Ada yang menggelitik dari cara kepala daerah di Indonesia berpakaian belakangan ini. Dari yang semula sederhana, kini semakin banyak yang tampil dengan seragam kebesaran penuh atribut—bordiran nama jabatan di dada, brevet berjejer, pin mengilap, bahkan tak jarang tongkat komando ikut serta. Kalau tak hati-hati, sekilas mirip parade perwira militer, bukan pejabat sipil yang seharusnya mewakili keramahan birokrasi.
Memang, tak ada yang melarang seorang gubernur atau bupati mengenakan seragam resmi. Tapi ketika atribut itu menumpuk seperti medali di dada jenderal, pertanyaannya menjadi lain: apa sebenarnya yang ingin mereka tunjukkan? Kewibawaan? Atau justru hasrat terselubung untuk tampil bak panglima di tengah rakyatnya?
Yang menarik, fenomena ini kian mencolok di kalangan kepala daerah yang berlatar belakang militer atau polisi. Meski sudah pensiun, bintang di kerah tetap dipakai, wing di dada masih lengkap, seakan jabatan sipil yang diembannya hanyalah kelanjutan dari karier kemiliteran. Padahal, memimpin daerah bukanlah memimpin pasukan. Rakyat bukanlah anak buah yang harus digertak dengan simbol-simbol.
Di negara demokrasi, seharusnya tak ada ruang untuk glorifikasi atribut militeristik dalam kepemimpinan sipil. Tapi realitanya, kita justru melihat semakin banyak pejabat daerah yang—entah sadar atau tidak—mengadopsi gaya seragam militer sebagai bagian dari citra diri. Apakah ini bentuk ketidakpercayaan diri, sehingga mereka merasa perlu "berdandan" seperti tentara agar dianggap berwibawa?
Presiden Soekarno pernah punya penjelasan menarik soal ini. Dalam autobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno mengaku bahwa rakyat Indonesia—secara tidak sadar—merindukan figur "Raja". Itulah mengapa ia kerap tampil dengan seragam kebesaran militer, lengkap dengan tongkat komando dan berbagai atribut yang membuatnya terlihat seperti penguasa. Tapi itu era 60-an. Apakah logika yang sama masih berlaku hari ini?
Yang pasti, demokrasi seharusnya mengikis mentalitas feodal semacam itu. Kepala daerah bukanlah raja, bukan pula jenderal. Mereka adalah pelayan publik yang dipilih untuk mengurus urusan warganya, bukan untuk pamer medali atau bintang jabatan. Tapi ketika seragam dan atribut menjadi lebih penting daripada substansi kerja, kita patut bertanya: apakah ini pertanda bahwa budaya politik kita masih terjebak dalam simbolisme kekuasaan ala Orde Baru?
Coba bandingkan dengan gaya kepemimpinan kepala daerah di era awal reformasi. Dulu, pejabat lebih sering tampil dengan kemeja batik atau safari sederhana. Atribut yang mencolok justru dianggap tidak perlu, bahkan bisa dilihat sebagai upaya menggiring opini bahwa kekuasaan harus terlihat "angker". Sekarang, kita malah menyaksikan tren sebaliknya: semakin banyak bupati atau gubernur yang seragamnya lebih mirip perwira aktif ketimbang birokrat sipil.
Lalu, apa fungsi sebenarnya dari seabreg pin, brevet, atau bordiran nama jabatan itu? Jika tujuannya sekadar identifikasi, name tag sederhana sudah cukup. Tapi ketika atribut itu dibuat sedemikian rupa hingga menyerupai seragam dinas kepolisian atau TNI, kesannya jadi berbeda. Seolah ada hasrat untuk mencitrakan diri sebagai sosok yang "harus dihormati", bukan karena kinerja, melainkan karena simbol yang menempel di bajunya.
Tidak ada yang salah dengan seragam, selama proporsional. Tapi ketika seorang bupati—yang sehari-hari berurusan dengan petani dan pedagang kecil—tampil dengan seragam penuh atribut bak komandan lapangan, bukankah itu justru menciptakan jarak? Alih-alih mendekatkan diri pada konstituen, gaya berpakaian seperti itu malah bisa terkesan arogan, seakan ingin menegaskan, "Saya berbeda, saya berwewenang."
Mungkin sebagian akan berargumen bahwa seragam dan atribut itu bagian dari "branding" politik. Tapi jika branding yang dimaksud adalah mencitrakan diri sebagai sosok otoriter ala militer, apakah itu yang dibutuhkan dalam tata kelola pemerintahan yang partisipatif? Kepemimpinan yang baik semestinya dibangun melalui kerja nyata, bukan lewat gemerlap pin di dada.
Yang lebih mengkhawatirkan, tren ini bisa jadi cermin dari cara berpikir yang belum sepenuhnya lepas dari mentalitas feodal. Dalam budaya politik kita, sering kali "wibawa" diidentikkan dengan ketegasan ala militer, bukan dengan kemampuan merangkul dan mendengarkan. Akibatnya, banyak kepala daerah yang—mungkin tanpa sadar—terjebak dalam gaya kepemimpinan "top-down", karena menganggap itulah yang diharapkan rakyat.
Padahal, jika kita telusuri lebih dalam, rakyat sebenarnya lebih menghargai pemimpin yang rendah hati dan mudah diakses. Lihat saja bagaimana figur seperti Jokowi—yang sejak jadi walikota hingga presiden tetap memilih gaya berpakaian sederhana—justru lebih diterima karena dinilai dekat dengan rakyat. Tapi sayang, tidak semua kepala daerah menangkap sinyal ini.
Mungkin inilah yang disebut sebagai "glamorisasi kekuasaan". Ketika seseorang menduduki jabatan politik, ada godaan besar untuk mempercantik diri dengan berbagai atribut yang membuatnya terlihat penting. Dan dalam konteks Indonesia—yang secara historis pernah lama berada di bawah bayang-bayang militer—simbol-simbol kemiliteran sering kali dipandang sebagai cara tercepat untuk mendapatkan pengakuan.
Tapi apakah efektif? Belum tentu. Justru di era media sosial sekarang, gaya kepemimpinan yang terlalu militaristik mudah menjadi bahan kritik. Rakyat kini lebih kritis dan tidak mudah terkesan dengan gemerlap atribut. Mereka lebih peduli pada kebijakan yang menyentuh kebutuhan sehari-hari ketimbang berapa banyak pin yang menempel di dada pemimpinnya.
Lalu, bagaimana seharusnya kepala daerah bersikap? Idealnya, mereka bisa menemukan keseimbangan antara kesan resmi dan keramahan. Seragam dinas boleh ada, tapi tidak perlu berlebihan. Atribut jabatan bisa dipakai, asal tidak sampai menimbulkan kesan ingin "bermain peran" sebagai perwira. Lagipula, kewibawaan tidak lahir dari bintang di kerah, melainkan dari integritas dan kerja keras.
Jika kita konsisten sebagai negara demokrasi yang menjunjung supremasi sipil, sudah saatnya budaya seragam dan atribut berlebihan ini dikikis. Birokrasi sipil harusnya humanis, tidak perlu dibebani dengan simbol-simbol yang justru mengingatkan pada era otoritarian. Kepala daerah bukanlah komandan, dan rakyat bukanlah pasukan yang harus selalu dihadapkan dengan simbol-simbol kekuasaan.
Atau jangan-jangan, ini semua adalah bentuk ketakutan? Ketakutan bahwa tanpa atribut dan seragam kebesaran, wibawa mereka akan luntur. Jika benar begitu, itu justru menunjukkan kerapuhan. Sebab, pemimpin sejati tidak membutuhkan bintang atau brevet untuk dihormati.
Mungkin sudah waktunya kita mengingatkan para kepala daerah: wibawa tidak dijual di toko seragam. Ia dibangun melalui pelayanan, kejujuran, dan kedekatan dengan rakyat. Daripada sibuk menghias diri dengan berbagai pin, lebih baik fokus pada hal-hal yang benar-benar dibutuhkan masyarakat.
Kita bukan negara militer. Kita adalah negara demokrasi, di mana pemimpin harusnya menjadi pelayan, bukan raja. Dan pelayan sejati tidak perlu berlagak seperti jenderal.