Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami
Kemarin sore, udara Bengkulu masih mengandung sisa-sisa panas dari matahari yang seharian tak mau berkompromi. Saya melangkah keluar dari gedung pertemuan, hasil workshop kawan-kawan aktivis lingkungan masih bergema di kepala. Hari itu, saya memang sengaja tidak membawa kendaraan. Bukan karena ingin bergaya hemat, tapi lebih ke alasan efisiensi yang kini terasa semakin relevan. Di tengah krisis BBM, antrean motor dan mobil mengular sampai ke mulut jalan. Daripada harus ikut mengantre lima jam hanya demi 5 liter bensin, lebih baik saya minta istri yang menjemput anak—sementara saya memesan ojek online saja.

Pengemudi ojol yang datang sore itu mengenakan jaket hijau lusuh yang warnanya mulai pudar. Helmnya ada dua: satu untuk dia, satu untuk saya. Kami menyusuri jalan utama kota Bengkulu yang kini menjadi semacam lorong bensin. Di kiri-kanan jalan, SPBU disesaki motor. Dalam kondisi seperti itu, saya rasa, mengobrol lebih baik daripada mengutuk jalanan.
Ilustrasi Ojol dan Penumpang (Gambar : AI Generated)

Saya mulai dengan pertanyaan ringan: sudah antre berapa jam hari ini? Dia tersenyum miris, “Tadi pagi lima jam, Pak. Itu pun cuma dapat tiga liter.” Saya mengangguk, pura-pura tidak kaget. Walau dalam hati saya tetap bertanya-tanya, bagaimana orang seperti dia bisa tetap tersenyum dalam tekanan seperti itu? Mungkin karena sudah terbiasa, atau mungkin karena dalam hidupnya, senyum adalah salah satu bentuk perlawanan.

Obrolan kami lalu mengalir. Ia mulai bercerita tentang rekan-rekannya sesama pengemudi ojol yang kini sebagian sudah pindah kerja karena keadaan kelangkaan BBM saat ini. Ada yang jadi pedagang bensin eceran, ada yang jadi joki pengunjal bensin (tukang beli bensin dengan kendaraan, lalu dijual ke pengecer dengan harga tinggi). “Yang penting gak nganggur, Pak,” katanya. Saya diam sejenak. Ada kebenaran sederhana yang terasa begitu kuat dari kalimat itu. Karena dalam hidup, kadang yang kita butuhkan bukan jabatan, tapi keberanian untuk terus bergerak.

Lalu ia bertanya saya kerja di mana. Saya jawab singkat, “Ngajar di kampus.” Ia tampak tertarik. Lalu bertanya di program studi apa. Saya bilang di manajemen. Saat itu saya mulai merasa bahwa pengemudi ini bukan pengemudi biasa. Ada ketertarikan yang khas dalam pertanyaannya. Dia tahu istilah akademik. Tahu bahwa manajemen bukan sekadar mengelola orang, tapi juga mengelola kemungkinan.

Dan seperti mendapat bahan bakar baru, ia pun mulai menyodorkan pertanyaan demi pertanyaan soal manajemen. Tentang kepemimpinan, tentang bagaimana orang bisa tahu arah kalau tidak ada peta, tentang mengapa strategi tak selalu berhasil. Saya menjawab semampu saya. Kadang serius, kadang dengan contoh dari kehidupan pribadi saya. Salah satunya tentang bagaimana saya membangun sistem kecil di keluarga.

Saya ceritakan padanya, bahwa saya percaya sistem itu bukan hanya milik perusahaan besar. Di keluarga kecil saya, kami punya sistem keuangan, sistem waktu belajar anak, sistem darurat kalau saya tiba-tiba harus absen selamanya. Karena saya percaya, manajemen bukan teori. Ia adalah cara menyusun hidup supaya tidak kacau ketika guncangan datang tiba-tiba.

Saya tambahkan, bahwa kalau sistem itu bagus, maka orangnya bisa diganti, tapi kerja tetap jalan. Dan dalam hal ini, seorang gubernur atau walikota mestinya tidak sibuk tampil di televisi atau media sosial. Ia mestinya sibuk merancang sistem. Agar ketika dia lengser, rakyat tetap bisa menikmati hasil kerja, bukan cuma kenangan foto bersama.

Ia mengangguk, entah benar-benar paham atau hanya sopan. Tapi saya lanjutkan, karena momentum percakapan itu terlalu sayang untuk dilewatkan. Ia lantas bertanya mengaitkannya dengan politik. Di Bengkulu, warganya ini sangat tertarik dengan obrolan politik. Bahkan mungkin 70% obrolan warung kopi topiknya soal politik. Inilah kenapa Bengkulu ini beda dengan yang lain.

Saya katakan bahwa dalam politik, sistem itu sering kalah oleh popularitas. Karena sistem tidak bisa dijual cepat. Ia tidak memukau. Ia bekerja diam-diam, di balik layar.

Saya lalu mencontohkan Anies Baswedan. Saat ia memimpin Jakarta, banyak yang mengkritiknya tidak “kelihatan kerja.” Padahal, ia sedang membuat sistem transportasi bernama Jaklingko. Sistem itu tidak menggantungkan diri pada satu operator, tapi menyambungkan berbagai moda dan tarif dalam satu integrasi. Itu bukan ide populer. Tapi lima tahun kemudian, orang baru sadar bahwa sistem itu menyelamatkan banyak orang dari keruwetan harian.

“Kalau gubernur Bengkulu sekarang gimana, Pak?” tiba-tiba dia bertanya. Saya tertawa kecil. Saya jawab, “Saya bukan komentator politik.” Tapi ia terus mendesak. Katanya, “Saya ingin tahu dari sisi manajemen. Kan sudah seratus hari kerja, tapi belum terasa sistemnya.” Pertanyaan itu menohok, tapi juga jujur. Saya tidak bisa menolaknya.

Saya lalu menjelaskan bahwa seratus hari bukan waktu yang cukup untuk membangun sistem. Tapi cukup untuk menunjukkan arah. Kalau sampai seratus hari rakyat tidak bisa menebak arah ke mana kepemimpinan ini akan dibawa, maka itu masalah manajerial. Karena seorang pemimpin yang baik adalah seorang komunikator sistem.

Saya tidak menjawab apakah gubernur sekarang baik atau tidak. Saya lebih suka menunjukkan bahwa ukuran keberhasilan bukan pada pidato atau trending di Media Sosial, tapi pada apakah rakyat bisa hidup lebih mudah. Kalau antre BBM tetap lima jam, maka itu tanda sistem distribusi belum berubah.

Ia mengangguk lagi. Kali ini lebih dalam. “Berarti jadi gubernur itu kayak manajer ya, Pak?” Saya jawab, “Ya. Tapi lebih rumit, karena stakeholder-nya banyak, dan ekspektasinya liar.” Ia tertawa. Saya pun ikut tertawa. Tawa dua orang di atas motor, di tengah jalan yang padat kendaraan yang sedang mengantre, terasa seperti jeda dari peliknya hidup.

Saya tahu, pengemudi ini tidak sedang bercanda. Ia serius ingin tahu. Mungkin karena ia juga pernah kuliah. Mungkin karena ia sedang mencari arah baru dalam hidup. Atau bisa jadi, karena hidup telah mengajarkannya bahwa ilmu tidak hanya milik mereka yang di balik meja.

Kami tiba di depan rumah. Saya turun dari motor, mengembalikan helm. Ia tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Saya pun mengangguk, mengucapkan doa dalam hati: semoga sistem dalam hidupnya terus menguat. Karena dalam dunia yang tak menentu ini, sistem adalah satu-satunya jaring pengaman.

Saat saya masuk rumah, obrolan tadi masih membekas. Saya berpikir, mungkin seharusnya kita semua belajar manajemen. Bukan untuk jadi manajer perusahaan, tapi untuk jadi manajer hidup. Supaya kita tidak tenggelam dalam kekacauan yang kita ciptakan sendiri.

Saya jadi teringat mahasiswa-mahasiswa saya. Mereka sering bertanya, “Pak, kalau nanti saya tidak kerja di kantor, apa gunanya belajar manajemen?” Sekarang saya tahu jawaban terbaiknya: karena hidupmu sendiri adalah perusahaan terpenting yang akan kamu kelola seumur hidupmu.

Jadi, jika suatu hari kamu jadi sopir, guru, kepala dusun, atau bahkan hanya kepala dapur, jangan minder. Selama kamu tahu cara mengatur, menyusun, dan membenahi, kamu sudah menjalankan peranmu sebagai manajer. Dan itu sudah cukup mulia.

Saya tidak tahu latar belakang pengemudi tadi. Tapi saya tahu, ia telah membuat saya menulis ini. Ia telah mengingatkan saya bahwa ilmu bukan untuk digantung di dinding, tapi untuk dijalani dalam keseharian.

Maka saya percaya, selama masih ada orang seperti dia, negeri ini tidak akan benar-benar kehilangan arah. Karena harapan tak selalu lahir dari kantor gubernur. Kadang, harapan itu datang dalam bentuk tukang ojol, di tengah sore yang panas, dengan dua helm dan sejuta cerita.
Bengkulu itu seperti rumah di ujung gang sempit. Jalannya cuma satu. Kalau ada truk besar mogok di tengah gang itu, semua penghuni rumah harus jalan kaki atau menunggu sampai mogoknya selesai. Tidak ada pintu belakang. Tidak ada jalur alternatif.

Saya tidak sedang membesar-besarkan masalah. Cobalah tengok berita-berita beberapa hari terakhir. BBM langka, antrean mengular sepanjang dua kilometer di banyak SPBU. Tidak hanya motor dan mobil, kadang sampai truk pengangkut sayur pun ikut antre. Tentu saja semua ini tidak terjadi dalam ruang hampa.
Ilustrasi Multi Jalur Suplai BBM ke Bengkulu (Gambar : AI Generated)
Pendangkalan di alur pelabuhan Pulau Baai jadi pangkal perkara. Kapal tanker tidak bisa bersandar. BBM tak bisa diturunkan. Dan begitu satu jalur ini terhambat, bengkulu seperti dikerangkeng. Tidak ada opsi lain.

Lalu datanglah solusi darurat: mendatangkan BBM dari luar, lewat darat. Lewat jalur yang kalau kita sering lewati, tahu persis betapa berkeloknya. Truk dari Jambi dan Linggau jadi penyambung nyawa. Tapi biaya logistik melonjak. Setiap liter yang dikirim, Pertamina rugi—tapi tetap dikirim.

Kita harus berterima kasih pada para sopir tangki BBM itu. Mereka adalah pahlawan logistik dalam senyap. Jalanan lintas Sumatera itu tidak main-main. Tanjakan, tikungan tajam, longsoran di musim hujan, itu semua adalah sahabat harian mereka.

Tapi kita tidak bisa terus-menerus hidup dalam mode darurat. Maka saya ingin bicara tentang tiga hal: jangka pendek, menengah, dan panjang. Tiga skala waktu ini harus kita pikirkan bersama. Tidak bisa hanya berharap satu solusi ajaib turun dari langit.

Jangka pendek dulu. Yang paling mudah dan harus segera dilakukan: keruk alur laut Pulau Baai. Ini seperti membersihkan saluran air mampet. Bukan soal politik, ini soal teknis. Tinggal alokasikan anggaran dan kerja cepat.

Jangan tunggu investor. Jangan tunggu lelang internasional. Waktu tidak sedang memihak. Setiap hari menunggu, antrean makin panjang, kepercayaan publik makin tergerus.

Gubernur, Wali Kota, dan DPRD bisa patungan anggaran jika Pelindo, Kementerian, atau pemerintah pusat tidak mau membiayai. Saya tahu, anggaran daerah tidak sekuat itu. Tapi untuk kepentingan mendesak seperti ini, pemanfaatan belanja tidak terduga bisa digeser.

Sambil mengeruk, kita juga perlu mendata semua SPBU. Mana yang bisa dijadikan prioritas distribusi. Mana yang bisa difungsikan khusus untuk sektor strategis: rumah sakit, ambulans, dan logistik pangan dan mana yang SPBU banyak bocor ke para pengecer.

Masyarakat juga perlu diberi informasi yang jelas. Jangan hanya bicara "panic buying" tanpa menunjukkan bukti. Warga antre bukan karena panik, tapi karena benar-benar butuh. Menyalahkan rakyat adalah cara paling malas dalam manajemen krisis.

Sekarang jangka menengah. Kita harus membuka opsi logistik darat secara lebih serius. Artinya, perbaikan jalan lintas barat dan tengah Sumatera dan penyelesaian jalur tol Bengkulu-Linggau yang baru selesai 1 tahap saja, harus menjadi prioritas. Pendalaman studi untuk usulan pembukaan jalur kereta api Linggau-Pulau Baai. Pemerintah pusat dan daerah harus duduk satu meja.

Jangan anggap pembangunan jalan itu cuma proyek infrastruktur biasa. Ini adalah soal konektivitas hidup dan mati. Bengkulu tidak boleh lagi mengandalkan satu jalur pelabuhan.

Logistik BBM bisa dipecah. Sebagian masuk lewat pelabuhan, sebagian lewat darat. Diversifikasi sumber distribusi. Ini sama dengan membagi risiko. Kalau satu jalur terganggu, jalur lain bisa menopang.

Di jangka menengah pula, kita bisa mulai membangun depo penyangga. Gudang BBM dengan cadangan untuk 30 hari. Letaknya di titik strategis, misalnya perbatasan dengan Sumatera Selatan. Sehingga pengiriman dari dua arah tetap memungkinkan.

Saya pernah membaca dalam satu artikel tentang depo BBM kecil di daerah terpencil di Kalimantan. Fungsinya bukan untuk distribusi harian, tapi cadangan saat cuaca ekstrem atau jalur terganggu. Di Bengkulu, ini bahkan lebih relevan.

Nah, masuk ke jangka panjang. Inilah waktunya Bengkulu memikirkan kemandirian energi. Saya tidak sedang bicara kendaraan listrik (mobil). Itu terlalu jauh, dan ekosistemnya belum sepenuhnya siap. Teknologinya masih terlalu mahal. Tapi kita bisa bicara biogas, panel surya, atau teknologi hybrid.

Bengkulu punya banyak potensi air. Mikrohidro bisa dijadikan sumber listrik lokal. Bisa juga dijadikan pengganti untuk pompa-pompa BBM yang selama ini tergantung genset. Di kampung-kampung, listrik dari mikrohidro bisa menyokong ekonomi kecil.

Energi matahari? Sangat mungkin. Daerah pantai punya paparan cahaya hampir maksimal. Tapi butuh kemauan dan dukungan teknologi. Pemerintah daerah bisa mulai dari kantor-kantor OPD. Jadikan contoh, bukan sekadar slogan.

Di masa depan, kemandirian energi tidak boleh lagi jadi jargon. Ia harus jadi sistem. Kalau selama ini kita membangun jalan tol untuk konektivitas mobilitas, maka energi adalah konektivitas kehidupan.

Pendidikan juga tidak boleh ketinggalan. Anak-anak SMA dan SMK di Bengkulu bisa diberi kurikulum energi terbarukan. Bangun semangat kemandirian dari sekolah. Siapa tahu, insinyur yang akan menemukan solusi energi murah lahir dari sini. SMA Muhammadiyah 4 Bengkulu dan SMAK St. Carolus sudah mencontohkannya. Bahkan Kepala Sekolahnya sampaiu diundang ke Brazil untuk menceritakan projectnya ini sebagai praktik baik di institusi pendidikan.

Saya tahu, semua ini tidak mudah. Tapi kalau kita terus berpikir seperti sekarang, kita hanya akan jadi penonton. Sementara krisis demi krisis datang silih berganti.

Menunggu solusi dari pusat bisa seperti menunggu janji mantan. Bisa datang, bisa juga tidak. Maka biarkan Bengkulu menulis skenario solusinya sendiri. Lewat tangan-tangan warganya yang bekerja dengan ketulusan dan kemauan.

Krisis BBM ini membuka mata kita: Bengkulu terlalu rapuh untuk dibiarkan tanpa rencana cadangan. Sudah saatnya kita berpikir seperti daerah kepulauan. Mandiri dalam logistik. Tangguh dalam konektivitas.

Saya menulis ini bukan untuk menyalahkan siapa pun. Tapi untuk mengingatkan bahwa waktu kita terbatas. Dan kalau kita tidak berubah sekarang, mungkin nanti kita tidak bisa lagi memilih untuk berubah.
Hari senin siang (26 Mei 2025), gubernur menjelaskan di media bahwa salah satu penyebab terjadinya antrian panjang kendaraan di berbagai SPBU di Bengkulu adalah karena adanya Panic Buying. Istilah ini mungkin terdengar asing, namun sebenarnya sering terjadi di sekitar kita dalam beberapa tahun terakhir. 

Panic buying atau pembelian panik adalah perilaku konsumen yang membeli barang dalam jumlah besar dan tidak wajar karena ketakutan akan kelangkaan atau kenaikan harga barang tersebut di masa depan. Perilaku ini biasanya dipicu oleh krisis, rumor, atau informasi yang menimbulkan kecemasan, seperti bencana alam, konflik, pandemi, atau isu kenaikan harga.
Ilustrasi Panic Buying (Gambar : AI Generated)
Lalu apakah fenomena antrian super panjang di Bengkulu ini termasuk dalam panic buying seperti yang dijelaskan oleh Gubernur?

Antrian BBM di Bengkulu saat ini tidak semata-mata disebabkan oleh panic buying, meskipun fenomena tersebut mungkin ikut memperburuk keadaan. Ada beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa masalah utamanya adalah gangguan pasokan struktural, bukan kepanikan konsumen.

Beberapa hal yang bisa menjelaskan mengapa ini bukan masuk kategori panic buying :

• Masalah Utama: Pendangkalan Alur Laut

Sejak pelabuhan Pulau Baai mengalami pendangkalan, kapal tanker Pertamina tidak bisa lagi bersandar. Ini menyebabkan distribusi BBM harus dialihkan lewat darat dari Jambi dan Lubuk Linggau. Hal ini menyebabkan pasokan melambat dan terbatas.

• Tren Antrian Terjadi Sebelum Panic Buying

Antrian panjang di SPBU sudah terjadi secara bertahap selama beberapa minggu terakhir. Ini menunjukkan krisis pasokan sudah berlangsung lama dan bukan reaksi sesaat akibat kepanikan.

• Panic Buying sebagai Efek, Bukan Sebab

Ketika masyarakat melihat SPBU kosong atau mendengar kabar bahwa pengiriman BBM tersendat, sebagian memang akhirnya berebut isi BBM saat ada pengiriman. Ini menciptakan ilusi panic buying, padahal mereka hanya mencoba bertahan hidup dalam kondisi pasokan terbatas.

• Kelangkaan BBM Eceran dan Ojek Online

Banyak pertamini tutup. Ojek online tidak beroperasi karena kehabisan BBM. Ini menunjukkan bahwa sistem distribusi informal pun lumpuh, bukan hanya karena kepanikan, tapi memang karena tidak ada stok BBM yang bisa dibeli.

• Harga BBM Eceran Melonjak

Jika ini murni panic buying, BBM tetap tersedia namun mahal. Tapi kenyataannya, harga naik karena barangnya memang sangat langka, bukan karena diborong. Buktinya pembelian BBM di SPBU dibatasi per kendaraan maksimal hanya 30 liter untuk mobil dan 5 liter untuk motor.

Kesimpulannya, indikasi ke arah panic buying memang ada, namun bukan faktor utama. Yang lebih dominan adalah krisis pasokan akibat kendala logistik struktural yang seharusnya jadi perhatian serius pemerintah daerah dan pusat.
Di Jakarta, orang ribut karena laut ditimbun-timbun. Alasannya macam-macam, mulai dari ancaman lingkungan, rusaknya ekosistem, sampai kekhawatiran tentang siapa yang bakal menikmati hasil reklamasi itu. Sebagian khawatir kalau daratan baru itu nanti akan jadi milik segelintir orang kaya yang bisa beli pulau seharga dua mobil Pajero. Sementara rakyat jelata cuma bisa menikmati laut dari jendela bus Transjakarta, sambil ngelus dada. Tapi itu Jakarta, tempat segala hal bisa jadi polemik nasional.

Sementara itu, di Bengkulu, kondisinya agak nyeleneh. Kalau di Jakarta orang khawatir laut ditimbun, di Bengkulu justru lautnya semakin timbul sendiri. Bukan karena pembangunan, tapi karena pendangkalan. Alur laut Pulau Baai pelan-pelan mulai berubah nasibnya, dari jalur logistik menjadi semacam kolam rendam berpasir. Kapal-kapal pengangkut BBM pun mendadak merasa seperti sedang main sand castle di pantai.

Di tengah hiruk-pikuk orang Jakarta yang khawatir lautnya menyusut, Bengkulu malah sibuk memikirkan gimana caranya supaya lautnya bisa sedikit lebih dalam. Ini ironi yang sebetulnya enak buat dibikin meme. Tapi karena kita bukan bangsa pememe, ya akhirnya cuma bisa jadi bahan obrolan sambil ngopi di warung. Orang sini kalau bahas soal pendangkalan alur laut nadanya udah kayak ngomongin mantan yang gak move on-move on.
Ilustrasi Pengerukan Pasir (Gambar : AI Generated)

Kalau dibiarkan terus, nanti kapal-kapal Pertamina bisa nyangkut beneran di tengah laut, nunggu pasang. Lucunya, kita bukan marah sama laut, tapi malah maklum. “Namanya juga laut,” kata orang. Seolah laut itu semacam manusia yang bisa salah jalan gara-gara kurang tidur.

Yang membuat geli, untuk urusan ini, kita justru mesti bayar kapal keruk buat bantu ngambil pasir yang bikin alur laut jadi dangkal. Padahal di tempat lain, kapal-kapal pengangkut pasir justru diusir. Di Bangka, misalnya. Kapal keruk datang, masyarakat demo. Di Bengkulu, kapal keruk datang, masyarakat malah kasih kopi. Aneh, tapi nyata.

Harusnya, pasir laut yang bikin susah ini malah bisa jadi peluang. Bayangkan, kalau kita bisa kelola hasil kerukannya, bisa saja jadi pemasukan daerah. Tak usah jauh-jauh dipikirkan untuk ekspor ke luar negeri dulu. Dijual ke proyek-proyek lokal pun udah lumayan. Hitung-hitung bantu pembiayaan perbaikan jalan yang lubangnya sudah seperti danau mini.

Tapi ya itu, kadang kita ini terlalu baik. Pasir laut yang jelas-jelas bisa dijual, malah kita perlakukan seperti masalah. Kita bayar orang untuk mengambilnya, bukan untuk membeli. Ini kalau ibarat makan, seperti beli nasi uduk tapi yang dibayar tukang nasinya biar mau diambil.

Ada juga yang bilang, mungkin karena belum ada perda yang ngatur soal pengelolaan hasil pengerukan pasir laut. Maka dari itu, niat baik pun sering kali mandek di tengah jalan. Bukan karena gak ada kemauan, tapi karena terlalu banyak prosedur yang harus dicium dulu. Belum lagi soal siapa yang boleh mengelola, siapa yang nanti ambil untung, dan siapa yang bisa bikin proposal dengan kop surat berwarna.

Sementara menunggu itu semua dibereskan, kapal-kapal besar yang mau sandar di Pelabuhan Pulau Baai hanya bisa melongo. Mereka tahu, semakin dangkal alurnya, semakin besar kemungkinan mereka harus balik kanan. Sudah rugi waktu, rugi BBM, rugi marwah juga. Kapal sebesar itu, masa nyangkut di dasar laut kayak ember tua.

Kondisi ini bukan cuma merugikan Pertamina, tapi juga bikin masyarakat Bengkulu menanggung dampaknya. BBM makin langka. Antrian di SPBU makin panjang. Orang yang biasanya ngopi pagi di warung, sekarang pagi-pagi sudah berdiri di depan motor, meratap. Bensin tinggal satu bar, tapi SPBU antrinya satu kilometer.

Sekarang, kalau ada yang bilang Indonesia itu kaya pasir, saya setuju. Tapi kalau orang Jakarta kaya pasir karena proyek reklamasi, Bengkulu kaya pasir karena lautnya memang sedang berubah jadi taman pasir. Ini kaya yang bikin bangkrut. Kaya yang bikin kapal ogah datang. Kaya yang bikin gubernur bingung cari cara.

Ironi ini makin kentara kalau kita lihat potensi yang terbuang. Pasir yang bisa dijual, malah dibuang. Dana yang bisa masuk, malah bocor. Masyarakat yang bisa untung, malah buntung. Kalau ini terus terjadi, jangan salahkan kalau nanti ada yang minta pisah dari NKRI karena merasa dianaktirikan—tentu ini cuma satire, jangan baper.

Maka, perlu cara pandang yang agak nyentrik. Jangan selalu lihat pasir laut itu sebagai biang kerok. Kadang, biang kerok itulah yang bisa jadi penyelamat. Asal dikelola dengan benar, hasil kerukan itu bisa jadi penyambung hidup. Minimal bisa mengurangi beban APBD yang selama ini kerja keras cuma buat nutupi jalan bolong.

Bahkan kalau perlu, kita bisa belajar dari Singapura yang beli pasir dari mana-mana buat tambah daratan. Kita, yang punya pasir melimpah, malah bingung sendiri. Ini seperti orang yang punya kebun durian, tapi tiap hari sarapan gorengan. Bukan karena gak suka durian, tapi karena gak tahu cara manjat pohon.

Padahal kalau mau jujur, potensi Bengkulu ini luar biasa. Lautnya indah, hasil buminya lumayan, dan sekarang, pasirnya pun banyak. Tinggal butuh keberanian untuk bilang: “Kita bisa.” Sayangnya, keberanian itu sering terhalang oleh ketakutan dikira korupsi. Kadang, niat baik bisa tampak jahat kalau prosedurnya belum dilengkapi.

Sudah waktunya Bengkulu ambil langkah maju. Tak perlu menunggu komando dari pusat. Kalau menunggu terus, bisa-bisa nanti kapal Pertamina datang bukan bawa BBM, tapi bawa nasi kotak buat rapat koordinasi. Kita terlalu sering mengadakan rapat, padahal yang kita butuh cuma satu: tindakan.

Kalau proyek pengerukan ini bisa dibereskan, dampaknya bisa luar biasa. BBM bisa kembali lancar. Logistik bisa jalan lagi. Pendapatan daerah naik. Dan yang terpenting: masyarakat bisa kembali hidup tanpa harus begadang antri bensin.

Harusnya kita bangga punya laut yang masih bisa dikeruk. Daripada punya gunung yang tinggal nama. Daripada punya jalan yang tinggal lubang. Daripada punya SPBU yang isinya cuma papan bertuliskan: “BBM Habis.”

Tapi tentu semua itu butuh keseriusan. Pemerintah daerah harus bisa jadi pelopor. Tak cukup hanya dengan lempar pernyataan di media. Harus ada tindakan nyata. Entah itu menggandeng swasta, atau mendirikan BUMD yang khusus mengelola pasir laut.

Bayangkan, betapa bahagianya nelayan, sopir truk, tukang parkir, sampai mahasiswa jika kapal BBM kembali bisa sandar tanpa drama. Tak perlu lagi susah payah cari bensin eceran harga dua puluh ribu. Tak perlu lagi bangun subuh cuma untuk antri. Semua kembali normal, semua kembali wajar. Semua berawal dari: mengelola pasir.

Saya percaya, dari pasir pun kita bisa bangkit. Kita ini bangsa besar, yang sering jatuh bukan karena kurang sumber daya, tapi karena kurang ngopi bareng. Kurang ngobrol. Kurang percaya sama potensi sendiri. Padahal, laut itu milik kita semua.

Kalau dikelola dengan benar, hasil kerukan pasir bisa jadi berkah. Bisa untuk membangun jalan-jalan yang lubangnya sudah kayak permukaan bulan. Bisa untuk membiayai beasiswa anak-anak nelayan. Bisa untuk perawatan puskesmas yang lampunya masih pakai senter.

Orang Jakarta boleh terus ribut soal reklamasi. Biarkan mereka dengan kegelisahannya. Sementara Bengkulu, bisa mengambil peran lain. Peran sebagai daerah yang cerdas mengelola kekayaan alamnya. Termasuk pasir laut yang selama ini dianggap hama.

Yang kita butuhkan sekarang bukan orang-orang pintar baru. Tapi orang-orang yang berani mengambil keputusan. Yang paham bahwa pasir bisa jadi musuh, tapi juga bisa jadi kawan. Tinggal bagaimana kita memperlakukannya.

Kalau perlu, kita bikin slogan baru untuk Bengkulu. “Bengkulu: Negeri Seribu Pasir, Seribu Solusi.” Mungkin terdengar lucu. Tapi dalam kelucuan itu, terkandung harapan. Harapan bahwa suatu hari nanti, Bengkulu bisa berdiri gagah—berkat pasirnya.
Saya bukan ahli kimia. Saya juga bukan orang teknik. Tapi saya pernah bergaul dengan banyak orang teknik. Terutama waktu saya masih sering keliling daerah-daerah di Indonesia mengikuti professor saya, bertemu banyak sarjana dan guru besar. Dari mereka, saya belajar satu hal penting: teknologi tidak selalu harus masuk akal di awal.

Saya juga dulu tidak percaya bahwa air bisa jadi bahan bakar. Logika saya menolak. Tapi hati saya bertanya-tanya. Apalagi setelah melihat kondisi Bengkulu yang semakin hari semakin menyedihkan. Bukan karena bencana alam, tapi bencana antrian.

SPBU di Bengkulu kini seperti situs ziarah. Ramai. Dikunjungi sejak subuh. Kendaraan berderet hingga dua kilometer. Tidak hanya sekali. Hampir tiap hari. Seperti prosesi panjang tanpa ujung.
Ilustrasi kendaraan memakai bahan bakar air laut (Gambar : AI Generated)

Saya tahu, di Jakarta, isu BBM memang tidak sekeras itu. Tapi di Bengkulu, itu menjadi topik sehari-hari. Menjadi pembuka obrolan di warung kopi. Menjadi candaan getir di grup WhatsApp RT. Menjadi alasan untuk datang terlambat ke kantor.

Orang-orang kini lebih banyak memilih tinggal di rumah. Jalanan lengang. SPBU justru ramai. Ironi yang membalik keseharian kota ini. Saking seringnya melihat antrian, saya jadi hafal kendaraan siapa saja yang rutin datang.

Lalu muncullah ingatan saya pada Nikuba. Singkatan dari “Niku Banyu (Itu Air ; Bahasa Jawa)”. Saya pertama kali dengar tiga tahun lalu. Dari berita kecil di koran nasional. Penemunya bukan profesor. Bukan juga insinyur senior. Hanya warga biasa dari Cirebon. Tapi bisa bikin kendaraan jalan pakai air.

Teknologi ini kemudian sempat diujicoba oleh TNI. Heboh. Viral. Tapi seperti biasa, publik cepat lupa. Lebih banyak yang sinis daripada yang penasaran. “Mana bisa motor jalan pakai air?” begitu kira-kira komentar mereka. Kepala BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) pun sampai mengirim tim untuk mengecek kesana.

Saya pun termasuk yang skeptis waktu itu. Tapi kalau sudah tidak ada bensin, akal sehat pun bisa berubah. Kini saya malah tergoda untuk mencari tahu lebih lanjut. Bukan karena ingin gaya-gayaan, tapi karena benar-benar butuh.

Satu waktu, saya sedang menunggu giliran donor darah. Di rumah sakit. Tidak sengaja saya bertemu suami teman kuliah saya dulu. Seorang dosen teknik mesin. Perbincangan ringan kami berubah jadi serius saat saya iseng menyebut soal Nikuba.

Mata dia langsung berbinar. Dia bilang, itu bukan hal baru buat dia. Justru dia sedang meneliti hal serupa. Bukan pakai air biasa. Tapi air laut. Menurutnya, kadar mineral dan elektrolit di air laut justru lebih mendukung reaksi elektrolisis.

Saya mendengarkan dengan antusias. Katanya, alat itu dipasang di mobil miliknya sendiri. Tidak sepenuhnya mengganti bensin, tapi menguranginya secara signifikan. Biasanya seminggu butuh 30 liter. Kini cukup dua liter. Sisanya dibantu oleh proses dari air laut.

Alat itu memang tidak murah. Tapi juga tidak semahal mobil listrik. Tidak perlu charging station. Tidak perlu ganti baterai mahal. Cukup bawa sebotol air laut, dan teknologi kecil di bawah kap mesin.

Bayangkan jika teknologi ini bisa diterapkan luas di Bengkulu. Kita punya pantai. Kita punya air laut gratis. Kita tidak tergantung pada truk tangki dari Jambi atau Lubuk Linggau. Kita bisa mandiri dalam urusan energi.

Saya mulai memikirkan kemungkinan untuk menyambung komunikasi lagi dengan teman saya tadi. Sudah lama tidak bertemu. Tapi situasi sekarang membuat saya merasa perlu untuk bertindak. Setidaknya mendengar penjelasannya sekali lagi.

Bisa jadi ini bukan solusi sempurna. Tapi lebih baik mencoba sesuatu daripada hanya mengeluh. Bengkulu terlalu indah untuk dibiarkan lumpuh karena BBM. Warga Bengkulu terlalu tangguh untuk menyerah hanya karena bahan bakar.

Teknologi memang sering dipandang aneh saat pertama kali muncul. Ingat waktu orang memperkenalkan mobil? Dibilang gila. Bahkan Thomas Edison pun dulu diragukan. Tapi sejarah membuktikan, mereka yang percaya pada ide gila, akhirnya menciptakan perubahan.

Mungkin, inilah saatnya kita percaya pada ide yang terdengar gila itu. Mengubah air menjadi tenaga. Menggerakkan kendaraan dari sumber yang kita miliki melimpah. Laut. Yang dulu hanya untuk wisata dan nelayan, kini bisa menjadi sumber energi.

Saya tidak menganjurkan pemerintah langsung adopsi teknologi ini tanpa uji. Tapi membuka pintu diskusi, membuka ruang eksperimen, memberi dukungan kepada peneliti lokal — itu bisa dimulai. Pemerintah provinsi bisa mulai dari kampus-kampus teknik.

Bayangkan jika setiap kendaraan dinas pemerintah dipasangi alat penghemat BBM berbasis air. Minimal bisa jadi percontohan. Jika berhasil, rakyat akan ikut. Jika gagal, kita tidak kehilangan apa-apa. Karena sekarang pun kita sedang kehabisan.

Saya ingin menyampaikan ini langsung ke Gubernur. Tapi saya tidak punya jalur langsung (kecuali kalau harus kontak via TikTok. Tapi saya tidak terbiasa) Maka saya tulis di sini, berharap sampai. Harapan kecil yang saya titipkan di antara paragraf demi paragraf ini.

Masalah BBM di Bengkulu bukan semata soal distribusi. Ini soal ketergantungan. Dan seperti kecanduan, kita harus punya cara untuk lepas. Harus punya keberanian untuk mencoba yang berbeda.

Tidak semua harus dimulai dari pemerintah pusat. Kadang, gerakan kecil di daerah bisa jadi besar. Asal ada kemauan dan keberanian untuk mencoba. Bukan untuk mencari sensasi. Tapi untuk menyelamatkan mobilitas masyarakat.

Masyarakat tidak butuh janji BBM akan lancar minggu depan. Mereka butuh solusi sekarang. Antrian sudah membuat ekonomi lokal terganggu. UMKM kesulitan beroperasi. Pekerja harian kehilangan penghasilan.

Jika ada alat yang bisa mengubah air laut jadi tenaga gerak, kenapa tidak? Bahkan jika hanya mengurangi BBM separuhnya, itu sudah sangat berarti. Warga tidak akan keberatan membawa jerigen air laut setiap pagi, asal bisa tetap jalan.

Ini bukan soal menolak kendaraan listrik. Tapi Bengkulu belum siap ke sana. Belum ada infrastruktur pendukungnya yang cukup memadai. Ada charging station, tapi tidak banyak. Kalau semua orang punya kendaraan listrik, antrian tetap saja bakal terjadi. Malah bisa lebih parah dari BBM. Tapi kita punya air. Dan kita punya orang-orang yang mau berpikir di luar kebiasaan.

Di situlah harapan itu bersembunyi. Di balik sinisme. Di balik antrian yang tak kunjung habis. Di balik keputusasaan yang pelan-pelan menggerogoti semangat warga.

Saya ingin melihat Bengkulu melangkah lebih cepat. Tidak terus-menerus terjebak dalam krisis yang sama. Jika jalan keluar itu adalah air, maka mari kita gali, uji, dan sebarkan. Sebelum kita benar-benar kehabisan bensin — dan harapan.

Tangkapan layar beberapa pemberitaan di media online nasional soal temuan teknologi Nikuba (Sumber : Google / Istimewa)


Saya menulis ini di pagi hari. Bukan dari meja kerja, tapi dari jok kendaraan yang saya duduki sudah tiga jam lebih. Di depan saya, deretan mobil dan motor mengular. Diam. Tidak bergerak. Hanya sesekali klakson bersahutan, lebih karena putus asa daripada marah. Di belakang saya, tukang ojek bergumam, “Bensin tinggal satu bar, kalau gak gerak juga, saya pulang.”

Bapak Gubernur, saya tahu Anda bukan Tuhan. Tapi saya juga tahu, Anda bukan penonton. Dalam situasi seperti ini, warga menanti arahan. Kami tidak butuh pengumuman panjang, cukup satu kebijakan kecil saja, yang bisa membuat kami sedikit bernapas. Misalnya: izinkan kami bekerja dari rumah, setidaknya untuk seminggu dua minggu ke depan.
Ilustrasi pekerja harus masuk kantor walau BBM habis dimana-mana (Gambar : AI Generated)

Kita sudah satu bulan hidup dalam krisis bensin yang tak masuk akal. Tapi dalam empat hari terakhir, krisis itu berubah menjadi bencana. Antrian dua kilometer bukan lagi berita, tapi rutinitas. Di SPBU Pagar Dewa, saya lihat orang-orang tidur di dalam mobil. Di SPBU lainnya, ada yang bawa tikar, selimut, bahkan termos kopi. Ini bukan antre BBM, ini mirip antre sembako zaman krisis moneter dulu.

Saya tahu betul, tidak semua pekerjaan bisa dikerjakan dari rumah. Tapi banyak yang bisa. Guru-guru bisa mengajar via daring. Pegawai administrasi bisa mengurus dokumen dari ruang tamu rumahnya. Bahkan mahasiswa, yang semestinya semangat ke kampus, kini memilih bertahan di kos karena tidak tahu harus isi bensin di mana. Kalau ini bukan alasan kuat untuk WFH, lalu apa lagi?

Saya membayangkan anak-anak sekolah yang harus jalan kaki pagi-pagi. Saya membayangkan para ibu yang harus titipkan anak ke tetangga karena harus antre bensin sampai siang. Saya juga membayangkan sopir ambulans yang mengeluh, “Kalau dapat bensin hari ini, berarti pasien bisa diantar.” Kondisi ini sudah bukan soal BBM lagi, tapi soal kemanusiaan. Dan saya percaya, pemerintah daerah punya hati untuk itu.

Dulu, waktu pandemi Covid melanda, kita bisa cepat ambil keputusan. Sekolah diliburkan, kerja dipindah ke rumah, bahkan pasar pun diatur dengan sistem ganjil genap. Sekarang, krisis ini juga soal darurat, hanya beda bentuk. Tidak berbahaya secara medis, tapi membuat ekonomi rumah tangga babak belur. Apakah kami harus menunggu semuanya lumpuh baru kita bergerak?

Bekerja dari rumah bukan kemunduran, Bapak Gubernur. Justru itu bentuk kepedulian pemerintah pada rakyatnya. Daripada warga memaksa berangkat dengan ojek mahal, atau harus menolak kerja karena kendaraan mogok kehabisan bensin, bukankah lebih bijak jika kita beri mereka opsi aman? Toh, produktivitas tidak selalu tergantung jarak tempuh. Kadang, yang membuat kami produktif justru adalah rasa dipahami.

Saya tidak menyalahkan siapa-siapa. Pendangkalan alur laut itu bukan kesalahan Anda. Kapal tidak bisa sandar bukan keputusan Pemprov. Tapi saya percaya, Anda bisa menyelamatkan situasi ini dari memburuk. Minimal, dengan memberi ruang adaptasi. Karena hari ini, yang paling kami butuhkan bukan bensin semata, tapi kebijakan yang masuk akal.

Surat ini tidak saya tujukan dengan kemarahan. Hanya keprihatinan yang ditulis dari pinggir SPBU, dengan jari gemetar karena udara pagi yang dingin dan suara keluhan yang terus terdengar. Kami tidak meminta banyak, Bapak. Hanya sedikit ruang agar kami bisa bertahan, dan terus percaya bahwa pemerintah masih ada untuk kami.

Saya percaya, Anda mendengar ini. Dan saya lebih percaya lagi, Anda bisa bertindak. Terima kasih, sebelum semuanya terlambat.
Gebrakan QRIS di panggung global finansial mengingatkan kita pada teori "Techno-Nationalism" yang digagas oleh Suzanne Berger dari MIT. Dalam bukunya Making in America, Berger menjelaskan bagaimana teknologi bisa menjadi alat kedaulatan ekonomi di era modern. Persis seperti yang terjadi dengan QRIS hari ini - sebuah sistem pembayaran yang lahir dari kebutuhan domestik tetapi mampu bersaing di tingkat global.  

Yang menarik dari perkembangan QRIS adalah bagaimana sistem ini berhasil menciptakan ekosistem pembayaran yang benar-benar berbasis kebutuhan riil masyarakat. Berbeda dengan sistem kartu kredit yang dikembangkan berdasarkan logika bisnis perusahaan multinasional, QRIS justru tumbuh dari bawah, menyelesaikan masalah nyata pedagang kecil dan konsumen biasa.  

Di Thailand, pemerintah melalui Bank of Thailand mengadopsi sistem serupa bernama PromptPay. Namun yang membedakan, adopsi QRIS di Indonesia jauh lebih masif karena didorong oleh tingginya penetrasi smartphone dan kebutuhan akan solusi pembayaran yang praktis. Data menunjukkan 72% populasi dewasa Indonesia kini telah menggunakan pembayaran digital, angka yang terus meningkat pesat.  
Ilustrasi (Foto : GeneratedAI)
Keunggulan utama QRIS terletak pada arsitektur sistemnya yang terbuka namun terstandarisasi. Ini berbeda dengan model tertutup seperti Apple Pay atau Google Pay yang hanya bisa diakses melalui platform tertentu. Pendekatan inklusif inilah yang membuat QRIS cepat diterima berbagai lapisan masyarakat.  

Tantangan terbesar justru datang dari dalam negeri sendiri. Masih banyak pelaku usaha yang enggan beradaptasi karena kebiasaan bertransaksi tunai. Di sinilah peran pemerintah dan regulator diperlukan untuk terus mendorong edukasi dan insentif bagi merchant yang beralih ke QRIS.  

Pengalaman Korea Selatan patut kita jadikan pelajaran. Negeri Ginseng itu berhasil membuat sistem pembayaran digital nasional bernama ZeroPay setelah melalui proses edukasi massif selama bertahun-tahun. Kini, 78% UMKM di Korea telah menggunakan sistem tersebut.  

Yang sering dilupakan banyak orang adalah dampak makroekonomi dari sistem seperti QRIS. Dengan mengurangi ketergantungan pada uang tunai, pemerintah bisa lebih efektif memantau perputaran uang, memerangi korupsi, dan meningkatkan basis pajak. Di India, sistem serupa UPI berhasil meningkatkan rasio pajak terhadap PDB sebesar 1,2% dalam tiga tahun.  

Di balik kesuksesan QRIS, tersimpan ironi yang pahit. Sementara kita berbangga dengan pencapaian ini, faktanya banyak komponen teknologi pendukungnya masih bergantung pada infrastruktur asing. Mulai dari server cloud hingga chip di perangkat pembaca QR. Ini menjadi pekerjaan rumah berikutnya bagi industri teknologi dalam negeri.  

Pelajaran dari Singapura menunjukkan bahwa keberhasilan sistem pembayaran digital tidak bisa lepas dari dukungan infrastruktur digital yang kuat. Negeri Lion itu menghabiskan bertahun-tahun membangun jaringan 5G dan fiber optik sebelum meluncurkan PayNow. Indonesia harus mempercepat pembangunan infrastruktur pendukung semacam ini.  

Yang paling menggembirakan dari kesuksesan QRIS adalah munculnya generasi baru teknolog finansial lokal. Startup seperti LinkAja, DANA, dan OVO tidak hanya menjadi operator, tetapi juga mengembangkan fitur-fitur inovatif di atas platform QRIS. Ini menciptakan ekosistem yang sehat dan kompetitif.  

Di tataran global, QRIS telah menjadi contoh nyata bagaimana negara berkembang bisa menciptakan standar teknologi sendiri. WHO bahkan memasukkan QRIS sebagai salah satu studi kasus dalam laporan mereka tentang inovasi finansial di negara berkembang.  

Namun kita harus tetap kritis. Kesuksesan QRIS tidak boleh membuat kita lengah terhadap potensi risiko sistemik. Bank for International Settlements (BIS) telah memperingatkan tentang bahaya ketergantungan berlebihan pada satu sistem pembayaran nasional tanpa backup yang memadai.  

Pengalaman Brazil dengan sistem PIX mereka menunjukkan bahwa skema pembayaran instan nasional bisa menjadi sasaran empuk bagi kejahatan siber. Dalam enam bulan pertama peluncuran, terjadi peningkatan 300% kasus penipuan digital terkait sistem tersebut.  

Di sinilah pentingnya membangun sistem keamanan berlapis untuk QRIS. Tidak hanya sekadar enkripsi data, tetapi juga mekanisme verifikasi transaksi yang lebih ketat tanpa mengurangi kemudahan penggunaan.  

Yang patut diapresiasi adalah langkah Bank Indonesia yang mulai membangun jaringan QRIS lintas negara dengan Malaysia, Thailand, dan Singapura. Ini merupakan langkah strategis untuk memperkuat posisi tawar Rupiah di kawasan ASEAN.  

Kita juga perlu belajar dari kegagalan sistem pembayaran digital di beberapa negara Afrika. Meski memiliki ide brilian, banyak proyek yang gagal karena kurangnya koordinasi antara regulator, perbankan, dan penyedia teknologi.  

Masa depan QRIS sebenarnya bisa lebih cerah lagi jika diintegrasikan dengan sistem identitas digital nasional. Bayangkan jika satu QR code tidak hanya untuk pembayaran, tetapi juga bisa menjadi alat verifikasi KTP digital, kartu vaksin, bahkan tiket transportasi.  

Tantangan terberat mungkin justru datang dari perubahan perilaku masyarakat. Survei terbaru menunjukkan bahwa 65% konsumen Indonesia masih merasa nyaman dengan uang tunai untuk transaksi kecil. Mengubah kebiasaan ini membutuhkan waktu dan pendekatan kultural yang tepat.  

Di sisi lain, keberhasilan QRIS telah memicu optimisme baru di kalangan pengembang lokal. Jika bisa sukses di bidang pembayaran digital, bidang apa lagi yang bisa kita kuasai? Cloud computing? Kecerdasan artifisial? Sistem operasi mandiri?  

Pada akhirnya, QRIS bukan sekadar tentang teknologi pembayaran. Ini tentang kemampuan bangsa untuk menentukan jalan ekonominya sendiri, tanpa harus selalu mengikuti kemauan negara-negara maju. Seperti kata ekonom Mariana Mazzucato, "Inovasi sejati adalah ketika suatu bangsa berani menciptakan pasar baru, bukan hanya mengikuti pasar yang sudah ada."  

Kita telah membuktikan bahwa dengan political will yang kuat, sumber daya manusia yang mumpuni, dan ekosistem yang mendukung, Indonesia mampu menciptakan solusi teknologi kelas dunia. QRIS hanyalah permulaan. Masih banyak lompatan inovasi lain yang bisa kita wujudkan.  

Yang perlu kita lakukan sekarang adalah konsolidasi kekuatan. Memperkuat infrastruktur pendukung, meningkatkan literasi digital, dan yang terpenting - menjaga semangat percaya diri bahwa kita mampu bersaing di panggung global.  

Sejarah akan mencatat QRIS sebagai salah satu momen penting kebangkitan teknologi Indonesia. Tapi ingat, ini baru babak pertama. Pertarungan sebenarnya masih panjang, dan kemenangan sesungguhnya adalah ketika kita tidak hanya menjadi pengguna, tetapi pencipta standar-standar teknologi baru dunia. 

Satu video mampir ke beranda saya, datang dari salah satu akun berbagi informasi di Bengkulu. Isinya menggemaskan sekaligus mengerikan: seorang warga sedang melakukan tindakan kompresi dada—semacam CPR—pada penumpang kapal yang baru saja tenggelam dalam musibah kapal karam. Ombak dan angin barangkali sedang tidak mood hari itu, lalu memutuskan menjungkalkan kapal yang terbuat seluruhnya dari kayu itu ke dalam laut. Tapi yang paling bikin saya tercekat bukan soal tragedi airnya, melainkan tangan si penolong yang satunya lagi. Ia tak hanya sibuk menyelamatkan nyawa, tapi juga sibuk mengatur sudut kamera. Seolah nyawa manusia yang sedang dikompresi itu, adalah tambahan bumbu untuk sebuah vlog.

Dalam situasi genting, di mana manusia seharusnya saling menguatkan dalam kegentingan, kita justru menemukan manusia yang menunggu timing terbaik untuk memencet tombol "rekam". Saya menduga, tak main-main, orang ini adalah bagian dari generasi Facebook Pro yang sekarang tengah menancapkan kuku-kukunya dalam-dalam di dunia maya. Mereka adalah generasi yang meyakini bahwa setiap momen, bahkan yang mengandung darah dan napas terakhir, bisa didandani menjadi konten. Sebuah konten yang bisa diuangkan—meski recehan—tapi tetap memabukkan.

Ilustrasi Orang Sedang Menolong Korban Tenggelam di Laut tapi Sambil Merekam untuk Konten (Gambar : AI Generated)

Bila dulu kita diajari bahwa kemanusiaan itu di atas segalanya, sekarang sepertinya ajaran baru sedang menyalip dari kanan. Ajaran bahwa segala hal bisa jadi komoditas. Facebook Pro menyediakan karpet merah bagi mereka yang mau sedikit 'nakal', sedikit 'nekat', dan tak punya urat malu. Semua hal bisa dibikin konten. Dari tukang tambal ban sampai kematian tetangga. Semua bisa masuk timeline.

Saya tidak akan mempermasalahkan orang yang mencari nafkah dengan cara terhormat, termasuk jadi konten kreator. Tapi persoalannya, banyak yang sekarang tak lagi bisa membedakan antara cuan dan adab. Norma dikorbankan di altar algoritma. Etika diremukkan di kolom komentar. Martabat dijadikan narasi clickbait. Dan semua itu terjadi dalam satu aplikasi biru yang dulu cuma dipakai buat update status galau.

Mari kita kembali ke video CPR tadi. Orang-orang di sekeliling tidak terlihat panik. Tidak juga tampak cemas. Mereka seperti sedang nonton pertunjukan jalanan. Ada yang pakai HP dengan dua tangan. Ada juga yang lebih niat, membawa gimbal. Gimbal, Bung! Seolah sudah tahu akan ada pertunjukan berdarah dan mereka tak mau kehilangan angle terbaik. Saya tidak tahu apa yang lebih gila dari ini. Mungkin kalau nanti ada yang live sambil bilang, “Jangan lupa like, komen, dan subscribe ya. Kita lagi nyelametin orang nih...”

Fenomena ini bukan cuma soal perubahan teknologi. Ini soal perubahan cara berpikir. Dulu, orang mengabadikan momen untuk dikenang. Sekarang, orang menciptakan momen agar bisa diabadikan. Perbedaannya tipis tapi tajam. Dan Facebook Pro adalah ladang basah bagi orang-orang yang sudah kehilangan kemampuan membedakan antara aksi nyata dan gimmick.

Kita berada di zaman ketika tragedi tak lagi menuntut empati, tapi eksposur. Ketika suara tangisan dikalahkan oleh suara notifikasi. Dan ketika kematian bisa menjadi peluang untuk "engagement". Ini bukan soal satu-dua orang. Ini sudah menjadi gerakan massal. Gerakan diam yang didorong oleh algoritma dan disemangati oleh dolar.

Pernah lihat konten orang berantem di pinggir jalan, yang direkam sambil diberi narasi dramatis? Atau suami yang mengunggah video istri sedang ngamuk, lalu diberi caption jenaka? Itu semua hasil dari satu mentalitas yang sama: apapun bisa dijadikan tontonan, asal bisa menghasilkan. Facebook Pro tidak memberi batasan tegas soal apa yang layak atau tidak. Ia hanya peduli pada jumlah viewer dan durasi tonton.

YouTube, walau juga sama-sama berorientasi pada uang, masih punya pagar etika yang agak tinggi. Monetisasi tidak diberikan sembarangan. Konten harus lulus banyak aturan: dari soal hak cipta, kekerasan, eksploitasi, bahkan hingga tampilan thumbnail. Facebook, sebaliknya, justru seperti pasar malam yang semua boleh asal rame. Boleh kasar, asal rame. Boleh jorok, asal rame. Dan yang penting, rame = uang.

Dalam Facebook Pro, kita seperti diajak kembali ke zaman manusia purba, tapi dengan gadget di tangan. Orang bisa memvideokan orang sekarat tanpa rasa bersalah. Bisa menonton orang dipermalukan tanpa rasa jijik. Bisa membagikan itu semua dengan caption: “Semoga jadi pelajaran.” Padahal yang dia harapkan bukan pelajaran, tapi share dan like.

Yang lebih mengerikan, anak-anak muda mulai menjadikan ini sebagai role model. Mereka mulai percaya bahwa profesi paling keren adalah “konten kreator Facebook Pro”. Tidak perlu bakat. Tidak perlu pendidikan. Cukup kuota dan sedikit kepekaan untuk mencari momen tragis. Makin tragis, makin manis.

Saya tidak ingin menyamaratakan semua. Masih banyak konten kreator yang punya hati dan nurani. Tapi kalau Anda mau jujur buka Facebook sekarang, apa yang lebih sering Anda lihat? Video prank norak? Keluarga bertengkar di depan kamera? Atau orang sakit yang direkam tanpa blur? Jangan-jangan kita memang sedang menikmati realitas yang sudah ambyar ini.

Dunia digital punya kuasa ajaib: ia bisa membungkus kekejian menjadi hiburan. Membuat kita tertawa atas kesedihan orang. Dan membuat kita merasa tak bersalah karena hanya “menonton”. Tapi lupa bahwa dengan menonton dan membagikan, kita ikut mendukung produksi konten semacam itu.

Konten bukan dosa. Tapi konten yang menjadikan manusia sebagai bahan bakarnya, itu sudah menjurus ke neraka etik. Kita harus mulai bertanya: sampai sejauh mana kita akan membiarkan ini terjadi? Apakah nanti akan ada orang sekarat yang disuruh ulang adegan supaya dapat angle yang lebih bagus?

Mungkin kita sudah terlalu lelah memperdebatkan soal etika di era digital. Tapi bukan berarti kita harus menyerah. Harus tetap ada suara yang berkata: “Ini salah.” Harus ada yang berani berkata: “Tolong, ini sudah gila.”

Kalau tidak, kita semua akan menjadi seperti mereka. Bukan penonton, bukan pelaku, tapi bagian dari mesin besar yang memproduksi tontonan keji dan menertawakannya bersama-sama.

Saya percaya media sosial diciptakan bukan untuk membuat kita mati rasa. Tapi kini, tiap hari kita dicekoki konten-konten yang memaksa kita untuk menertawakan luka orang lain, hingga akhirnya kita tidak lagi merasa bersalah.

Ketika konten sudah menjadi candu, kita lupa bahwa manusia bukan bahan baku. Kita lupa bahwa empati tak bisa dijadikan format video pendek. Kita lupa bahwa ada nyawa di balik layar yang mungkin sedang benar-benar berjuang untuk hidup.

Facebook Pro bisa jadi ladang emas. Tapi juga bisa jadi ladang yang menumbuhkan gulma-gulma tak beretika. Dan jika kita tidak mulai membersihkan gulma itu, maka sebentar lagi kita sendiri akan ditelan.

Tidak semua hal harus direkam. Tidak semua tragedi harus diberi caption. Ada hal-hal yang cukup disaksikan dengan air mata, bukan dengan kamera. Ada nyawa yang layak ditolong dengan dua tangan penuh, bukan satu tangan dan satu kamera.

Kita mungkin tidak bisa menghentikan kegilaan ini dalam semalam. Tapi kita bisa memilih untuk tidak ikut dalam arus. Bisa memilih untuk tidak menonton. Tidak menyukai. Tidak membagikan.

Dan mungkin, dengan itu, kita sedang menyelamatkan satu nyawa: nyawa empati yang sedang sekarat dalam diri kita sendiri.

Beberapa waktu lalu, linimasa media sosial saya dipenuhi oleh anak-anak muda yang baru saja lulus. Mereka riang gembira coret-coret baju, konvoi naik motor, bahkan ada yang berendam di kolam ikan kampus. Saya melihatnya sambil menyeruput kopi dan berpikir: “Apa cuma aku yang tidak pernah merasakan semua itu?” Rasanya seperti menonton kehidupan orang lain dari balik kaca tebal. Saya tidak iri, tentu saja tidak. Tapi ada semacam rasa asing yang perlahan-lahan tumbuh, seperti orang desa yang melihat barongsai lewat di jalan depan rumah: heran dan bingung harus ikut tepuk tangan atau diam saja.

Waktu saya lulus SD, tidak ada pengumuman, tidak ada upacara, apalagi pesta kecil-kecilan. Kami hanya diberi rapor di ruang guru, lalu disuruh pulang. Ibu saya menyambut saya di rumah seperti biasa, tidak ada nasi kuning, tidak ada syukuran, hanya gorengan tempe yang memang sudah jadi menu sore. Saya pun tidak mengeluh. Kala itu, lulus SD terasa seperti melewati satu sungai kecil, bukan seperti menyeberangi samudra kehidupan.
Ilustrasi Konvoi Kelulusan Anak SMA (Gambar : GeneratedAI)

SMP pun tak jauh beda. Tahun itu, sistem ujian nasional berubah. Dari Ebtanas ke UAN, lalu jadi UAS. Nama berubah, rumus berubah, tapi rasa tetap sama: deg-degan dan pasrah. Pengumuman kelulusan dilaksanakan di lapangan sekolah. Anak-anak dikumpulkan seperti sedang apel pagi. Kepala sekolah menyebut bahwa yang hadir berarti lulus, yang tidak datang sudah diberitahu untuk tidak usah datang. Begitu saja. Tidak ada drum band, tidak ada konvoi. Beberapa teman saya coret-coret baju, tapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari dan sebagian besar memang sudah terkenal karena menjadi pasien langganan guru BK.

Saya menyaksikan perayaan itu dari jauh. Tidak ikut. Bukan karena saya alim atau suci, tapi karena saya merasa tidak perlu. Lulus SMP bukanlah momen yang membuat saya ingin melukis seragam dengan spidol permanen. Saya lebih suka pulang cepat, lalu pergi ke warung untuk beli mie goreng bungkus. Merayakan kelulusan dengan makan sendiri di pojokan rumah sambil nonton televisi tabung yang gambarnya masih bergaris-garis.

SMA memberikan sedikit harapan. Beberapa teman mulai bersemangat merencanakan konvoi. Ada yang menyewa pick-up, ada juga yang siap dengan kaleng-kaleng bekas diikat di belakang motor. Tapi saya sudah berikrar dari awal: tidak akan ikut coret-coret, tidak akan ikut pawai. Bukan karena saya ingin jadi pahlawan moral, melainkan karena saya tahu perjuangan saya untuk lulus tidak sederhana. Sistem ujian berubah lagi, dan kali ini lebih rumit. Lulus terasa seperti bisa bernafas lagi setelah ditahan di dalam air selama dua menit.

Hari pengumuman, saya pergi ke panti asuhan. Saya tidak sedang jadi malaikat atau ingin pamer kebaikan. Saya hanya merasa perlu berbagi sesuatu. Kalau saya bahagia, kenapa tidak menularinya sedikit? Teman-teman saya mungkin sedang memutari kecamatan dengan baju penuh coretan. Saya tidak iri, saya hanya merasa bahagia dengan cara yang berbeda. Mungkin memang saya tidak pernah jadi bagian dari ritual kelulusan yang ramai, tapi saya juga tidak merasa kehilangan.

S1 saya jalani di kampus swasta di pinggiran yang jauh dari hiruk pikuk. Tidak seperti anak-anak Teknik yang punya tradisi arak-arakan, kami di fakultas saya lebih senang makan bersama di warung burjo. Ketika wisuda, saya bahkan diminta menjadi perwakilan wisudawan untuk menyampaikan pidato. Sebuah kehormatan, tentu saja. Tapi setelah itu? Pulang, melepas toga, lalu makan bersama keluarga. Tidak ada arak-arakan. Hanya senyum tipis dan rasa syukur yang tertahan.

Momen kelulusan memang penting, apalagi setelah bertahun-tahun bergelut dengan skripsi. Tapi saya, entah kenapa, justru merasa lebih nyaman kalau semua ini cepat selesai. Saya lulus, saya bahagia, tapi saya tidak ingin merayakannya terlalu meriah. Barangkali karena saya selalu merasa bahwa setiap pencapaian adalah titik koma, bukan titik akhir.

S2 saya jalani di Taiwan. Negeri orang, budaya asing, bahasa yang belum sepenuhnya saya kuasai saat itu. Wisuda diadakan secara kolektif. Semua mahasiswa, baik S1, S2, maupun S3, dikumpulkan dalam satu upacara besar. Bagi mahasiswa magister dan doktoral, wisuda hanyalah formalitas. Sebagian besar bahkan belum sidang. Saya sendiri belum sidang waktu itu. Tapi tetap diminta hadir. Jadi ya saya hadir, duduk, mendengar pidato rektor dalam bahasa Mandarin, lalu berfoto sebentar. Tidak ada konvoi, tidak ada coret-coret baju. Hanya toga, kamera, dan langit cerah yang khas musim panas.

S3 saya jalani dengan lebih sepi. Karena sidang dilakukan pada bulan Januari, maka saya tidak ikut wisuda yang digelar 6 bulan kemudian. Saya hanya meminta tolong teman sebagai fotografer, mengenakan toga, dan berfoto di taman kampus. Itu saja. Tidak ada sambutan, tidak ada pidato. Hanya saya dan fotografer yang sesekali memberi arahan gaya. Saya tersenyum dalam foto, tapi dalam hati ada kekosongan kecil: “Oh, jadi begini rasanya lulus S3?”

Saya tidak bermaksud mengeluh. Hidup memang tidak perlu selalu gemerlap. Tapi tetap saja, saat melihat anak-anak SMA coret-coret baju sambil berteriak kegirangan, saya bertanya-tanya: kenapa saya tidak pernah mengalami itu? Apakah saya terlalu serius menjalani hidup? Atau memang takdir saya adalah menjadi penonton dari balik kaca, sementara pesta digelar di luar sana?

Kadang saya berpikir, mungkin saya adalah bagian dari generasi yang terlalu hemat dalam merayakan. Hidup kami diajarkan untuk selalu bersikap sewajarnya. Tidak usah terlalu senang, tidak usah terlalu sedih. Lulus ya lulus, lalu lanjut hidup. Padahal merayakan itu penting. Bukan karena hasilnya, tapi karena prosesnya yang layak dikenang.

Tapi bisa juga karena saya tumbuh di desa. Tempat di mana arak-arakan dianggap norak, dan coret-coret baju dianggap pemborosan. Kami dibesarkan untuk menyimpan baju dengan baik, supaya bisa diwariskan ke adik. Mencorat-coret seragam dianggap seperti menghina perjuangan orang tua yang membeli baju itu dengan susah payah. Jadi ya wajar kalau saya tidak pernah ikut tradisi semacam itu. Bahkan sampai sekarang, saya masih menyimpan beberapa seragam SMA saya dalam kondisi cukup layak.

Kini, saat saya sudah menjadi bapak-bapak, saya kadang bertanya-tanya: apakah saya akan mengizinkan anak saya konvoi kelulusan nanti? Apakah saya akan memarahinya kalau dia mencoret-coret bajunya sendiri? Entahlah. Barangkali saya akan diam saja, atau malah ikut mencoret. Dunia sudah terlalu cepat berubah, dan saya mulai merasa ketinggalan kereta.

Tapi kalau dipikir-pikir, tidak semua perayaan harus berupa sorak-sorai. Kadang, perayaan terbaik adalah duduk tenang di beranda, ditemani kopi, dan hati yang lapang. Tidak semua kegembiraan harus berisik. Ada gembira yang tenang, yang dalam, dan yang cukup diketahui oleh kita sendiri.

Saya menulis ini bukan untuk mengajak kalian berhenti konvoi. Silakan, rayakanlah. Dunia ini sudah cukup suram untuk tidak diisi oleh tawa. Tapi jika ada di antara kalian yang merasa tidak pernah merayakan kelulusan seperti orang-orang, ketahuilah: kamu tidak sendirian. Saya pun begitu. Dan saya baik-baik saja.

Mungkin kelulusan adalah tentang memahami diri. Tentang menutup satu babak dan bersiap untuk babak selanjutnya, tanpa harus mengibarkan bendera. Mungkin, saya ulangi, mungkin... kita terlalu sibuk menulis hidup kita dalam diam, sampai lupa memberi tahu dunia bahwa kita telah selesai menyeberang satu jembatan.

Dan jika kamu pernah merasa aneh, karena tidak ikut coret-coret, tidak ikut arak-arakan, tidak punya foto wisuda yang “instagramable”—tak perlu risau. Kadang hidup kita memang berjalan di jalur sepi. Tapi bukan berarti kita tidak sampai.

Mereka yang berisik belum tentu lebih bahagia. Dan kita yang diam belum tentu kalah. Setiap orang punya caranya sendiri dalam merayakan hidup. Ada yang pakai cat semprot, ada yang pakai sepiring mie goreng. Keduanya sah.

Jadi, apa cuma aku? Mungkin tidak. Mungkin banyak di luar sana yang senasib. Tapi memang tidak semua orang merasa perlu bercerita. Saya saja baru kali ini menuliskannya.

Siapa tahu, tulisan ini bisa menemani kamu yang dulu juga tak pernah merasa “lulus” dalam pengertian umum. Kita mungkin tidak punya foto-foto penuh tawa. Tapi kita punya cerita. Dan kadang, itu lebih dari cukup.
Panggung kekuasaan itu hangat. Setiap langkah terasa penting, setiap ucapan dicatat, dan setiap keputusan membawa dampak besar. Maka tak heran bila banyak orang sulit beranjak ketika masa jabatannya selesai. Ada semacam magnet psikologis yang menahan mereka untuk tetap berada di titik pusat, walau sebetulnya panggung telah berubah. Begitu lampu sorot dipadamkan, sebagian tak sanggup duduk di bangku penonton. Mereka ingin tetap bicara, ikut mengatur alur cerita, bahkan kalau perlu—menulis ulang naskahnya.

Ada ironi yang sering muncul: mereka yang dahulu lantang bicara tentang regenerasi dan keterbukaan, justru menjadi penghalang terbesar ketika harus memberi ruang bagi pengganti. Mereka tak rela jika keputusan diambil tanpa “minta izin” kepadanya. Bahkan dalam hal-hal kecil, ia ingin dilibatkan, seolah pengganti hanyalah pelaksana teknis dari pikirannya. Bukan karena mereka tidak percaya, tapi karena mereka tak siap melepaskan. Di sinilah post power syndrome menyelinap, bukan sebagai penyakit, tapi sebagai kebiasaan yang tak disadari.
Ilustrasi Post Power Syndrome (Gambar : GeneratedAI)
Saya sering mendengar cerita dari para pemimpin muda yang menggantikan tokoh senior. Mereka bercerita bagaimana bayangan pemimpin sebelumnya terus hadir: dalam rapat, dalam kebijakan, bahkan dalam pergaulan internal. Sang mantan tak benar-benar pergi. Ia hanya bergeser posisi, tapi tetap mencengkeram. Ketika keputusan baru dibuat, selalu ada komentar, kritik, dan bisikan: "Dulu saya tidak begitu." Apa dampaknya? Inovasi terhambat, tim merasa terbelah, dan sang pemimpin baru seperti berjalan di atas garis tipis.

Ada kebutuhan manusiawi yang sangat mendasar yang sering terabaikan di sini: kebutuhan untuk merasa penting. Kekuasaan, selain memberi akses dan pengaruh, juga menjadi penanda identitas. Maka ketika jabatan hilang, rasa "siapa saya sekarang?" muncul dengan nyaring. Tak semua siap menjawabnya. Banyak yang kemudian berusaha mengganti kekosongan itu dengan menghidupkan kembali peran lamanya. Mereka jadi komentator atas keputusan-keputusan yang bukan lagi miliknya. Bahkan dalam forum sosial, mereka tetap ingin disebut dengan gelar kekuasaan yang sudah selesai.

Lucunya, fenomena ini tidak hanya terjadi di tingkat atas. Kepala sekolah yang pensiun pun bisa mengalami hal serupa. Ia masih merasa berhak menata ruang guru, mengatur jadwal, bahkan menegur staf baru. Semua itu dilakukan bukan karena niat buruk, tapi karena keterikatan emosional yang belum terurai. Kekuasaan telah menyatu dengan identitasnya. Dan melepaskannya sama sulitnya seperti memisahkan daun dari ranting yang telah lama kering.

Banyak orang menyangka post power syndrome hanya dialami oleh mereka yang ambisius. Tidak selalu. Justru kadang mereka yang paling tulus mengabdi, yang paling lama mengurus, yang paling mencintai pekerjaannya—adalah yang paling sulit melepas. Bagi mereka, jabatan bukan semata status, tapi rumah kedua. Maka ketika harus meninggalkannya, ada perasaan kehilangan yang dalam. Sama seperti orang tua yang harus melepas anaknya menikah—penuh restu tapi diam-diam menyimpan cemas.

Ada yang menyikapinya dengan terus hadir di lingkungan lama. Mereka datang ke kantor, duduk di ruang tamu, ikut makan siang. Kadang ikut nimbrung rapat meski tak diundang. Semuanya dilakukan dengan alasan “kangen suasana”. Tapi lama-lama, keberadaan itu menjadi beban. Bayangan masa lalu menghambat langkah masa kini. Dan pengganti pun merasa terus diawasi, bukan diberi ruang.

Saya percaya, seseorang tak perlu menduduki posisi untuk tetap memberi makna. Banyak pemimpin besar yang lebih dihormati setelah turun dari panggung, justru karena mereka tahu kapan harus mundur. Mereka menepi, bukan karena kalah, tapi karena sadar: saatnya yang lain tampil. Mereka tetap berkontribusi, tapi lewat cara yang berbeda—menulis, berbicara, memberi nasihat hanya ketika diminta.

Tantangannya adalah: tidak semua orang bisa membedakan antara kontribusi dan intervensi. Mereka yang terjebak dalam post power syndrome sering mengira campur tangan mereka adalah bentuk peduli. Mereka merasa sedang menjaga warisan, padahal sedang menghambat pertumbuhan. Mereka lupa bahwa setiap pemimpin baru punya konteks yang berbeda. Situasi berubah, tantangan berganti. Maka cara lama tak selalu relevan.

Sering kali, perasaan “saya masih tahu yang terbaik” muncul karena kesalahan dalam mengelola egonya sendiri. Ego yang dulu digunakan untuk memimpin, kini justru menjadi tembok yang menutupi kenyataan. Padahal, semakin tinggi posisi seseorang dulu, seharusnya semakin besar pula kebesaran hatinya untuk mundur. Tapi itu tidak mudah. Sebab yang ditinggalkan bukan hanya jabatan, tapi juga rasa dihormati, disambut, dan dituruti.

Budaya kita juga berperan dalam memperpanjang fenomena ini. Kita terlalu mudah menyanjung masa lalu dan enggan mengoreksi ketidaksesuaian. Kita masih suka memanggil mantan pejabat dengan gelarnya, masih memberi kursi khusus di forum-forum diskusi, dan masih meminta pendapat atas isu yang sudah tidak lagi menjadi wilayahnya. Tanpa sadar, kita ikut memelihara ilusi bahwa kekuasaan bisa diwariskan secara informal.

Tak salah menghormati mereka yang dulu berjasa. Tapi salah bila itu membuat sistem tidak berjalan sehat. Pemimpin baru perlu ruang. Ia butuh kebebasan untuk mengambil keputusan, gagal, belajar, dan tumbuh. Bila setiap langkahnya dibayang-bayangi penilaian orang lama, maka perubahan sulit terjadi. Dan organisasi hanya akan berjalan di tempat, seperti roda yang berputar tanpa bergerak.

Saya tidak sedang menyalahkan siapapun. Ini soal pemahaman. Soal kesiapan mental untuk menyambut babak baru dalam hidup. Ketika seseorang gagal menata fase pasca-kekuasaan, maka ia akan terjebak dalam nostalgia yang tidak produktif. Hidupnya diisi dengan mengomentari masa kini, bukan menjalani masa depan. Ia tak sadar, bahwa semakin ia mendikte, semakin ia kehilangan pengaruh.

Di sisi lain, tidak sedikit juga yang berhasil melewati fase ini dengan elegan. Mereka bertransformasi menjadi penasehat, mentor, atau pelaku sosial. Mereka tidak ngotot didengarkan, tapi justru semakin dihormati karena sikap bijaknya. Mereka hadir bukan untuk bersaing dengan pengganti, tapi untuk menjadi sumber refleksi. Mereka menghidupi peran barunya, tanpa mengaitkan semua pada masa kejayaannya.

Mereka tahu, kemuliaan seorang pemimpin tidak terletak pada berapa lama ia berkuasa, tetapi pada bagaimana ia mengakhiri kekuasaannya. Apakah ia mundur dengan kepala tegak dan hati lapang, ataukah ia terus menggantung di balik layar, menolak ditinggal pergi oleh zamannya? Pilihan ini menentukan apakah ia akan dikenang sebagai tokoh, atau hanya sebagai bayang-bayang yang mengganggu.

Kita perlu membangun kultur baru: bahwa setiap jabatan itu ada waktunya, dan setiap orang akan punya panggungnya sendiri. Perubahan adalah keniscayaan. Yang tidak berubah hanyalah kebutuhan untuk terus memberi makna. Maka, daripada terus berada di pinggir ring, lebih baik turun dan melatih petinju baru. Ajari mereka teknik, beri mereka semangat, lalu beri mereka ruang bertarung sendiri.

Saya percaya, bangsa yang sehat adalah bangsa yang tidak bergantung pada satu tokoh. Ia tumbuh karena ekosistemnya mendukung. Karena setiap generasi belajar dari yang lama, tapi tidak diikat olehnya. Karena pemimpin-pemimpin terdahulu legowo melepas kendali dan percaya pada estafet kepemimpinan.

Bila kita ingin sistem yang kuat, kita butuh pemimpin yang tahu kapan harus pergi. Yang tidak memaksakan cara lama untuk zaman baru. Yang tidak memonopoli kebenaran. Karena pada akhirnya, kepemimpinan bukan soal siapa yang paling lama memimpin, tapi siapa yang paling bijak mengakhiri kepemimpinannya.
Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • TINGGAL DI BENGKULU ITU SEPERTI PACARAN SAMA MANTAN YANG BAIK : DAMAI TAPI NGGAK TERLALU RAMAI
  • TEOLOGI UANG DAN BIDANG ILMU EKONOMI SPIRITUAL
  • LEBARAN, PERANTAU, DAN SEPI
  • PERBEDAAN PROPOSAL SKRIPSI, TESIS, DAN DISERTASI

Ramadhan Bercerita

PARIWARA

PARIWARA

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar