Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami
Kalau hidup ini kayak naskah pidato pengukuhan guru besar, mungkin saya bakal bikin judul yang nggak biasa. Bukan tentang kapitalisme global atau sistem fiskal modern, tapi tentang “Teologi Uang sebagai Landasan Kebijakan Ekonomi Spiritual.” Ya, kedengarannya memang kayak campuran antara khutbah Jumat dan Rapat Komisi XI DPR, tapi sebenarnya ini judul yang serius tapi santai. Saya nggak bercanda. Saya serius mikir, kalau jadi guru besar, saya pengin ngomongin soal uang, tapi bukan sekadar uang di dompet. Uang yang sering dianggap benda mati padahal tiap harinya ngatur hidup orang. Uang yang bisa jadi ibadah, bisa juga jadi bencana. Uang yang kita anggap duniawi, padahal spiritualitasnya lebih tinggi dari harapan netizen pada giveaway TikTok.

Kita ini, mau diakui atau tidak, hidup dalam masyarakat yang ibadahnya diatur dompet. Mau umroh butuh duit. Mau nikah butuh mahar. Bahkan sedekah pun butuh transfer bank. Uang jadi sarana, tapi kadang juga jadi tujuan. Dan di titik itulah, saya merasa perlu untuk memperlakukan uang nggak cuma sebagai alat tukar atau simbol kekayaan, tapi sebagai entitas teologis. Bukan dalam arti disembah kayak dewa, tapi sebagai objek tafsir spiritual. Kalau orang bisa bikin “teologi penderitaan” atau “teologi pembebasan,” kenapa saya nggak bisa bikin “teologi uang”?
Ilustrasi Cover Naskah Pidato Guru Besar (Gambar : Bikinan Sendiri)
Saya tahu, ini pasti akan dianggap nyeleneh sama sebagian akademisi. Tapi bukankah justru ilmu itu lahir dari keisengan yang serius? Dulu siapa yang nyangka teori relativitas itu lahir dari orang yang bengong liat jam kereta? Nah, saya juga begitu. Aku sering banget bengong tiap habis narik uang di ATM, sambil mikir, “Apa dosa-dosa dompetku hari ini?” Dari situ saya kepikiran, bahwa uang nggak cuma berdampak ke ekonomi, tapi juga ke cara kita berdoa, mencintai, bahkan membenci.

Kita seringkali menilai moralitas orang dari cara dia pakai uang. Kalau dia dermawan, dibilang mulia. Kalau dia pelit, dibilang kikir. Tapi kita jarang tanya, kenapa dia pelit? Mungkin dia punya trauma masa kecil. Mungkin dia takut miskin. Atau mungkin dia pernah dikhianati orang yang dia pinjami uang. Dan di titik itulah, saya merasa uang bukan cuma soal angka, tapi soal iman, rasa aman, dan luka batin yang tidak ditanggung oleh saldo.

Saya nggak mau bikin pidato yang kayak baca jurnal. Saya maunya pidato yang kalau dibacain, orang-orang bisa bilang, “Iya ya, saya juga pernah ngerasain itu.” Karena buatku, jadi guru besar bukan cuma soal ngasih ilmu ke orang, tapi soal bikin orang merasa dimengerti. Maka dari itu, saya pengin ngebahas uang dari sisi yang lebih manusiawi, lebih spiritual, dan tentu saja, lebih filosofis.

Uang itu seperti mantan. Dikenang tapi bikin sakit hati. Dikejar malah menjauh. Disimpan terlalu lama malah bikin curiga. Tapi, di saat-saat terjepit, dia satu-satunya yang kita cari. Maka penting untuk punya pemahaman yang sehat tentang uang. Bukan cuma sehat secara ekonomi, tapi juga sehat secara rohani. Di sinilah aku merasa, perlu ada teologi uang. Supaya kita bisa berdamai dengan dompet sendiri.

Ada orang yang rajin banget ibadah tapi masih hobi ngemplang utang. Ada juga yang nggak pernah ke masjid tapi tiap bulan nyumbang ke panti asuhan. Kita sering bingung, mana yang lebih spiritual? Padahal bisa jadi dua-duanya sedang menjalani spiritualitas dengan cara masing-masing. Teologi uang ngajarin kita bahwa spiritualitas itu nggak selalu berbentuk ritual. Kadang berbentuk keputusan finansial yang bijak, adil, dan bertanggung jawab.

Waktu kecil, saya kira orang kaya itu pasti bahagia. Tapi setelah gede, saya baru sadar, banyak orang kaya yang hidupnya kayak kalkulator rusak—nggak pernah tenang karena terus dihitungin. Saya jadi mikir, jangan-jangan uang itu bukan sumber bahagia, tapi alat ukur rasa cukup. Nah, di titik inilah spiritualitas uang bekerja. Uang ngajarin kita bahwa hidup itu soal cukup, bukan soal banyak.

Kalau suatu saat nanti saya dikasih mimbar pidato pengukuhan, saya bakal cerita soal bagaimana uang bisa merusak ibadah. Ada orang yang salatnya lima waktu, tapi habis salat langsung ngitung fee korupsi. Ada juga yang kerja di judol, tiap hari ngitung uang haram, tapi selalu nyisihin rejeki buat orang tua. Hidup ini kompleks. Teologi uang ngajarin kita buat tidak gampang nge-judge orang cuma dari dompetnya.

Dalam dunia akademik, saya pengin bikin cabang keilmuan baru. Namanya, “Ekonomi Spiritual.” Isinya bukan cara cepat kaya menurut hadis, tapi lebih ke bagaimana orang bisa hidup damai secara finansial. Bukan sekadar bebas utang, tapi juga bebas dari rasa bersalah saat belanja. Ilmu ini akan menggabungkan ilmu ekonomi, psikologi keuangan, dan nilai-nilai spiritual. Kayak nasi magelangan: nasi, mie, telur, saos—berantakan tapi enak.

Teologi uang ini juga bisa dipakai untuk ngaji ulang hadis-hadis tentang harta. Bukan buat menjustifikasi kekayaan atau kemiskinan, tapi buat memahami konteks zaman dan rasa. Contohnya, kenapa Nabi bilang “tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah”? Jangan-jangan ini bukan sekadar anjuran buat dermawan, tapi juga tentang martabat manusia saat memberi dan menerima.

Saya juga pengin ngomongin soal mental budgeting umat. Gimana caranya supaya kita bisa beli kebutuhan, tanpa dikendalikan keinginan. Ini penting, karena kadang kita lebih takut saldo nol daripada hati kosong. Padahal, ketenangan hidup kadang datang bukan dari gaji, tapi dari rasa syukur yang diangsur tiap hari.

Di masyarakat, ada mitos bahwa orang religius itu nggak boleh cinta dunia. Tapi gimana caranya nggak cinta dunia kalau kita hidup di dunia? Nah, teologi uang ngajarin bahwa mencintai dunia itu sah, selama tahu batas dan arah. Uang bisa dipakai buat membangun masjid, tapi juga bisa dipakai buat nyewa buzzer. Jadi, soal niat dan tanggung jawab.

Saya juga kepikiran buat ngajarin anak-anak muda biar nggak gampang silau sama flexing. Di Instagram, semua orang keliatan kaya. Tapi di dunia nyata, banyak yang pusing bayar cicilan. Teologi uang ngajarin bahwa yang penting bukan tampilan, tapi ketahanan batin. Bisa tenang walau saldo tinggal lima belas ribu, itu ilmu tingkat dewa.

Penting juga ngomongin soal utang. Di kampus, nggak ada mata kuliah “Manajemen Utang dan Pertobatan Finansial.” Padahal ini masalah semua orang. Teologi uang bisa jadi jalan tengah buat ngajarin cara berutang yang sehat, dan cara memaafkan diri dari kesalahan finansial masa lalu. Karena kadang, kita lebih tega sama orang lain daripada sama dompet sendiri.

Saya tahu, teologi uang ini bakal jadi bahan tertawaan. Tapi bukankah semua ide besar dulu pernah diketawain? Dulu orang yang bilang bumi itu bulat dianggap gila. Sekarang yang gila justru yang percaya bumi datar. Jadi, saya sih bodo amat. Yang penting saya punya keyakinan bahwa uang bukan sekadar kertas atau angka, tapi juga cerita dan doa yang kita bisikkan dalam hati.

Uang itu seperti makhluk spiritual. Dia bisa mempertemukan orang, tapi juga bisa memisahkan. Bisa jadi sumber pahala, tapi juga sumber dosa. Bisa menyejukkan, bisa juga membakar. Maka dari itu, penting buat punya ilmu yang bisa bikin kita sadar bahwa setiap transaksi adalah ibadah kecil, dan setiap pengeluaran adalah bentuk cinta atau ego.

Kalau kamu tanya, kenapa saya milih nama “teologi uang”? Jawabannya sederhana. Karena terlalu banyak orang yang belajar ekonomi tapi nggak belajar empati. Terlalu banyak yang bisa ngitung bunga, tapi nggak bisa ngitung luka. Terlalu banyak yang tahu investasi, tapi nggak tahu introspeksi. Ilmu tanpa rasa itu kayak teh tanpa gula—pahit dan bikin males.

Saya juga pengin ngajak lembaga zakat dan bank syariah buat ikut diskusi. Biar nggak cuma ngomongin nisab dan riba, tapi juga soal rasa takut, cemas, dan harapan yang melekat pada uang. Supaya zakat bukan cuma angka yang dipotong, tapi jadi pengingat bahwa rezeki itu bukan soal kerja keras semata, tapi juga tentang belas kasih Tuhan dan rejeki orang lain yang dititipkan di dompet kita.

Dan akhirnya, saya cuma pengin bilang, jadi guru besar itu bukan soal gelar. Tapi soal keberanian untuk bercerita dari sudut yang tak biasa. Kalau orang lain bercerita soal pasar global, aku akan bercerita soal pasar tradisional. Kalau orang lain ngomongin kebijakan fiskal, saya akan ngomongin isi dompet emak-emak. Karena di situlah ilmu bertemu kenyataan. Di antara sisa kembalian dan doa dalam hati.

Jadi kalau nanti ada orang yang nanya, “Kok judul pidato pengukuhanmu aneh banget?” saya akan jawab dengan senyum, “Karena hidup ini lebih butuh pengertian spiritual tentang uang, daripada seminar investasi yang diakhiri dengan penawaran member platinum.”

Dan semoga saja, suatu hari nanti, dompet kita nggak cuma penuh isi, tapi juga penuh makna
Tinggal di Bengkulu itu rasanya seperti menjalin hubungan dengan mantan yang dulu pernah baik, penuh kenangan, tapi akhirnya kita tahu: ini bukan tempat untuk ambisi besar. Bukan karena Bengkulu tidak punya potensi, tapi karena ia terlalu sabar, terlalu tenang, terlalu ikhlas untuk dikejar-kejar target. Kau bisa betah di sini, asal tidak berharap menjadi pusat perhatian. Seperti mantan yang diam-diam masih mengingat ulang tahunmu, tapi tidak pernah lagi mengucapkannya secara langsung. Ia hadir, tapi tidak menuntut.

Setiap pagi, kota ini bangun dengan santai. Matahari muncul seperti enggan-enggan, lalu menerangi jalanan yang tidak pernah benar-benar macet. Di warung sarapan, obrolan masih soal harga sawit dan anak tetangga yang kerja di Jakarta. Semua terasa seperti kaset lama yang diputar ulang—nada yang sama, tapi tetap bikin nyaman. Tidak ada yang terburu-buru, tidak ada yang benar-benar gila kerja. Seperti hubungan yang sudah melewati masa-masa drama.
Ilustrasi menikmati sore di pantai di Bengkulu (Gambar : AI Generated)

Saya pindah ke Bengkulu sebelas tahun lalu. Awalnya hanya karena pekerjaan, tapi lama-lama saya betah seperti orang yang kejebak nostalgia. Bukan karena semuanya indah, justru karena kekurangannya bisa dipahami. Kota ini tidak menjual mimpi-mimpi palsu seperti kota besar. Dia hanya bilang: "Kalau kamu capek, duduklah sebentar di Pantai Panjang. Lihat laut. Jangan pikirin hidup terlalu keras."

Kalau ditanya apa yang paling saya suka dari Bengkulu, saya selalu jawab: diamnya. Ini kota yang tidak merasa perlu membuktikan dirinya ke siapa-siapa. Tidak ada ambisi menjadi seperti Yogyakarta atau Bandung. Dia tahu posisinya, dan dia tidak minder. Ada daya tarik yang lahir dari kelegaan itu—seperti mantan yang sudah move on tapi tetap bisa ngobrol baik-baik sama kita di warung kopi.

Orang bilang Bengkulu sepi. Saya tidak membantah. Tapi saya juga tidak akan menyebutnya membosankan. Karena kadang yang kita butuhkan bukan keramaian, tapi ruang untuk mendengar diri sendiri. Kota ini memberi itu. Ia menyediakan jeda. Memberi kita alasan untuk berhenti sejenak dari sibuk yang seringkali tidak jelas tujuannya.

Tentu, Bengkulu bukan tanpa kekurangan. Di beberapa titik, kota ini seperti lupa untuk berkembang. Beberapa proyek mangkrak, beberapa gedung dibiarkan jadi rumah laba-laba. Tapi seperti mantan yang kita tahu tidak sempurna, kita tetap menyukainya karena ia membuat kita merasa cukup. Bukan karena tidak bisa dapat yang lebih baik, tapi karena tahu: tenang juga adalah bentuk bahagia.

Saya suka jalan menelusuri sore di kota ini. Melewati jalan danau dendam tak sudah yang pinggirnya sawah, atau menyusuri kawasan tepi pantai malabero yang seperti tidak pernah kehabisan senja. Di Jakarta, ini semua pasti sudah dipagari dan dikomersilkan. Di sini, laut tetap milik siapa saja yang ingin diam di hadapannya tanpa harus bayar parkir mahal. Seperti mantan yang tetap menyisakan playlist Spotify bersama, walau hubungan sudah tamat.

Ada rasa aman di Bengkulu yang sulit dijelaskan. Bukan aman dari kejahatan, tapi aman secara batin. Aman untuk merasa gagal. Aman untuk jadi orang biasa. Aman untuk tidak keren-keren amat. Ini kota yang tidak akan mengolok-olokmu kalau kamu belum punya rumah. Tidak akan mengejekmu kalau masih pakai motor butut. Ia menerima, tanpa komentar.

Pernah satu kali saya iseng jalan-jalan malam ke Simpang Lima dan berputar ke kawasan Stadion Semarak saat musim durian. Suasananya seperti nonton konser band indie yang lupa dipromosikan. Lampu-lampu ada, suara-suara juga terdengar, tapi tidak ada desakan. Semua orang duduk, ngobrol, sambil menikmati buah durian fresh langsung dari kebun yang dijajakan para penjual di pinggir jalan. Tidak ada yang merasa perlu kelihatan paling keren. Saya duduk di situ cukup lama, hanya untuk menikmati absurditas: kota ini benar-benar tidak berusaha jadi sesuatu.

Dan mungkin itu yang bikin Bengkulu terasa tulus. Karena ia tidak berakting. Tidak mencoba meniru. Tidak ingin jadi viral. Ia cukup dengan apa adanya. Seperti mantan yang tidak lagi berusaha terlihat bahagia di media sosial, tapi kamu tahu dari caranya senyum: dia damai. Ada kedewasaan yang tidak bisa dibeli di toko, hanya bisa ditempa oleh waktu dan penerimaan.

Anak-anak muda di sini juga punya cita-cita. Tapi mereka tahu, lari terlalu cepat bisa bikin kepleset. Mereka belajar bersiasat, tidak memaksa. Menggelar lapak kecil, bikin konten, jualan kopi atau seblak. Saya lihat semangat itu tumbuh, pelan-pelan. Tidak seperti startup di kota besar yang dibakar investor. Di sini, bara kecil dirawat dengan napas panjang.

Kadang saya berpikir, Bengkulu tidak akan pernah jadi kota tujuan. Ia akan tetap jadi kota persinggahan. Tempat orang datang untuk belajar tenang, lalu pergi ketika sudah rindu hiruk-pikuk. Tapi justru karena itu ia jadi penting. Seperti mantan yang dulu membuatmu sadar: tidak semua cinta harus berujung pesta pernikahan. Ada yang cukup tinggal di hati.

Bengkulu punya laut, punya kopi, punya pendap, punya cerita-cerita tua tentang Soekarno yang dibuang tapi malah jatuh cinta. Tapi yang paling dia punya adalah ruang. Ruang untuk diam. Ruang untuk pulih. Ruang untuk jadi manusia yang tidak diukur dari seberapa sering nongol di Instagram explore. Ini kota yang memanusiakan manusia dengan cara yang sangat sederhana.

Saya tahu tidak semua orang cocok tinggal di sini. Ada yang akan gelisah karena terlalu sepi. Ada yang merasa mandek karena ritme yang lambat. Tapi buat saya, ini bukan soal cocok atau tidak. Ini soal apa yang kita cari dalam hidup. Kalau yang kamu cari adalah ruang untuk berpikir ulang, Bengkulu menyediakan itu, dengan senyuman yang tidak memaksa.

Saya pernah berpikir akan meninggalkan kota ini. Tapi setiap kali saya coba membayangkannya, selalu ada yang menahan. Mungkin bukan kota ini, tapi rasa damai yang dia tawarkan. Rasa yang sulit dicari di tempat lain. Rasa yang seperti pelukan lama—hangat tapi tidak posesif.

Bengkulu, pada akhirnya, adalah tempat yang tidak akan membuatmu jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi jika kau beri waktu, ia akan merayap perlahan ke hatimu. Seperti lagu lama yang baru terasa indah setelah berkali-kali didengar. Ia tidak mencolok, tapi menetap. Dan itu, bagi saya, lebih dari cukup.

Tiga bulan belakangan ini, lini masa media sosial lagi ramai membahas soal dugaan ijazah palsu mantan presiden. Kasusnya bukan main-main, saking panasnya sampai menyeret kampus almamaternya dan juga mantan dosen pembimbingnya ke permukaan. Orang-orang yang dulu kerjaannya cuma jadi pengamat politik dadakan, sekarang jadi pengamat akademik dadakan. Semua ikut komentar. Dan seperti biasa, grup WhatsApp keluarga pun tak ketinggalan. Dari yang cuma ngerti ijazah SD sampai profesor beneran, semua ikut nimbrung.

Yang bikin heboh bukan cuma dugaan ijazah palsunya, tapi juga pernyataan dari sang dosen pembimbing yang bilang kalau dia tuh sebenarnya nggak pernah lihat ijazah si mahasiswa itu. Lah, kok bisa? Ternyata setelah ditelisik lebih dalam, oh, rupanya beliau bukan dosen pembimbing skripsi, tapi dosen pembimbing akademik. Wah, ini mah beda fungsi. Beda jalur.

Ilustrasi jenis-jenis dosen pembimbing di kampus (Gambar : AI Generated)

Nah, dari sini saya jadi kepikiran. Banyak orang di luar dunia kampus tuh sering salah paham. Kirain dosen pembimbing itu ya cuma satu: dosen pembimbing skripsi. Padahal kalau kita gali lebih dalam, jenis-jenis dosen pembimbing itu banyak, Bung! Kayak menu warteg, ada macam-macam. Dan tiap jenis punya fungsi dan gaya masing-masing.

Mari kita mulai dari dosen pembimbing akademik. Ini adalah dosen yang biasanya kita dapat di awal semester kuliah. Tugasnya sebenarnya simpel: mendampingi mahasiswa secara akademik. Tapi realitanya? Kadang cuma ketemu pas awal semester buat tanda tangan KRS, habis itu raib seperti mantan yang mendadak nggak bisa dihubungi. Tapi jangan salah, dosen jenis ini sangat penting. Kalau kamu punya masalah akademik, seperti bingung milih mata kuliah, IP turun drastis, atau mau cuti kuliah, ya ke beliau inilah kamu seharusnya datang.

Walau begitu, banyak mahasiswa yang bahkan nggak tahu siapa dosen pembimbing akademiknya. Bukan karena lupa, tapi karena saking jarangnya komunikasi. Bahkan kadang dosennya sendiri juga nggak tahu siapa saja mahasiswa bimbingannya. Ini hubungan akademik yang misterius. Ada, tapi seperti tidak ada.

Jenis kedua adalah dosen pembimbing PKM alias Program Kreativitas Mahasiswa. Nah, ini biasanya muncul di pertengahan masa kuliah. Ketika mahasiswa mulai tertarik ikut kompetisi dan ingin nambah poin buat sertifikat. Dosen pembimbing PKM ini biasanya harus sabar. Karena mahasiswa kadang bikin proposalnya mepet deadline, minta tanda tangan pas udah tengah malam, dan suka berubah-ubah topik. Tapi kalau tim PKM-nya menang, yang senang juga dosennya. Dosen langsung auto bangga seolah-olah itu ide dia.

Dosen pembimbing PKM ini kadang jadi semacam penasehat bisnis. Mahasiswa bikin produk minuman dari kulit pisang, atau bikin aplikasi pencari jodoh berbasis syariah, dan dosennya harus kasih masukan seolah-olah ini produk masa depan. Padahal dalam hati mungkin dosennya mikir, "Lah ini kok rasanya kayak MLM ya..."

Lanjut ke dosen pembimbing KKN alias Kuliah Kerja Nyata. Ini adalah dosen yang mendampingi mahasiswa saat mereka turun ke lapangan, hidup di desa, dan pura-pura jadi agen perubahan. Dosen KKN ini biasanya keliling dari satu lokasi ke lokasi lain buat sidak. Tapi ada juga yang cukup lewat Zoom, tanya kabar, terus bilang, "Yang penting jaga nama baik kampus ya, Nak."

Menjadi dosen pembimbing KKN itu kadang mengharukan. Mereka melihat mahasiswa yang awalnya nggak bisa bangun pagi, tiba-tiba jadi rajin ikut gotong royong. Mahasiswa yang biasanya cuma bisa ngopi di burjo, sekarang bisa jadi pemateri pelatihan ibu-ibu PKK. Momen ini kadang bikin dosennya terharu, walau tetap waswas takut tiba-tiba ada laporan keributan gara-gara rebutan sinyal WiFi desa.

Yang nggak kalah seru adalah dosen pembimbing magang. Ini adalah dosen yang tugasnya mendampingi mahasiswa yang sedang praktik kerja di perusahaan, kantor pemerintahan, atau lembaga lainnya. Biasanya dosen ini akan jadi penghubung antara kampus dan tempat magang. Tapi, kadang juga jadi pelampiasan curhat mahasiswa yang stres gara-gara disuruh fotokopi seharian.

Dosen pembimbing magang ini punya tugas yang rumit. Mereka harus memastikan mahasiswa mendapatkan pengalaman yang bermanfaat, tapi juga harus tahan dengar laporan mahasiswa yang bilang, "Bu, saya merasa magangnya nggak sesuai jurusan." Belum lagi kalau mahasiswa-nya magang di luar kota, dosennya kadang cuma bisa berharap laporan magangnya beneran ditulis sendiri, bukan hasil copas dari kakak tingkat.

Nah, ini dia jenis dosen yang paling legendaris: dosen pembimbing skripsi. Dosen inilah yang paling menentukan nasib mahasiswa di akhir masa studinya. Baik buruknya hubungan mahasiswa dengan dosen ini bisa jadi penentu apakah mahasiswa lulus tepat waktu atau jadi warga kampus abadi. Hubungan ini seperti pacaran jangka panjang. Ada suka, ada duka, ada ghosting juga.

Dosen pembimbing skripsi itu ada macam-macam gayanya. Ada yang teliti banget sampai typo koma saja dikoreksi. Ada juga yang santai, yang penting kamu submit aja dulu. Ada yang susah ditemui karena sibuk seminar, dan ada yang gampang ditemui tapi jawabannya suka bikin emosi, "Coba kamu pikirkan lagi ya," tanpa penjelasan tambahan.

Namun, ada juga dosen pembimbing yang levelnya di atas semua itu. Dosen pembimbing spiritual sekaligus motivator. Biasanya dosen seperti ini akan bilang hal-hal yang menyentuh hati, kayak, "Kamu jangan menyerah. Semua orang punya waktunya sendiri." Atau, "Ingat Nak, skripsi itu bukan soal pintar, tapi soal niat dan konsistensi." Dosen model begini bikin mahasiswa merasa didukung dan dihargai. Seolah-olah mereka punya coach pribadi dalam hidup.

Dosen motivator ini biasanya juga jadi tempat curhat. Mahasiswa cerita soal pacar, soal keluarga, bahkan soal hidup yang terasa berat. Dan hebatnya, dosen ini bisa menanggapi dengan sabar. Bahkan kadang kasih nasihat sambil nyeduh teh. Mahasiswa pulang dari bimbingan bukan cuma dapat revisi, tapi juga semangat baru.

Di sisi lain, tidak sedikit juga dosen pembimbing yang jadi momok. Yang kalau ketemu rasanya kayak diinterogasi KPK. Mahasiswa jadi gugup, ngomong terbata-bata, dan pulang bimbingan dengan mental koyak. Tapi ya, di balik kerasnya itu, kadang niatnya baik. Cuma ekspresinya saja yang kelihatan seperti baru kehilangan saham.

Kalau dipikir-pikir, semua jenis dosen pembimbing itu punya peran masing-masing. Ada yang tugasnya administratif, ada yang akademik, ada yang sosial, dan ada yang emosional. Masing-masing punya caranya sendiri dalam mendampingi mahasiswa. Dan semua sama pentingnya. Tanpa mereka, mahasiswa bisa tersesat seperti guling hilang di kosan berantakan.

Yang sering jadi masalah adalah ketika mahasiswa sendiri nggak tahu harus ke dosen yang mana untuk urusan tertentu. Ujung-ujungnya semua dilempar ke dosen pembimbing skripsi, padahal belum tentu itu wewenangnya. Maka dari itu, edukasi soal fungsi masing-masing dosen pembimbing ini penting. Biar nggak salah sasaran.

Tentu, idealnya semua dosen pembimbing punya waktu dan energi untuk membimbing mahasiswa dengan sepenuh hati. Tapi kita juga harus ingat, dosen juga manusia. Mereka punya urusan, punya beban kerja, bahkan punya masalah hidup. Jadi kadang, kalau balas email atau WhatsApp mahasiswa agak lama, ya mohon dimaklumi.

Hubungan antara mahasiswa dan dosen pembimbing itu unik. Kadang seperti anak dan orang tua, kadang seperti bos dan anak buah, kadang juga seperti teman seperjuangan. Tapi apapun bentuknya, kalau dijalani dengan saling pengertian, hasilnya pasti baik. Walaupun skripsi tetap direvisi tiga kali.

Di tengah ramainya kabar soal dugaan ijazah palsu dan dosen pembimbing yang merasa tidak pernah membimbing, kita jadi diingatkan bahwa peran dosen itu tidak bisa digeneralisasi. Ada banyak jenis, banyak bentuk, dan banyak cara. Tidak bisa disamaratakan.

Jadi, kalau kamu mahasiswa dan belum tahu siapa dosen pembimbingmu, coba deh cari tahu. Jangan-jangan dia udah nunggu kamu dari semester lalu. Dan kalau kamu dosen, semoga sabar dan kuat mendampingi mahasiswa yang kadang suka hilang lalu muncul pas akhir semester bawa revisi dadakan.

Karena di kampus, hubungan paling krusial bukan cuma dengan pacar. Tapi juga dengan dosen pembimbing. Mereka lah yang akan menentukan, apakah kamu lulus dengan senyum, atau lulus dengan drama dan air mata.

Begitulah hidup. Bahkan untuk urusan akademik pun, kita tetap butuh pembimbing. Karena sejatinya, manusia memang tidak ditakdirkan berjalan sendiri.


Kemarin sore, udara Bengkulu masih mengandung sisa-sisa panas dari matahari yang seharian tak mau berkompromi. Saya melangkah keluar dari gedung pertemuan, hasil workshop kawan-kawan aktivis lingkungan masih bergema di kepala. Hari itu, saya memang sengaja tidak membawa kendaraan. Bukan karena ingin bergaya hemat, tapi lebih ke alasan efisiensi yang kini terasa semakin relevan. Di tengah krisis BBM, antrean motor dan mobil mengular sampai ke mulut jalan. Daripada harus ikut mengantre lima jam hanya demi 5 liter bensin, lebih baik saya minta istri yang menjemput anak—sementara saya memesan ojek online saja.

Pengemudi ojol yang datang sore itu mengenakan jaket hijau lusuh yang warnanya mulai pudar. Helmnya ada dua: satu untuk dia, satu untuk saya. Kami menyusuri jalan utama kota Bengkulu yang kini menjadi semacam lorong bensin. Di kiri-kanan jalan, SPBU disesaki motor. Dalam kondisi seperti itu, saya rasa, mengobrol lebih baik daripada mengutuk jalanan.
Ilustrasi Ojol dan Penumpang (Gambar : AI Generated)

Saya mulai dengan pertanyaan ringan: sudah antre berapa jam hari ini? Dia tersenyum miris, “Tadi pagi lima jam, Pak. Itu pun cuma dapat tiga liter.” Saya mengangguk, pura-pura tidak kaget. Walau dalam hati saya tetap bertanya-tanya, bagaimana orang seperti dia bisa tetap tersenyum dalam tekanan seperti itu? Mungkin karena sudah terbiasa, atau mungkin karena dalam hidupnya, senyum adalah salah satu bentuk perlawanan.

Obrolan kami lalu mengalir. Ia mulai bercerita tentang rekan-rekannya sesama pengemudi ojol yang kini sebagian sudah pindah kerja karena keadaan kelangkaan BBM saat ini. Ada yang jadi pedagang bensin eceran, ada yang jadi joki pengunjal bensin (tukang beli bensin dengan kendaraan, lalu dijual ke pengecer dengan harga tinggi). “Yang penting gak nganggur, Pak,” katanya. Saya diam sejenak. Ada kebenaran sederhana yang terasa begitu kuat dari kalimat itu. Karena dalam hidup, kadang yang kita butuhkan bukan jabatan, tapi keberanian untuk terus bergerak.

Lalu ia bertanya saya kerja di mana. Saya jawab singkat, “Ngajar di kampus.” Ia tampak tertarik. Lalu bertanya di program studi apa. Saya bilang di manajemen. Saat itu saya mulai merasa bahwa pengemudi ini bukan pengemudi biasa. Ada ketertarikan yang khas dalam pertanyaannya. Dia tahu istilah akademik. Tahu bahwa manajemen bukan sekadar mengelola orang, tapi juga mengelola kemungkinan.

Dan seperti mendapat bahan bakar baru, ia pun mulai menyodorkan pertanyaan demi pertanyaan soal manajemen. Tentang kepemimpinan, tentang bagaimana orang bisa tahu arah kalau tidak ada peta, tentang mengapa strategi tak selalu berhasil. Saya menjawab semampu saya. Kadang serius, kadang dengan contoh dari kehidupan pribadi saya. Salah satunya tentang bagaimana saya membangun sistem kecil di keluarga.

Saya ceritakan padanya, bahwa saya percaya sistem itu bukan hanya milik perusahaan besar. Di keluarga kecil saya, kami punya sistem keuangan, sistem waktu belajar anak, sistem darurat kalau saya tiba-tiba harus absen selamanya. Karena saya percaya, manajemen bukan teori. Ia adalah cara menyusun hidup supaya tidak kacau ketika guncangan datang tiba-tiba.

Saya tambahkan, bahwa kalau sistem itu bagus, maka orangnya bisa diganti, tapi kerja tetap jalan. Dan dalam hal ini, seorang gubernur atau walikota mestinya tidak sibuk tampil di televisi atau media sosial. Ia mestinya sibuk merancang sistem. Agar ketika dia lengser, rakyat tetap bisa menikmati hasil kerja, bukan cuma kenangan foto bersama.

Ia mengangguk, entah benar-benar paham atau hanya sopan. Tapi saya lanjutkan, karena momentum percakapan itu terlalu sayang untuk dilewatkan. Ia lantas bertanya mengaitkannya dengan politik. Di Bengkulu, warganya ini sangat tertarik dengan obrolan politik. Bahkan mungkin 70% obrolan warung kopi topiknya soal politik. Inilah kenapa Bengkulu ini beda dengan yang lain.

Saya katakan bahwa dalam politik, sistem itu sering kalah oleh popularitas. Karena sistem tidak bisa dijual cepat. Ia tidak memukau. Ia bekerja diam-diam, di balik layar.

Saya lalu mencontohkan Anies Baswedan. Saat ia memimpin Jakarta, banyak yang mengkritiknya tidak “kelihatan kerja.” Padahal, ia sedang membuat sistem transportasi bernama Jaklingko. Sistem itu tidak menggantungkan diri pada satu operator, tapi menyambungkan berbagai moda dan tarif dalam satu integrasi. Itu bukan ide populer. Tapi lima tahun kemudian, orang baru sadar bahwa sistem itu menyelamatkan banyak orang dari keruwetan harian.

“Kalau gubernur Bengkulu sekarang gimana, Pak?” tiba-tiba dia bertanya. Saya tertawa kecil. Saya jawab, “Saya bukan komentator politik.” Tapi ia terus mendesak. Katanya, “Saya ingin tahu dari sisi manajemen. Kan sudah seratus hari kerja, tapi belum terasa sistemnya.” Pertanyaan itu menohok, tapi juga jujur. Saya tidak bisa menolaknya.

Saya lalu menjelaskan bahwa seratus hari bukan waktu yang cukup untuk membangun sistem. Tapi cukup untuk menunjukkan arah. Kalau sampai seratus hari rakyat tidak bisa menebak arah ke mana kepemimpinan ini akan dibawa, maka itu masalah manajerial. Karena seorang pemimpin yang baik adalah seorang komunikator sistem.

Saya tidak menjawab apakah gubernur sekarang baik atau tidak. Saya lebih suka menunjukkan bahwa ukuran keberhasilan bukan pada pidato atau trending di Media Sosial, tapi pada apakah rakyat bisa hidup lebih mudah. Kalau antre BBM tetap lima jam, maka itu tanda sistem distribusi belum berubah.

Ia mengangguk lagi. Kali ini lebih dalam. “Berarti jadi gubernur itu kayak manajer ya, Pak?” Saya jawab, “Ya. Tapi lebih rumit, karena stakeholder-nya banyak, dan ekspektasinya liar.” Ia tertawa. Saya pun ikut tertawa. Tawa dua orang di atas motor, di tengah jalan yang padat kendaraan yang sedang mengantre, terasa seperti jeda dari peliknya hidup.

Saya tahu, pengemudi ini tidak sedang bercanda. Ia serius ingin tahu. Mungkin karena ia juga pernah kuliah. Mungkin karena ia sedang mencari arah baru dalam hidup. Atau bisa jadi, karena hidup telah mengajarkannya bahwa ilmu tidak hanya milik mereka yang di balik meja.

Kami tiba di depan rumah. Saya turun dari motor, mengembalikan helm. Ia tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Saya pun mengangguk, mengucapkan doa dalam hati: semoga sistem dalam hidupnya terus menguat. Karena dalam dunia yang tak menentu ini, sistem adalah satu-satunya jaring pengaman.

Saat saya masuk rumah, obrolan tadi masih membekas. Saya berpikir, mungkin seharusnya kita semua belajar manajemen. Bukan untuk jadi manajer perusahaan, tapi untuk jadi manajer hidup. Supaya kita tidak tenggelam dalam kekacauan yang kita ciptakan sendiri.

Saya jadi teringat mahasiswa-mahasiswa saya. Mereka sering bertanya, “Pak, kalau nanti saya tidak kerja di kantor, apa gunanya belajar manajemen?” Sekarang saya tahu jawaban terbaiknya: karena hidupmu sendiri adalah perusahaan terpenting yang akan kamu kelola seumur hidupmu.

Jadi, jika suatu hari kamu jadi sopir, guru, kepala dusun, atau bahkan hanya kepala dapur, jangan minder. Selama kamu tahu cara mengatur, menyusun, dan membenahi, kamu sudah menjalankan peranmu sebagai manajer. Dan itu sudah cukup mulia.

Saya tidak tahu latar belakang pengemudi tadi. Tapi saya tahu, ia telah membuat saya menulis ini. Ia telah mengingatkan saya bahwa ilmu bukan untuk digantung di dinding, tapi untuk dijalani dalam keseharian.

Maka saya percaya, selama masih ada orang seperti dia, negeri ini tidak akan benar-benar kehilangan arah. Karena harapan tak selalu lahir dari kantor gubernur. Kadang, harapan itu datang dalam bentuk tukang ojol, di tengah sore yang panas, dengan dua helm dan sejuta cerita.
Di Jakarta, orang ribut karena laut ditimbun-timbun. Alasannya macam-macam, mulai dari ancaman lingkungan, rusaknya ekosistem, sampai kekhawatiran tentang siapa yang bakal menikmati hasil reklamasi itu. Sebagian khawatir kalau daratan baru itu nanti akan jadi milik segelintir orang kaya yang bisa beli pulau seharga dua mobil Pajero. Sementara rakyat jelata cuma bisa menikmati laut dari jendela bus Transjakarta, sambil ngelus dada. Tapi itu Jakarta, tempat segala hal bisa jadi polemik nasional.

Sementara itu, di Bengkulu, kondisinya agak nyeleneh. Kalau di Jakarta orang khawatir laut ditimbun, di Bengkulu justru lautnya semakin timbul sendiri. Bukan karena pembangunan, tapi karena pendangkalan. Alur laut Pulau Baai pelan-pelan mulai berubah nasibnya, dari jalur logistik menjadi semacam kolam rendam berpasir. Kapal-kapal pengangkut BBM pun mendadak merasa seperti sedang main sand castle di pantai.

Di tengah hiruk-pikuk orang Jakarta yang khawatir lautnya menyusut, Bengkulu malah sibuk memikirkan gimana caranya supaya lautnya bisa sedikit lebih dalam. Ini ironi yang sebetulnya enak buat dibikin meme. Tapi karena kita bukan bangsa pememe, ya akhirnya cuma bisa jadi bahan obrolan sambil ngopi di warung. Orang sini kalau bahas soal pendangkalan alur laut nadanya udah kayak ngomongin mantan yang gak move on-move on.
Ilustrasi Pengerukan Pasir (Gambar : AI Generated)

Kalau dibiarkan terus, nanti kapal-kapal Pertamina bisa nyangkut beneran di tengah laut, nunggu pasang. Lucunya, kita bukan marah sama laut, tapi malah maklum. “Namanya juga laut,” kata orang. Seolah laut itu semacam manusia yang bisa salah jalan gara-gara kurang tidur.

Yang membuat geli, untuk urusan ini, kita justru mesti bayar kapal keruk buat bantu ngambil pasir yang bikin alur laut jadi dangkal. Padahal di tempat lain, kapal-kapal pengangkut pasir justru diusir. Di Bangka, misalnya. Kapal keruk datang, masyarakat demo. Di Bengkulu, kapal keruk datang, masyarakat malah kasih kopi. Aneh, tapi nyata.

Harusnya, pasir laut yang bikin susah ini malah bisa jadi peluang. Bayangkan, kalau kita bisa kelola hasil kerukannya, bisa saja jadi pemasukan daerah. Tak usah jauh-jauh dipikirkan untuk ekspor ke luar negeri dulu. Dijual ke proyek-proyek lokal pun udah lumayan. Hitung-hitung bantu pembiayaan perbaikan jalan yang lubangnya sudah seperti danau mini.

Tapi ya itu, kadang kita ini terlalu baik. Pasir laut yang jelas-jelas bisa dijual, malah kita perlakukan seperti masalah. Kita bayar orang untuk mengambilnya, bukan untuk membeli. Ini kalau ibarat makan, seperti beli nasi uduk tapi yang dibayar tukang nasinya biar mau diambil.

Ada juga yang bilang, mungkin karena belum ada perda yang ngatur soal pengelolaan hasil pengerukan pasir laut. Maka dari itu, niat baik pun sering kali mandek di tengah jalan. Bukan karena gak ada kemauan, tapi karena terlalu banyak prosedur yang harus dicium dulu. Belum lagi soal siapa yang boleh mengelola, siapa yang nanti ambil untung, dan siapa yang bisa bikin proposal dengan kop surat berwarna.

Sementara menunggu itu semua dibereskan, kapal-kapal besar yang mau sandar di Pelabuhan Pulau Baai hanya bisa melongo. Mereka tahu, semakin dangkal alurnya, semakin besar kemungkinan mereka harus balik kanan. Sudah rugi waktu, rugi BBM, rugi marwah juga. Kapal sebesar itu, masa nyangkut di dasar laut kayak ember tua.

Kondisi ini bukan cuma merugikan Pertamina, tapi juga bikin masyarakat Bengkulu menanggung dampaknya. BBM makin langka. Antrian di SPBU makin panjang. Orang yang biasanya ngopi pagi di warung, sekarang pagi-pagi sudah berdiri di depan motor, meratap. Bensin tinggal satu bar, tapi SPBU antrinya satu kilometer.

Sekarang, kalau ada yang bilang Indonesia itu kaya pasir, saya setuju. Tapi kalau orang Jakarta kaya pasir karena proyek reklamasi, Bengkulu kaya pasir karena lautnya memang sedang berubah jadi taman pasir. Ini kaya yang bikin bangkrut. Kaya yang bikin kapal ogah datang. Kaya yang bikin gubernur bingung cari cara.

Ironi ini makin kentara kalau kita lihat potensi yang terbuang. Pasir yang bisa dijual, malah dibuang. Dana yang bisa masuk, malah bocor. Masyarakat yang bisa untung, malah buntung. Kalau ini terus terjadi, jangan salahkan kalau nanti ada yang minta pisah dari NKRI karena merasa dianaktirikan—tentu ini cuma satire, jangan baper.

Maka, perlu cara pandang yang agak nyentrik. Jangan selalu lihat pasir laut itu sebagai biang kerok. Kadang, biang kerok itulah yang bisa jadi penyelamat. Asal dikelola dengan benar, hasil kerukan itu bisa jadi penyambung hidup. Minimal bisa mengurangi beban APBD yang selama ini kerja keras cuma buat nutupi jalan bolong.

Bahkan kalau perlu, kita bisa belajar dari Singapura yang beli pasir dari mana-mana buat tambah daratan. Kita, yang punya pasir melimpah, malah bingung sendiri. Ini seperti orang yang punya kebun durian, tapi tiap hari sarapan gorengan. Bukan karena gak suka durian, tapi karena gak tahu cara manjat pohon.

Padahal kalau mau jujur, potensi Bengkulu ini luar biasa. Lautnya indah, hasil buminya lumayan, dan sekarang, pasirnya pun banyak. Tinggal butuh keberanian untuk bilang: “Kita bisa.” Sayangnya, keberanian itu sering terhalang oleh ketakutan dikira korupsi. Kadang, niat baik bisa tampak jahat kalau prosedurnya belum dilengkapi.

Sudah waktunya Bengkulu ambil langkah maju. Tak perlu menunggu komando dari pusat. Kalau menunggu terus, bisa-bisa nanti kapal Pertamina datang bukan bawa BBM, tapi bawa nasi kotak buat rapat koordinasi. Kita terlalu sering mengadakan rapat, padahal yang kita butuh cuma satu: tindakan.

Kalau proyek pengerukan ini bisa dibereskan, dampaknya bisa luar biasa. BBM bisa kembali lancar. Logistik bisa jalan lagi. Pendapatan daerah naik. Dan yang terpenting: masyarakat bisa kembali hidup tanpa harus begadang antri bensin.

Harusnya kita bangga punya laut yang masih bisa dikeruk. Daripada punya gunung yang tinggal nama. Daripada punya jalan yang tinggal lubang. Daripada punya SPBU yang isinya cuma papan bertuliskan: “BBM Habis.”

Tapi tentu semua itu butuh keseriusan. Pemerintah daerah harus bisa jadi pelopor. Tak cukup hanya dengan lempar pernyataan di media. Harus ada tindakan nyata. Entah itu menggandeng swasta, atau mendirikan BUMD yang khusus mengelola pasir laut.

Bayangkan, betapa bahagianya nelayan, sopir truk, tukang parkir, sampai mahasiswa jika kapal BBM kembali bisa sandar tanpa drama. Tak perlu lagi susah payah cari bensin eceran harga dua puluh ribu. Tak perlu lagi bangun subuh cuma untuk antri. Semua kembali normal, semua kembali wajar. Semua berawal dari: mengelola pasir.

Saya percaya, dari pasir pun kita bisa bangkit. Kita ini bangsa besar, yang sering jatuh bukan karena kurang sumber daya, tapi karena kurang ngopi bareng. Kurang ngobrol. Kurang percaya sama potensi sendiri. Padahal, laut itu milik kita semua.

Kalau dikelola dengan benar, hasil kerukan pasir bisa jadi berkah. Bisa untuk membangun jalan-jalan yang lubangnya sudah kayak permukaan bulan. Bisa untuk membiayai beasiswa anak-anak nelayan. Bisa untuk perawatan puskesmas yang lampunya masih pakai senter.

Orang Jakarta boleh terus ribut soal reklamasi. Biarkan mereka dengan kegelisahannya. Sementara Bengkulu, bisa mengambil peran lain. Peran sebagai daerah yang cerdas mengelola kekayaan alamnya. Termasuk pasir laut yang selama ini dianggap hama.

Yang kita butuhkan sekarang bukan orang-orang pintar baru. Tapi orang-orang yang berani mengambil keputusan. Yang paham bahwa pasir bisa jadi musuh, tapi juga bisa jadi kawan. Tinggal bagaimana kita memperlakukannya.

Kalau perlu, kita bikin slogan baru untuk Bengkulu. “Bengkulu: Negeri Seribu Pasir, Seribu Solusi.” Mungkin terdengar lucu. Tapi dalam kelucuan itu, terkandung harapan. Harapan bahwa suatu hari nanti, Bengkulu bisa berdiri gagah—berkat pasirnya.
Di Bengkulu hari ini, BBM sudah tidak lagi sekadar kebutuhan, tapi semacam legenda urban. Sejak pendangkalan di alur laut Pelabuhan Pulau Baai membuat kapal tanker tak bisa bersandar, distribusi BBM pun berubah arah, dari laut ke darat. Truk-truk dari Jambi dan Lubuklinggau jadi pahlawan baru, walau harus menempuh jalan berliku dengan risiko kerugian harian bagi Pertamina. Puluhan juta rupiah dikorbankan setiap hari, demi tugas negara yang katanya harus tetap jalan walau dompet korporasi megap-megap. Tapi ya itu tadi, namanya tugas negara, mau gak mau harus jalan terus, walau yang rugi bukan cuma Pertamina, tapi juga rakyat yang antre sampai punggung pegal.

Pemandangan antrean kendaraan di SPBU-SPBU Bengkulu kini lebih panjang dari skripsi mahasiswa semester akhir. Ada yang sampai satu kilometer, bikin jalur utama macet dan warga sekitar harus cari jalur tikus untuk bisa sampai rumah. Mereka yang dulunya lewat depan SPBU sambil nyetel lagu, sekarang harus lewat belakang rumah tetangga sambil minta maaf karena nabrak pot bunga. Sopir truk sampai ojek online kini lebih banyak ngeluh daripada narik, karena bensin segalon saja lebih mahal dari ongkos harian. Ironisnya, di negeri kaya sumber daya ini, warganya harus berebut bensin kayak main rebutan kursi di acara tujuhbelasan.
Ilustrasi Harta Karun Bernama Bensin (Gambar : AI Generated)

Bukan cuma antre yang jadi masalah, tapi juga soal keberadaan BBM itu sendiri. Di banyak SPBU, bensin tinggal nama, solar tinggal kenangan, dan Pertamax cuma bisa dibayangkan. Mereka yang tak sabar antre, atau kalah cepat, harus rela beli di eceran dengan harga 15 hingga 20 ribu per liter. Itu pun kalau ada. Kalau tidak, ya silakan dorong kendaraan sambil merenungi nasib dan mengingat kembali siapa yang dulu bilang negara ini kaya minyak. Rasanya ingin kirim bensin pakai jasa online, tapi kurirnya pun kehabisan bensin.

Di kampung-kampung, keberadaan pertamini jadi seperti warisan leluhur. Kalau ada yang buka, langsung diserbu bak lapak diskon di Harbolnas. Yang penting bisa beli duluan, urusan harga belakangan. Di sinilah hukum pasar bekerja tanpa etika: langka berarti mahal, dan kebutuhan mendesak berarti bisa dimanfaatkan. Mereka yang punya stok bensin jadi semacam orang suci, didatangi dari berbagai penjuru dengan niat dan doa. Bahkan ada yang rela begadang, cuma buat dapet jatah tiga liter.

Kondisi ini bikin warga Bengkulu makin kreatif. Ada yang mulai simpan bensin dalam galon air mineral, ada pula yang mulai modifikasi kendaraan jadi hemat bahan bakar ala kadarnya. Saking parahnya, ada yang bilang motor listrik lebih baik, tapi mereka lupa, listrik juga sering mati. Maka berputarlah lagi lingkaran setan infrastruktur yang selalu tertinggal dari kebutuhan. Di tengah semua itu, hanya satu yang konsisten: rasa frustasi warga yang tak tahu harus mengeluh ke siapa.

Pulau Baai kini seperti titik luka yang belum disembuhkan. Pendangkalan yang tak ditangani dengan serius berbuah panjangnya antrean dan mahalnya harga bensin. Rakyat cuma bisa berharap, semoga mereka yang punya wewenang tak hanya lihai berpidato, tapi juga cekatan mencari solusi. Kalau tidak, jangan salahkan kalau kepercayaan publik ikut menguap bersama aroma bensin oplosan.

Lucunya, di tengah keterbatasan ini, masih ada saja spanduk besar di SPBU yang menuliskan: “Kami melayani Anda dengan sepenuh hati.” Entah spanduk itu dibuat sebelum krisis atau memang sedang sarkas terhadap kondisi sekarang. Karena yang terjadi justru sebaliknya: warga antre sampai 5 jam, itu pun belum tentu. Kalau ini disebut pelayanan, maka kita memang sudah memasuki fase pelayanan rasa pengorbanan. Semacam ujian nasional versi BBM.

Kehadiran truk-truk pengangkut BBM dari luar kota kini jadi pemandangan yang mengundang haru. Setiap truk datang, warga bersorak seperti melihat rombongan pahlawan pulang dari medan perang. Tapi di balik sorak-sorai itu, ada rasa getir: mengapa harus sejauh itu demi setetes bensin? Bukankah negeri ini punya potensi energi yang katanya melimpah ruah? Kalau harus mengemis BBM ke provinsi tetangga, lalu apa fungsi pelabuhan yang dibangun dengan dana triliunan itu?

Yang paling miris, krisis ini menggerus kepercayaan. Rakyat jadi apatis, karena terlalu sering dijanjikan tapi tak kunjung diberi. Mereka mulai percaya bahwa solusi itu mahal dan sering tertunda karena alasan birokrasi. 

Mungkin, dari semua ini, yang paling pantas dikritik adalah kebiasaan menunda. Pendangkalan alur laut bukan kejadian semalam, tapi sesuatu yang bisa diprediksi dan diantisipasi. Tapi karena terbiasa “nanti dulu,” maka krisis datang, dan rakyat yang paling dulu kena dampaknya. Kalau perencanaan sudah benar sejak awal, mungkin truk-truk BBM itu tak perlu menempuh ratusan kilometer hanya demi menyuplai satu kota. Tapi ya, kita ini memang sering lebih sibuk urus seremoni daripada urus solusi.

Toh kita tahu, ini bukan pertama kali Bengkulu mengalami kelangkaan BBM. Tapi tak pernah ada upaya jangka panjang yang benar-benar dijalankan. Seakan kita hanya tahu cara menyelesaikan masalah saat masalahnya sudah meledak. Sisanya, kita hanya pandai menyalahkan: entah cuaca, entah logistik, entah “faktor teknis.” Padahal kalau mau jujur, banyak yang bisa dicegah, asal ada kemauan dan keberanian untuk kerja keras.

Dan sampai hari ini, warga masih antre. Masih ada yang bangun jam 4 pagi bukan untuk salat tahajud atau jogging, tapi demi bisa isi bensin. Masih ada yang pasrah beli BBM eceran dengan harga selangit, karena tak ada pilihan lain. Masih ada yang mengeluh, masih ada yang diam, tapi semua sepakat: krisis ini tak wajar. Dan yang paling menyedihkan adalah: kita mulai terbiasa dengan yang tak wajar itu.

-------------------
Bonus gambar tambahan

Ilustrasi bangun pagi untuk antri BBM di SPBU (Gambar : AI Generated)


Beberapa waktu lalu, linimasa media sosial saya dipenuhi oleh anak-anak muda yang baru saja lulus. Mereka riang gembira coret-coret baju, konvoi naik motor, bahkan ada yang berendam di kolam ikan kampus. Saya melihatnya sambil menyeruput kopi dan berpikir: “Apa cuma aku yang tidak pernah merasakan semua itu?” Rasanya seperti menonton kehidupan orang lain dari balik kaca tebal. Saya tidak iri, tentu saja tidak. Tapi ada semacam rasa asing yang perlahan-lahan tumbuh, seperti orang desa yang melihat barongsai lewat di jalan depan rumah: heran dan bingung harus ikut tepuk tangan atau diam saja.

Waktu saya lulus SD, tidak ada pengumuman, tidak ada upacara, apalagi pesta kecil-kecilan. Kami hanya diberi rapor di ruang guru, lalu disuruh pulang. Ibu saya menyambut saya di rumah seperti biasa, tidak ada nasi kuning, tidak ada syukuran, hanya gorengan tempe yang memang sudah jadi menu sore. Saya pun tidak mengeluh. Kala itu, lulus SD terasa seperti melewati satu sungai kecil, bukan seperti menyeberangi samudra kehidupan.
Ilustrasi Konvoi Kelulusan Anak SMA (Gambar : GeneratedAI)

SMP pun tak jauh beda. Tahun itu, sistem ujian nasional berubah. Dari Ebtanas ke UAN, lalu jadi UAS. Nama berubah, rumus berubah, tapi rasa tetap sama: deg-degan dan pasrah. Pengumuman kelulusan dilaksanakan di lapangan sekolah. Anak-anak dikumpulkan seperti sedang apel pagi. Kepala sekolah menyebut bahwa yang hadir berarti lulus, yang tidak datang sudah diberitahu untuk tidak usah datang. Begitu saja. Tidak ada drum band, tidak ada konvoi. Beberapa teman saya coret-coret baju, tapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari dan sebagian besar memang sudah terkenal karena menjadi pasien langganan guru BK.

Saya menyaksikan perayaan itu dari jauh. Tidak ikut. Bukan karena saya alim atau suci, tapi karena saya merasa tidak perlu. Lulus SMP bukanlah momen yang membuat saya ingin melukis seragam dengan spidol permanen. Saya lebih suka pulang cepat, lalu pergi ke warung untuk beli mie goreng bungkus. Merayakan kelulusan dengan makan sendiri di pojokan rumah sambil nonton televisi tabung yang gambarnya masih bergaris-garis.

SMA memberikan sedikit harapan. Beberapa teman mulai bersemangat merencanakan konvoi. Ada yang menyewa pick-up, ada juga yang siap dengan kaleng-kaleng bekas diikat di belakang motor. Tapi saya sudah berikrar dari awal: tidak akan ikut coret-coret, tidak akan ikut pawai. Bukan karena saya ingin jadi pahlawan moral, melainkan karena saya tahu perjuangan saya untuk lulus tidak sederhana. Sistem ujian berubah lagi, dan kali ini lebih rumit. Lulus terasa seperti bisa bernafas lagi setelah ditahan di dalam air selama dua menit.

Hari pengumuman, saya pergi ke panti asuhan. Saya tidak sedang jadi malaikat atau ingin pamer kebaikan. Saya hanya merasa perlu berbagi sesuatu. Kalau saya bahagia, kenapa tidak menularinya sedikit? Teman-teman saya mungkin sedang memutari kecamatan dengan baju penuh coretan. Saya tidak iri, saya hanya merasa bahagia dengan cara yang berbeda. Mungkin memang saya tidak pernah jadi bagian dari ritual kelulusan yang ramai, tapi saya juga tidak merasa kehilangan.

S1 saya jalani di kampus swasta di pinggiran yang jauh dari hiruk pikuk. Tidak seperti anak-anak Teknik yang punya tradisi arak-arakan, kami di fakultas saya lebih senang makan bersama di warung burjo. Ketika wisuda, saya bahkan diminta menjadi perwakilan wisudawan untuk menyampaikan pidato. Sebuah kehormatan, tentu saja. Tapi setelah itu? Pulang, melepas toga, lalu makan bersama keluarga. Tidak ada arak-arakan. Hanya senyum tipis dan rasa syukur yang tertahan.

Momen kelulusan memang penting, apalagi setelah bertahun-tahun bergelut dengan skripsi. Tapi saya, entah kenapa, justru merasa lebih nyaman kalau semua ini cepat selesai. Saya lulus, saya bahagia, tapi saya tidak ingin merayakannya terlalu meriah. Barangkali karena saya selalu merasa bahwa setiap pencapaian adalah titik koma, bukan titik akhir.

S2 saya jalani di Taiwan. Negeri orang, budaya asing, bahasa yang belum sepenuhnya saya kuasai saat itu. Wisuda diadakan secara kolektif. Semua mahasiswa, baik S1, S2, maupun S3, dikumpulkan dalam satu upacara besar. Bagi mahasiswa magister dan doktoral, wisuda hanyalah formalitas. Sebagian besar bahkan belum sidang. Saya sendiri belum sidang waktu itu. Tapi tetap diminta hadir. Jadi ya saya hadir, duduk, mendengar pidato rektor dalam bahasa Mandarin, lalu berfoto sebentar. Tidak ada konvoi, tidak ada coret-coret baju. Hanya toga, kamera, dan langit cerah yang khas musim panas.

S3 saya jalani dengan lebih sepi. Karena sidang dilakukan pada bulan Januari, maka saya tidak ikut wisuda yang digelar 6 bulan kemudian. Saya hanya meminta tolong teman sebagai fotografer, mengenakan toga, dan berfoto di taman kampus. Itu saja. Tidak ada sambutan, tidak ada pidato. Hanya saya dan fotografer yang sesekali memberi arahan gaya. Saya tersenyum dalam foto, tapi dalam hati ada kekosongan kecil: “Oh, jadi begini rasanya lulus S3?”

Saya tidak bermaksud mengeluh. Hidup memang tidak perlu selalu gemerlap. Tapi tetap saja, saat melihat anak-anak SMA coret-coret baju sambil berteriak kegirangan, saya bertanya-tanya: kenapa saya tidak pernah mengalami itu? Apakah saya terlalu serius menjalani hidup? Atau memang takdir saya adalah menjadi penonton dari balik kaca, sementara pesta digelar di luar sana?

Kadang saya berpikir, mungkin saya adalah bagian dari generasi yang terlalu hemat dalam merayakan. Hidup kami diajarkan untuk selalu bersikap sewajarnya. Tidak usah terlalu senang, tidak usah terlalu sedih. Lulus ya lulus, lalu lanjut hidup. Padahal merayakan itu penting. Bukan karena hasilnya, tapi karena prosesnya yang layak dikenang.

Tapi bisa juga karena saya tumbuh di desa. Tempat di mana arak-arakan dianggap norak, dan coret-coret baju dianggap pemborosan. Kami dibesarkan untuk menyimpan baju dengan baik, supaya bisa diwariskan ke adik. Mencorat-coret seragam dianggap seperti menghina perjuangan orang tua yang membeli baju itu dengan susah payah. Jadi ya wajar kalau saya tidak pernah ikut tradisi semacam itu. Bahkan sampai sekarang, saya masih menyimpan beberapa seragam SMA saya dalam kondisi cukup layak.

Kini, saat saya sudah menjadi bapak-bapak, saya kadang bertanya-tanya: apakah saya akan mengizinkan anak saya konvoi kelulusan nanti? Apakah saya akan memarahinya kalau dia mencoret-coret bajunya sendiri? Entahlah. Barangkali saya akan diam saja, atau malah ikut mencoret. Dunia sudah terlalu cepat berubah, dan saya mulai merasa ketinggalan kereta.

Tapi kalau dipikir-pikir, tidak semua perayaan harus berupa sorak-sorai. Kadang, perayaan terbaik adalah duduk tenang di beranda, ditemani kopi, dan hati yang lapang. Tidak semua kegembiraan harus berisik. Ada gembira yang tenang, yang dalam, dan yang cukup diketahui oleh kita sendiri.

Saya menulis ini bukan untuk mengajak kalian berhenti konvoi. Silakan, rayakanlah. Dunia ini sudah cukup suram untuk tidak diisi oleh tawa. Tapi jika ada di antara kalian yang merasa tidak pernah merayakan kelulusan seperti orang-orang, ketahuilah: kamu tidak sendirian. Saya pun begitu. Dan saya baik-baik saja.

Mungkin kelulusan adalah tentang memahami diri. Tentang menutup satu babak dan bersiap untuk babak selanjutnya, tanpa harus mengibarkan bendera. Mungkin, saya ulangi, mungkin... kita terlalu sibuk menulis hidup kita dalam diam, sampai lupa memberi tahu dunia bahwa kita telah selesai menyeberang satu jembatan.

Dan jika kamu pernah merasa aneh, karena tidak ikut coret-coret, tidak ikut arak-arakan, tidak punya foto wisuda yang “instagramable”—tak perlu risau. Kadang hidup kita memang berjalan di jalur sepi. Tapi bukan berarti kita tidak sampai.

Mereka yang berisik belum tentu lebih bahagia. Dan kita yang diam belum tentu kalah. Setiap orang punya caranya sendiri dalam merayakan hidup. Ada yang pakai cat semprot, ada yang pakai sepiring mie goreng. Keduanya sah.

Jadi, apa cuma aku? Mungkin tidak. Mungkin banyak di luar sana yang senasib. Tapi memang tidak semua orang merasa perlu bercerita. Saya saja baru kali ini menuliskannya.

Siapa tahu, tulisan ini bisa menemani kamu yang dulu juga tak pernah merasa “lulus” dalam pengertian umum. Kita mungkin tidak punya foto-foto penuh tawa. Tapi kita punya cerita. Dan kadang, itu lebih dari cukup.

Saya pernah mendengar pepatah lama yang mengatakan, “Cinta itu buta.” Tapi jujur saja, setelah diamati, pepatah ini bisa saja perlu diperbaharui menjadi, “Cinta itu tidak hanya buta, tapi juga tuli dan kadang-kadang suka baca pesan seenaknya sendiri.”

Ah, cinta. Siapa yang tidak pernah terserang oleh virus berwarna merah muda ini? Hampir semua dari kita pernah mengalaminya. Mata berbintang, degup jantung yang lebih kencang dari biasanya, dan senyum bodoh yang tak bisa dihapus bahkan oleh tragedi paling menyedihkan sekalipun. Siapa sangka? Orang yang biasanya kalem bisa jadi tukang pantun dadakan gara-gara jatuh cinta. 

Jadi, sebelum Anda mendekati teman yang sedang mabuk cinta untuk memberikan "panduan hidup," pegang erat-erat prinsip ini: Jangan pernah menasihati orang yang sedang kasmaran. 

1. Telinganya Sedang Tuli, Bung!

Yang namanya orang kasmaran, itu seperti punya filter otomatis di telinga. Apa saja yang keluar dari mulut Anda, kecuali "Dia juga suka kamu," atau "Kalian pasangan paling serasi di dunia," tidak akan masuk ke otak. Serius, coba saja bilang, "Bro, kayanya dia kurang cocok buat kamu deh,"—reaksinya bakal sama seperti ngomong ke tembok.

Padahal, menasehati atau menggurui si korban cinta itu sama sekali tidak ada gunanya. Coba bayangkan, ketika kita sendiri sedang dimabuk asmara, apa yang akan kita lakukan jika ada orang yang coba-coba memberi nasihat? Ya, pastinya kita akan mempersilakan orang itu untuk menjaga jarak dan tidak usah ikut campur urusan hati kita. Karena bagi orang kasmaran, nasihat dari orang lain bagaikan angin lalu.

Ilustrasi (Gambar : Istimewa)

Tahu nggak, yang paling bikin gregetan itu adalah ketika orang-orang sekitar si korban cinta ini malah heboh sendiri. Ngomongin dia terus, membandingkan dia dengan mantan pacarnya, atau bahkan sampai mencoba menjodohkannya dengan orang lain. Astaga, percayalah, hal-hal macam itu hanya akan membuat si korban cinta semakin larut dalam buaian asmara dan semakin tuli terhadap segala bentuk nasihat.

2. Mereka Menjadi Keturunan Detektif Dadakan

Orang yang tengah jatuh cinta mendadak memiliki kemampuan investigasi ala Sherlock Holmes. Sekedar mendengar kamu berkata, "Yakin dia serius sama kamu?" mereka sudah bisa menggali motif terselubung yang menurut mereka ada di balik pertanyaan itu. Mereka langsung berpikir kamu dengki, padahal niatmu hanya ingin memastikan. Cinta membuat insting mereka tajam, tapi sayangnya tajam mengarah ke kecurigaan tak berdasar.

Nah, coba deh sekali-kali Anda tanya sama mereka, "Lho kok malah ngelamun terus? Mikir apa sih?" Bisa jadi respon mereka bakal mirip orang linglung yang baru saja melihat hantu. Karena percayalah, ketika seseorang sedang dimabuk asmara, satu-satunya yang ada di pikirannya hanyalah sang pujaan hati. Urusan lain, seolah-olah tidak ada di dimensi yang sama.

Maka dari itu, daripada sibuk memberikan nasehat yang tidak akan mereka dengar, mending Anda simpan saja energi Anda. Atau kalau Anda benar-benar ingin menolong, cobalah untuk menjadi pendengar yang baik. Biarkan mereka berceloteh sepuasnya tentang sang pujaan hati, dan sesekali berikan anggukan atau senyum tulus. Karena percayalah, itu jauh lebih berarti bagi mereka ketimbang wejangan-wejangan yang Anda berikan.

3. Filter Pendengaran yang Unik

Cinta memang aneh. Pernah nggak kamu bicara panjang lebar tentang pentingnya menjaga batasan waktu dalam pacaran, lalu mereka hanya menangkap kalimat, "Dia benar-benar spesial ya." Jadinya, nasehat bijakmu hilang begitu saja, tertelan oleh perasaan-perasaan membuncah yang berlimpah di dalam hati mereka. Lebih mirip dengan berbicara kepada tembok ketimbang manusia.

Bahkan, jika Anda sampai nekat membandingkan si dia dengan mantan pacarnya yang dulu, pasti respon yang Anda dapat hanyalah tatapan kosong, seolah-olah Anda barusan mengatakan bahwa Bumi itu datar. Padahal Anda sedang berusaha menyampaikan bahwa ada baiknya mereka tidak terlalu terburu-buru dalam menjalin hubungan. Tapi ketika sedang dilanda asmara, rasionalitas seperti menguap entah ke mana.

Coba saja bayangkan, jika Anda sedang kasmaran dan tiba-tiba ada seseorang yang mulai berkhotbah soal bagaimana seharusnya Anda bersikap. Apa yang akan Anda lakukan? Mendengarkan dengan seksama atau malah sibuk mencari-cari alasan untuk segera kabur dari orang tersebut? Pasti yang kedua 'kan? Nah, itulah yang terjadi pada orang-orang yang sedang dimabuk cinta. Jadi, lebih baik Anda simpan saja wejangan-wejangan itu untuk diri sendiri.

4. Mereka Suka Menginterpretasikan Secara Harfiah

Jangan kaget kalau tiba-tiba nasehat sederhana seperti, “Coba deh kasih jarak sebentar,” diinterpretasikan sebagai, “Oke, mungkin aku butuh dua hari di Mars.” Orang kasmaran punya kemampuan memahami kata-kata secara harfiah dengan cara yang tak terduga. Jadi, jika mereka melakukan drama besar dan memutuskan untuk ‘menghindarimu’ karena salah paham, ya, siap-siap saja!

5. Mereka Sedang Dalam Fase Abstrak

Bayangkan: cinta membuat mereka melihat dunia dalam warna pelangi. Sewaktu kamu bilang, “Kayaknya sikap dia kurang baik deh,” yang mereka dengar adalah, “Angin malam berbicara bahwa cinta ini tak tergoyahkan.” Nalarnya dibawa pergi oleh ketertarikan yang begitu intens, membuat logika menjadi semacam aksesoris tambahan yang sering dilupakan.

6. Cinta Membutakan Mata Mereka

Jatuh cinta bisa bikin kita lihat sesuatu yang tidak ada. Anda tahu kan, orang bilang cinta itu buta? Nah, lebih dari sekadar buta, cinta itu seakan dilengkapin dengan kacamata dengan filter Disney. Si losyen tangan yang biasa-biasa saja tiba-tiba terlihat seperti minyak aroma terapi terbaik yang pernah ada hanya karena dia yang ngasih.

7. Logika Libur, Perasaan Kerja Lembur

Saat orang jatuh cinta, logika itu kayak karyawan yang selalu malas-malasan pas hari Sabtu tiba. Sementara itu, perasaan justru seperti workaholic yang tidak tahu jam kantor. Jadi, jangan kaget kalau mereka memutuskan untuk melakukan hal-hal konyol yang, dalam kondisi normal, mereka tentunya akan menggeleng keras.

8. Semua Masalah Bisa Jadi Sederhana (Kecuali Perasaan)

Nah, di dunia mereka yang berwarna-warni ini, masalah apapun bisa disederhanakan: "Dia kurang perhatian? Ah, dia cuma sibuk," atau "Kok dia sering lupa ulang tahun ya? Mungkin karena dia banyak pikiran." Bahkan untuk hal-hal yang kelihatannya sudah benar-benar jelas, mereka tetap punya alasan pembenaran. Hebat, kan?

***

Jadi, daripada Anda buang-buang waktu dan loyang ngomongin logika dan fakta kepada teman Anda yang sedang dimabuk asmara, lebih baik Anda ikut menikmati kisah romantis tersebut atau setidaknya diam dan nikmati dramanya.

Aha, Pemilu 2024! Mari kita duduk dengan secangkir kopi hangat, menghirup aroma pahit realitas politik kita – sebuah panggung wayang modern di mana para dalang media sosial menggerakkan para wayangnya dengan cekatan. Jangan salah paham, wayang di sini bukan makhluk tanpa nyawa, melainkan berwujud calon pemimpin masa depan, diwarnai filter Valencia dan #KitaSemuaBersaudara.

Ini kisah tentang para "medsos darling" - para penguasa timeline, jawara retweets, dan sang raja/ ratu story Instagram, serta juragan FYP. Mereka ini, ooh, berkilau bagai permata di kerajaan maya, tapi ternyata bagai kunang-kunang di padang pemilu. Kini kita tahu, ledakan notifikasi tak sekuat dentuman suara di bilik suara.

Ilustrasi Viral (Gambar : Istimewa)

Popularitas semu di media sosial, bagai angin lalu, tak terasa tapi nampak – nampak nampak saja, ya itu-itu saja. Sementara realitas pemilu ibarat pohon jati kokoh di hutan demokrasi, tak goyang oleh komentar pedas maupun like seribu kali. Pohon jati tak ubahnya suara-suara pemilih di bilik suara yang memilih dengan tegas, entah itu berdasarkan apa yang mereka rasakan dari perut yang keroncongan atau kepala yang meraung-raung ingin perubahan.

Mari kita bicara soal jumlah suara – oh, jumlah suara! Ironis, bukan, ketika "follower" jutaan tapi "voter" hanya seribu? Saksi kita bagaimana banyak "medsos darling" berguguran, layaknya daun-daun gugur diterpa angin pilkada. Mereka yang "viral" tak selalu "vital" bagi pemilih, dan algoritma yang membawa mereka ke puncak "trending" tak dapat membawa mereka ke puncak kekuasaan.

Dan apa pesan moral yang kita petik dari kekalahan dramatis tersebut? Ah, sungguh pesan moral yang klasik: bermedsos sewajarnya. Kiranya, bagaikan mengonsumsi junk food, nyaman di lidah namun risiko di akhir. Naiklah dari singgasana maya itu, rajalah persinggungan nyata. Banyakin turun ke bawah, sapa warga dengan senyum dan, ya kalau bisa, sembako.

Wahai sembako! Betapa dahsyatnya daya pikatmu dalam panggung politik kita. Barangkali lebih mudah menjadi influencer ketimbang memberi pengaruh politik. Di dunia maya, cukup tagar dan hastag, sedangkan di dunia nyata, ya tagih dan catat kebutuhan rakyat.

Pada akhirnya, dalam pertarungan realitas dan virtualitas ini, yang nyata kerap lebih memikat. Masyarakat kita, meski terus bergerak menuju 'well-educated', masih butuh solusi nyata akan problem kronis yang dihadapi: "Mau makan apa hari ini?" Pertanyaan sederhana yang membutuhkan jawaban praktis, bukan berupa grafik statistik pertumbuhan ekonomi di layar ponsel.

Masyarakat memilih mereka yang mengetuk pintu bukan hanya dengan janji, tapi juga dengan nasi kotak yang bisa langsung dipegang, dihadiahkan kaos yang bisa langsung dipakai, dan amplop transportasi yang bisa langsung ditukar. Di sinilah konsep idealisme dan pragmatisme beradu judi- kali ini pragmatisme memenangkan pot besar.

Semalam, saya diskusi panjang dengan seorang sahabat sambil mengeluhkan kenapa gelas sudah kosong dan malam sudah terlalu jauh berjalan, sahabat saya yang sedang mendalami teori ekonomi di negeri orang menegaskan: konsep dan gagasan indah memang layak diperjuangkan. Namun, apa artinya bagi mereka yang perutnya berbunyi lebih keras daripada manifesto politik yang mengudara?

Pada akhirnya, Pemilu 2024 mengajarkan bahwa politik media sosial itu layaknya kapal pesiar mewah yang mengarungi lautan maya: penuh gemerlap dan hingar-bingar, tapi tak selalu sampai ke dermaga kemenangan saat badai kenyataan masyarakat menghadang. Barangkali perlu ditambahkan ke dalam manifestonya, bukan hanya tentang infrastruktur digital, tapi juga tentang dapur rakyat yang harap-harap cemas ingin tetap berasap. 

Kiranya tak berlebihan jika dikatakan: dalam politik, 'likes' Anda tak begitu berarti tanpa 'love' dari rakyat yang sebenarnya. Tapi ingat, kasih sayang rakyat tidak bisa dibeli dengan sembako, hanya bisa dimenangkan dengan hati yang melayani. Selamat datang di demokrasi, selamat tinggal di media sosial, selamat berjuang di lapangan nyata!

Dalam epik kehidupan bernegara yang penuh dengan set, props, dan para aktor pembuat kebijakan yang berkiprah di panggung politik yang kadang lebih melodramatis daripada sinetron-sinetron di jam 7 malam, terdapat satu tokoh yang kerap luput dari sorotan, padahal, kehadirannya bagaikan penjaga gawang dalam pertandingan sepak bola.

Dialah Hansip atau yang saat ini lebih chic dengan julukan Linmas, yang bukan sekadar penjaga malam tapi juga penguasa 8 elemen dunia, yang terlupakan dalam serbuan berita-berita superhero yang menghiasi layar kaca.

Barisan Hansip / Linmas (Gambar : Merdeka.com/Istimewa)

Elemen-elemen yang dipegangnya bukanlah sembarang elemen. Jika Avatar Aang hanya menguasai air, tanah, udara, dan api, Hansip di sisi lain, menguasai elemen-elemen yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari seperti: elemen gosip, parkir hajatan, pengumuman desa, keamanan ronda, tata tertib, gotong royong, silaturahmi, dan yang paling sering terjadi, elemen penertiban hewan liar.

Di garis terdepan, antara kita – warga yang tidur pulas sambil ngiler – dan potensi kerusuhan malam hari yang bisa datang dari aspek manapun, hansip menjaga. Tengah malam, sambil menyeruput kopi yang pahitnya menandingi pahitnya kenyataan bahwa tidak semua orang sadar akan jasa-jasa mereka, hansip berkeliling, berpadu dengan jangkrik yang berkicau, memastikan ketertiban dan keamanan desa layaknya Captain America minus tameng dan otot kekar.

Sebagian besar masyarakat mungkin beranggapan tugas hansip hanya berlimitasi pada jaga ronda dan jaga TPS saat pemilu. "Oh, itu yang menghitung suara kan?" tanya auntie di warung soto dengan senyum ramah tapi clueless. Namun, jika Anda pikir mereka hanya itulah pekerjaannya, Anda sama kelirunya dengan orang yang percaya bahwa kerja DPR hanya sidang paripurna. 

Memang, di sela kehidupan mereka yang pada dasarnya adalah Avengers lokal minus gaji milyaran dan endorsement, hansip juga menjadi penjaga terpercaya di hajatan-hajatan warga. Siapapun pasti pernah melihat pakde-pakde berbaret ini mengatur parkir dengan whistle yang bertalu-talu layaknya simfoni Beethoven, melambai tangan sambil mengarahkan mobil ke lahan kosong, dan mungkin jika kita beruntung, dengan sekali sapa bisa membuat kantong parkir kita aman dari 'sumbangan' sukarela.

Tapi siapa sangka bahwa di balik seragam loreng dan baret yang kesannya hanya untuk keperluan hajatan itu, hansip adalah bagian resmi dari sistem pertahanan negara. Bukan tokoh komik, bukan figuran dalam film laga, melainkan bagian dari skema pertahanan yang dirancang oleh negara ini. Dalam kegelapan malam, dalam diamnya jalan-jalan desa, hansip adalah pilar pertahanan: silent but deadly, bisa juga diartikan bagaikan silent killer di game Mobile Legends, yang kerap tidak terlihat namun mendominasi permainan.

Dilatih oleh bukan sembarang institusi, tapi oleh TNI-Polri sendiri, para hansip ini diberikan seragam yang lebih dari sekadar kostum Halloween. Mereka dilengkapi dengan keterampilan penanganan konflik paling dasar, pembinaan mental patriotik, dan kemungkinan juga tips tentang bagaimana menangani ibu-ibu yang kekeuh tidak ingin mobilnya diparkir terlalu jauh dari lokasi resepsi.

Dan, oh, tidak semua hansip melakoni tugasnya dengan kerelaan hati belaka. Di beberapa daerah, mereka mendapatkan apa yang dinamakan gaji. Jangan bayangkan langsung melimpah ruah ya, akan tetapi bayaran tersebut adalah bentuk penghargaan atas dedikasi mereka yang juga harus membayar cicilan motor dan menaruh beras dalam rice cooker di rumah.

Namun, sekali dalam lima tahun, saat pemilu usai dan kotak suara telah disimpan, gemuruh kekaguman masyarakat terhadap para hansip mendadak bergaung. "Para hansip kerjanya totalitas!" tulis warganet di media sosial sambil membagikan foto-foto hansip yang setia di TPS dari subuh hingga malam. Tiba-tiba, mereka yang biasanya hanya dianggap figur latar belakang, menjadi bintang horor yang mendadak dibutuhkan ketika kita sadar ada kehadiran asing di lorong-lorong kesunyian.

Dalam drama kehidupan nasional yang kadang-kadang absurd ini, hansip memang mungkin tidak se-flashy ormas yang hobi 'petentang-petenteng' dengan loreng-lorerengan dan sepatu boots yang bikin 'klik-klok' di jalanan. Hansip mungkin tidak akan menampilkan kekerenan dengan marching band dan atraksi gimnastik silat. Tidak, mereka lebih kepada jenis pahlawan yang tidak perlu semua itu. Mereka bekerja di belakang layar, tiba-tiba muncul saat Anda benar-benar membutuhkan seseorang untuk memeluk Anda dan mengatakan, "Tenang, pakde sudah ada di sini."

Namun, disayangkan, dengan semua kelebihan mereka ini, Hansip masih sering dilupakan, tak terlihat seperti bayangan pada siang bolong. Ia tak memiliki serial TV sendiri, tak ada bocoran foto kostumnya di media sosial, dan anak-anak tak memasukkan figur aksinya dalam daftar hadiah ulang tahun mereka.

Oleh karena itu, anggaplah tulisan ini sebagai penghormatan kita kepada 'Avatar' desa, yang setia berjaga ketika kita lena dalam mimpi. Sang Hansip, sang penguasa 8 elemen dunia yang terlupakan, yang mungkin sedang bertugas mengintip dari balik semak-semak menunggu untuk terkenal... suatu hari nanti.

Sampai jumpa di ronda malam nanti, Pak Hansip. Bawakan kami lagi kisah-kisah heroik dan kopi hitam yang tidak akan pernah bisa kami gantikan dengan Starbucks.

Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • RAPOR TANPA MERAH DAN SEKOLAH TANPA LUKA
  • TEOLOGI UANG DAN BIDANG ILMU EKONOMI SPIRITUAL
  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • TINGGAL DI BENGKULU ITU SEPERTI PACARAN SAMA MANTAN YANG BAIK : DAMAI TAPI NGGAK TERLALU RAMAI
  • MENGUNGKAP NOVELTY DALAM KARYA ILMIAH: SKRIPSI, TESIS, DAN DISERTASI

Ramadhan Bercerita

PARIWARA

PARIWARA

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar