Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami

Belakangan ini, ada kabar baru dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang bikin geleng-geleng kepala. Jadi, MK baru saja memutuskan menolak lagi untuk kesekian kalianya tentang gugatan soal syarat pendidikan minimal S1 untuk calon presiden, wakil presiden, atau pejabat negara setingkat ketua DPR, DPD, dan MPR. Artinya, aturan lama tetap berlaku. Lulusan SMA sederajat masih sah, halal, dan legal untuk nyalon jadi presiden.

Kalau dipikir-pikir, aturan ini unik sekaligus absurd. Bayangkan, buat jadi guru SD saja, yang kerjaannya "hanya" ngajarin anak-anak berhitung dan membaca, sekarang harus S1 Pendidikan plus wajib lulus PPG. Kalau enggak, ya wassalam, gak bakal dapat NIP atau SK. Lha, jadi presiden yang ngurusin seluruh rakyat Indonesia, dari Aceh sampai Merauke, dari gaji ASN sampai harga cabe, kok malah cukup ijazah SMA?

Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Saya jadi ingat nasib dokter. Untuk bisa buka praktik, mereka kuliah bertahun-tahun, koas sampai mata panda, kemudian masih harus ambil profesi. Baru setelah itu boleh buka praktik dan menulis resep paracetamol. Itu pun tetap bisa kena semprot pasien kalau obatnya nggak manjur. Sementara, jadi presiden, yang keputusannya bisa bikin jutaan orang bahagia atau sengsara, ternyata nggak butuh semua itu. Cukup lulus SMA, asal punya partai pendukung. Rasanya kayak ada yang kebalik-balik di sistem logika kita.

Apoteker juga tak kalah tragis. Mereka harus kuliah farmasi, ambil profesi apoteker, baru boleh meracik obat. Salah racik sedikit, bisa masuk berita kriminal. Bandingkan dengan pejabat negara. Salah ngomong di podium, maksimal cuma viral sehari dua hari. Salah bikin kebijakan, ya rakyat yang jadi obat nyamuk. Tapi tetap saja, ijazah SMA sudah cukup buat nyalon. Kalau sudah begini, kita jadi bingung. Mana yang lebih serius diurus negara, kesehatan rakyat atau kursi kekuasaan?

Belum lagi mahasiswa yang sedang skripsi. Mereka bukan hanya harus lulus S1, tapi sekarang juga dituntut punya sertifikasi profesi dari LSP terlisensi BNSP supaya dianggap kompeten di dunia kerja. Jadi, anak muda baru lulus itu sudah kayak bawa dua tentengan: skripsi dan sertifikat. Baru mau kerja di perusahaan, ditanya: "Kamu punya sertifikasi apa?" Padahal, jadi presiden, yang mengatur dunia kerja itu, sertifikasi nggak penting. Modal sertifikat ijazah SMA sudah lebih dari cukup. Tidak akan pernah ditanya: "Anda punya sertifikat kompetensi dengan skema apa? Okupasi, KKNI, atau Klaster?"

Bayangkan kalau ada mahasiswa yang lagi stress skripsi, terus bapaknya bilang, "Nak, buat apa kamu capek-capek kuliah. Lihat tuh, jadi presiden aja cukup lulusan SMA." Bisa-bisa mahasiswa itu langsung gulung tikar, masuk pesantren kopi, lalu buka warung burjo sambil nyiapin diri nyalon DPR. Ini bukan lagi krisis logika, tapi sudah jadi krisis motivasi generasi muda.

Kita tentu nggak sedang meremehkan lulusan SMA. Banyak kok orang pintar lulusan SMA yang cerdas, kreatif, dan sukses. Tapi beda urusannya kalau bicara jabatan publik paling tinggi di negara. Yang dipertaruhkan bukan cuma nasib satu-dua orang, tapi 270 juta jiwa. Kalau begitu, masa iya syaratnya masih seenaknya seperti ini. Bukankah mestinya standar orang yang ngurus negara harus lebih tinggi daripada orang yang ngurus parkiran?

Lucunya, kalau kita mau jadi satpam di bank, biasanya minimal harus lulusan SMA plus ada pelatihan. Jadi satpam aja ditambah "plus-plus". Lah kok presiden cukup SMA? Apa presiden dianggap semacam satpam negara yang kerjanya cuma buka pintu istana dan salam-salaman tiap pagi? Kalau sudah begini, saya makin bingung, jangan-jangan negara ini sedang eksperimen sosial besar-besaran tanpa kasih tahu kita.

Mungkin logika MK sederhana, mereka ingin semua orang punya kesempatan yang sama. Semacam demokrasi yang dibikin terbuka lebar, sampai pintunya jebol. Tapi tetap saja, kesempatan yang sama tidak berarti syaratnya harus minimal banget. Kalau jadi dokter tetap ada batasan, kenapa jadi presiden bebas seperti pendaftaran lomba karaoke di kelurahan? Kalau nyanyi fals masih bisa ditutup musik, tapi kalau bikin kebijakan fals, apa ya cukup ditutup dengan cuitan buzzer di medsos?

Ada juga yang bilang, syarat pendidikan nggak menjamin kualitas kepemimpinan. Betul, memang ada sarjana bodoh dan ada lulusan SMA yang cerdas. Tapi minimal, pendidikan tinggi memberi bekal berpikir sistematis dan kritis. Kalau presiden tidak punya itu, risiko kebijakan asal-asalan makin besar. Kita butuh presiden yang ngerti data, bukan sekadar ngerti dengerin bisikan "tim sukses".

Kadang terlintas pikiran nakal di kepala, apa MK ini diam-diam pengin bikin motivasi baru buat anak SMA. "Hei anak-anak, nggak usah takut masa depan. Gagal kuliah nggak masalah. Masih ada lowongan presiden." Kalau benar begitu, ya selamat. Indonesia jadi negara paling ramah untuk anak-anak malas kuliah, tapi paling galau buat mahasiswa yang baru nyicil KRS semester 3.

Coba bandingkan dengan Jepang. Perdana Menteri mereka lulusan universitas top. Atau Jerman, kanselir mereka dikenal sebagai orang dengan background akademis mumpuni. Sementara kita, dengan gagah berani, memberi opsi lulusan SMA untuk jadi kepala negara. Bedanya memang sederhana. Jepang menaruh negara di tangan orang yang ahli. Kita menaruhnya di tangan siapa pun yang penting lulus ujian nasional. Agak serem, sih.

Yang bikin saya ngakak dalam hati, kalau jadi PNS aja harus ikut tes CAT yang ribetnya kayak soal-soal TPA campur sudoku, lah kok jadi presiden cukup SMA? Padahal presiden otomatis jadi bos besar semua PNS. Jadi bawahannya lebih ribet syaratnya dibanding bosnya.

Kalau terus dibiarkan, ini bisa jadi masalah serius. Bayangkan kalau ada generasi muda yang mikir begini: "Untuk apa kuliah, toh kalau pengin berkuasa cukup SMA?" Itu artinya pendidikan tinggi kita makin kehilangan daya tarik. Semua orientasi pindah ke politik, bukan ke ilmu pengetahuan. Lalu apa gunanya universitas yang tiap tahun sibuk bikin akreditasi dan menambah jumlah prestasi?

Sebagian orang mungkin santai, mereka bilang, "Ah, biarin aja. Nanti rakyat yang milih kok." Tapi jangan lupa, rakyat juga sering dibuat bingung dengan pencitraan. Kalau modalnya cukup SMA plus punya tim medsos jago bikin konten TikTok, bisa-bisa rakyat kepincut. Lalu kita punya presiden yang lebih ahli joget ketimbang bikin strategi ekonomi. Jangan-jangan nanti APBN malah dibuka pakai filter CapCut.

Tentu saja ini bukan berarti kita menutup jalan bagi rakyat biasa. Demokrasi memang harus inklusif. Tapi inklusif bukan berarti asal-asalan. Tetap perlu standar agar jabatan publik tidak dianggap seperti pendaftaran lomba balap karung. Karena taruhannya bukan hadiah panci, tapi arah bangsa. Kalau nggak ada standar, ya siap-siap kita jadi bahan tertawaan dunia internasional.

Yang menarik, MK selalu pakai alasan formal: "Tidak ada masalah konstitusional." Ya memang, konstitusi tidak bilang harus S1. Tapi konstitusi juga nggak pernah melarang ada standar baru. Jadi, bukannya tidak boleh, hanya memang tidak mau. Bedanya tipis, tapi efeknya besar. Lalu kita, rakyat biasa, cuma bisa gigit jari sambil nonton debat di TV.

Kalau mau jujur, ini keputusan yang bikin generasi muda semakin bingung arah hidup. Sementara dosen-dosen sibuk menggenjot mahasiswa biar lulus tepat waktu dan dapat sertifikasi kompetensi, negara malah bilang: "Tenang saja, jadi presiden cukup SMA." Seolah-olah ada dua jalan paralel yang nggak pernah ketemu. Yang satu penuh keringat dan ujian, yang satu penuh baliho dan poster.

Akhirnya, kita harus sadar, keputusan ini bukan sekadar soal syarat ijazah. Ini soal logika negara dalam menghargai pendidikan. Kalau negara saja tak serius memberi standar tinggi untuk jabatan tertinggi, jangan harap rakyat mau menghargai pendidikan tinggi. Besok-besok mungkin ada yang nyeletuk, "Ngapain kuliah, toh bisa jadi presiden dengan modal SMA." Dan kalau itu sampai jadi tren, selamat tinggal motivasi akademik bangsa.

Kalau semua sudah begini, saya jadi teringat kalimat orang tua dulu: "Sekolah tinggi-tinggi biar hidupmu lebih baik." Sekarang, kalimat itu kayak kehilangan makna. Karena ternyata, sekolah tinggi-tinggi tak menjamin apa-apa, bahkan untuk syarat presiden. Jadi, apa masih pantas kita berharap generasi muda rajin kuliah, sementara negara memberi contoh kalau tanpa kuliah pun bisa jadi nomor satu?

Pemerintah baru-baru ini mengeluarkan pernyataan soal anggaran program Makan Bergizi Gratis untuk tahun 2026. Anggarannya bikin kaget: 25 triliun rupiah per bulan. Naik drastis dibanding tahun 2025. Kalau ditotal setahun, ya jadi 300 triliun. Angka yang kalau ditulis penuh, nolnya bikin orang biasa langsung sakit kepala.

Hitung-hitungannya sederhana. Kita asumsikan biaya kuliah satu mahasiswa di sebuah kampus di Bengkulu, kalau dihitung lengkap sampai lulus, sekitar 114 juta rupiah. Itu sudah termasuk kos, makan sehari-hari, SPP, KKN, magang, skripsi, yudisium, sampai wisuda. Komplit.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)
Sekarang kita main kalkulator. Kalau 300 triliun dipakai buat biaya kuliah, hasilnya bisa membiayai 2,6 juta mahasiswa sampai lulus. Bukan cuma satu tahun kuliah, tapi sampai benar-benar diwisuda. Angka segede itu bisa bikin seluruh provinsi punya sarjana baru, bahkan lebih.

Tapi apa yang kita pilih? Kita pakai duit itu buat makan gratis. Efeknya? Ya, kenyang sebentar. Paling lama 5 jam, lalu lapar lagi. Besok ya harus makan lagi. Begitulah perut. Dia nggak pernah puas.

Sementara pendidikan beda. Sekali anak lulus kuliah, efeknya panjang. Dia bisa kerja, bisa buka usaha, bisa jadi guru, dokter, insinyur, atau minimal bisa bayar pajak. Negara balik modalnya lebih jelas. Jadi kalau mau jujur, pilihan menggelontorkan 300 triliun buat makan gratis ini agak aneh.

Tentu, saya paham. Anak sekolah butuh makan. Tapi logikanya, apa iya harus segede itu anggarannya? Apa iya lebih penting daripada memperbaiki guru, dosen, kurikulum, atau fasilitas pendidikan?

Kalau lihat ke luar negeri, program makan sekolah memang ada. Jepang punya, Finlandia punya, bahkan beberapa negara Afrika juga. Bedanya, mereka jalan setelah pendidikan dasarnya rapi. Kurikulumnya bagus, gurunya cukup, sekolahnya layak. Makan gratis di sana jadi tambahan, bukan inti.

Di Indonesia, sekolah masih banyak yang rusak, guru honorer masih menjerit, akses jalan masih banyak yang tidak layak. Tapi tiba-tiba negara langsung loncat ke program 300 triliun makan gratis. Rasanya mirip rumah bocor atapnya, tapi yang dibeli malah sofa baru.

Sekarang kita tarik ke APBN. Kita coba asumsikan saja untuk bandingkan dengan APBN 2024, karena yang 2025 kan belum selesai, masih berjalan. Total belanja negara 2024 sekitar 3.300 triliun. Program makan gratis sendirian makan 300 triliun. Itu hampir 10 persen APBN. Besarnya mirip dengan biaya bayar bunga utang negara. Jadi ini bukan program kecil. Ini program raksasa.

Jangan lupa, masih ada proyek lain. Kereta cepat yang masih terus bikin pusing, Ibu Kota baru yang butuh duit besar, dan cicilan utang yang bunganya makin mahal. Kalau semua dipaksakan jalan bareng, ya ujung-ujungnya ruang fiskal makin sempit.

Politik sih gampang. Program makan gratis itu manis. Anak sekolah bisa difoto lagi makan di kantin, gampang dijual ke publik. Sementara program beasiswa atau perbaikan kurikulum, hasilnya baru terlihat 5 sampai 10 tahun ke depan. Mana ada politisi yang sabar nunggu selama itu.

Saya jadi teringat kampus tadi. Kalau dapat jatah 300 triliun, kampus itu bisa kuliahkan mahasiswa sampai 1.300 angkatan jika per angkatannya ada 2000 mahasiswa baru. Laboratorium bisa diperbaiki, dosen bisa riset, mahasiswa bisa tenang kuliah tanpa mikir biaya. Efeknya bukan cuma lokal, tapi juga nasional.

Sayangnya, politik lebih suka program yang kelihatan cepat. Biar bisa bilang: lihat, ini hasil kerja saya. Padahal kalau dipikir panjang, yang lebih penting adalah anak-anak muda punya bekal pendidikan yang serius.

Saya bukan anti makan gratis. Saya tahu banyak anak sekolah yang perutnya kosong. Tapi apa harus dengan model segede itu? Kenapa tidak mulai dulu dengan daerah rawan stunting, target kecil, baru diperbesar kalau berhasil?

Kalau dipaksakan serentak, resikonya besar. Bisa bocor di pengadaan, bisa salah sasaran, bisa jadi lahan proyek. Ujung-ujungnya, rakyat cuma dapat remah, sementara anggaran sudah telanjur habis.

Indonesia ini punya masalah klasik. Suka bikin program gede tanpa pilot project yang matang. Begitu jalan, baru kelihatan ribetnya. Tapi karena sudah diumumkan besar-besaran, malu untuk berhenti. Akhirnya diteruskan meski ngos-ngosan.

Coba saja ingat proyek lain. Kereta cepat yang dulu katanya nggak pakai APBN, akhirnya pakai juga. IKN yang katanya swasta siap biayai, ujungnya tetap negara yang keluar duit. Nah, apa jangan-jangan nasib MBG bakal mirip?

Kalau sudah begitu, publik cuma bisa geleng-geleng. Yang kenyang siapa, yang nombok siapa. Yang kenyang mungkin kontraktor, yang nombok ya APBN.

Saya jadi ingin menutup dengan kalimat sederhana: perut kenyang itu penting, tapi kepala cerdas jauh lebih penting. Kalau negara memilih lebih banyak memberi makan daripada memberi ilmu, ya jangan kaget kalau kita selalu kenyang sebentar, tapi lapar panjang.
Saya pernah nyeletuk di tulisan sebelumnya soal rumah anggota DPR yang katanya kena penjarahan akhir Agustus lalu, kok rak bukunya kosong melompong. Orang-orang di medsos pun langsung jadi Sherlock Holmes, bikin teori konspirasi, “Ah, DPR ini memang nggak suka baca.” Padahal saya coba kasih praduga positif, jangan-jangan mereka udah shifting ke E-Book. Lha wong di era serba digital begini, rak buku fisik itu lebih cocok buat backdrop konten YouTube ketimbang jadi rak serius.

Tapi kemudian, beberapa hari ini, praduga saya yang agak absurd itu mulai menemukan bukti lapangan. Ada kabar yang bikin jidat saya makin berkerut. Seorang pemuda ditangkap karena diduga jadi aktor kerusuhan akhir Agustus kemarin. Yang bikin heboh bukan cuma penangkapannya, tapi juga barang bukti yang disita aparat: buku. Iya, buku.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)
Bukan senjata tajam, bukan bom molotov, bukan catatan strategi makar dengan tinta merah kayak di film-film konspirasi. Tapi buku berjudul Pemikiran Karl Marx karya Frans Magnis Suseno. Sebuah buku yang kalau di FISIP, levelnya udah kayak kitab suci. Banyak mahasiswa yang rela puasa, demi bisa beli buku itu. Dan sekarang, buku itu malah dijadikan barang bukti.

Bayangkan betapa ironisnya. Buku yang mestinya jadi bahan diskusi di kelas filsafat politik malah diperlakukan kayak benda terlarang. Kalau begini, jangan-jangan kelak kamus Bahasa Indonesia juga bisa disita, karena di dalamnya ada kata “revolusi.” Kan bahaya, katanya. Bisa menjerumuskan.

Padahal kalau diteliti lebih dalam, yang paling sering bikin orang jadi tukang rusuh itu bukan buku. Tapi pergaulan. Teman nongkrong yang ngajak demo, grup WhatsApp yang isinya provokasi, atau timeline Twitter/X/TikTok/Facebook yang tiap menit memanaskan suasana. Buku paling cuma menyumbang dua persen. Itu pun kalau bukunya dibaca beneran, bukan cuma buat pajangan biar keliatan intelek.

Coba deh disurvei. Berapa banyak kriminal kelas kakap yang lahir gara-gara membaca buku? Pablo Escobar misalnya, apa iya dia jadi gembong narkoba karena kebanyakan baca teori ekonomi hitam? Atau John Wick jadi tukang bunuh karena baca buku “Seribu Cara Membasmi Musuh dalam 60 Detik”? Kan nggak. Semua karena lingkaran pergaulan dan pilihan hidup.

Saya jadi kepikiran, mungkin aparat kita masih trauma sama slogan “bacalah” di cover buku pelajaran agama. Soalnya, begitu orang kebanyakan membaca, bisa jadi kritis, bisa jadi cerewet, bisa juga jadi tukang protes. Dan itu bikin pusing aparat. Mending rakyat dibiarkan sibuk main "Medsos aliran Salam Interaksi" daripada sibuk baca buku Karl Marx.

Kalau gitu, ya wajar kalau literasi Indonesia rendah. Wong baru baca dikit aja udah bisa dianggap makar. Bayangkan kalau ada anak muda lagi ngeteh di warung sambil baca Das Kapital. Bisa-bisa langsung dipelototin bapak-bapak sebelah yang lagi ngisep rokok kretek.

Lebih lucu lagi kalau saya pikirkan. Apa kabar mahasiswa filsafat, ilmu politik, atau sosiologi? Mereka kan hampir pasti bersentuhan dengan karya-karya Marx, Engels, Lenin, bahkan Mao. Apa setiap kali mereka bikin catatan kuliah, harus sembunyi-sembunyi kayak lagi nulis surat cinta?

Di sinilah ironi itu makin kental. Negara kita masih terjebak pada ketakutan simbolik. Simbol bintang lima di kaos bisa bikin orang dituduh PKI. Buku dengan judul mengandung kata “Marx” langsung dianggap pemicu kerusuhan. Padahal, kalau mau jujur, jumlah orang yang benar-benar paham isi buku itu bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan pembaca malah ngantuk di bab dua.

Saya ingat betul ketika kuliah, banyak teman yang bawa buku Marx cuma buat gaya. Isinya nggak dibaca, cuma untuk berat-beratin tas saja biar nampak kayak anak kuliahan serius. Tapi coba bayangkan kalau buku itu disita aparat. Bisa heboh se-RT.

Kadang saya merasa, perlakuan aparat terhadap buku itu sama kayak mantan yang belum move on. Dikit-dikit curiga. Dikit-dikit takut. Padahal kenyataannya, buku itu nggak lebih berbahaya daripada micin. Yang bikin anak muda rusuh justru lebih banyak karena micin politik.

Tapi jangan salah. Di balik semua keganjilan ini, ada pelajaran yang bisa dipetik. Kita bisa ngerti kenapa anggota DPR itu rumahnya kosong dari buku fisik. Bukan karena mereka males baca, tapi karena buku fisik di negeri ini rawan dijadikan alat bukti. Bayangkan kalau koleksi bukunya terlalu kiri, bisa runyam. Terlalu kanan, bisa juga dicurigai radikal. Jadi mending nggak usah punya buku sama sekali.

Mereka pun mungkin memilih cara aman: beli E-Book, simpan di Kindle, atau download PDF di ponsel. Kalau ada razia, tinggal bilang, “Ini cuma aplikasi komik digital, Pak.” Aman. Selesai.

Bahkan, jangan-jangan ada yang lebih canggih lagi. Mereka simpan buku-buku filsafat itu di cloud storage. Jadi kalau ada penggeledahan, nggak ada bukti fisik. Yang ada cuma akun Google Drive.

Nah, dari situ kita bisa paham. Literasi bangsa ini memang rumit. Di satu sisi kita pengen generasi muda rajin baca, biar pinter, biar kritis. Di sisi lain, kita juga gampang curiga kalau ada orang rajin baca. Apalagi kalau bacaannya berat-berat.

Kalau begini terus, jangan heran kalau indeks literasi kita mentok di angka rendah. Wong membaca saja sudah bikin jantung berdebar, apalagi kalau bacaan itu ada embel-embel ideologi. Mending nonton sinetron, jelas lebih aman.

Saya jadi mikir, jangan-jangan ke depan bakal ada aturan baru: buku-buku filsafat politik harus pakai stiker 18+. Sama kayak rokok. Ada peringatan: “Membaca buku ini dapat menyebabkan Anda dituduh makar.”

Kalau sudah begitu, saya kasihan sama penerbit. Bayangkan bikin katalog buku harus mikir dua kali. Buku motivasi boleh, buku cinta boleh, buku resep kue boleh. Tapi begitu judulnya agak-agak kritis, langsung ditolak. Padahal siapa tahu buku itu cuma teori doang, nggak bisa dipraktikkan juga di dunia nyata.

Akhirnya, yang rugi ya kita-kita juga. Masyarakat jadi makin takut berinteraksi dengan bacaan. Padahal membaca itu mestinya jadi kebiasaan sehat, kayak olahraga otak. Tapi karena dianggap rawan, orang lebih milih olahraga jari lewat scroll TikTok.

Entah kenapa saya jadi ingat pepatah, “Buku adalah jendela dunia.” Tapi di negeri ini, jendela itu kayaknya udah dipasangin jeruji besi. Biar nggak sembarangan orang bisa buka.

Kalau begini, jangan kaget kalau rumah anggota DPR kosong dari buku. Bisa jadi itu bukan tanda kebodohan, tapi tanda kehati-hatian. Mereka tahu, buku lebih berbahaya daripada panci di dapur.

Dan kita, rakyat jelata, ya cuma bisa ketawa getir. Mau beli buku filsafat takut dituduh radikal. Mau baca buku agama takut dituduh intoleran. Akhirnya kita lebih aman baca chat WA keluarga. Itu pun masih bisa berujung cekcok kalau salah paham.

Jadi, apakah masih wajar literasi kita rendah? Tentu wajar sekali. Wong kondisi sosial-politiknya bikin orang lebih takut baca daripada takut utang pinjol.

Maka, kalau ada anggota DPR yang rumahnya kosong dari buku, jangan langsung suudzon. Bisa jadi mereka jauh lebih bijak daripada kita. Mereka tahu, menyimpan buku fisik sama aja kayak nyimpan bom waktu.
Dulu, hidup di Indonesia itu asik. Semua serba sederhana, apa-apa gampang, dan kalaupun ada aturan, ya masih bisa ditawar. Tapi sekarang, kok ya rasanya hidup jadi lebih ribet. Salah satunya karena soal musik. Bayangkan, sekarang mau muter lagu di warung kopi aja bisa bikin orang deg-degan, takut ada yang tiba-tiba datang narik royalti. Saya jadi ingat, kata orang dulu “musik itu bahasa universal”, sekarang kayaknya musik itu sudah berubah jadi “bahasa invoice”.

Kalau kita ingat, musik dulu jadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Pengamen di bus kota, odong-odong yang lewat gang-gang, sampai kaset bajakan di terminal, semua jadi warna kehidupan. Kita tidak pernah mikir soal hak cipta atau royalti. Semua berjalan apa adanya. Sekarang? Bus kota sudah jarang, odong-odong jadi barang langka, dan kaset bajakan sudah punah ditelan Spotify. Tapi yang lebih sedih, musik yang dulu menemani keseharian kita, sekarang malah jadi sumber ketakutan.
Ilustrasi Odong-Odong di stop oleh Petugas Penarik Royalti (Gambar : AI Generated)
Coba bayangkan odong-odong. Dulu, anak-anak bisa joget dengan bahagia ditemani suara lagu anak-anak yang diputar kencang dari speaker mini di gerobak warna-warni. Sekarang, bapaknya malah bingung: kalau muter lagu ciptaan A atau B, apa harus setor royalti dulu? Lah, bagaimana mungkin orang yang modal cat semprot sama boneka Mickey Mouse bekas masih harus mikirin pembayaran royalti? Boro-boro, kadang bensin odong-odongnya aja masih nyicil.

Situasi jadi tambah aneh ketika kita masuk ke kafe-kafe. Dulu, kafe itu identik dengan musik. Entah musik jazz, pop akustik, atau minimal suara penyanyi indie yang bikin suasana syahdu. Tapi sekarang, coba mampir ke beberapa kafe, kok suasananya malah sunyi senyap, kayak perpustakaan. Katanya, si pemilik kafe takut dipalak lembaga pengumpul royalti. Lah, gimana mau betah nongkrong kalau yang terdengar cuma suara sedotan minum dan notifikasi Shopee dari HP tetangga meja?

Bahkan lebih lucu lagi, ada cerita bahwa muter suara burung pun bisa dianggap melanggar hak cipta. Jadi kalau kafe mau bikin suasana natural dengan suara ciutan burung, itu pun katanya harus bayar. Lha ini gimana ceritanya? Burungnya siapa, suaranya siapa, yang pungut siapa. Kalau sudah begini, saya jadi curiga, jangan-jangan nanti ada yang menagih royalti kalau kita lagi siulan di kamar mandi.

Yang lebih gila lagi, konon pengamen pun bisa kena masalah. Bayangkan ada pengamen, modalnya cuma gitar satu senar atau kadang cuma tepuk-tepuk tangan sambil nyanyi. Eh, dia disuruh mikirin royalti juga. Lah wong dia nyanyi untuk nyari makan kok. Kalau begini, lama-lama pengamen bisa kena pasal juga. Bisa-bisa kita lihat headline berita: “Seorang pengamen divonis bersalah karena tidak membayar royalti saat menyanyikan lagu Peterpan.” Kan absurd sekali.

Indonesia memang punya aturan soal hak cipta, dan itu penting, supaya pencipta lagu dapat apresiasi yang layak. Tapi masalahnya, praktik di lapangan malah kebablasan. Jadi bukannya bikin adil, malah bikin hidup jadi kaku. Semua jadi serba salah. Orang kecil yang seharusnya bisa hidup dengan musik, malah ketakutan. Yang tadinya musik itu bikin cair suasana, sekarang malah bikin suasana jadi tegang.

Kalau dibandingkan dengan negara lain, ternyata ada cara yang lebih masuk akal. Di Amerika misalnya, ada lembaga khusus seperti ASCAP atau BMI yang ngurusin lisensi musik. Tapi yang ditarik bukan odong-odong, bukan warung kopi, apalagi pengamen. Mereka fokusnya ke bisnis besar, seperti radio, televisi, atau tempat hiburan yang memang skala ekonominya besar. Jadi yang bayar royalti adalah pihak yang benar-benar mendapat keuntungan komersial besar dari musik, bukan orang kecil yang cuma nyambung hidup.

Di Inggris pun sama. Ada PRS (Performing Rights Society) yang mengatur soal hak cipta. Tapi peraturannya jelas, tarifnya juga transparan, dan ada kategori tertentu yang dibebaskan. Jadi kalau kamu nyanyi di pesta pernikahan kampung, ya nggak perlu takut. Lha kalau di sini, pesta pernikahan pun kadang ditagih. Bayangkan, ada orang nikahan, sudah keluar biaya gedung, catering, make up, eh masih ditagih lagi karena muter lagu. Bisa-bisa nanti tukang rias pengantin ikut menambahkan biaya “royalti make up”.

Di Jepang, mereka punya JASRAC (Japanese Society for Rights of Authors, Composers and Publishers). Tapi mereka juga punya mekanisme khusus supaya tidak memberatkan pelaku kecil. Bahkan ada paket lisensi murah untuk kafe kecil atau toko buku. Jadi, tidak ada cerita kafe jadi sunyi senyap kayak kuburan hanya karena takut royalti. Orang Jepang saja, yang konon aturannya ribet, masih bisa lebih fleksibel daripada kita.

Kita sebenarnya paham, pencipta lagu itu perlu dihargai. Mereka sudah bikin karya, masa tidak dapat apa-apa. Tapi masalahnya, implementasi di sini kayak main tangkap jaring. Semua disapu rata. Tidak peduli siapa yang muter, untuk apa, dan seberapa besar dampaknya. Pokoknya asal muter lagu, ya bayar. Logika sederhananya: kalau kamu muter lagu satu menit di warung, itu sama saja kayak kamu punya stasiun TV. Lah, aneh to.

Yang bikin tambah rumit, ternyata lembaga pengumpul royaltinya juga banyak. Ada beberapa Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang semuanya merasa punya hak untuk nagih. Jadi, kadang pemilik kafe bingung, ini saya harus bayar ke siapa? Kalau bayar ke LMK A, nanti LMK B protes. Kalau bayar ke B, nanti yang C ngamuk. Jadi bukannya tenang, malah pusing tujuh keliling. Serasa bayar utang ke rentenir, sudah bayar satu, masih ada yang nagih lagi.

Kisruh soal royalti ini bahkan sudah sampai ke Mahkamah Konstitusi. Bayangkan, masalah musik bisa masuk ke level pengadilan tertinggi. Sungguh tidak terbayangkan oleh kita yang dulu tahunya musik itu sekadar hiburan. Kalau dulu kita lihat pengadilan biasanya membahas korupsi, politik, atau sengketa tanah. Sekarang, bisa juga membahas soal lagu “Kemarin” yang dinyanyikan di kafe tanpa izin. Rasanya kayak hidup di negara sinetron.

Dan jangan lupa, di balik semua ini, ada politisi yang juga ikut nimbrung. Ada yang pura-pura bela pencipta lagu, ada juga yang pura-pura bela rakyat kecil. Padahal, ujung-ujungnya, ya ada kepentingan. Seolah-olah musik yang tadinya netral dan penuh perasaan, sekarang jadi panggung politik juga. Jadi makin runyam, makin ribet, makin jauh dari esensi awalnya.

Hidup di Indonesia jadi terasa kurang asik karena hal-hal seperti ini. Dulu kita bisa santai nongkrong sambil dengerin musik, sekarang malah was-was. Dulu kita bisa senyum lihat odong-odong lewat, sekarang jadi mikir “waduh, apa bapaknya udah bayar royalti?”. Dulu kita bisa ketawa denger pengamen nyanyi fals, sekarang malah mikir “jangan-jangan nanti ditangkap polisi.” Semua jadi absurd.

Musik seharusnya mendekatkan orang. Tapi sekarang malah menjauhkan. Orang jadi males pasang musik di kafe. Pengamen jadi takut. Orang bikin pesta jadi ribet. Padahal, musik itu semestinya seperti udara: mengalir, gratis, dan dinikmati semua orang. Tapi di sini, musik sudah berubah jadi seperti oksigen tabung: kalau mau pakai, ya harus bayar.
Beberapa waktu yang lalu saya membaca berita tentang demo akhir Agustus kemarin yang berakhir dengan penjarahan di beberapa rumah anggota DPR RI. Saya tidak tahu siapa yang memulai, tapi endingnya selalu sama: massa marah, polisi panik, anggota DPR lenyap entah ke mana. Nah, yang bikin ramai di media sosial justru bukan soal televisi yang hilang atau sofa yang digondol, melainkan soal ketiadaan buku di rumah para anggota DPR. Orang-orang ramai berspekulasi, “Oh pantas DPR kita ngawur, lha wong rumahnya saja tidak ada buku bacaan!”

Komentar itu tentu bikin saya tertawa kecil. Saya tertawa bukan karena setuju, tapi karena mengingatkan saya pada kosan teman saya dulu. Kosan itu kecil, isinya cuma kasur tipis, kipas angin, dan beberapa kardus Indomie kosong. Buku? Jangan harap. Tapi apakah itu berarti teman saya tidak membaca? Belum tentu juga. Waktu itu teman saya rajin pinjam buku di perpus kampus. Jadi, ya bisa jadi rumah tanpa buku, tapi otak tetap berisi.
Ilustrasi rumah mewah dan gawai untuk membaca E-Book (Gambar : AI Generated)
Jangan-jangan kasusnya juga sama dengan anggota DPR. Bisa jadi mereka rajin baca, tapi bukan di rumah. Mungkin di kantor. Atau mungkin di ruang VIP lounge bandara. Atau mungkin sambil rebahan di hotel berbintang. Bukan tidak mungkin pula mereka sudah naik level, meninggalkan buku fisik, dan beralih ke Kindle. Kita saja yang masih kagok membaca di HP sambil takut kuotanya habis.

Lagipula, zaman sekarang siapa sih yang masih pamer rak buku tinggi menjulang sampai ke atap? Itu kan gaya lama. Generasi lama bangga kalau rumahnya punya rak penuh buku ensiklopedia, meskipun sebenarnya tidak pernah dibaca. Generasi sekarang lebih suka buku digital. Nggak makan tempat, nggak berdebu, dan kalau dijual di Shopee, ongkirnya gratis.

Saya jadi ingat, dulu ada istilah: “Orang pintar itu bisa dilihat dari rak bukunya.” Nah, coba bayangkan kalau konsep itu masih dipakai di 2025. Saya yakin, banyak orang seperti teman saya langsung auto miskin ilmu, padahal koleksi PDF-nya di cloud bisa bikin Perpusnas minder. Bedanya cuma satu: PDF teman saya kebanyakan bajakan, sementara Perpusnas asli.

Jadi, jangan buru-buru menuduh DPR tidak suka baca hanya karena rumahnya tidak ada buku. Siapa tahu mereka punya ribuan e-book. Bisa jadi mereka lebih rajin download buku daripada kita. Kita baru baca tiga halaman sudah ngantuk, sementara mereka kuat sampai lima bab. Kalau itu benar, berarti sebenarnya yang lebih malas justru kita, rakyat jelata yang hobi menghakimi.

Meski begitu, tetap ada pertanyaan: kalau memang anggota DPR ini rajin baca e-book, kenapa kualitas keputusannya masih amburadul? Apakah Kindle mereka isinya cuma novel Wattpad? Atau jangan-jangan koleksi PDF mereka isinya resep tongseng dan brosur properti? Itu yang kita belum tahu.

Saya pribadi sih agak ragu. Karena saya tahu betul, membaca itu satu hal, memahami itu hal lain. Banyak orang rajin baca, tapi tidak paham isi bacaan. Misalnya saya, sering baca buku filsafat. Tapi ujung-ujungnya yang saya ingat hanya nama penulisnya. Isinya entah kemana. Kalau anggota DPR begitu juga, ya wajar kalau kinerjanya tidak seberapa.

Apalagi, mereka kan sibuk rapat, sibuk kunjungan kerja, sibuk menghadiri pernikahan anak pejabat. Kapan waktunya baca? Kalau pun sempat, paling banter baca papan nama restoran tempat reses. Jadi meskipun ada Kindle, jangan-jangan yang sering dibuka bukan e-book, tapi e-wallet.

Namun, harus jujur saya bilang, kadang kita terlalu cepat menyimpulkan. Demo kemarin, begitu rumah digeledah dan tidak ada buku, langsung dicap “bodoh”. Padahal, kita sendiri pun kalau rumahnya diobrak-abrik, belum tentu ditemukan buku juga. Paling banter ditemukan struk belanja Indomaret dan sisa cicilan paylater.

Fenomena ini mengingatkan saya pada kultur pamer rak buku di media sosial. Ada orang yang dengan bangga selfie di depan rak tinggi penuh buku. Captionnya panjang, kutipannya puitis. Padahal bisa jadi, buku yang paling sering disentuh cuma kamus bahasa Inggris—dan itu pun dipakai buat ganjel pintu. Sementara orang lain yang koleksi bukunya di Kindle, malah diam-diam sudah khatam ratusan judul.

Nah, kalau kita mau adil, harusnya begitu juga menilai DPR. Tidak ada buku fisik di rumah mereka bukan berarti otaknya kosong. Bisa jadi justru sebaliknya, mereka sudah terlalu maju meninggalkan dunia fisik, sementara kita masih terjebak romantisme bau kertas.

Tapi, tentu tidak semua bisa ditutupi dengan alasan e-book. Kalau memang benar rajin membaca, harusnya terlihat dari sikap dan kebijakan. Sayangnya, kualitas kebijakan DPR kita sering bikin rakyat mengelus dada. Misalnya soal pasal-pasal aneh yang tiba-tiba muncul di RUU. Saya jadi curiga, jangan-jangan mereka salah download. Mau download e-book hukum, yang keunduh malah novel Korea.

Skeptis itu wajar. Karena bagaimanapun, bukti paling nyata dari orang yang suka membaca adalah cara berpikirnya. Kalau hasil kebijakannya masih sekelas diskusi warung kopi jam dua pagi, berarti ada yang salah. Entah salah di bacaan, atau salah di otak.

Di sisi lain, saya juga tidak menutup kemungkinan bahwa rumah tanpa buku itu memang cerminan aslinya. Bahwa anggota DPR memang tidak suka membaca, titik. Kalau itu benar, berarti ya sudah, misteri terpecahkan. Mereka tidak suka buku, dan kita tidak boleh berharap banyak.

Namun, ada satu hal yang lebih menggelitik. Kenapa dalam penjarahan itu, rakyat kita justru kepo pada ada-tidaknya buku, bukan pada ada-tidaknya emas batangan atau sertifikat tanah? Apakah karena kita sudah putus asa berharap harta, sehingga yang kita cari hanyalah tanda intelektualitas? Ini pertanyaan filosofis yang mungkin lebih berat daripada skripsi.

Saya juga geli membayangkan, seandainya benar ada buku di rumah DPR, lalu bukunya ketahuan cuma kumpulan pantun atau majalah infotainment. Apa komentar warganet? Mungkin malah lebih kacau. Karena yang dicari publik bukan sekadar ada buku, tapi buku yang “bermutu”.

Kita seolah ingin DPR kita punya rumah yang penuh buku tebal karya ilmuwan besar. Tapi apakah kita sendiri sanggup membaca buku setebal itu? Belum tentu. Bisa jadi, yang paling kita sanggupi hanya membaca sinopsisnya di Goodreads. Jadi, jangan sok-sokan juga menuntut mereka terlalu tinggi.

Saya akhirnya sampai pada kesimpulan sementara: rumah tanpa buku bukan masalah. Rumah tanpa wifi mungkin lebih gawat. Karena tanpa wifi, koleksi e-book pun jadi mubazir. Dan mungkin, justru itu yang dialami DPR. Koleksi PDF segunung, tapi wifi mati karena lupa bayar.

Toh, kalau dipikir-pikir, kita juga tidak pernah menanyakan isi HP mereka. Bisa jadi, folder mereka penuh dengan buku digital. Atau bisa juga, penuh dengan folder bernama “kerja” yang isinya hanya foto-foto rapat. Kita tidak tahu.

Yang jelas, tuduhan bahwa DPR tidak suka baca hanya karena rumahnya kosong dari buku fisik, agak terburu-buru. Bisa benar, bisa salah. Sama halnya dengan tuduhan bahwa semua rakyat malas baca. Padahal mungkin kita hanya malas membeli. Kalau gratisan, semua semangat.

Lucunya, kasus ini membuat saya membayangkan satu adegan absurd: anggota DPR yang sedang duduk di ruang rapat, tiba-tiba asyik membuka Kindle. Bukan untuk membaca RUU, tapi membaca novel romantis. Dari jauh, kelihatannya serius, padahal yang dibaca adegan cinta-cintaan.

Apa pun itu, kisah rumah DPR tanpa buku tetap jadi bahan sindiran yang segar. Sindiran bahwa wakil rakyat harusnya jadi teladan, bukan malah jadi bahan olok-olok. Apalagi di tengah kondisi negeri yang sudah ruwet begini, jangan sampai wakil rakyat kita menambah luka dengan kebodohan yang bisa dihindari.

Kalau mereka benar-benar rajin membaca, maka semestinya kita melihat buahnya. Bukan hanya dari pidato yang tertata, tapi juga dari kebijakan yang logis. Kalau itu belum terlihat, berarti memang ada yang salah. Entah salah di bacaan, entah salah di penggunanya.

Namun, meski begitu, saya tetap mencoba positif. Saya anggap saja, rumah tanpa buku itu bukan tanda kebodohan, tapi tanda efisiensi. Mereka tidak mau rumahnya penuh debu. Mereka memilih cara modern. Mereka memilih Kindle. Kita saja yang belum sanggup beli Kindle, jadi iri.

Dan pada akhirnya, cerita ini hanya menambah daftar panjang keanehan negeri kita. Demo, penjarahan, rumah tanpa buku, dan rakyat yang malah sibuk berdebat soal perpustakaan pribadi anggota DPR. Lucu sekali, tapi juga menyedihkan.

Buku memang penting, tapi jangan lupa: lebih penting lagi adalah akal sehat. Dan sayangnya, akal sehat tidak bisa diunduh lewat Kindle.
Saya sudah sering ke Malaysia. Kuala Lumpur tentu, Putra Jaya juga pernah, bahkan ke Ipoh. Tapi baru kali ini saya menjejakkan kaki ke Penang. Pulau Pinang, kata orang sana. Perjalanan kali ini berbeda. Saya tidak sedang berlibur. Saya datang untuk menghantarkan mahasiswa kami yang akan magang selama sebulan di Universiti Sains Malaysia. Sekalian, saya diminta mengisi forum internasional. Topiknya menarik: dekolonisasi ilmu pengetahuan.

Penang tidak terlalu besar. Apalagi bandara internasionalnya. Bandara Penang (PEN / Call Sign Penang) tidak seperti KLIA yang mewah. Ukurannya kecil, sederhana. Tapi sibuk. Pesawat datang dan pergi ke banyak negara. Saya heran juga. Kota ini bukan ibu kota, tapi pesawat internasional lalu-lalang seperti Jakarta.
Gedung Terminal Penerbangan Internasional di Bandara Fatmawati Soekarno Bengkulu (Foto : BeritaTrans/Istimewa)

Saya lalu membandingkan dengan Bengkulu. Situasinya hampir mirip. Sama-sama bukan ibu kota negara. Sama-sama punya potensi. Sama-sama bukan kota besar seperti Jakarta atau Surabaya. Bedanya, Penang sudah menjadi bandara internasional sungguhan. Bengkulu baru sekadar papan nama. Gedung terminal internasionalnya berdiri. Tapi kosong.

Dari Penang, ada penerbangan langsung ke banyak kota. Ada Aceh, Medan, Surabaya. Jakarta tentu saja. Dan saat melihat jadwal itu, saya merasa iri. Di daftar itu tidak ada nama Bengkulu. Padahal Bengkulu juga ada di Sumatra. Tapi seolah-olah, Bengkulu bukan bagian dari peta penerbangan internasional.

Kemarin, sewaktu acara seminar, saya bertemu beberapa mahasiswa dari sebuah sekolah tinggi di Sumatera Utara. Bukan universitas besar. Hanya sekolah tinggi. Biasanya, sekolah tinggi di daerah lebih sibuk membangun kampus daripada mengurus kerja sama internasional. Tapi yang ini berbeda. Mereka sudah menjalin kerja sama internasional. Mengirim mahasiswa keluar negeri. Bahkan bisa hadir di forum internasional.

Saya lalu bertanya-tanya. Apa rahasianya? Jawaban mereka sederhana: akses. Dari Medan ada banyak penerbangan internasional. Mahasiswa bisa dengan mudah pergi ke Penang, ke Kuala Lumpur, ke Singapura. Bandara mereka membuka jalan. Sementara Bengkulu? Bandara internasionalnya mangkrak. Mahasiswanya harus transit jauh dulu sebelum bisa keluar negeri.

Padahal Bengkulu sudah punya infrastrukturnya. Terminal internasional sudah berdiri. Gedungnya megah. Pintu imigrasi ada. Tapi pesawat yang masuk tidak ada. Terminal itu seperti rumah besar yang tidak pernah ditempati. Entahlah, ini kelalaian siapa. Apakah studi kelayakan yang tidak benar, atau sekadar proyek mercusuar.

Bandara internasional bukan hanya soal gedung. Ia soal jaringan penerbangan. Soal daya tarik. Soal bagaimana maskapai mau masuk. Dan untuk itu, pemerintah daerah harus serius. Harus membuat Bengkulu pantas jadi tujuan. Baik untuk wisata, bisnis, maupun kekerabatan. Tanpa itu, bandara hanya akan jadi monumen.

Penang punya daya tarik tersendiri. Banyak orang Indonesia ke sana untuk berobat. Wisata kesehatan jadi magnet. Rumah sakit modern, pelayanan ramah, biaya lebih murah daripada Singapura. Orang dari Medan, Jakarta, bahkan Surabaya datang ke Penang. Penerbangan penuh setiap hari.

Bengkulu jelas tidak bisa meniru Penang dalam hal itu. Rumah sakit di Bengkulu belum bisa jadi tujuan wisata kesehatan. Bahkan masyarakat Bengkulu sendiri, kalau sakit berat, lebih memilih ke Jakarta atau Padang. Jadi, jangan bayangkan Bengkulu bisa seperti Penang. Tapi Bengkulu bisa mencari jalannya sendiri.

Sayangnya, pemerintah daerah selama ini sibuk dengan hal lain. Sibuk dengan politik. Sibuk dengan perebutan kekuasaan. Bandara jarang masuk agenda serius. Pariwisata tidak pernah jadi prioritas. Padahal, potensi ada. Pantai Panjang. Benteng Marlborough. Dan bunga bangkai raksasa yang langka. Tapi tanpa promosi, semua itu hanya tinggal nama.

Bengkulu sering lupa untuk apa kekuasaan itu diperebutkan. Seolah jabatan hanya untuk kepentingan sendiri. Akibatnya, uang habis untuk seremonial. Untuk acara-acara yang tidak berdampak nyata. Pariwisata jalan di tempat. Infrastruktur tidak nyambung. Padahal, dunia luar menunggu pintu yang terbuka.

Kalau saja Bengkulu punya penerbangan internasional, dampaknya besar. Mahasiswa lebih mudah ke luar negeri. Wisatawan lebih gampang datang. Investasi lebih cepat masuk. Orang Bengkulu di Malaysia lebih sering pulang. Hubungan keluarga yang lama terputus bisa terhubung kembali. Sirkulasi manusia dan ide akan lebih deras.

Tentu ada dampak negatif juga. Penerbangan internasional bisa membuka pintu narkoba. Bisa memudahkan kejahatan lintas negara. Tapi itu semua bisa diantisipasi. Dengan teknologi. Dengan sistem keamanan. Dampak positifnya jauh lebih besar.

Bengkulu punya daya tawar yang unik. Di Malaysia, banyak sekali orang keturunan Bengkulu. Mereka sudah beranak-pinak di sana. Tapi hubungan kekerabatan masih ada. Mereka ingin pulang. Mereka ingin berziarah. Ingin bertemu keluarga. Kalau ada penerbangan langsung, mereka pasti lebih sering datang.

Kemarin, seorang istri bangsawan dari Penang bercerita pada saya. Nenek moyangnya dari Bengkulu. Mereka masih menyimpan cerita itu. Ada ikatan emosional. Tapi apa daya, untuk ke Bengkulu mereka harus repot. Transit dulu ke Jakarta atau Palembang. Padahal jarak ke Bengkulu lebih dekat.

Penerbangan dari Malaysia ke Aceh, Medan, Padang, dan Palembang banyak. Dan penumpangnya bukan wisatawan. Tapi orang yang pulang kampung. Orang yang menjenguk keluarga. Orang yang membangun rumah. Wisata hanyalah tambahan. Prioritas mereka adalah kekerabatan.

Kalau Bengkulu bisa membuka penerbangan internasional, itu akan jadi magnet. Orang Malaysia keturunan Bengkulu akan datang. Mereka akan membawa uang. Mereka akan membangun rumah. Mereka akan membantu keluarga. Ekonomi lokal akan bergerak.

Pariwisata juga bisa ikut tumbuh. Orang Malaysia suka pantai. Suka makanan laut. Suka wisata alam. Bengkulu punya itu semua. Tinggal dikemas. Tinggal dipromosikan. Tinggal dibuat aksesnya mudah. Dengan penerbangan langsung, semua itu mungkin.
Papan informasi penerbangan internasional di Bandara Penang (Foto : Dokumen Pribadi)

Tapi sampai sekarang, terminal internasional di bandara Bengkulu masih kosong. Tidak ada maskapai yang masuk. Tidak ada penerbangan yang datang. Gedung itu hanya berdiri diam. Lampu menyala, tapi tidak ada penumpang.

Saya tidak tahu apakah pembangunan terminal itu benar-benar ada studi kelayakannya. Atau hanya proyek untuk menghabiskan anggaran. Kalau ada studi, mestinya mereka sudah menghitung pasar. Mestinya mereka sudah tahu maskapai mana yang mungkin masuk. Tapi kenyataannya, tidak ada yang jalan.

Kadang saya berpikir, ini soal kegagalan memasarkan Bengkulu. Bukan soal infrastruktur. Gedungnya ada. Runway-nya cukup. Imigrasi ada. Tapi siapa yang mau terbang ke kota yang tidak dipasarkan? Maskapai butuh penumpang. Tanpa penumpang, tidak ada rute.

Pemerintah daerah harus berani. Harus berani menawarkan Bengkulu. Harus berani mendatangi maskapai. Harus berani memberi insentif. Kalau perlu, subsidi dulu rutenya. Kalau berhasil, efeknya akan panjang. Banyak kota yang berhasil dengan cara itu.

Saya percaya, Bengkulu bisa. Potensi ada. Kekerabatan ada. Wisata ada. Tinggal kemauan. Tinggal keberanian. Tinggal kerja keras.

Kasihan sekali gedung terminal itu kalau terus dibiarkan kosong. Padahal dibangun dengan uang rakyat. Padahal bisa membawa manfaat besar. Jangan sampai jadi monumen kegagalan. Monumen kebijakan yang setengah hati.

Bengkulu perlu mimpi besar. Dan mimpi itu harus diwujudkan. Tidak cukup hanya punya gedung. Tidak cukup hanya punya papan nama. Yang penting adalah pesawat datang. Orang berdatangan. Ekonomi bergerak.

Mimpi itu tidak boleh berhenti. Harus dikejar. Harus diperjuangkan. Kalau tidak, Bengkulu akan terus tertinggal. Akan terus jadi kota yang dilewati, bukan disinggahi.

Saya melihat, jalan masih terbuka. Tinggal siapa yang mau menyalakan lampunya. Tinggal siapa yang mau bekerja. Tinggal siapa yang mau menjadikan Bengkulu bukan hanya punya terminal internasional, tapi juga penerbangan internasional yang nyata.
Kalau hidup ini kayak naskah pidato pengukuhan guru besar, mungkin saya bakal bikin judul yang nggak biasa. Bukan tentang kapitalisme global atau sistem fiskal modern, tapi tentang “Teologi Uang sebagai Landasan Kebijakan Ekonomi Spiritual.” Ya, kedengarannya memang kayak campuran antara khutbah Jumat dan Rapat Komisi XI DPR, tapi sebenarnya ini judul yang serius tapi santai. Saya nggak bercanda. Saya serius mikir, kalau jadi guru besar, saya pengin ngomongin soal uang, tapi bukan sekadar uang di dompet. Uang yang sering dianggap benda mati padahal tiap harinya ngatur hidup orang. Uang yang bisa jadi ibadah, bisa juga jadi bencana. Uang yang kita anggap duniawi, padahal spiritualitasnya lebih tinggi dari harapan netizen pada giveaway TikTok.

Kita ini, mau diakui atau tidak, hidup dalam masyarakat yang ibadahnya diatur dompet. Mau umroh butuh duit. Mau nikah butuh mahar. Bahkan sedekah pun butuh transfer bank. Uang jadi sarana, tapi kadang juga jadi tujuan. Dan di titik itulah, saya merasa perlu untuk memperlakukan uang nggak cuma sebagai alat tukar atau simbol kekayaan, tapi sebagai entitas teologis. Bukan dalam arti disembah kayak dewa, tapi sebagai objek tafsir spiritual. Kalau orang bisa bikin “teologi penderitaan” atau “teologi pembebasan,” kenapa saya nggak bisa bikin “teologi uang”?
Ilustrasi Cover Naskah Pidato Guru Besar (Gambar : Bikinan Sendiri)
Saya tahu, ini pasti akan dianggap nyeleneh sama sebagian akademisi. Tapi bukankah justru ilmu itu lahir dari keisengan yang serius? Dulu siapa yang nyangka teori relativitas itu lahir dari orang yang bengong liat jam kereta? Nah, saya juga begitu. Aku sering banget bengong tiap habis narik uang di ATM, sambil mikir, “Apa dosa-dosa dompetku hari ini?” Dari situ saya kepikiran, bahwa uang nggak cuma berdampak ke ekonomi, tapi juga ke cara kita berdoa, mencintai, bahkan membenci.

Kita seringkali menilai moralitas orang dari cara dia pakai uang. Kalau dia dermawan, dibilang mulia. Kalau dia pelit, dibilang kikir. Tapi kita jarang tanya, kenapa dia pelit? Mungkin dia punya trauma masa kecil. Mungkin dia takut miskin. Atau mungkin dia pernah dikhianati orang yang dia pinjami uang. Dan di titik itulah, saya merasa uang bukan cuma soal angka, tapi soal iman, rasa aman, dan luka batin yang tidak ditanggung oleh saldo.

Saya nggak mau bikin pidato yang kayak baca jurnal. Saya maunya pidato yang kalau dibacain, orang-orang bisa bilang, “Iya ya, saya juga pernah ngerasain itu.” Karena buatku, jadi guru besar bukan cuma soal ngasih ilmu ke orang, tapi soal bikin orang merasa dimengerti. Maka dari itu, saya pengin ngebahas uang dari sisi yang lebih manusiawi, lebih spiritual, dan tentu saja, lebih filosofis.

Uang itu seperti mantan. Dikenang tapi bikin sakit hati. Dikejar malah menjauh. Disimpan terlalu lama malah bikin curiga. Tapi, di saat-saat terjepit, dia satu-satunya yang kita cari. Maka penting untuk punya pemahaman yang sehat tentang uang. Bukan cuma sehat secara ekonomi, tapi juga sehat secara rohani. Di sinilah aku merasa, perlu ada teologi uang. Supaya kita bisa berdamai dengan dompet sendiri.

Ada orang yang rajin banget ibadah tapi masih hobi ngemplang utang. Ada juga yang nggak pernah ke masjid tapi tiap bulan nyumbang ke panti asuhan. Kita sering bingung, mana yang lebih spiritual? Padahal bisa jadi dua-duanya sedang menjalani spiritualitas dengan cara masing-masing. Teologi uang ngajarin kita bahwa spiritualitas itu nggak selalu berbentuk ritual. Kadang berbentuk keputusan finansial yang bijak, adil, dan bertanggung jawab.

Waktu kecil, saya kira orang kaya itu pasti bahagia. Tapi setelah gede, saya baru sadar, banyak orang kaya yang hidupnya kayak kalkulator rusak—nggak pernah tenang karena terus dihitungin. Saya jadi mikir, jangan-jangan uang itu bukan sumber bahagia, tapi alat ukur rasa cukup. Nah, di titik inilah spiritualitas uang bekerja. Uang ngajarin kita bahwa hidup itu soal cukup, bukan soal banyak.

Kalau suatu saat nanti saya dikasih mimbar pidato pengukuhan, saya bakal cerita soal bagaimana uang bisa merusak ibadah. Ada orang yang salatnya lima waktu, tapi habis salat langsung ngitung fee korupsi. Ada juga yang kerja di judol, tiap hari ngitung uang haram, tapi selalu nyisihin rejeki buat orang tua. Hidup ini kompleks. Teologi uang ngajarin kita buat tidak gampang nge-judge orang cuma dari dompetnya.

Dalam dunia akademik, saya pengin bikin cabang keilmuan baru. Namanya, “Ekonomi Spiritual.” Isinya bukan cara cepat kaya menurut hadis, tapi lebih ke bagaimana orang bisa hidup damai secara finansial. Bukan sekadar bebas utang, tapi juga bebas dari rasa bersalah saat belanja. Ilmu ini akan menggabungkan ilmu ekonomi, psikologi keuangan, dan nilai-nilai spiritual. Kayak nasi magelangan: nasi, mie, telur, saos—berantakan tapi enak.

Teologi uang ini juga bisa dipakai untuk ngaji ulang hadis-hadis tentang harta. Bukan buat menjustifikasi kekayaan atau kemiskinan, tapi buat memahami konteks zaman dan rasa. Contohnya, kenapa Nabi bilang “tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah”? Jangan-jangan ini bukan sekadar anjuran buat dermawan, tapi juga tentang martabat manusia saat memberi dan menerima.

Saya juga pengin ngomongin soal mental budgeting umat. Gimana caranya supaya kita bisa beli kebutuhan, tanpa dikendalikan keinginan. Ini penting, karena kadang kita lebih takut saldo nol daripada hati kosong. Padahal, ketenangan hidup kadang datang bukan dari gaji, tapi dari rasa syukur yang diangsur tiap hari.

Di masyarakat, ada mitos bahwa orang religius itu nggak boleh cinta dunia. Tapi gimana caranya nggak cinta dunia kalau kita hidup di dunia? Nah, teologi uang ngajarin bahwa mencintai dunia itu sah, selama tahu batas dan arah. Uang bisa dipakai buat membangun masjid, tapi juga bisa dipakai buat nyewa buzzer. Jadi, soal niat dan tanggung jawab.

Saya juga kepikiran buat ngajarin anak-anak muda biar nggak gampang silau sama flexing. Di Instagram, semua orang keliatan kaya. Tapi di dunia nyata, banyak yang pusing bayar cicilan. Teologi uang ngajarin bahwa yang penting bukan tampilan, tapi ketahanan batin. Bisa tenang walau saldo tinggal lima belas ribu, itu ilmu tingkat dewa.

Penting juga ngomongin soal utang. Di kampus, nggak ada mata kuliah “Manajemen Utang dan Pertobatan Finansial.” Padahal ini masalah semua orang. Teologi uang bisa jadi jalan tengah buat ngajarin cara berutang yang sehat, dan cara memaafkan diri dari kesalahan finansial masa lalu. Karena kadang, kita lebih tega sama orang lain daripada sama dompet sendiri.

Saya tahu, teologi uang ini bakal jadi bahan tertawaan. Tapi bukankah semua ide besar dulu pernah diketawain? Dulu orang yang bilang bumi itu bulat dianggap gila. Sekarang yang gila justru yang percaya bumi datar. Jadi, saya sih bodo amat. Yang penting saya punya keyakinan bahwa uang bukan sekadar kertas atau angka, tapi juga cerita dan doa yang kita bisikkan dalam hati.

Uang itu seperti makhluk spiritual. Dia bisa mempertemukan orang, tapi juga bisa memisahkan. Bisa jadi sumber pahala, tapi juga sumber dosa. Bisa menyejukkan, bisa juga membakar. Maka dari itu, penting buat punya ilmu yang bisa bikin kita sadar bahwa setiap transaksi adalah ibadah kecil, dan setiap pengeluaran adalah bentuk cinta atau ego.

Kalau kamu tanya, kenapa saya milih nama “teologi uang”? Jawabannya sederhana. Karena terlalu banyak orang yang belajar ekonomi tapi nggak belajar empati. Terlalu banyak yang bisa ngitung bunga, tapi nggak bisa ngitung luka. Terlalu banyak yang tahu investasi, tapi nggak tahu introspeksi. Ilmu tanpa rasa itu kayak teh tanpa gula—pahit dan bikin males.

Saya juga pengin ngajak lembaga zakat dan bank syariah buat ikut diskusi. Biar nggak cuma ngomongin nisab dan riba, tapi juga soal rasa takut, cemas, dan harapan yang melekat pada uang. Supaya zakat bukan cuma angka yang dipotong, tapi jadi pengingat bahwa rezeki itu bukan soal kerja keras semata, tapi juga tentang belas kasih Tuhan dan rejeki orang lain yang dititipkan di dompet kita.

Dan akhirnya, saya cuma pengin bilang, jadi guru besar itu bukan soal gelar. Tapi soal keberanian untuk bercerita dari sudut yang tak biasa. Kalau orang lain bercerita soal pasar global, aku akan bercerita soal pasar tradisional. Kalau orang lain ngomongin kebijakan fiskal, saya akan ngomongin isi dompet emak-emak. Karena di situlah ilmu bertemu kenyataan. Di antara sisa kembalian dan doa dalam hati.

Jadi kalau nanti ada orang yang nanya, “Kok judul pidato pengukuhanmu aneh banget?” saya akan jawab dengan senyum, “Karena hidup ini lebih butuh pengertian spiritual tentang uang, daripada seminar investasi yang diakhiri dengan penawaran member platinum.”

Dan semoga saja, suatu hari nanti, dompet kita nggak cuma penuh isi, tapi juga penuh makna
Tinggal di Bengkulu itu rasanya seperti menjalin hubungan dengan mantan yang dulu pernah baik, penuh kenangan, tapi akhirnya kita tahu: ini bukan tempat untuk ambisi besar. Bukan karena Bengkulu tidak punya potensi, tapi karena ia terlalu sabar, terlalu tenang, terlalu ikhlas untuk dikejar-kejar target. Kau bisa betah di sini, asal tidak berharap menjadi pusat perhatian. Seperti mantan yang diam-diam masih mengingat ulang tahunmu, tapi tidak pernah lagi mengucapkannya secara langsung. Ia hadir, tapi tidak menuntut.

Setiap pagi, kota ini bangun dengan santai. Matahari muncul seperti enggan-enggan, lalu menerangi jalanan yang tidak pernah benar-benar macet. Di warung sarapan, obrolan masih soal harga sawit dan anak tetangga yang kerja di Jakarta. Semua terasa seperti kaset lama yang diputar ulang—nada yang sama, tapi tetap bikin nyaman. Tidak ada yang terburu-buru, tidak ada yang benar-benar gila kerja. Seperti hubungan yang sudah melewati masa-masa drama.
Ilustrasi menikmati sore di pantai di Bengkulu (Gambar : AI Generated)

Saya pindah ke Bengkulu sebelas tahun lalu. Awalnya hanya karena pekerjaan, tapi lama-lama saya betah seperti orang yang kejebak nostalgia. Bukan karena semuanya indah, justru karena kekurangannya bisa dipahami. Kota ini tidak menjual mimpi-mimpi palsu seperti kota besar. Dia hanya bilang: "Kalau kamu capek, duduklah sebentar di Pantai Panjang. Lihat laut. Jangan pikirin hidup terlalu keras."

Kalau ditanya apa yang paling saya suka dari Bengkulu, saya selalu jawab: diamnya. Ini kota yang tidak merasa perlu membuktikan dirinya ke siapa-siapa. Tidak ada ambisi menjadi seperti Yogyakarta atau Bandung. Dia tahu posisinya, dan dia tidak minder. Ada daya tarik yang lahir dari kelegaan itu—seperti mantan yang sudah move on tapi tetap bisa ngobrol baik-baik sama kita di warung kopi.

Orang bilang Bengkulu sepi. Saya tidak membantah. Tapi saya juga tidak akan menyebutnya membosankan. Karena kadang yang kita butuhkan bukan keramaian, tapi ruang untuk mendengar diri sendiri. Kota ini memberi itu. Ia menyediakan jeda. Memberi kita alasan untuk berhenti sejenak dari sibuk yang seringkali tidak jelas tujuannya.

Tentu, Bengkulu bukan tanpa kekurangan. Di beberapa titik, kota ini seperti lupa untuk berkembang. Beberapa proyek mangkrak, beberapa gedung dibiarkan jadi rumah laba-laba. Tapi seperti mantan yang kita tahu tidak sempurna, kita tetap menyukainya karena ia membuat kita merasa cukup. Bukan karena tidak bisa dapat yang lebih baik, tapi karena tahu: tenang juga adalah bentuk bahagia.

Saya suka jalan menelusuri sore di kota ini. Melewati jalan danau dendam tak sudah yang pinggirnya sawah, atau menyusuri kawasan tepi pantai malabero yang seperti tidak pernah kehabisan senja. Di Jakarta, ini semua pasti sudah dipagari dan dikomersilkan. Di sini, laut tetap milik siapa saja yang ingin diam di hadapannya tanpa harus bayar parkir mahal. Seperti mantan yang tetap menyisakan playlist Spotify bersama, walau hubungan sudah tamat.

Ada rasa aman di Bengkulu yang sulit dijelaskan. Bukan aman dari kejahatan, tapi aman secara batin. Aman untuk merasa gagal. Aman untuk jadi orang biasa. Aman untuk tidak keren-keren amat. Ini kota yang tidak akan mengolok-olokmu kalau kamu belum punya rumah. Tidak akan mengejekmu kalau masih pakai motor butut. Ia menerima, tanpa komentar.

Pernah satu kali saya iseng jalan-jalan malam ke Simpang Lima dan berputar ke kawasan Stadion Semarak saat musim durian. Suasananya seperti nonton konser band indie yang lupa dipromosikan. Lampu-lampu ada, suara-suara juga terdengar, tapi tidak ada desakan. Semua orang duduk, ngobrol, sambil menikmati buah durian fresh langsung dari kebun yang dijajakan para penjual di pinggir jalan. Tidak ada yang merasa perlu kelihatan paling keren. Saya duduk di situ cukup lama, hanya untuk menikmati absurditas: kota ini benar-benar tidak berusaha jadi sesuatu.

Dan mungkin itu yang bikin Bengkulu terasa tulus. Karena ia tidak berakting. Tidak mencoba meniru. Tidak ingin jadi viral. Ia cukup dengan apa adanya. Seperti mantan yang tidak lagi berusaha terlihat bahagia di media sosial, tapi kamu tahu dari caranya senyum: dia damai. Ada kedewasaan yang tidak bisa dibeli di toko, hanya bisa ditempa oleh waktu dan penerimaan.

Anak-anak muda di sini juga punya cita-cita. Tapi mereka tahu, lari terlalu cepat bisa bikin kepleset. Mereka belajar bersiasat, tidak memaksa. Menggelar lapak kecil, bikin konten, jualan kopi atau seblak. Saya lihat semangat itu tumbuh, pelan-pelan. Tidak seperti startup di kota besar yang dibakar investor. Di sini, bara kecil dirawat dengan napas panjang.

Kadang saya berpikir, Bengkulu tidak akan pernah jadi kota tujuan. Ia akan tetap jadi kota persinggahan. Tempat orang datang untuk belajar tenang, lalu pergi ketika sudah rindu hiruk-pikuk. Tapi justru karena itu ia jadi penting. Seperti mantan yang dulu membuatmu sadar: tidak semua cinta harus berujung pesta pernikahan. Ada yang cukup tinggal di hati.

Bengkulu punya laut, punya kopi, punya pendap, punya cerita-cerita tua tentang Soekarno yang dibuang tapi malah jatuh cinta. Tapi yang paling dia punya adalah ruang. Ruang untuk diam. Ruang untuk pulih. Ruang untuk jadi manusia yang tidak diukur dari seberapa sering nongol di Instagram explore. Ini kota yang memanusiakan manusia dengan cara yang sangat sederhana.

Saya tahu tidak semua orang cocok tinggal di sini. Ada yang akan gelisah karena terlalu sepi. Ada yang merasa mandek karena ritme yang lambat. Tapi buat saya, ini bukan soal cocok atau tidak. Ini soal apa yang kita cari dalam hidup. Kalau yang kamu cari adalah ruang untuk berpikir ulang, Bengkulu menyediakan itu, dengan senyuman yang tidak memaksa.

Saya pernah berpikir akan meninggalkan kota ini. Tapi setiap kali saya coba membayangkannya, selalu ada yang menahan. Mungkin bukan kota ini, tapi rasa damai yang dia tawarkan. Rasa yang sulit dicari di tempat lain. Rasa yang seperti pelukan lama—hangat tapi tidak posesif.

Bengkulu, pada akhirnya, adalah tempat yang tidak akan membuatmu jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi jika kau beri waktu, ia akan merayap perlahan ke hatimu. Seperti lagu lama yang baru terasa indah setelah berkali-kali didengar. Ia tidak mencolok, tapi menetap. Dan itu, bagi saya, lebih dari cukup.
Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • PERBEDAAN PROPOSAL SKRIPSI, TESIS, DAN DISERTASI
  • KAMPUS KITA, BEBAN KITA ; MENGAJAR DI TENGAH SISTEM YANG LUPA KELAS
  • PRESIDEN CUKUP SMA, GURU HARUS S1 ; NEGARA KITA MEMANG GEMAR PLOT TWIST
  • EKSISTENSI DUA FORUM

Ramadhan Bercerita

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar