BUKAN SEKEDAR NONTON BARENG
Baca Juga
24 Agustus 2017,
hari yang dinanti bagi segenap kader Muhammadiyah, akhirnya datang juga. Hari
ini adalah pemutaran perdana film Nyai Ahmad Dahlan (NAD) serentak di seluruh
bioskop-bioskop jaringan 21 dan XXI di seluruh Indonesia. Linimasa di media social
milik saya riuh ramai oleh postingan
berita, photo, dan video acara nonton bareng di berbagai wilayah di Indonesia.
Hasil tidak pernah mengkhianati usaha. Kurang lebih
ungkapan itu yang bisa disimpulkan melihat keriuhan acara nobar ini. Seperti
yang saya ceritakan di tulisan sebelumnya, hampir semua lini persyarikatan
Muhammadiyah, mulai dari Pimpinan, Lembaga, Majelis, dan Ortom di semua
tingkatan kompak mensosialisasikan film ini sebagai fardhu ‘ain untuk ditonton oleh semua kader Muhammadiyah. Bahkan di
beberapa portal berita Muhammadiyah disebut bahwa ada salah satu sekolah yang berhasil
mengerahkan massanya sebanyak 1600 orang seperti saya ceritakan sebelumnya,
untuk nonton bareng film ini. Hari ini, keseruan itu tidak berhenti. Ada satu sekolah
di Jawa Timur yang menyerahkan uang sebanyak 54 juta rupiah guna membeli tiket
film NAD. Angka yang cukup fantastis untuk menggerakkan massa bersama-sama men-tadabburi sejarah perjuangan pergerakan
perempuan Islam di Indonesia melalui film. Kalau saya boleh memprediksi,
rasa-rasanya tidak ada film bertema kepahlawanan yang penontonnya bisa di
organisir sedemikian rapih dan mau menyisihkan sedikit rezekinya untuk
menaikkan ghirah berorganisasi. Di
lain daerah, ada rekan saya yang meng-share
poster ajakan untuk nobar dan lomba menulis essay serta opini tentang
perjuangan Nyai Ahmad Dahlan. Lomba ini diadakan sebagai ikhtiar menebalkan
semangat ber-Muhammadiyah dalam
rangkaian pemutaran film NAD. Tak tanggung-tanggung, ada 5 orang dermawan kader
Muhammadiyah yang menyisihkan rezekinya guna mensponsori kegiatan ini dengan
menyediakan paket wisata bahari di Kalimantan bagi 25 peserta terbaik dalam
lomba ini. Dan masih banyak lagi cerita-cerita seputar film NAD yang tersebar
melalui group-group whatsapp hari
ini.
Bagi orang di luar
Muhammadiyah, mereka mungkin akan geleng-geleng
dengan fenomena ini. Apakah warga Muhammadiyah sudah pada kaya sehingga mau nonton rame-rame di Bioskop? Apakah warga
Muhammadiyah sudah bisa makan kenyang 3 kali sehari sehingga mau digerakkan
untuk nobar? Apakah… Apakah…. Apakah…….
Dan masih banyak pertanyaan lain yang mungkin saja terdengar aneh jika melihat
apa yang sedang terjadi dengan para warga Muhammadiyah ini.
Pertanyaannya, apa
yang mendasari mereka mau mentadabburi
film NAD ini? Apa untungnya bagi para kader Muhammadiyah menonton film ini?
Esprit de Corps
Bagi warga
Muhammadiyah, jiwa korsa sudah mandarah daging saat ia pertama kali menjalani Baitul Arqam sebagai pintu gerbang
pengkaderan tingkat pertama. Bahkan tak jarang, jiwa korsa ini bisa saja muncul
di berbagai momen ber-Muhammadiyah dan membuat yang melihatnya jatuh hati pada Muhammadiyah, walaupun
mereka bukan kader / belum mengkaderkan diri. Keikhlasan yang mendasari setiap
gerak langkah Muhammadiyah, membuat siapa saja kepincut dengan gerakan yang sudah berumur 1 abad lebih ini.
Kaitannya dengan
film NAD ini, Karena film ini mengangkat tokoh arus utama gerakan perempuan
Muhammadiyah yang melembaga melalui ‘Aisyiah, tentu ini menjadi alasan rasional
yang bisa menggerakkan para kader untuk ikut ramai-ramai menyaksikan kisah
perjuangan Nyai Ahmad Dahlan dalam menemani Kiai Dahlan mendakwahkan Islam.
Apalagi film ini mendapat restu dari
Pimpinan Pusat ‘Aisyiah. Tentu sebagai kader, jiwa korsa kita terpanggil untuk
ikut mensukseskan film ini sebagai media pembelajaran sejarah dan
menumbuhkembangkan kembali semangat ber-Muhammadiyah yang muncul dalam cerita
film ini.
Sumber : Dari Sini |
Coba tengok
film-film sejenis yang saya ceritakan juga di tulisan sebelumnya. Kelebihan
massa Muhammadiyah dibandingkan dengan yang lainnya adalah tingginya jiwa korsa
terhadap organisasi yang mereka siap melakukan apa saja demi membela dan
menjaga marwah organisasi sebagai gerakan Islam yang menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Muhammadiyah
mengartikulasikan 4 kata tersebut menjadi gerakan kerja nyata di semua bidang
untuk mengangkat harkat martabat manusia. Kalau dalam Bahasa sederhananya,
Muhammadiyah melakukan gerakan memanusiakan
manusia. Di film Sang Pencerah, kita bisa melihat bagaimana Kiai Dahlan
mengumpulkan anak-anak kecil di sekitaran alun-alun Yogyakarta, lalu
memandikannya, memberikan pakaian yang layak, memberi makan, dan mendidiknya.
Kala itu, mereka adalah kaum termarjinalkan yang tidak diterima di kalangan
masyarakat Karena kemiskinan dan kebodohannya. Kiai Dahlan mencontohkan bahwa
selama mereka adalah manusia, maka sudah sewajibnya menolong mereka. Pun
demikian dengan kesehatan, di kala orang-orang tidak mampu mendapatkan
pengobatan yang layak, Muhammadiyah hadir dengan PKO-nya, semata-mata untuk
memberikan pertolongan bagi mereka yang membutuhkan. Semua itu lantas
berkembang seperti efek karambol yang
pada akhirnya menempatkan Muhammadiyah dalam peran sentralnya membangun
masyarakat Indonesia. Apa yang menjadi ruh
gerakan ini seperti yang disebutkan diatas, tak bisa dipungkiri menjadikan para
kadernya bangga dengan Muhammadiyah, bangga dengan gerakannya, dan bangga
dengan kebermanfaatan yang ditimbulkan oleh apa yang dikerjakan oleh
Muhammadiyah.
Baca Juga : Ada Apa Dengan Nyai Ahmad Dahlan [?]
Inilah beberapa factor
dalam hemat saya yang kemudian menyuburkan esprit
de corps di kalangan warga / kader Muhammadiyah. Jadi tak heran, jika
film-film yang mengangkat tokoh perjuangan Muhammadiyah akan diramaikan oleh
para penonton yang mayoritas adalah kader.
Ini adalah salah satu bukti militansi
dari jiwa korsa para kader.
NGAJI VISUAL
Di era modern
seperti saat ini, tidak bisa dipungkiri bahwa sumber belajar tidak lagi primer
pada buku-buku. Masyarakat dimudahkan dengan kemajuan-kemajuan teknologi yang
ada. Sebut saja, televise, computer, ponsel pintar, hingga media social yang
menjamur dengan berbagai platform-nya.
Bagi yang mengalami era 90’an, dulu yang namanya belajar sejarah ya hanya
berasal dari buku-buku pelajaran yang dipinjami oleh sekolah. Itupun bukunya
hanya satu dan kadang sudah tidak lengkap halamannya, Karena diturunkan dari
tahun ke tahun. Paling banter lihat
poster-poster pahlawan yang biasanya tergantung di kelas. Bagi yang sudah ada
listrik, mereka akan cukup beruntung Karena bisa melihat TV (hitam putih) dan
menyaksikan film sejarah seperti Pengkhianatan
G30S PKI dan film Janur Kuning.
Walaupun kedua film ini menjadi kontroversi Karena diduga ada perekayasaan sejarah, setidaknya para siswa bisa
mevisualkan apa yang mereka baca di buku-buku pelajaran.
Sama dengan film Nyai Ahmad
Dahlan ini. Para kader Muhammadiyah tergerak untuk menonton film ini sebagai
ikhtiar untuk ngaji dan anjangsana salah satu sumber belajar sejarah
tentang salah satu organisasi pergerakan perempuan tertua dan masih bertahan
eksistensinya di Indonesia hingga saat ini. Bayangkan saja, kita mempelajari
sebuah sejarah organisasi yang saat ini sudah berumur hampir 1 abad dan
memiliki amal usaha 15 buah rumah sakit umum, 64 rumah bersalin, 7 buah rumah
sakit khusus ibu dan anak, 27 balai pengobatan 44 balai pengobatan khusus ibu
dan anak, 18 apotik, 52 Posyandu lansia, dan 17 PPKS. Belum lagi amal usahanya di
bidang pendidikan, yang berjumlah 21 Perguruan tinggi, 23.772 PAUD – SMA, 185
Panti Asuhan, dan 568 koperasi yang tersebar di seluruh Indonesia.
Sumber : Dari Sini |
Saya kok ndak terbayang ya kira-kira orang seperti apa yang bisa mendirikan organisasi yang menaungi amal usaha sebanyak itu dan menebar kebermanfaatan bagi masyarakat. Kira-kira bagaimana keseharian beliau saat itu tatkala mendampingi suaminya yang juga mendirikan Muhammadiyah sebagai induk organisasinya yang jumlah amal usahanya tak kalah dari ‘Aisyiah. Melalui media film ini, kita sedang ngaji bagaimana sesungguhnya memposisikan peran istri dalam keluarga, bagaimana menjadi penggerak bagi kemajuan umat, serta bagaimana mengartikulasikan semangat juang dan cinta tanah air yang sesunguhnya yang bukan hanya diteriakkan sebagai sampul proyek-proyek berujung pada materi semata.
Akhirnya, saya berucap syukur
bahwa peran tokoh-tokoh Muhammadiyah kini mulai dilirik dan diangkat ke layar
lebar. Tentunya yang tak kalah penting dari itu semua adalah setelah ini kita
masih punya PR panjang untuk memerdekakan masyarakat sekali lagi dari berbagai
belenggu kemiskinan, keterbelakangan informasi, serta kebodohan. Jadikan film
ini sebagai media untuk men-charging
semangat ber-Muhammadiyah kita untuk bersama-sama mewujudkan Indonesia yang
benar-benar berkemajuan di segala bidang. Wallahu’alam
Bishawab !
Tags:
Persyarikatan
6 komentar
iya jadi bisa melihat sendiri abgaimana perjuangannya lewat visual
BalasHapusKurang lebih bisa dimaknai dengan : Jika Aku dengar, aku lupa, Jika aku lihat, aku ingat, Jika aku lakukan, aku pahami
HapusWajar jika teman saya yang kader Muhammadiyah marah sekali kalau kita bilaang yang macam-macam tentang Muhammadiyah. Ternyata jiwa korsanya cukup tinggi.
BalasHapusSalut deh buat oragnisasi ini.
Terima kasih tulisannya sudah mencerahkan.
Terimakasih atas testimoninya. Semoga Allah senantiasa menurunkan berkah dan rahmat-Nya pada kita semua.
HapusSemoga tulisan kami bermanfaat.
SubhanaAllah.. thanks sharing-nya. Ibu saya dari Klaten dan anak sekolah di SD Muhammadyah. InsyaaAllah jadi penerus bangsa dengan pandangan yg luas dan iman yg kuat, aamiin
BalasHapusAamiin ya Mujibbassailin
HapusInshaAllah. Semoga Allah merahmati ibu sekeluarga.