dengan seragam penuh atribut bak komandan lapangan, bukankah itu justru menciptakan jarak? Alih-alih mendekatkan diri pada konstituen, gaya berpakaian seperti itu malah bisa terkesan arogan, seakan ingin menegaskan, "Saya berbeda, saya berwewenang."  

Mungkin sebagian akan berargumen bahwa seragam dan atribut itu bagian dari "branding" politik. Tapi jika branding yang dimaksud adalah mencitrakan diri sebagai sosok otoriter ala militer, apakah itu yang dibutuhkan dalam tata kelola pemerintahan yang partisipatif? Kepemimpinan yang baik semestinya dibangun melalui kerja nyata, bukan lewat gemerlap pin di dada.  

Yang lebih mengkhawatirkan, tren ini bisa jadi cermin dari cara berpikir yang belum sepenuhnya lepas dari mentalitas feodal. Dalam budaya politik kita, sering kali "wibawa" diidentikkan dengan ketegasan ala militer, bukan dengan kemampuan merangkul dan mendengarkan. Akibatnya, banyak kepala daerah yang—mungkin tanpa sadar—terjebak dalam gaya kepemimpinan "top-down", karena menganggap itulah yang diharapkan rakyat.  

Padahal, jika kita telusuri lebih dalam, rakyat sebenarnya lebih menghargai pemimpin yang rendah hati dan mudah diakses. Lihat saja bagaimana figur seperti Jokowi—yang sejak jadi walikota hingga presiden tetap memilih gaya berpakaian sederhana—justru lebih diterima karena dinilai dekat dengan rakyat. Tapi sayang, tidak semua kepala daerah menangkap sinyal ini.  

Mungkin inilah yang disebut sebagai "glamorisasi kekuasaan". Ketika seseorang menduduki jabatan politik, ada godaan besar untuk mempercantik diri dengan berbagai atribut yang membuatnya terlihat penting. Dan dalam konteks Indonesia—yang secara historis pernah lama berada di bawah bayang-bayang militer—simbol-simbol kemiliteran sering kali dipandang sebagai cara tercepat untuk mendapatkan pengakuan.  

Tapi apakah efektif? Belum tentu. Justru di era media sosial sekarang, gaya kepemimpinan yang terlalu militaristik mudah menjadi bahan kritik. Rakyat kini lebih kritis dan tidak mudah terkesan dengan gemerlap atribut. Mereka lebih peduli pada kebijakan yang menyentuh kebutuhan sehari-hari ketimbang berapa banyak pin yang menempel di dada pemimpinnya.  

Lalu, bagaimana seharusnya kepala daerah bersikap? Idealnya, mereka bisa menemukan keseimbangan antara kesan resmi dan keramahan. Seragam dinas boleh ada, tapi tidak perlu berlebihan. Atribut jabatan bisa dipakai, asal tidak sampai menimbulkan kesan ingin "bermain peran" sebagai perwira. Lagipula, kewibawaan tidak lahir dari bintang di kerah, melainkan dari integritas dan kerja keras.  

Jika kita konsisten sebagai negara demokrasi yang menjunjung supremasi sipil, sudah saatnya budaya seragam dan atribut berlebihan ini dikikis. Birokrasi sipil harusnya humanis, tidak perlu dibebani dengan simbol-simbol yang justru mengingatkan pada era otoritarian. Kepala daerah bukanlah komandan, dan rakyat bukanlah pasukan yang harus selalu dihadapkan dengan simbol-simbol kekuasaan.  

Atau jangan-jangan, ini semua adalah bentuk ketakutan? Ketakutan bahwa tanpa atribut dan seragam kebesaran, wibawa mereka akan luntur. Jika benar begitu, itu justru menunjukkan kerapuhan. Sebab, pemimpin sejati tidak membutuhkan bintang atau brevet untuk dihormati.  

Mungkin sudah waktunya kita mengingatkan para kepala daerah: wibawa tidak dijual di toko seragam. Ia dibangun melalui pelayanan, kejujuran, dan kedekatan dengan rakyat. Daripada sibuk menghias diri dengan berbagai pin, lebih baik fokus pada hal-hal yang benar-benar dibutuhkan masyarakat.  

Kita bukan negara militer. Kita adalah negara demokrasi, di mana pemimpin harusnya menjadi pelayan, bukan raja. Dan pelayan sejati tidak perlu berlagak seperti jenderal.

Euforia pemekaran daerah seperti penyakit musiman yang selalu kambuh. Setiap kali isu ini muncul, seolah kita sedang menyaksikan drama politik yang sama dengan aktor berbeda – janji manis kemajuan daerah, tapi ujung-ujungnya hanya proyek kekuasaan.  

Sejarah membuktikan betapa banyak bayi daerah yang lahir prematur. Mereka dirayakan sejenak, lalu terlantar karena ketiadaan dana dan kapasitas. Bukannya mandiri, malah menjadi beban baru bagi negara. Ironisnya, pelajaran dari kegagalan ini selalu diabaikan.  

Ilustrasi (Gambar : Istimewa)

Di balik hiruk-pikuk wacana pemekaran, ada pertanyaan mendasar yang sengaja dihindari: mengapa anggota dewan dari daerah tersebut tidak mampu memperjuangkan pembangunan di wilayahnya? Bukankah mereka dipilih untuk menjembatani aspirasi, bukan malah mengalihkan masalah dengan wacana pemisahan?  

Fakta di lapangan menunjukkan pola yang mengkhawatirkan. Banyak politisi yang tiba-tiba menjadi aktivis pemekaran ketika masa jabatan mereka hampir berakhir. Tiba-tiba mereka peduli pada nasib rakyat, padahal selama lima tahun sebelumnya sibuk dengan urusan pribadi.  

Pemekaran seringkali menjadi tameng kegagalan. Alih-alih mengakui ketidakmampuan mereka mendorong pembangunan, para wakil rakyat ini lebih memilih menciptakan entitas baru. Ini seperti dokter yang gagal mengobati pasien, lalu menyarankan untuk memotong anggota badan.  

Di meja rapat DPRD, seharusnya anggaran untuk perbaikan jalan, sekolah, dan puskesmas bisa diperjuangkan. Tapi mengapa yang terjadi justru pembahasan panjang tentang pembentukan DOB? Ini pertanda ada yang salah dengan prioritas kerja para wakil rakyat kita.  

Masyarakat perlu waspada terhadap muslihat terselubung. Banyak kasus menunjukkan bagaimana inisiator pemekaran akhirnya menjadi calon kepala daerah di wilayah baru. Mereka bukan pahlawan pembangunan, tapi penjual mimpi yang cerdik memanfaatkan kekecewaan warga.  

Dana yang seharusnya untuk membangun jalan dan sekolah justru terkuras untuk membentuk struktur pemerintahan baru. Gaji pejabat baru, pembangunan kantor bupati, mobil dinas - semua itu memakan anggaran yang seharusnya bisa langsung dinikmati masyarakat.  

Kinerja anggota dewan seharusnya diukur dari seberapa besar mereka mampu mendorong eksekutif bekerja. Jika selama ini mereka gagal, pemecahan wilayah bukanlah jawaban. Justru itu bukti bahwa mereka perlu diganti dengan wakil yang lebih kompeten.  

Di beberapa daerah, wacana pemekaran justru menciptakan polarisasi baru. Masyarakat yang sebelumnya hidup rukun tiba-tiba terpecah belah oleh isu pemekaran. Persaudaraan warga dikorbankan demi ambisi segelintir elite politik.  

Pendekatan yang lebih rasional adalah memperkuat kapasitas pemerintahan yang ada. Daripada menghabiskan energi untuk pemekaran, lebih baik fokus pada peningkatan kualitas pelayanan publik dan akuntabilitas anggaran.  

Kita perlu belajar dari daerah-daerah yang berhasil tanpa pemekaran. Keberhasilan mereka justru datang dari kepemimpinan yang kuat dan sistem pengawasan yang ketat, bukan dari perluasan wilayah administratif.  

Anggaran negara bukanlah sumber daya tanpa batas. Setiap rupiah yang dihabiskan untuk biaya pemekaran berarti pengurangan dana untuk program-program penting lainnya. Ini soal prioritas yang harus dipikirkan matang-matang.  

Masyarakat seharusnya lebih kritis. Daripada terbuai janji manis pemekaran, tanyakan apa yang sudah dilakukan wakil rakyat selama ini. Jika jawabannya tidak memuaskan, mungkin saatnya meminta pertanggungjawaban mereka.  

Korupsi seringkali menemukan lahan subur di daerah baru. Dengan sistem yang belum matang dan pengawasan yang longgar, uang rakyat mudah diselewengkan. Banyak contoh menunjukkan bagaimana DOB justru menjadi sarang baru praktik korupsi.  

Pemekaran bukan solusi ajaib. Masalah pembangunan harus diselesaikan dengan perbaikan sistem, bukan dengan menambah jumlah kabupaten. Ini seperti menambahkan kamar pada rumah yang pondasinya sudah keropos.  

Warga perlu menyadari bahwa pemekaran seringkali hanya menguntungkan segelintir orang. Mereka yang akan menikmati jabatan baru, proyek baru, dan anggaran baru. Sementara masyarakat biasa hanya akan mendapat janji yang mungkin tak pernah terwujud.  

Fungsi pengawasan DPRD seharusnya menjadi senjata ampuh untuk mendorong pembangunan. Jika selama ini tidak digunakan secara optimal, itu menunjukkan kelemahan sistemik yang harus diperbaiki, bukan dihindari dengan pemekaran.  

Pilihan konsolidasi daerah justru seringkali lebih masuk akal secara ekonomi. Penggabungan beberapa wilayah kecil menjadi satu kabupaten yang lebih kuat bisa menciptakan efisiensi dan meningkatkan daya saing.  

Kualitas pelayanan publik tidak otomatis membaik hanya karena pemekaran. Yang lebih menentukan adalah kompetensi birokrasi dan komitmen politik pemimpinnya. Tanpa itu, berapapun jumlah kabupaten tetap akan menghasilkan pelayanan yang buruk.  

Masyarakat harus berani menolak jika pemekaran hanya dijadikan alat politik. Wakil rakyat yang benar-benar peduli akan fokus pada perbaikan sistem, bukan menciptakan wilayah-wilayah baru yang berpotensi menjadi beban.  

Pemekaran yang tidak didasari kajian mendalam ibarat membangun rumah di atas pasir. Awalnya mungkin terlihat megah, tapi lama kelamaan akan tenggelam oleh masalah-masalah yang sebenarnya bisa diantisipasi sejak awal.  

Kita perlu mengubah paradigma pembangunan daerah. Bukan dengan memperbanyak jumlah kabupaten, tapi dengan meningkatkan kualitas pemerintahan yang ada. Ini tantangan sesungguhnya yang harus dihadapi.  

Ketimpangan pembangunan seharusnya diselesaikan dengan distribusi anggaran yang adil dan pengawasan yang ketat, bukan dengan pemecahan wilayah. Masalahnya terletak pada sistem, bukan pada batas administrasi.  

Masyarakat jangan mudah terbuai oleh retorika pemekaran. Tanyakan selalu: siapa yang paling diuntungkan? Jika jawabannya adalah segelintir politisi, maka sudah saatnya kita lebih kritis.  

Indonesia membutuhkan wakil rakyat yang berani bekerja keras, bukan yang mencari jalan pintas. Pemekaran bukanlah solusi, tapi pengakuan atas kegagalan fungsi representasi. Saatnya kita menuntut lebih dari para wakil kita.  

Pembangunan daerah yang berkelanjutan membutuhkan komitmen jangka panjang, bukan proyek-proyek politik sesaat. Pemekaran seringkali hanya menjadi batu loncatan bagi ambisi politik, bukan solusi tuntas bagi masyarakat.  

Kita harus berani mengatakan cukup pada wacana pemekaran yang tidak substantif. Energi dan sumber daya harus difokuskan pada perbaikan tata kelola pemerintahan yang ada, bukan pada penciptaan entitas baru yang berpotensi bermasalah.  

Masa depan daerah tidak ditentukan oleh luas wilayah atau jumlah kabupaten, tapi oleh kualitas kepemimpinan dan sistem pemerintahan. Inilah yang harus menjadi fokus perjuangan para wakil rakyat kita.

Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • PRAMUKA DAN HIZBUL WATHAN ; DUA SEPUPU PANDU YANG TAK LEKANG OLEH ZAMAN
  • KRITIK UNTUK STUDI MANAJEMEN : MENCETAK PEMIMPIN ABAD 21 YANG LAHIR DARI KAMPUS, BUKAN DARI SISA ERA INDUSTRI
  • MENGAPA TIDAK ADA HABIB DI MUHAMMADIYAH?
  • MERANCANG ULANG NEGARA : WILAYAH 3T DAN URGENSI MODEL TATA KELOLA BARU

Ramadhan Bercerita

PARIWARA

PARIWARA

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar