Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami
Kalau ada dua hal yang bisa bikin saya langsung kebawa ke masa kecil, itu adalah bau asap kayu bakar dan lagu-lagu mars kepanduan. Entah kenapa, setiap dengar “Satya ku kudarmakan…”, dada ini langsung hangat. Padahal, kalau dipikir-pikir, nyanyi di lapangan panas-panas sambil baris-berbaris itu nggak romantis-romantis amat. Tapi itulah kekuatan gerakan kepanduan, entah itu Hizbul Wathan atau Pramuka, mereka punya cara membekas di hati.

Hari ini, 14 Agustus, adalah Hari Pramuka. Sebagian orang mungkin cuma tahu ini sebagai momen upacara tahunan, pakai seragam cokelat, dan hormat ke bendera. Tapi bagi yang pernah merasakan masa-masa itu, ini bukan sekadar seremoni. Ini nostalgia. Ini ajang reuni tanpa undangan. Dan bagi saya, ini juga kesempatan membicarakan saudara sepupu Pramuka yang jarang disebut: Hizbul Wathan.
Ilustrasi Anggota Pramuka dan Hizbul Wathan Sedang Berkemah Bersama (Gambar : AI Generated)
Banyak yang belum tahu, Hizbul Wathan itu adalah gerakan kepanduan milik Muhammadiyah. Lahirnya bahkan lebih tua dari Pramuka Indonesia. Kalau Pramuka baru resmi dibentuk tahun 1961, Hizbul Wathan sudah berdiri sejak 1918. Waktu itu, KH Ahmad Dahlan belum sibuk diminta foto bareng presiden, tapi sudah mikir pentingnya anak muda belajar disiplin, cinta tanah air, dan siap jadi pemimpin.

Kalau diibaratkan keluarga besar, Pramuka itu sepupu populer yang sering masuk TV, sedangkan Hizbul Wathan itu sepupu alim yang rajin ngaji tapi nggak kalah jago main tali-temali. Keduanya sama-sama pandu, sama-sama suka camping, tapi punya nuansa yang sedikit berbeda. Pramuka identik dengan salam tiga jari, Hizbul Wathan salamnya satu jari ke atas, tanda tauhid. Sama-sama keren, cuma beda gaya.

Di masa sekarang, dua gerakan ini seperti dua toko kelontong yang masih bertahan di tengah gempuran minimarket 24 jam. Anak-anak sekarang lebih familiar sama game mobile dan TikTok daripada semaphore atau morse. Tapi herannya, Pramuka dan Hizbul Wathan tetap hidup. Bahkan, di beberapa sekolah, justru jadi ekstrakurikuler yang paling rame.

Saya masih ingat, dulu latihan Pramuka itu penuh aroma keringat bercampur tanah basah. Pelatihnya tegas, tapi sering bercanda. Ada yang galak banget, kalau barisnya nggak rapi bisa disuruh push-up. Tapi ada juga yang kalau capek latihan, ujung-ujungnya ngasih tebak-tebakan receh. Kalau di Hizbul Wathan, latihannya mirip, cuma ada tambahan yel-yel yang nyebut nama Allah dan pesan moral dari sirah Nabi.

Banyak orang kira kegiatan kepanduan cuma soal simpul tali dan bendera. Padahal, ada filosofi mendalam di balik itu. Mengikat tali bukan cuma biar tenda berdiri, tapi simbol bahwa hidup itu butuh simpul yang kuat: prinsip, iman, dan persaudaraan. Dan belajar kode morse itu mengajarkan bahwa komunikasi itu penting, bahkan dalam keadaan darurat sekalipun.

Yang bikin saya salut, di zaman serba digital ini, kegiatan kepanduan masih bisa bikin anak-anak mau lepas dari HP. Coba aja suruh anak SMA ikut perkemahan. Awalnya mungkin ngedumel karena sinyal susah. Tapi begitu malam api unggun, semua lupa HP. Nyanyi bareng, cerita horor, atau sekadar saling goda sambil makan mie rebus. Itu pengalaman yang nggak bisa diunduh.

Pramuka punya Dasa Dharma, Hizbul Wathan punya 10 janji pandu. Keduanya berisi nilai-nilai yang, kalau dipraktikkan, bisa bikin negara ini adem. Mulai dari takwa kepada Tuhan, cinta alam, tolong-menolong, sampai disiplin. Sederhana, tapi justru sering dilupakan orang dewasa yang katanya lebih “paham hidup”.

Bagi sebagian anak muda Muhammadiyah, Hizbul Wathan bukan sekadar ekskul, tapi jalan kaderisasi. Di situlah mereka belajar memimpin regu, membimbing adik kelas, bahkan mengatur acara besar. Di Pramuka juga sama. Coba tanya anak yang pernah jadi Ketua Dewan Ambalan, mereka pasti punya skill organisasi yang lebih rapi dari panitia konser.

Saya pernah ikut perkemahan bareng Pramuka dan Hizbul Wathan sekaligus. Rasanya kayak gabungan dua band besar main di panggung yang sama. Ada lagu Pramuka, ada mars Hizbul Wathan. Ada salam tiga jari, ada satu jari. Tapi suasananya akur-akur aja. Karena pada dasarnya, misi mereka sama: membentuk generasi yang tangguh, berkarakter, dan siap melayani.

Yang menarik, seragam mereka pun punya cerita. Seragam Pramuka cokelat muda-cokelat tua itu terinspirasi warna tanah, lambang kesederhanaan. Seragam Hizbul Wathan biasanya hijau tua-hijau muda, simbol kesuburan dan kehidupan. Dua-duanya mengajarkan cinta alam lewat warna yang mereka pakai di badan. Ini semacam fashion statement yang nggak lekang waktu.

Kalau di Pramuka ada tingkatan Siaga, Penggalang, Penegak, dan Pandega, di Hizbul Wathan ada Athfal, Pengenal, Penghela, dan Penuntun. Namanya beda, tapi filosofinya sama: tumbuh bertahap, belajar dari yang kecil sampai mandiri. Hidup itu memang seperti perjalanan kepanduan, selalu ada tingkat berikutnya yang harus dicapai.

Yang kadang bikin saya tertawa sendiri adalah tradisi lomba-lomba. Dari lomba pionering sampai jelajah rute. Ada yang saking semangatnya bikin menara tali, malah roboh sebelum dinilai. Ada juga yang waktu jelajah malah nyasar ke kebun warga dan pulang bawa pisang. Tapi semua itu jadi cerita yang diceritakan ulang bertahun-tahun kemudian.

Di Hari Pramuka ini, saya rasa penting mengingat bahwa gerakan kepanduan bukan cuma warisan masa lalu. Ini investasi masa depan. Kalau anak-anak sekarang bisa disiplin bangun pagi untuk apel, mereka mungkin akan terbiasa tepat waktu di dunia kerja. Kalau mereka terbiasa menolong teman satu regu, kelak mereka nggak akan cuek sama tetangga.

Hizbul Wathan dan Pramuka juga punya kesamaan dalam hal menanamkan rasa nasionalisme. Bukan nasionalisme teriak-teriak, tapi yang tenang dan konsisten. Menghormati bendera, menjaga lingkungan, menghargai keberagaman. Nilai-nilai ini justru terasa mahal di era medsos yang penuh debat kusir.

Bagi saya pribadi, perkemahan adalah puncak dari semua kegiatan kepanduan. Di sanalah semua teori diuji: simpul tali, masak-memasak, kerjasama tim. Dan anehnya, di sanalah juga banyak kisah cinta monyet lahir. Entah kenapa, obor dan api unggun punya efek dramatis buat anak remaja. Pramuka atau Hizbul Wathan, semua pernah ngalamin.

Saya yakin, kalau KH Ahmad Dahlan masih hidup, beliau akan senyum melihat Hizbul Wathan masih eksis. Begitu juga Bapak Pandu Indonesia, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, pasti bangga lihat Pramuka tetap kokoh. Karena di tengah semua perubahan zaman, dua gerakan ini masih setia pada misinya.

Yang perlu kita pikirkan sekarang adalah bagaimana membuat kepanduan relevan untuk generasi yang tumbuh dengan Netflix dan Instagram. Tantangannya besar, tapi bukan berarti mustahil. Bayangkan kalau pionering di-update jadi bikin instalasi seni dari bambu, atau jelajah alam dilengkapi tantangan foto Instagramable. Anak-anak pasti makin semangat.

Saya pernah lihat latihan gabungan Pramuka dan Hizbul Wathan di sebuah lapangan desa. Dari jauh, kelihatan kayak dua kelompok suporter bola yang berbeda atribut. Tapi saat nyanyi lagu “Satu Nusa Satu Bangsa”, semua larut. Bulu kuduk merinding. Rasanya, inilah Indonesia yang kita mau: berbeda tapi satu tujuan.

Di kampus Muhammadiyah, Hizbul Wathan sering jadi kegiatan wajib bagi mahasiswa baru. Awalnya banyak yang malas, tapi ujung-ujungnya kangen. Karena di situlah mereka kenal teman-teman baru, belajar baris-berbaris, dan merasakan serunya yel-yel bareng. Ada energi kolektif yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.

Pramuka juga punya efek yang sama di sekolah-sekolah negeri. Banyak yang mengaku awalnya ikut karena diwajibkan, tapi akhirnya ketagihan. Mungkin karena di situ mereka merasa punya peran. Menjadi bagian dari regu, memegang bendera, atau bahkan sekadar jaga tenda. Semua bikin merasa dibutuhkan.

Kalau ada yang bilang gerakan kepanduan itu ketinggalan zaman, saya akan bilang: tunggu dulu. Justru di zaman yang serba instan ini, latihan kesabaran, kerjasama, dan kemandirian itu mahal. Dan kepanduan menawarkan semua itu dalam paket lengkap. Gratis pula, kecuali iuran makan mie instan di perkemahan.

Hizbul Wathan dan Pramuka juga mengajarkan kepemimpinan yang membumi. Pemimpin regu nggak cuma nyuruh-nyuruh, tapi ikut gotong royong. Pemimpin sejati adalah yang mau tidur di tenda bocor bersama anggotanya, bukan yang kabur ke tenda panitia. Ini pelajaran yang bahkan bos-bos kantoran pun kadang lupa.

Banyak alumni kepanduan yang sukses di berbagai bidang. Ada yang jadi guru, tentara, pengusaha, bahkan pejabat. Dan kalau ditanya rahasianya, banyak yang bilang: mental dan disiplin yang dibentuk sejak jadi pandu. Rupanya, ilmu mendirikan tenda di tengah hujan ada hubungannya dengan mendirikan bisnis di tengah krisis.

Kadang, saya membayangkan jika Pramuka dan Hizbul Wathan bikin jambore nasional gabungan. Bayangkan ribuan tenda dengan warna berbeda berdiri berdampingan. Yel-yel bersahut-sahutan. Malam api unggun diakhiri dengan lagu kebangsaan yang dinyanyikan bersama. Itu pasti jadi momen persatuan yang luar biasa.

Di Hari Pramuka ini, mari kita ingat bahwa kepanduan adalah tentang membentuk manusia. Bukan sekadar pintar membuat simpul, tapi juga tahu kapan harus mengendurkan ikatan. Bukan cuma pandai memimpin barisan, tapi juga peka terhadap yang tertinggal di belakang. Itulah jiwa sejati pandu.

Kalau ditanya apa bedanya Hizbul Wathan dan Pramuka, saya akan jawab: sama-sama mendidik, sama-sama membentuk karakter, cuma punya aksen yang berbeda. Seperti dua lagu dari genre yang sama tapi liriknya beda. Dan seperti musik, semakin banyak kita dengar, semakin kaya pengalaman kita.

Akhir kata, saya ingin mengucapkan Selamat Hari Pramuka untuk semua pandu di negeri ini. Baik yang berseragam cokelat maupun hijau, yang salamnya tiga jari maupun satu jari. Teruslah menyalakan api semangat, karena generasi ini butuh teladan. Dan semoga, 10-20 tahun lagi, masih ada anak-anak yang bangga bilang, “Saya ini bekas pandu.”


Di tengah hiruk-pikuk dunia bisnis yang berubah lebih cepat dari kecepatan informasi, kita masih menyaksikan sesuatu yang paradoks. Di satu sisi, perusahaan besar dan startup digital menghadapi disrupsi teknologi, perubahan perilaku konsumen, dan tuntutan keberlanjutan yang tak bisa ditawar. Di sisi lain, kampus-kampus bisnis, termasuk yang bergengsi, masih mengajarkan manajemen seperti tahun 1980-an. Saya tidak bermaksud merendahkan. Tapi fakta ini tak bisa diabaikan: kita sedang mencetak lulusan untuk dunia yang sudah tidak ada.

Perguruan tinggi, khususnya program studi manajemen, harus berani mengakui bahwa model lama sudah tidak cukup. Konsentrasi pemasaran dan SDM yang dulu dianggap inti, kini terasa seperti pakaian usang yang dipaksakan untuk dikenakan di tubuh yang telah berubah bentuk. Bukan berarti dua bidang itu tidak penting. Tapi cara kita mengajarkannya, terlalu teoretis, terlalu linier, terlalu terpisah dari realitas digital telah membuatnya kehilangan daya tembus.
Ilustrasi Reformasi Studi Manajemen (Gambar : AI Generated)
Bayangkan seorang lulusan manajemen yang bisa menjelaskan teori 4P secara sempurna, tapi bingung saat diminta membuat kampanye iklan di TikTok. Atau mahasiswa yang hafal teori motivasi Maslow, tapi tak tahu bagaimana mengelola tim remote yang bekerja dari Bali, Jakarta, dan Toronto. Ini bukan soal kurang pintar. Ini soal kurikulum yang gagap merespons zaman.

Dunia bisnis hari ini bukan lagi tentang siapa yang punya produk terbaik atau tim terbesar. Dunia bisnis sekarang adalah tentang siapa yang paling cepat belajar, paling cepat beradaptasi, dan paling cepat mengintegrasikan teknologi ke dalam DNA organisasinya. Di sinilah letak kegagalan sistem pendidikan kita. Kita masih mengajarkan manajemen sebagai ilmu yang statis, padahal ia harus diajarkan sebagai seni berubah.

Saya beberapa kali bertemu dengan pemimpin perusahaan yang mengeluhkan kualitas lulusan. Bukan karena mereka tidak pintar, tapi karena mereka tidak siap. Mereka butuh pelatihan berbulan-bulan sebelum bisa memberi kontribusi nyata. Ini bukan kegagalan mahasiswa. Ini kegagalan sistem. Kita terlalu sibuk mempertahankan tradisi, hingga lupa bahwa tujuan utama pendidikan adalah relevansi.

Transformasi kurikulum bukan lagi pilihan. Ia adalah keharusan. Kita tidak bisa terus-menerus memperbaiki kapal di tengah badai. Kita harus merancang kapal baru. Kapal yang ringan, lincah, dan bisa berlayar di ombak digital. Dan kampus, khususnya prodi manajemen, harus menjadi galangan kapal tempat kapal-kapal baru itu dibangun.

Dalam konteks inilah, dua konsentrasi lama, pemasaran dan SDM, harus direvitalisasi secara radikal. Bukan sekadar menambah satu dua mata kuliah digital. Tapi merombak total paradigma. Kita tidak butuh ahli pemasaran yang hanya bisa membuat brosur. Kita butuh desainer pengalaman pelanggan yang memahami algoritma, data, dan emosi manusia secara bersamaan.

Demikian pula dengan SDM. Dunia kerja bukan lagi tentang rotasi jabatan atau penilaian kinerja tahunan. Dunia kerja sekarang adalah tentang pengalaman manusia, kesejahteraan mental, dan kemampuan beradaptasi. HR tidak lagi menjadi fungsi administratif, tapi menjadi arsitek budaya organisasi di tengah ketidakpastian.

Maka dari itu, saya menawarkan dua konsentrasi baru yang bukan sekadar ganti nama, tapi perubahan mendasar dalam cara berpikir. Pertama, Digital Business & Innovation Management. Ini bukan pemasaran yang dipoles digital. Ini adalah pendekatan menyeluruh terhadap bisnis di era platform, ekosistem, dan data-driven decision making. Di sini, mahasiswa belajar bukan hanya bagaimana menjual, tapi bagaimana menciptakan nilai baru melalui inovasi.

Kedua, People & Organizational Transformation. Ini bukan SDM yang diperluas. Ini adalah disiplin baru yang menggabungkan psikologi, teknologi, dan strategi untuk membangun organisasi yang tangguh. Di sini, mahasiswa belajar bagaimana memimpin perubahan, merancang pengalaman kerja, dan membangun kepemimpinan adaptif.

Kedua konsentrasi ini lahir dari kenyataan bahwa bisnis modern tidak lagi berjalan dalam silo. Pemasaran tidak bisa berdiri sendiri tanpa data operasi. SDM tidak bisa berjalan tanpa dukungan teknologi. Maka, kurikulum harus dirancang secara integratif. Setiap mata kuliah harus memiliki benang merah yang menghubungkan fungsi-fungsi bisnis dalam satu kesatuan yang utuh.

Salah satu kunci dari transformasi ini adalah literasi data. Bukan berarti setiap mahasiswa manajemen harus jadi data scientist. Tapi mereka harus mampu membaca data, memahami insight, dan mengambil keputusan berbasis bukti. Dalam dunia di mana gut feeling tidak lagi cukup, data adalah bahasa baru manajemen.

Maka, mata kuliah seperti Analitik Bisnis untuk Pengambilan Keputusan harus menjadi inti kurikulum. Mahasiswa tidak hanya belajar statistik, tapi juga cara menggunakan tools seperti Power BI, Google Analytics, atau SQL dasar. Mereka harus bisa mengubah angka menjadi cerita, dan cerita menjadi aksi.

Tapi jangan salah sangka. Ini bukan ajakan untuk menghilangkan sisi manusiawi dari manajemen. Justru sebaliknya. Semakin digital dunia ini, semakin dibutuhkan sentuhan manusia. Kita butuh pemimpin yang tidak hanya pintar secara teknis, tapi juga empatik, inklusif, dan berintegitas. Maka, etika dan keberlanjutan harus menjadi tulang punggung kurikulum.

Mata kuliah seperti Etika Bisnis & Keberlanjutan tidak boleh menjadi pelengkap yang ditempatkan di semester akhir. Ia harus menjadi lensa yang digunakan untuk melihat setiap aspek bisnis. Dari strategi pemasaran hingga keputusan rekrutmen, dari inovasi produk hingga manajemen rantai pasok, semua harus dievaluasi dari sudut pandang ESG: lingkungan, sosial, dan tata kelola.

Di sinilah letak keunikan lulusan manajemen masa depan. Mereka bukan sekadar operator bisnis. Mereka adalah penyeimbang. Mereka tahu bagaimana mengejar profit, tapi juga tahu batasnya. Mereka paham teknologi, tapi tidak terjebak di dalamnya. Mereka mampu berpikir sistemik, tapi tetap peduli pada individu.

Kita juga harus berhenti mengajar manajemen sebagai ilmu yang netral. Dunia bisnis adalah arena konflik nilai. Antara efisiensi dan keadilan. Antara pertumbuhan dan keberlanjutan. Antara inovasi dan etika. Mahasiswa harus dilatih untuk berdebat, merenung, dan membuat keputusan dalam ketegangan ini. Bukan dengan memberi jawaban, tapi dengan membuka pertanyaan.

Salah satu cara terbaik untuk melakukannya adalah melalui project-based learning. Mahasiswa tidak boleh hanya menulis esai atau ujian akhir. Mereka harus bekerja pada proyek nyata: membantu UMKM go digital, merancang strategi transformasi untuk perusahaan menengah, atau membuat program kesejahteraan karyawan untuk startup.

Dalam proyek-proyek ini, mahasiswa dari dua konsentrasi, Digital Business dan People Transformation, harus bekerja bersama. Karena di dunia nyata, masalah bisnis tidak datang dalam kotak terpisah. Ketika sebuah perusahaan ingin go digital, itu bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal orang. Bagaimana mempersiapkan karyawan? Bagaimana mengubah budaya? Siapa yang akan memimpin perubahan?

Kolaborasi ini harus dipupuk sejak awal. Kita butuh kurikulum yang memaksa mahasiswa keluar dari zona nyaman disiplin mereka. Seorang calon ahli inovasi harus belajar psikologi perubahan. Seorang calon pemimpin organisasi harus memahami dasar-dasar algoritma. Ini bukan multitasking. Ini adalah multi-intelligence.

Dan di tengah semua ini, kampus harus berhenti menjadi menara gading. Kita harus membuka pintu lebar-lebar untuk industri. Bukan hanya untuk magang atau rekrutmen, tapi untuk menjadi mitra dalam merancang kurikulum. Advisory board dari dunia usaha bukan sekadar formalitas. Ia harus menjadi mekanisme penyeimbang agar kampus tidak terjebak dalam ilusi akademik.

Saya masih ingat ketika mendengar seorang dosen di satu kampus berkata, “Kami tidak boleh terlalu mengikuti industri, nanti kita kehilangan otoritas akademik.” Saya menghormati sikap itu. Tapi saya juga bertanya: otoritas untuk apa? Jika otoritas itu hanya menghasilkan lulusan yang tidak dibutuhkan, maka otoritas itu hampa makna.

Kita butuh keseimbangan. Akademik yang kuat, tapi relevan. Teori yang mendalam, tapi bisa diterapkan. Penelitian yang rigor, tapi menjawab masalah nyata. Inilah yang saya sebut sebagai relevance with rigor.

Salah satu cara mewujudkannya adalah dengan mengintegrasikan sertifikasi industri ke dalam kurikulum. Mahasiswa tidak hanya lulus dengan IPK, tapi juga dengan portofolio dan sertifikasi nyata: Google Analytics, Meta Blueprint, HR Analytics dari edX, atau Scrum Fundamentals. Ini bukan kompromi. Ini adalah jembatan.

Dan jangan lupa, soft skills tetap penting. Bahkan lebih penting. Di era di mana mesin bisa menggantikan pekerjaan teknis, yang tidak bisa digantikan adalah empati, kreativitas, dan kemampuan berkolaborasi. Maka, mata kuliah seperti Leadership & Team Collaboration harus menjadi wajib, bukan pilihan.

Kita juga harus mengubah cara mengajar. Dosen tidak lagi menjadi satu-satunya sumber ilmu. Mereka harus menjadi fasilitator, mentor, dan pembuka jalan. Metode ceramah harus dikurangi. Diskusi, simulasi, dan experiential learning harus diperbanyak. Dunia sudah berubah dari push ke pull, mahasiswa mencari ilmu, bukan menunggu diberi.

Peran dosen pun berubah. Mereka tidak hanya dinilai dari jumlah publikasi, tapi juga dari dampak nyata mereka terhadap mahasiswa dan masyarakat. Seorang dosen yang berhasil membimbing mahasiswa menciptakan startup yang menyerap puluhan tenaga kerja, layak dihargai setara dengan yang menulis jurnal internasional.

Akhirnya, kita harus berani mengukur keberhasilan kurikulum bukan dari angka-angka, tapi dari cerita. Cerita tentang lulusan yang mampu mengubah nasib UMKM. Cerita tentang pemimpin muda yang membawa perusahaan keluarga go digital. Cerita tentang HR yang merancang kebijakan kerja yang manusiawi di tengah tekanan profit.

Karena pada akhirnya, manajemen bukan ilmu tentang mengelola uang atau mesin. Ia adalah ilmu tentang mengelola manusia. Dan manusia tidak bisa dikelola dengan formula kaku. Ia butuh keberanian, kebijaksanaan, dan visi.

Maka, kampus harus berhenti menjadi pabrik gelar. Kita harus menjadi taman tempat benih-benih pemimpin masa depan ditanam, dirawat, dan dilepaskan ke dunia dengan keyakinan bahwa mereka siap, bukan hanya untuk bekerja, tapi untuk memimpin, mengubah, dan memberi makna.

Revolusi manajemen tidak dimulai di ruang rapat direksi. Ia dimulai di kelas kuliah. Di tangan dosen yang berani berubah. Di meja mahasiswa yang berani bertanya. Di hati para pemimpin kampus yang berani mengambil risiko.

Kita tidak butuh lebih banyak manajer. Kita butuh lebih banyak pemimpin. Dan pemimpin itu harus lahir dari kampus yang berani meninggalkan masa lalu, bukan dari sisa-sisa era industri yang sudah usang.

Jika tidak sekarang, kapan lagi?

Kita hidup di zaman yang tidak memberi ruang bagi yang ragu. Dunia bisnis tidak menunggu. Teknologi tidak berhenti. Konsumen tidak setia. Dan generasi muda tidak sabar.

Maka, ayo kita ubah. Bukan hanya kurikulum. Tapi mindset. Bukan hanya struktur. Tapi semangat. Bukan hanya metode. Tapi tujuan.

Karena manajemen yang baik bukan yang mengikuti zaman. Tapi yang menciptakan zaman. Dan kampus, khususnya prodi manajemen, harus menjadi tempat di mana zaman baru itu dimulai.

Bukan dengan teriakan revolusi. Tapi dengan langkah-langkah nyata: merombak kurikulum, melatih dosen, membuka diri pada industri, dan menempatkan manusia sebagai pusat dari segala keputusan.

Kita tidak sedang berbicara tentang perbaikan. Kita sedang berbicara tentang transformasi. Dan transformasi selalu dimulai dari satu keberanian: mengakui bahwa yang lama sudah tidak cukup.

Sekarang, saatnya kita membuktikan bahwa pendidikan manajemen di Indonesia bisa menjadi teladan, bukan penonton. Karena masa depan bisnis kita, ditentukan oleh kualitas pemimpin yang kita lahirkan hari ini.

Dan pemimpin itu sedang duduk di kelas. Menunggu guru yang berani mengajaknya melompat ke masa depan.
Saya mengenal sekolah alam seperti mengenal kembali sebuah bentuk rumah yang lama hilang dari peta. Ia bukan rumah yang sempurna, tetapi terasa betul bahwa di dalamnya anak-anak bisa tumbuh, bukan hanya diasuh. Pertemuan pertama saya dengan sekolah alam terjadi belasan tahun lalu, ketika saya ikut pelatihan calon Pengajar Muda Gerakan Indonesia Mengajar. Kami diajak mengunjungi sekolah alam di Jawa Barat, dan saat itu, entah mengapa, hati saya tenang. Seperti menemukan sebuah konsep pendidikan yang selama ini hanya hadir sebagai desah kesal di dalam kepala: pendidikan yang tidak memaksa anak untuk jadi seragam. Di sekolah ini, saya melihat pendidikan bukan sebagai lintasan lomba, tapi sebagai perjalanan yang boleh pelan, boleh belok-belok, dan boleh istirahat.

Waktu itu saya belum punya anak. Tapi dalam hati saya menanam niat seperti menanam biji: “Kelak, aku akan menyekolahkan anakku di sekolah semacam ini.” Bukan karena sekolah ini keren. Bukan karena katanya berbasis alam. Tapi karena di tempat seperti itu, saya merasa anak-anak tidak perlu berpura-pura jadi siapa-siapa hanya untuk membuat orang dewasa bangga. Mereka cukup jadi anak-anak saja. Lucu, penasaran, kadang nakal, kadang diam-diam mengamati semut di tanah tanpa merasa bersalah.
Ilustrasi (Gambar : Foto Pribadi + Poles AI)

Bertahun kemudian, hidup membawa saya ke Bengkulu. Saya menikah, membangun keluarga kecil, dan punya dua anak kembar yang rasanya seperti matahari ganda: terang dua kali, riuh dua kali, repot dua kali. Tapi ketika Sarah dan Aisha, nama anak kembar saya, akhirnya masuk usia sekolah, saya ingat lagi niat lama itu. Dan ternyata, Bengkulu juga punya sekolah alam. Tidak sepopuler yang saya kunjungi dulu, tapi semangatnya sama. Sekolah ini tidak menjual mimpi jadi juara olimpiade, tapi menawarkan ruang untuk menjadi manusia utuh.

Saya tahu, banyak orang tua yang mendambakan sekolah dengan target-target tinggi: anak usia lima tahun sudah lancar membaca, anak TK sudah bisa menulis tegak bersambung, anak SD harus bisa jadi juara kelas. Tapi saya pernah belajar satu hal penting: perkembangan anak bukan lomba cepat-cepatan. Dan sekolah bukan tempat pabrikasi kecerdasan buatan. Maka saya membiarkan Sarah dan Aisha belajar sesuai ritmenya. Tidak saya paksa. Tidak saya cemas-cemaskan. Saya biarkan mengalir.

Waktu rapor tiba, saya deg-degan bukan karena ingin tahu nilai anak, tapi karena penasaran: bagaimana guru memandang proses anak saya? Bukan hasilnya, tapi langkah-langkah kecilnya. Dan ketika saya membaca rapor Sarah dan Aisha, saya seperti sedang membaca catatan perjalanan. Ada cerita tentang keberaniannya menyapa dan bersosialisasi dengan teman baru, ada observasi tentang kemandiriannya dalam makan dan pergi ke kamar mandi, ada pujian kecil tentang bagaimana ia mulai suka mendengarkan. Rapor itu seperti surat cinta dari guru yang ditulis dengan mata hati, bukan dengan kalkulator.

Saya terharu. Terharu karena sekolah ini tidak mempermalukan anak yang belum bisa membaca dan mengeja. Tidak memberi label “bodoh” pada anak yang menulis huruf kebalik. Tidak mencap “bermasalah” pada anak yang masih suka bengong memandangi pepohonan saat pelajaran berlangsung. Sekolah ini percaya bahwa proses lebih penting dari produk. Dan bahwa menjadi anak-anak adalah tahap penting yang tak boleh dicuri.

Saya pernah membaca analogi yang sangat menampar: jangan mengajarkan ikan untuk memanjat pohon. Itu bukan kegagalan ikan, tapi kegagalan sistem yang tidak mau mengenali keberagaman. Anak-anak bukan barang produksi, mereka adalah benih yang tumbuh dengan cara berbeda. Bahkan pohon yang sama pun bisa punya cabang dan arah tumbuh yang tidak identik. Jadi kenapa kita masih suka menyeragamkan anak-anak dalam satu kotak yang sama sempitnya?

Saya bersyukur, sekolahnya Sarah dan Aisha tidak memberi ranking. Tidak membuat piala plastik bertuliskan “juara satu” sebagai syarat merasa berhasil. Karena di usia TK, keberhasilan bukan soal bisa membaca dua halaman buku. Tapi bisa mengenal dirinya sendiri, bisa mengelola emosi, bisa bilang “maaf” ketika salah. Ranking dan pujian semu bisa menipu banyak hal. Tapi karakter? Itu investasi jangka panjang yang efeknya terasa seumur hidup.

Saya tahu sistem pendidikan kita masih belum berubah banyak. Masih banyak guru dan kepala sekolah yang lebih sibuk mendandani angka di raport daripada memperbaiki cara mendengarkan anak-anak. Tapi saya percaya, perubahan bisa dimulai dari ruang-ruang kecil. Dari kelas kecil di sekolah alam, dari guru-guru yang memutuskan untuk menilai anak dengan kata-kata, bukan angka. Dari orang tua yang mulai sadar bahwa prestasi anak tidak bisa disamakan seperti membandingkan jeruk dan apel.

Saya pernah mendengar curhat guru SD yang merasa frustrasi. Ia bilang, “Anak-anak sekarang pintar, tapi cepat stres.” Saya tidak heran. Karena sejak kecil mereka diajari bahwa nilai buruk adalah aib, bukan sinyal untuk belajar. Mereka ditakut-takuti dengan ujian, dibebani PR dari tiga mata pelajaran sekaligus, dan dipaksa duduk diam selama 4 jam seolah mereka robot pabrik. Anak-anak itu kehilangan haknya untuk merasa nyaman dengan proses.

Di sekolah Sarah dan Aisha, saya tidak melihat itu. Mereka memang belajar. Tapi juga berkebun, membuat kerajinan dari daun, berjalan-jalan ke banyak tempat baru, memasak bersama. Mereka membawa hewan peliharaan ke sekolah dan mengenal rasa tanggung jawab dari sana. Saya melihat Aisha, kini bisa bercerita panjang dengan diksi yang mengejutkan saya. Katanya, “Ayah, ayah berhentilah dulu nyopir. Dari tadi ayah menguap terus. Bahaya. Ayah belilah kopi biar tidak mengantuk", ucapnya secara spontan. Saya tidak tahu dari mana ia dapat kata-kata itu. Tapi saya yakin, sekolahnya menyuburkan kosakata instruksionalnya.

Rapor anak-anak di sekolah alam ini tidak hanya menilai “pencapaian belajar”, tapi juga menarasikan perjalanan batin mereka. Ada catatan tentang bagaimana anak menghadapi konflik dengan temannya, bagaimana ia belajar sabar ketika mainannya diambil, atau bagaimana ia mulai belajar mengantre tanpa merengek. Saya tidak tahu apakah semua orang tua merasa itu penting. Tapi saya, sebagai ayah, merasa itu adalah bagian paling krusial dari pendidikan.

Saya sering membayangkan begini: andai kita dulu diajari mengelola rasa marah, diajari untuk mengenali diri sendiri, diajari untuk menghargai proses, mungkin kita tidak akan tumbuh menjadi generasi yang gampang baper hanya karena beda pendapat di media sosial. Mungkin kita tidak akan cepat lelah menghadapi tekanan. Mungkin kita akan lebih siap menghadapi dunia yang keras dengan hati yang tetap lembut.

Memang, tidak semua sekolah bisa seperti ini. Tidak semua guru mau repot menulis narasi hingga berlembar-lembar untuk satu anak. Tidak semua orang tua menganggap penting catatan tentang “bagaimana anak bersikap saat kegiatan makan bersama”. Tapi jika kita bicara pendidikan anak usia dini, maka hal-hal semacam itu justru yang paling penting. Karena dasar karakter dibentuk dari hal-hal remeh yang dilakukan berulang.

Saya tidak anti dengan angka. Tapi saya yakin, angka tidak bisa menceritakan segalanya. Bahkan IPK tinggi pun kadang tidak menjamin seseorang punya rasa empati yang baik. Maka ketika rapor anak saya tidak menampilkan angka, saya tidak merasa kehilangan. Saya malah merasa mendapatkan lebih banyak: cerita, perhatian, dan arah.

Anak-anak saya memang belum bisa mengeja huruf dengan lancar. Tapi mereka bisa menyapa para petugas kebersihan di kampus saya dengan sopan. Mereka bisa bilang “terima kasih” tanpa disuruh. Mereka bisa memungut sampah dan meletakkannya ke tempat sampah tanpa drama. Buat saya, itu rapor yang nilainya paling tinggi.

Saya pernah menjadi siswa dengan rapor berisi tinta merah. Dulu saya malu. Sekarang saya sadar, tinta merah itu bukan luka, tapi alarm bahwa saya butuh pendekatan lain. Sayangnya dulu tak ada guru yang bisa membaca alarm itu. Sekarang, saya berharap anak saya tidak perlu mengalami hal yang sama.

Di hari pembagian rapor, saya tidak membawa pulang angka. Saya membawa pulang narasi. Saya membaca catatan guru seperti membaca jurnal kehidupan anak saya. Saya mencermati tiap kalimat seperti mencermati puisi. Saya tahu, guru yang menulis itu tidak sedang menilai, tapi sedang menemani. Dan itu adalah pekerjaan yang tidak semua orang bisa lakukan.

Saya percaya, sekolah seharusnya tempat anak merasa aman untuk tumbuh, bukan tempat takut untuk gagal. Maka saya bahagia melihat anak saya senang berangkat ke sekolah. Tidak ada drama pura-pura sakit. Tidak ada tangisan karena PR yang tak selesai. Mereka pulang dengan cerita, bukan keluhan.

Kita sering lupa: yang paling diingat anak dari masa sekolah bukan soal berapa nilai matematikanya, tapi bagaimana ia diperlakukan oleh gurunya. Apakah ia diterima, dihargai, didengarkan? Atau justru dibanding-bandingkan, dibentak, dan dijadikan kambing hitam?

Rapot anak saya kali ini tak membuat saya sombong. Tapi membuat saya semakin rendah hati: bahwa mendidik anak itu bukan lomba antar orang tua, tapi kerja sama penuh sabar antara keluarga dan sekolah. Kerja sunyi, yang hasilnya baru tampak setelah belasan tahun.

Saya tahu, kelak anak-anak saya akan bersekolah di tempat lain. Mungkin mereka akan masuk sistem yang tidak seideal sekarang. Tapi saya percaya, bekal karakter yang sedang mereka bangun di sekolah ini, akan menjadi kompas yang menuntun mereka saat nanti tersesat.

Maka hari ini, saya hanya ingin berterima kasih. Kepada para umi, sebutan untuk guru-guru di sekolah anak saya, yang sudah memilih menilai dengan kasih sayang, bukan hanya dengan angka. Yang sudah percaya bahwa tiap anak adalah makhluk unik, bukan bahan baku standar.

Dan tentu saja, terima kasih untuk anak-anak saya. Yang setiap hari memberi saya pelajaran tentang bagaimana menjadi ayah yang lebih baik. Yang kadang marah tanpa alasan, tapi juga bisa memeluk saat saya lelah. Terima kasih karena sudah tumbuh, meski pelan. Sudah berproses, meski belum sempurna.

Sekolah alam ini bukan tempat yang sempurna. Tapi ia memberi ruang untuk anak-anak jadi manusia. Dan buat saya, itu cukup.
Setiap kali hari wisuda datang, saya selalu bingung harus merasa bahagia atau justru sedih. Bahagia karena kalian akhirnya menuntaskan satu fase penting dalam hidup. Tapi juga sedih, karena itu berarti saya tidak akan melihat lagi nama kalian di daftar bimbingan, tidak akan ada notifikasi pesan tengah malam yang isinya cuma, “Pak, boleh tolong cek dropbox revisi skripsi saya malam ini?” atau “Pak, maaf baru sempat revisi, laptop saya rusak.” Semuanya akan menjadi kenangan. Tersimpan rapi dalam ingatan kami dosen yang diam-diam sering terharu melihat perjuangan anak-anak didiknya.

Kalian mungkin tidak sadar, tapi saya menyaksikan semuanya. Betapa kalian datang ke kampus dengan wajah letih, kadang belum sarapan, kadang juga sambil menenteng kudapan sebagai pengganjal perut. Saya tahu kalian sering tidak punya cukup keberanian untuk datang ke meja saya, atau bahkan sekadar ngopi sambil diskusi. Tapi kalian tetap datang. Duduk di hadapan saya, mencoba paham konsep, metode, kutipan teori yang kadang saya sendiri lupa letaknya di buku maupun jurnal mana.
Ilustrasi Wisuda (Gambar : AI Generated)
Tidak perlu merasa malu kalau skripsi dan artikelmu telat selesai. Tidak usah menunduk kalau hari ini kamu berdiri di antara yang nilainya tidak cumlaude. Karena percaya atau tidak, hari ini kamu berdiri di sini bukan karena kamu hebat. Kamu berdiri di sini karena kamu tidak menyerah. Itu saja. Kamu bertahan. Melewati hari-hari sulit, tekanan dari rumah, ekspektasi dari orang tua, perbandingan dengan teman, bahkan kehilangan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi kamu tetap maju.

Kadang saya bertanya-tanya dalam hati, bagaimana kalian bisa kuat. Dulu ada seorang mahasiswa saya kehilangan keluarganya yang seharusnya menjadi supporting system terkuat. Ia tidak sempat berpamitan karena sang ayah berpulang di kampung yang jauh. Tapi esoknya, ia tetap datang ke kampus, mengembalikan draft yang sudah dicoret-coret oleh saya beberapa hari sebelumnya. Saya tidak tega. Tapi juga bangga.

Ada pula mahasiswa yang bekerja di beberapa tempat sekaligus. Semua dilakukan agar bisa bayar semesteran. Tugas-tugasnya sering telat. Revisi skripsinya penuh typo. Tapi ia tidak pernah mengeluh. Bahkan ketika saya tawarkan untuk cuti dulu, dia hanya tersenyum dan berkata, “Nggak pak, saya harus lulus. Ibu saya nunggu.”

Lulus bukan karena pintar. Banyak orang pintar di luar sana yang tidak pernah lulus-lulus. Lulus bukan karena nilai sempurna. Ada banyak nilai yang bisa diketik ulang, tapi tekad dan keteguhan itu bukan soal angka. Lulus karena kalian bersedia duduk di ruangan saya menepi dari riuhnya kampus demi mengerjakan skripsi dan artikel, menahan kantuk siang, mengatur napas saat membaca hasil revisi yang seolah tidak ada habisnya. Lulus karena kamu bilang, “Saya bisa,” meski dalam hati kamu ragu luar biasa.

Saya tahu kalian capek. Saya tahu kalian pernah menangis dan marah diam-diam. Saat file skripsi hilang. Saat dosen pembimbing tidak membalas pesan. Saat teman-teman lain sudah sidang skripsi duluan. Saat orang tua bertanya terus kapan lulus, padahal kalian sendiri juga belum punya jawabannya. Tapi kalian terus jalan. Itu luar biasa.

Orang kadang mengira yang hebat itu yang cepat. Yang selesai empat tahun, yang lulus dengan pujian, yang fotonya banyak diunggah di Instagram. Tapi hidup ini bukan soal siapa yang paling duluan, melainkan siapa yang tetap berjalan ketika kakinya goyah, ketika dadanya sesak, ketika jalannya sendiri dan sunyi. Dan hari ini, kalian telah membuktikannya.

Wisuda adalah panggung kecil untuk sebuah perjalanan besar. Sebuah jeda sebelum dunia yang sesungguhnya membuka pintunya. Hari ini kalian mungkin memakai toga, menggenggam ijazah, dan berfoto bersama orang tua. Tapi besok, ketika semua itu ditaruh di lemari, kalian akan kembali dihadapkan pada hidup. Tidak ada jadwal kuliah. Tidak ada reminder dosen. Hanya kalian dan keputusan-keputusan yang harus diambil sendiri.

Saya tidak bisa menjanjikan apa-apa tentang dunia setelah wisuda. Saya tidak tahu apakah kalian akan langsung dapat pekerjaan, atau justru harus menunggu lama. Saya tidak tahu apakah kalian akan diterima sesuai jurusan, atau malah jadi pawang hujan padahal dulunya kuliah manajemen. Tapi saya percaya satu hal: kalau kalian sudah pernah bertahan di masa sulit, maka kalian pasti bisa melalui yang lebih sulit lagi.

Ada hal-hal yang tidak diajarkan di kelas. Misalnya bagaimana menerima penolakan. Bagaimana berdamai dengan kegagalan. Bagaimana tetap bangun pagi meski tidak ada lagi kelas jam tujuh. Semua itu akan kalian pelajari sendiri, dengan cara yang unik dan personal. Tapi bekal kalian cukup. Bahkan lebih dari cukup. Karena kalian pernah menyelesaikan skripsi dalam keadaan hampir menyerah. Itu bukan hal kecil.

Hari ini saya ingin kalian menepuk bahu kalian sendiri. Katakan pada diri sendiri, “Aku sudah sampai sejauh ini.” Jangan tunggu orang lain memuji. Jangan tunggu dunia berterima kasih. Karena kalianlah pahlawan untuk kisah hidup kalian sendiri. Dan itu sudah cukup indah untuk dirayakan.

Tentu, di antara kalian ada yang merasa tidak puas. Ada yang merasa seharusnya bisa lebih cepat, lebih bagus, lebih hebat. Tapi percayalah, setiap orang punya waktunya sendiri. Hidup ini bukan lomba lari estafet. Tidak ada medali untuk siapa yang sampai duluan. Yang penting adalah: kamu sampai. Dan hari ini, kamu sampai.

Kalian tidak harus hebat untuk memulai. Tapi kalian harus mulai agar suatu hari bisa menjadi hebat. Dan kalian sudah memulainya. Dari ruang kelas yang panas, dari tugas yang ditulis tengah malam, dari skripsi yang direvisi berkali-kali. Dari tangis dan tawa, dari ragu dan percaya. Itu semua bagian dari perjalanan.

Saya ingin kalian membawa kenangan ini ke mana pun kalian pergi. Kenangan bahwa kalian pernah punya dosen galak yang cerewet soal margin dan font, tapi diam-diam bangga melihat kalian maju. Bahwa kalian pernah punya teman seperjuangan yang berbagi mi instan di kosan, berbagi wifi, bahkan berbagi rasa cemas. Bahwa kalian pernah menjadi mahasiswa yang penuh harap.

Jangan buru-buru jadi dewasa. Nikmati masa transisi ini. Nikmati waktu saat kalian masih bisa bercanda soal skripsi, soal deadline, soal dosen killer. Karena suatu hari nanti, kalian akan merindukan semua itu. Dan ketika rindu itu datang, semoga ia tidak menyakitkan, tapi justru menyemangati.

Ada dunia yang menunggu kalian. Tapi jangan biarkan dunia itu mengubah kalian jadi asing. Tetap jadi diri sendiri. Tetap bawa senyum kalian yang dulu kalian pakai saat minta tanda tangan revisi. Tetap rendah hati. Karena dunia tidak suka orang sombong, tapi diam-diam menghormati yang tekun dan jujur.

Saya tidak tahu akan seperti apa wajah kalian lima atau sepuluh tahun dari sekarang. Tapi saya berharap, ketika kalian membaca ulang tulisan ini suatu hari nanti, kalian akan mengingat satu hal: kalian pernah punya keberanian untuk tidak menyerah. Dan itu akan jadi cahaya kecil yang menuntun kalian di masa-masa sulit berikutnya.

Jangan pernah berpikir kalian lulus sendirian. Di balik toga itu ada doa orang tua, peluh keringat, bahkan air mata yang tak terlihat. Ada pelukan yang tertunda, ada janji yang kalian genggam dalam diam. Ada cinta yang kalian bawa dari rumah ke ruang kelas, dari kamar kos ke ruang seminar.

Mungkin kalian tidak mengubah dunia secara langsung. Tapi kalian mengubah diri sendiri, dan itu awal dari segala perubahan. Dunia tidak butuh banyak orang hebat. Dunia butuh orang yang tidak menyerah. Yang jujur. Yang tidak takut mencoba lagi meski gagal berkali-kali.

Hari ini, saya ingin bilang terima kasih. Terima kasih karena sudah mempercayai saya sebagai dosen kalian. Terima kasih karena sudah mau mendengarkan, walau kadang saya terlalu banyak menasihati. Terima kasih karena sudah menginspirasi saya, tanpa kalian sadari. Karena sebenarnya, dosen pun belajar dari mahasiswanya.

Tidak usah takut gagal di luar sana. Gagal itu biasa. Yang tidak biasa adalah orang yang tetap berdiri dan mencoba lagi. Jadi, gagal saja kalau memang harus. Tapi jangan berhenti. Terus jalan. Terus hidup.

Ingat baik-baik: kalian tidak lulus karena hebat. Kalian lulus karena kalian tidak menyerah. Dan untuk itu, saya sangat bangga. Sangat, sangat bangga.

Selamat wisuda, anak-anak baik. Dunia sudah menunggu cerita kalian berikutnya.

Praktik kementerian teknis mendirikan dan mengelola perguruan tinggi sendiri telah menjelma menjadi fenomena sistemik yang secara diametral bertentangan dengan prinsip pengelolaan pendidikan tinggi yang terintegrasi. Dalam konstruksi ideal sistem pendidikan nasional, Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) seharusnya menjadi garda terdepan dan satu-satunya otoritas pengelola pendidikan tinggi. Namun realitas yang terjadi justru menunjukkan wajah buram fragmentasi pendidikan, di mana setidaknya 20 kementerian/lembaga non-pendidikan - berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2018 - dengan leluasa mengoperasikan 179 perguruan tinggi secara tersebar dan tidak terkoordinasi.

Fenomena ini tidak hanya menciptakan inefisiensi sistemik, tetapi juga melahirkan paradoks dalam pembangunan sumber daya manusia. Di satu sisi, pemerintah gencar mendorong program Merdeka Belajar Kampus Merdeka yang mengedepankan fleksibilitas dan kolaborasi multidisiplin. Di sisi lain, praktik kementerian teknis yang mengelola perguruan tinggi sendiri justru menciptakan sekat-sekat disipliner yang kaku dan sempit. Lulusan yang dihasilkan seringkali terkungkung dalam paradigma sektoral sempit, kurang mampu beradaptasi dengan dinamika pasar kerja yang semakin kompleks dan interdependen.

Distribusi perguruan tinggi antar kementerian menunjukkan pola yang timpang dan tidak proporsional. Kementerian Kesehatan dengan 37 perguruan tinggi, Kementerian Perindustrian (18), Pertanian (12), Kelautan dan Perikanan (11), hingga Perhubungan (11) - semua menunjukkan betapa ego sektoral telah mengalahkan pertimbangan pedagogis yang lebih holistik. Yang lebih memprihatinkan, lembaga-lembaga dengan domain sangat spesifik seperti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) hingga Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pun merasa perlu memiliki perguruan tinggi sendiri. Pertanyaan mendasarnya: apakah pembangunan perguruan tinggi oleh kementerian teknis ini benar-benar dilandasi kebutuhan pembangunan SDM, atau sekadar menjadi proyek prestisius dan alat memperbesar anggaran?

Motif pendirian perguruan tinggi oleh kementerian teknis perlu dikritisi secara mendalam. Setidaknya terdapat tiga faktor utama yang menjadi pendorong: pertama, alokasi anggaran khusus yang tidak kecil; kedua, kendali penuh atas kurikulum dan sistem rekrutmen; ketiga, citra sebagai pembangun SDM unggul. Namun ironisnya, di balik gembar-gembor pembangunan SDM spesifik tersebut, banyak dari institusi ini justru memiliki kualitas yang jauh di bawah standar perguruan tinggi negeri. Data akreditasi tahun 2021 menunjukkan 60% perguruan tinggi kementerian berada di peringkat B dan di bawahnya dalam penilaian BAN-PT.

Ilustrasi Pendidikan Tinggi (Gambar : GeneratedAI)

Masalah inefisiensi sistemik terlihat nyata dalam duplikasi program studi yang tidak perlu. Ambil contoh Politeknik Penerbangan Indonesia di bawah Kementerian Perhubungan dan Program Studi Teknik Penerbangan di Institut Teknologi Bandung (ITB). Keduanya menghasilkan lulusan dengan kompetensi serupa, namun dengan biaya dan kualitas yang berbeda signifikan. Biaya pendidikan per mahasiswa di politeknik kementerian ternyata 40-60% lebih tinggi dibanding PTN, sementara tingkat serapan lulusannya di pasar kerja justru lebih rendah 20-30%. Ini menunjukkan betapa model pengelolaan yang terfragmentasi telah menciptakan pemborosan sumber daya yang tidak kecil.

Kualitas lulusan juga menjadi persoalan serius. Survei pada tahun 2023 menunjukkan 72% lulusan politeknik Kementerian Perhubungan bekerja di lingkungan Kemenhub sendiri, sementara hanya 15% yang mampu bersaing di pasar kerja yang lebih luas. Ini mencerminkan kompetensi sempit yang tidak sesuai dengan kebutuhan era disrupsi, di mana fleksibilitas dan kemampuan adaptasi menjadi kunci utama.

Persoalan kurikulum di perguruan tinggi kementerian juga patut mendapat sorotan kritis. Sebuah studi pada tahun 2022 menemukan bahwa 70% sekolah kedinasan masih menggunakan modul pembelajaran yang sama selama 10-15 tahun terakhir. Padahal, laporan Bank Dunia (2021) memproyeksikan bahwa 65% pekerjaan di masa depan akan membutuhkan keterampilan baru yang belum diajarkan dalam kurikulum-kurikulum lama tersebut. Ketertinggalan ini semakin memperlebar kesenjangan antara dunia pendidikan dengan kebutuhan industri.

Tata kelola perguruan tinggi kementerian juga menunjukkan banyak kelemahan struktural. Audit pada tahun 2022 mengungkap bahwa 45% anggaran digunakan untuk belanja pegawai, sementara hanya 20% yang dialokasikan untuk pengembangan akademik. Rasio dosen-mahasiswa yang mencapai 1:47 juga jauh di bawah standar SN-Dikti yang menetapkan 1:25. Ini menunjukkan salah urus dalam pengelolaan pendidikan tinggi.

Di tengah kompleksitas masalah ini, kita bisa belajar dari praktik baik di Taiwan. Laporan Ministry of Education Taiwan (2021) menunjukkan bagaimana Universitas Kepolisian tetap berada di bawah kementerian pendidikan, sementara kepolisian hanya memberikan masukan kurikulum. Hasilnya, lulusannya diakui secara nasional dan memiliki fleksibilitas untuk bekerja di berbagai sektor. Model ini membuktikan bahwa spesialisasi tidak harus berarti pengkotak-kotakan.

Solusi mendesak yang diperlukan adalah konsolidasi sistemik dengan pendekatan bertahap namun pasti. Pertama, pengalihan seluruh perguruan tinggi kementerian ke bawah Kemendiktisaintek dengan tetap melibatkan kementerian teknis sebagai stakeholder kurikulum. Kedua, merger institusi sejenis - misalnya dengan menggabungkan 11 politeknik Kementerian Perhubungan menjadi 3-4 politeknik unggulan. Ketiga, penghapusan bertahap perguruan tinggi yang tidak memenuhi standar melalui integrasi dengan perguruan tinggi negeri terdekat.

Reformasi sistem rekrutmen juga menjadi krusial. Sistem seleksi harus benar-benar transparan dan berbasis meritokrasi murni, bukan "warisan jabatan" yang selama ini terjadi. Penerapan kuota minimal 40% untuk mahasiswa dari keluarga kurang mampu - sebagaimana diatur dalam Permendikbud No. 6 Tahun 2021 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru - bisa menjadi langkah awal memutus siklus feodalisme pendidikan.

Pada level kebijakan, revisi UU Pendidikan Tinggi diperlukan untuk mempertegas otoritas Kemendiktisaintek. Kementerian teknis seharusnya berperan sebagai "pemangku kepentingan" yang memberikan masukan kebutuhan sektoral, bukan sebagai operator pendidikan. Model kolaborasi seperti di Belanda patut diadopsi, di mana akademi kepolisian tetap berada di bawah kementerian pendidikan tetapi kurikulumnya dirancang bersama kepolisian.

Dari sisi anggaran, konsolidasi dana pendidikan akan menciptakan efisiensi yang signifikan. Alih-alih tersebar di 179 perguruan tinggi kementerian, anggaran bisa dipusatkan untuk meningkatkan kualitas 50-60 perguruan tinggi negeri/swasta unggulan. Pengalaman integrasi 7 akademi pemerintah ke perguruan tinggi negeri pada tahun 2002 telah membuktikan hasil positif: dalam 5 tahun, akreditasinya naik dari B ke A.

Penguatan sistem sertifikasi kompetensi nasional juga menjadi keharusan. Daripada mengandalkan ijazah kedinasan yang bernuansa sektoral, lebih baik mengembangkan standar kompetensi nasional yang diakui semua sektor. Model pendidikan vokasi Jerman melalui sistem "dual education" bisa menjadi inspirasi dalam membangun mekanisme pengakuan kompetensi yang lebih fleksibel.

Pembenahan tata kelola menjadi prasyarat mutlak untuk mewujudkan transformasi ini. Rekomendasi OECD (2020) tentang perlunya badan independen yang mengawasi standar pendidikan tinggi secara nasional patut dipertimbangkan. Badan ini harus memiliki kewenangan penuh untuk mengevaluasi dan menertibkan perguruan tinggi, terlepas dari kementerian pembinanya.

Pada akhirnya, yang dibutuhkan adalah keberanian politik untuk melakukan reformasi struktural yang mendalam. Pendidikan tinggi adalah investasi strategis bangsa yang terlalu penting untuk dikotak-kotakkan oleh ego sektoral dan kepentingan jangka pendek. Dengan sistem yang terintegrasi, berkeadilan, dan berorientasi pada kebutuhan masa depan, Indonesia dapat menghasilkan sumber daya manusia unggul yang tidak hanya menguasai bidang spesifik, tetapi juga memiliki wawasan holistik dan kemampuan adaptasi tinggi. Inilah tantangan besar yang harus kita jawab bersama jika ingin pendidikan tinggi Indonesia benar-benar menjadi lokomotif kemajuan bangsa.

Sebagai penguji skripsi, mereka melakukan penilaian menyeluruh melalui pendekatan bertahap. Proses evaluasi dimulai dengan memeriksa elemen-elemen kunci yang menjadi indikator awal kualitas sebuah karya ilmiah. Berikut penjabaran mendetail mengenai aspek-aspek yang menjadi fokus penilaian:

1. Kelengkapan dan Kualitas Referensi

Daftar referensi merupakan cerminan dari kedalaman studi literatur yang dilakukan penulis. Penguji akan melihat apakah sumber-sumber yang digunakan mencakup karya-karya fundamental dalam bidang ilmu terkait. Referensi yang baik tidak hanya terbatas pada textbook, tetapi juga meliputi jurnal ilmiah terkini dan sumber-sumber primer lainnya. Keseimbangan antara sumber klasik dan kontemporer menjadi indikator bahwa penulis telah melakukan tinjauan literatur yang komprehensif.

Ilustrasi (Gambar : GeneratedAI)

Aspek teknis penyusunan referensi juga mendapat perhatian khusus. Konsistensi dalam format penulisan menunjukkan kedisiplinan akademik penulis. Penguji akan memeriksa apakah seluruh sitasi dalam teks sesuai dengan daftar referensi, serta apakah format penulisan mengikuti pedoman yang berlaku. Kesalahan dalam penulisan referensi seringkali mengindikasikan kelalaian dalam aspek-aspek lain yang lebih substantif.

Kualitas referensi juga dinilai dari relevansi dan otoritas sumber yang digunakan. Penguji akan memperhatikan apakah referensi yang dipilih benar-benar mendukung argumen dalam skripsi, atau sekadar menjadi hiasan belaka. Dominasi sumber-sumber sekunder yang tidak akademis, atau ketergantungan berlebihan pada satu dua sumber saja, dapat mengurangi kredibilitas karya ilmiah tersebut.

2. Presisi dan Relevansi Judul

Judul skripsi merupakan gerbang pertama yang membuka pemahaman terhadap keseluruhan penelitian. Sebuah judul yang baik harus mampu menggambarkan esensi penelitian secara tepat tanpa menjadi terlalu umum atau terlalu sempit. Penguji akan menilai apakah judul sudah mencerminkan variabel-variabel kunci yang diteliti serta konteks penelitian yang spesifik.

Kesesuaian antara judul dengan konten penelitian menjadi fokus evaluasi berikutnya. Tidak jarang ditemukan ketidakselarasan antara judul yang terlalu ambisius dengan pembahasan yang sebenarnya lebih terbatas. Judul yang ideal harus mampu menjadi "janji akademik" yang kemudian ditepati dalam pembahasan di seluruh bab skripsi.

Aspek kebaruan dan orisinalitas juga tercermin dalam pemilihan judul. Penguji akan melihat apakah judul sudah menunjukkan kontribusi unik dari penelitian tersebut terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Judul yang hanya mengulang penelitian-penelitian sebelumnya tanpa menawarkan perspektif baru cenderung kurang menarik secara akademik.

3. Kematangan Penyajian Abstrak

Abstrak yang baik berfungsi sebagai peta miniatur yang menggambarkan lanskap keseluruhan penelitian. Penguji akan mengevaluasi apakah abstrak sudah mencakup elemen-elemen penting seperti latar belakang, tujuan, metode, temuan, dan implikasi penelitian. Kelengkapan unsur-unsur ini menunjukkan kedewasaan penulis dalam menyajikan karya ilmiah.

Kejelasan ekspresi dan presisi bahasa dalam abstrak menjadi indikator kualitas berikutnya. Abstrak yang ditulis dengan kalimat-kalimat panjang dan berbelit-belit seringkali menyulitkan pemahaman. Sebaliknya, penyajian yang ringkas namun padat makna menunjukkan kemampuan penulis dalam mengkomunikasikan ide-ide kompleks secara efektif.

Konsistensi antara abstrak dengan isi skripsi merupakan aspek krusial yang selalu diperiksa. Tidak jarang ditemukan ketidaksesuaian antara klaim dalam abstrak dengan pembahasan mendetail di bab-bab berikutnya. Abstrak yang akurat harus mampu menjadi preview yang jujur terhadap keseluruhan isi skripsi.

4. Konsistensi Struktur dan Organisasi

Struktur skripsi yang terorganisir dengan baik memudahkan pembaca memahami alur pemikiran penulis. Penguji akan memeriksa apakah urutan bab dan subbab menunjukkan logika penelitian yang jelas, mulai dari perumusan masalah, landasan teori, metodologi, analisis, hingga simpulan. Jika struktur terlihat acak atau tidak sistematis, hal ini dapat mengindikasikan kelemahan dalam perencanaan penelitian.  

Selain kerangka besar, penguji juga memperhatikan konsistensi format penulisan. Apakah penomoran bab, subbab, dan gambar/tabel mengikuti pedoman yang berlaku? Apakah terdapat ketidakseragaman dalam penulisan heading, margin, atau spacing? Kesalahan kecil dalam format sering kali mencerminkan ketidaktelitian yang mungkin juga terjadi dalam analisis konten.  

Keseimbangan pembahasan antar-bab juga menjadi pertimbangan penting. Bab metodologi yang terlalu panjang tetapi analisis data yang dangkal, misalnya, menunjukkan ketimpangan dalam pengerjaan skripsi. Struktur yang ideal harus mencerminkan pembagian porsi yang proporsional sesuai bobot masing-masing komponen penelitian.  

5. Ketajaman Rumusan Masalah

Pertanyaan penelitian yang tajam dan terfokus menjadi tulang punggung sebuah skripsi. Penguji akan menilai apakah pertanyaan yang diajukan benar-benar muncul dari celah (gap) dalam literatur, bukan sekadar mengulang studi sebelumnya. Pertanyaan yang terlalu luas (misalnya, "Bagaimana pengaruh media sosial?") menunjukkan kurangnya kedalaman, sementara pertanyaan yang terlalu sempit dapat membatasi ruang analisis.  

Selain itu, penguji memeriksa kesesuaian antara pertanyaan penelitian dengan metode yang digunakan. Apakah pertanyaan bersifat kualitatif tetapi dijawab dengan survei kuantitatif? Apakah pertanyaan tentang "mengapa" hanya dijawab dengan deskripsi "apa"? Inkonsistensi semacam ini mengindikasikan kelemahan konseptual yang serius.  

Terakhir, pertanyaan penelitian harus mengarah pada temuan yang bermakna. Jika pertanyaan terlalu dangkal atau jawabannya sudah dapat diprediksi dari awal, skripsi tersebut kehilangan nilai akademisnya. Pertanyaan yang baik harus memicu eksplorasi mendalam dan memberikan kontribusi baru bagi bidang ilmu.  

6. Kekokohan Landasan Teoretis  

Kerangka teoretis berfungsi sebagai fondasi yang memperkuat bangunan argumen dalam skripsi. Penguji akan mengevaluasi apakah teori yang dipilih relevan dengan masalah penelitian dan apakah penulis benar-benar memahami konsep-konsep kunci. Penggunaan teori yang asal-asalan hanya untuk memenuhi syarat formalitas akan mudah terdeteksi.  

Visualisasi hubungan antar-variabel dalam model teoretis juga menjadi sorotan. Diagram yang tidak jelas, rancu, atau tidak sesuai dengan penjelasan tekstual menunjukkan kelemahan dalam perumusan konsep. Sebaliknya, kerangka yang dirancang dengan baik membantu pembaca memahami logika penelitian secara intuitif. 

Penguji juga melihat orisinalitas penerapan teori. Apakah penulis hanya menyalin mentah-mentah model dari literatur, atau mengembangkannya sesuai konteks penelitian? Skripsi yang berkualitas tidak hanya mengadopsi teori, tetapi juga menyesuaikan, mengkritik, atau bahkan mengusulkan modifikasi berdasarkan temuan empiris.  

7. Transparansi Proses Penelitian  

Lampiran yang lengkap dan terorganisir mencerminkan transparansi dalam pelaksanaan penelitian. Penguji akan memeriksa kelengkapan instrumen seperti kuesioner, panduan wawancara, atau lembar observasi. Jika data mentah tidak disertakan, sulit untuk mengevaluasi validitas analisis yang dilakukan.  

Konsistensi antara lampiran dan bab metodologi juga menjadi fokus penilaian. Apakah prosedur pengumpulan data yang dijelaskan dalam bab metode benar-benar tercermin dalam instrumen yang dilampirkan? Ketidaksesuaian di sini dapat menimbulkan keraguan terhadap keandalan seluruh penelitian.  

Terakhir, penguji memperhatikan etika penelitian yang tercermin dalam lampiran. Apakah terdapat bukti persetujuan etik (jika diperlukan), surat izin penelitian, atau pernyataan kerahasiaan informan? Kelalaian dalam dokumentasi etis dapat menjadi masalah serius, terutama untuk penelitian yang melibatkan subjek manusia.  

***

Proses penilaian skripsi tidak hanya menguji hasil akhir, tetapi juga merekonstruksi seluruh perjalanan penelitian. Dengan memeriksa ketujuh aspek di atas secara kritis, penguji dapat menentukan apakah skripsi tersebut memenuhi standar akademik sekaligus memberikan umpan balik yang membangun bagi perkembangan keilmuan penulis.

____________________

* Tulisan ini disadur dari SINI

Di tengah hiruk-pikuk politik Indonesia, ada satu fenomena yang kian menggeliat: obsesi pejabat terhadap gelar akademik. Mereka berlomba meraih doktor, bahkan mendadak mengejar titel profesor, seolah-olah itu adalah medali yang harus dikalungkan di dada. Padahal, tak sedikit dari mereka yang tak pernah sekalipun menginjak ruang kuliah sebagai pengajar.  

Ini bukan soal larangan bagi pejabat untuk menempuh pendidikan tinggi. Justru, idealnya, semakin terdidik seorang pemimpin, semakin baik kapasitasnya dalam memimpin. Tapi, pertanyaannya: apakah gelar-gelar itu benar-benar dibutuhkan untuk menjalankan tugasnya, atau sekadar jadi aksesori kekuasaan?  
Obral Honoris Causa (Ilustrasi/Ghraito Arip H.)

Lihatlah realitasnya. Banyak kepala daerah yang hanya bermodalkan ijazah SMA—bahkan ada yang lewat jalur kesetaraan—bisa menduduki kursi pemerintahan. Ironisnya, ketika mereka sudah berkuasa, tiba-tiba muncul hasrat untuk mengejar gelar doktor atau profesor. Seolah-olah gelar itu bisa menutupi minimnya kompetensi.  

Padahal, dalam dunia kerja biasa, syarat S1 sudah menjadi standar minimal. Bagaimana mungkin seseorang yang hanya lulus SMA bisa memimpin sebuah daerah, sementara rakyatnya sendiri dipaksa memenuhi kualifikasi pendidikan tinggi sekadar untuk jadi pegawai honorer?  

Persoalannya bukan sekadar gelar, melainkan relevansi. Jika seorang bupati atau gubernur ingin melanjutkan pendidikan, seharusnya ia memilih bidang yang memperkuat kapasitas kepemimpinannya—misalnya administrasi publik, kebijakan sosial, atau ekonomi pembangunan. Tapi yang terjadi? Ada yang mengambil doktor di bidang pendidikan agama Islam, padahal ia tak pernah sekalipun mengajar di madrasah.  

Apa gunanya? Apakah gelar itu akan membantunya merumuskan kebijakan tata kota, mengentaskan kemiskinan, atau meningkatkan pelayanan kesehatan? Atau jangan-jangan, ini hanya soal gengsi—sebuah upaya untuk mempercantik CV politik?  

Yang lebih memprihatinkan adalah gelincirnya etika akademik. Gelar profesor sejatinya adalah penghargaan bagi para dosen yang telah mendedikasikan hidupnya untuk mengajar dan meneliti. Bukan sekadar titel yang bisa dibeli atau diraih lewat koneksi. Tapi kini, jabatan akademik tertinggi itu diincar oleh pejabat yang tak pernah sekalipun memegang kapur tulis.  

Bagaimana mungkin seseorang bisa disebut profesor jika ia tak pernah membimbing mahasiswa, tak pernah meneliti dengan rigor, dan tak pernah berkontribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan?

Yang terjadi adalah komersialisasi gelar. Beberapa kampus, demi kepentingan politis atau finansial, rela membuka pintu lebar-lebar bagi pejabat yang ingin "instan" bergelar doktor atau profesor. Prosesnya dipersingkat, persyaratan dilonggarkan, dan tiba-tiba sang pejabat sudah bisa menyandang gelar mentereng tanpa pernah merasakan jerih payah akademik yang sesungguhnya.  

Ini bukan hanya merusak integritas pendidikan tinggi, tapi juga menciptakan preseden buruk. Jika gelar bisa dibeli dengan kekuasaan atau uang, lalu apa arti sebuah keahlian? Apa bedanya seorang profesor sejati yang menghabiskan puluhan tahun untuk riset, dengan pejabat yang tiba-tiba menyandang gelar serupa hanya karena ia punya akses?  

Dampaknya sudah terlihat. Publik mulai memandang sinis gelar akademik pejabat. Setiap kali ada menteri atau kepala daerah yang mengumumkan gelar barunya, yang muncul bukan apresiasi, melainkan kecurigaan: "Dapatnya dari mana?"  

Ini adalah krisis legitimasi. Gelar seharusnya menjadi penanda kompetensi, bukan sekadar hiasan nama. Ketika seorang pejabat lebih sibuk menumpuk gelar daripada membenahi kinerjanya, yang terjadi adalah disorientasi kepemimpinan.  

Lihatlah negara-negara dengan pemerintahan yang efektif. Para pemimpinnya tak perlu berkoar-koar tentang gelar doktor atau profesor. Mereka diukur dari kebijakan yang dibuat, dari dampak nyata yang dirasakan rakyat. Di Indonesia? Kita justru terjebak dalam fetisisme gelar - seolah olah deretan huruf di depan nama bisa menutupi kegagalan mengurus rakyat.  

Jika memang niatnya menuntut ilmu, mengapa tidak dilakukan sebelum menjabat? Kenapa harus menunggu sampai berkuasa baru tiba-tiba kuliah? Jangan-jangan, ini memang strategi pencitraan—sebuah upaya untuk memberi kesan "intelek" di mata publik.  

Dan celakanya, media sering terjebak dalam narasi ini. Setiap kali ada pejabat yang meraih gelar baru, pemberitaan seolah-olah mengukuhkannya sebagai sosok yang pantas dipuji. Padahal, pertanyaan kritisnya adalah: apa kontribusinya bagi ilmu pengetahuan? Apa relevansinya bagi jabatan yang diemban?  

Waktu dan energi yang seharusnya dipakai untuk menjalankan amanah rakyat, justru terkuras untuk mengejar gelar. Sementara masalah di daerah—kemiskinan, pengangguran, infrastruktur yang amburadul—terus menumpuk.  

Ini bukan hanya persoalan individual, melainkan sistemik. Ada mekanisme yang memungkinkan pejabat dengan mudah mendapatkan gelar tanpa melalui proses akademik yang ketat. Dan selama sistem ini dibiarkan, selama itu pula gelar akan menjadi komoditas, bukan penanda keahlian.  

Lalu, apa solusinya? Pertama, dunia akademik harus berani menolak praktik jual-beli gelar. Kampus bukanlah toko yang bisa memenuhi pesanan titel bagi siapa pun yang punya uang atau kuasa. Kedua, publik harus lebih kritis—tidak mudah terkesima oleh deretan gelar, tapi menuntut bukti nyata dari pemimpinnya.  

Terakhir, pejabat sendiri harus sadar. Gelar tidak otomatis membuatmu lebih kompeten. Jika ingin diakui sebagai pemimpin yang berkualitas, tunjukkan melalui kerja nyata, bukan melalui huruf-huruf di depan dan belakang nama.  

Kita tidak butuh pejabat yang bergelar mentereng tapi kebingungan saat dimintai solusi atau memberikan solusi yang tidak rasional seperti ide untuk memanfaatkan AI guna mengatasi banjir dan macet di kala lebaran. Kita butuh pemimpin yang mungkin sederhana ijazah dan gelarnya, tapi paham betul bagaimana mengurus rakyat.  

Gelar akademik seharusnya menjadi alat untuk memperkuat kapasitas, bukan topeng untuk menutupi ketidakmampuan. Jika tidak, ia hanya akan menjadi bagian dari teater kekuasaan—sebuah sandiwara yang diperagakan para pejabat untuk menipu rakyatnya sendiri.
Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • MENGUNGKAP NOVELTY DALAM KARYA ILMIAH: SKRIPSI, TESIS, DAN DISERTASI
  • PRAMUKA DAN HIZBUL WATHAN ; DUA SEPUPU PANDU YANG TAK LEKANG OLEH ZAMAN
  • 1 JAM YANG MENENTUKAN ; SEBUAH DIALOG TENTANG NARASI KEHIDUPAN
  • KAMUS [SERAPAN] BAHASA SANSKERTA - BAHASA INDONESIA

Ramadhan Bercerita

PARIWARA

PARIWARA

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar