Belakangan ini, ada kabar baru dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang bikin geleng-geleng kepala. Jadi, MK baru saja memutuskan menolak lagi untuk kesekian kalianya tentang gugatan soal syarat pendidikan minimal S1 untuk calon presiden, wakil presiden, atau pejabat negara setingkat ketua DPR, DPD, dan MPR. Artinya, aturan lama tetap berlaku. Lulusan SMA sederajat masih sah, halal, dan legal untuk nyalon jadi presiden.
Kalau dipikir-pikir, aturan ini unik sekaligus absurd. Bayangkan, buat jadi guru SD saja, yang kerjaannya "hanya" ngajarin anak-anak berhitung dan membaca, sekarang harus S1 Pendidikan plus wajib lulus PPG. Kalau enggak, ya wassalam, gak bakal dapat NIP atau SK. Lha, jadi presiden yang ngurusin seluruh rakyat Indonesia, dari Aceh sampai Merauke, dari gaji ASN sampai harga cabe, kok malah cukup ijazah SMA?
![]() |
Ilustrasi (Gambar : AI Generated) |
Saya jadi ingat nasib dokter. Untuk bisa buka praktik, mereka kuliah bertahun-tahun, koas sampai mata panda, kemudian masih harus ambil profesi. Baru setelah itu boleh buka praktik dan menulis resep paracetamol. Itu pun tetap bisa kena semprot pasien kalau obatnya nggak manjur. Sementara, jadi presiden, yang keputusannya bisa bikin jutaan orang bahagia atau sengsara, ternyata nggak butuh semua itu. Cukup lulus SMA, asal punya partai pendukung. Rasanya kayak ada yang kebalik-balik di sistem logika kita.
Apoteker juga tak kalah tragis. Mereka harus kuliah farmasi, ambil profesi apoteker, baru boleh meracik obat. Salah racik sedikit, bisa masuk berita kriminal. Bandingkan dengan pejabat negara. Salah ngomong di podium, maksimal cuma viral sehari dua hari. Salah bikin kebijakan, ya rakyat yang jadi obat nyamuk. Tapi tetap saja, ijazah SMA sudah cukup buat nyalon. Kalau sudah begini, kita jadi bingung. Mana yang lebih serius diurus negara, kesehatan rakyat atau kursi kekuasaan?
Belum lagi mahasiswa yang sedang skripsi. Mereka bukan hanya harus lulus S1, tapi sekarang juga dituntut punya sertifikasi profesi dari LSP terlisensi BNSP supaya dianggap kompeten di dunia kerja. Jadi, anak muda baru lulus itu sudah kayak bawa dua tentengan: skripsi dan sertifikat. Baru mau kerja di perusahaan, ditanya: "Kamu punya sertifikasi apa?" Padahal, jadi presiden, yang mengatur dunia kerja itu, sertifikasi nggak penting. Modal sertifikat ijazah SMA sudah lebih dari cukup. Tidak akan pernah ditanya: "Anda punya sertifikat kompetensi dengan skema apa? Okupasi, KKNI, atau Klaster?"
Bayangkan kalau ada mahasiswa yang lagi stress skripsi, terus bapaknya bilang, "Nak, buat apa kamu capek-capek kuliah. Lihat tuh, jadi presiden aja cukup lulusan SMA." Bisa-bisa mahasiswa itu langsung gulung tikar, masuk pesantren kopi, lalu buka warung burjo sambil nyiapin diri nyalon DPR. Ini bukan lagi krisis logika, tapi sudah jadi krisis motivasi generasi muda.
Kita tentu nggak sedang meremehkan lulusan SMA. Banyak kok orang pintar lulusan SMA yang cerdas, kreatif, dan sukses. Tapi beda urusannya kalau bicara jabatan publik paling tinggi di negara. Yang dipertaruhkan bukan cuma nasib satu-dua orang, tapi 270 juta jiwa. Kalau begitu, masa iya syaratnya masih seenaknya seperti ini. Bukankah mestinya standar orang yang ngurus negara harus lebih tinggi daripada orang yang ngurus parkiran?
Lucunya, kalau kita mau jadi satpam di bank, biasanya minimal harus lulusan SMA plus ada pelatihan. Jadi satpam aja ditambah "plus-plus". Lah kok presiden cukup SMA? Apa presiden dianggap semacam satpam negara yang kerjanya cuma buka pintu istana dan salam-salaman tiap pagi? Kalau sudah begini, saya makin bingung, jangan-jangan negara ini sedang eksperimen sosial besar-besaran tanpa kasih tahu kita.
Mungkin logika MK sederhana, mereka ingin semua orang punya kesempatan yang sama. Semacam demokrasi yang dibikin terbuka lebar, sampai pintunya jebol. Tapi tetap saja, kesempatan yang sama tidak berarti syaratnya harus minimal banget. Kalau jadi dokter tetap ada batasan, kenapa jadi presiden bebas seperti pendaftaran lomba karaoke di kelurahan? Kalau nyanyi fals masih bisa ditutup musik, tapi kalau bikin kebijakan fals, apa ya cukup ditutup dengan cuitan buzzer di medsos?
Ada juga yang bilang, syarat pendidikan nggak menjamin kualitas kepemimpinan. Betul, memang ada sarjana bodoh dan ada lulusan SMA yang cerdas. Tapi minimal, pendidikan tinggi memberi bekal berpikir sistematis dan kritis. Kalau presiden tidak punya itu, risiko kebijakan asal-asalan makin besar. Kita butuh presiden yang ngerti data, bukan sekadar ngerti dengerin bisikan "tim sukses".
Kadang terlintas pikiran nakal di kepala, apa MK ini diam-diam pengin bikin motivasi baru buat anak SMA. "Hei anak-anak, nggak usah takut masa depan. Gagal kuliah nggak masalah. Masih ada lowongan presiden." Kalau benar begitu, ya selamat. Indonesia jadi negara paling ramah untuk anak-anak malas kuliah, tapi paling galau buat mahasiswa yang baru nyicil KRS semester 3.
Coba bandingkan dengan Jepang. Perdana Menteri mereka lulusan universitas top. Atau Jerman, kanselir mereka dikenal sebagai orang dengan background akademis mumpuni. Sementara kita, dengan gagah berani, memberi opsi lulusan SMA untuk jadi kepala negara. Bedanya memang sederhana. Jepang menaruh negara di tangan orang yang ahli. Kita menaruhnya di tangan siapa pun yang penting lulus ujian nasional. Agak serem, sih.
Yang bikin saya ngakak dalam hati, kalau jadi PNS aja harus ikut tes CAT yang ribetnya kayak soal-soal TPA campur sudoku, lah kok jadi presiden cukup SMA? Padahal presiden otomatis jadi bos besar semua PNS. Jadi bawahannya lebih ribet syaratnya dibanding bosnya.
Kalau terus dibiarkan, ini bisa jadi masalah serius. Bayangkan kalau ada generasi muda yang mikir begini: "Untuk apa kuliah, toh kalau pengin berkuasa cukup SMA?" Itu artinya pendidikan tinggi kita makin kehilangan daya tarik. Semua orientasi pindah ke politik, bukan ke ilmu pengetahuan. Lalu apa gunanya universitas yang tiap tahun sibuk bikin akreditasi dan menambah jumlah prestasi?
Sebagian orang mungkin santai, mereka bilang, "Ah, biarin aja. Nanti rakyat yang milih kok." Tapi jangan lupa, rakyat juga sering dibuat bingung dengan pencitraan. Kalau modalnya cukup SMA plus punya tim medsos jago bikin konten TikTok, bisa-bisa rakyat kepincut. Lalu kita punya presiden yang lebih ahli joget ketimbang bikin strategi ekonomi. Jangan-jangan nanti APBN malah dibuka pakai filter CapCut.
Tentu saja ini bukan berarti kita menutup jalan bagi rakyat biasa. Demokrasi memang harus inklusif. Tapi inklusif bukan berarti asal-asalan. Tetap perlu standar agar jabatan publik tidak dianggap seperti pendaftaran lomba balap karung. Karena taruhannya bukan hadiah panci, tapi arah bangsa. Kalau nggak ada standar, ya siap-siap kita jadi bahan tertawaan dunia internasional.
Yang menarik, MK selalu pakai alasan formal: "Tidak ada masalah konstitusional." Ya memang, konstitusi tidak bilang harus S1. Tapi konstitusi juga nggak pernah melarang ada standar baru. Jadi, bukannya tidak boleh, hanya memang tidak mau. Bedanya tipis, tapi efeknya besar. Lalu kita, rakyat biasa, cuma bisa gigit jari sambil nonton debat di TV.
Kalau mau jujur, ini keputusan yang bikin generasi muda semakin bingung arah hidup. Sementara dosen-dosen sibuk menggenjot mahasiswa biar lulus tepat waktu dan dapat sertifikasi kompetensi, negara malah bilang: "Tenang saja, jadi presiden cukup SMA." Seolah-olah ada dua jalan paralel yang nggak pernah ketemu. Yang satu penuh keringat dan ujian, yang satu penuh baliho dan poster.
Akhirnya, kita harus sadar, keputusan ini bukan sekadar soal syarat ijazah. Ini soal logika negara dalam menghargai pendidikan. Kalau negara saja tak serius memberi standar tinggi untuk jabatan tertinggi, jangan harap rakyat mau menghargai pendidikan tinggi. Besok-besok mungkin ada yang nyeletuk, "Ngapain kuliah, toh bisa jadi presiden dengan modal SMA." Dan kalau itu sampai jadi tren, selamat tinggal motivasi akademik bangsa.
Kalau semua sudah begini, saya jadi teringat kalimat orang tua dulu: "Sekolah tinggi-tinggi biar hidupmu lebih baik." Sekarang, kalimat itu kayak kehilangan makna. Karena ternyata, sekolah tinggi-tinggi tak menjamin apa-apa, bahkan untuk syarat presiden. Jadi, apa masih pantas kita berharap generasi muda rajin kuliah, sementara negara memberi contoh kalau tanpa kuliah pun bisa jadi nomor satu?