Suatu kali teman dekat saya merasa jenuh dengan hiruk-pikuk dunia maya yang isinya cuma pamer pencapaian dan debat kusir tak berujung, ia lantas memutuskan untuk mencari ketenangan batin lewat jalur spiritual dengan mendatangi sebuah majelis ilmu. Niat hati ingin mendapatkan siraman rohani yang menyejukkan jiwa dan menata kembali nalar yang mulai bengkok akibat terlalu banyak mengonsumsi konten sampah, tapi yang ia dapatkan justru kebingungan yang hakiki. Di sana, penceramahnya dengan berapi-api menceritakan kisah seorang kyai sakti mandraguna yang konon memiliki kemampuan raga sukma tingkat tinggi hingga bisa berada di dua tempat sekaligus dalam waktu bersamaan. Cerita itu disampaikan dengan sangat meyakinkan seolah-olah kemampuan membelah diri adalah standar kompetensi utama untuk disebut sebagai orang saleh di zaman modern ini. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, melihat jamaah lain mengangguk-angguk takzim seakan cerita itu adalah nutrisi paling bergizi bagi iman mereka yang sedang lapar. Tentu saja dia tidak berani protes atau bertanya tentang relevansi kesaktian itu dengan tagihan listrik yang membengkak, karena bisa-bisa dia dituduh sebagai penganut aliran sesat atau minimal dianggap kurang piknik spiritual. Pulang dari sana, bukannya merasa damai dan tercerahkan, ia cerita kepada saya bahwa ia kini sibuk memikirkan mekanisme fisika kuantum macam apa yang dipakai si tokoh untuk memindahkan jasadnya dari Jawa ke Mekkah tanpa paspor dan visa.
Fenomena mendengarkan kisah-kisah ajaib semacam itu sebenarnya bukan barang baru di telinga masyarakat kita yang memang punya bakat alamiah untuk menyukai hal-hal berbau klenik dan mistis sejak zaman nenek moyang. Kita sering kali lebih mudah takjub pada cerita tentang kiai yang bisa berjalan di atas air tanpa basah sedikit pun daripada takjub pada orang yang berhasil membuat sistem irigasi canggih untuk mengairi sawah petani yang kekeringan. Ada semacam kepuasan batin tersendiri ketika mendengar ada manusia "pilihan" yang tubuhnya kebal bacok, tidak mempan disantet, atau kulitnya sekeras baja saat ditembak peluru tajam penjajah. Logika kita seolah dimanjakan dengan narasi bahwa kedekatan dengan Tuhan itu manifestasinya harus berupa kekuatan super layaknya anggota Avengers yang siap menyelamatkan dunia dari serangan alien. Padahal kalau dipikir-pikir dengan nalar orang lapar, kebal senjata itu tidak serta merta membuat perut kenyang atau membuat jalanan di depan rumah kita jadi mulus bebas lubang. Tapi ya mau bagaimana lagi, pasar cerita kesaktian memang selalu laris manis dan punya pangsa pasar yang militan di negeri yang hup-hup ini.
Kalau sampeyan adalah tipikal orang yang gampang bosan dengan dongeng kesaktian dan lebih suka hal-hal yang masuk akal serta bisa diraba dengan panca indra, mungkin sampeyan akan mengalami gegar budaya yang hebat jika salah masuk pengajian. Bayangkan saja betapa tersiksanya batin seorang rasionalis yang berharap dapat panduan hidup praktis tapi malah disuguhi tutorial cara terbang tanpa sayap yang jelas-jelas tidak bisa dipraktikkan di kantor saat macet melanda. Rasa-rasanya ingin sekali mengangkat tangan dan bertanya kepada ustaznya tentang bagaimana caranya mengubah air menjadi bensin pertamax, karena itu jelas lebih solutif bagi kehidupan umat saat ini. Namun, harapan tinggal harapan, karena biasanya di pengajian model begini, nalar kritis sering kali dianggap sebagai bentuk ketidaksopanan atau bahkan gangguan jin yang harus segera diruqyah. Akhirnya, kita hanya bisa duduk manis sambil menahan kantuk, mendengarkan kisah heroik masa lalu yang jaraknya ribuan tahun cahaya dari realitas kita yang sedang pusing memikirkan cicilan pinjol.
Nah, di tengah keputusasaan mencari oase spiritual yang ramah nalar dan membumi itulah, saya menyarankan sampeyan untuk sekali-kali mencoba duduk bersila di pengajian Muhammadiyah. Jangan kaget kalau di sana sampeyan tidak akan menemukan aroma kemenyan atau cerita tentang karomah tokoh yang bisa menghilang saat ditagih hutang oleh tetangga. Suasana di pengajian Muhammadiyah itu kering dari nuansa mistis, saking keringnya kadang terasa seperti sedang rapat dewan direksi perusahaan start-up yang sedang membahas valuasi dan ekspansi bisnis. Di sini, alih-alih membahas cara melipatgandakan uang secara gaib, sampeyan akan diajak memutar otak tentang bagaimana caranya mengumpulkan dana umat untuk membangun sesuatu yang nyata dan bisa dilihat mata telanjang. Tidak ada sensasi merinding disko akibat cerita horor, yang ada justru kening yang berkerut memikirkan target pembangunan yang disampaikan dengan detail layaknya presentasi arsitek profesional.
Bagi para pencari sensasi magis dan penikmat cerita legenda urban, pengajian model Muhammadiyah ini jelas terasa hambar, garing, dan membosankan setengah mati karena tidak ada atraksi debus sama sekali. Bagaimana tidak membosankan, lha wong materi yang dibahas tidak jauh-jauh dari urusan semen, batu bata, keramik, perizinan tanah, hingga manajemen aset wakaf yang njlimetnya minta ampun. Penceramahnya tidak akan berbusa-busa menceritakan konon kabarnya beliau pernah shalat Jumat di Masjidil Haram padahal jasadnya terlihat tidur di serambi masjid kampung. Justru penceramahnya akan datang membawa tumpukan proposal pembangunan gedung sekolah baru atau rencana renovasi panti asuhan yang atapnya sudah mulai bocor dimakan rayap. Jamaah tidak diajak untuk melayang ke awang-awang membayangkan surga yang abstrak, tapi diajak menapak bumi untuk menciptakan kepingan surga kecil bagi mereka yang membutuhkan.
Masuk ke lingkungan pengajian Muhammadiyah itu ibarat masuk ke dalam sebuah ekosistem birokrasi langit yang sangat terstruktur, sistematis, dan masif dalam artian yang positif tentunya. Sampeyan akan segera menyadari bahwa fokus utama dari perkumpulan ini adalah kerja nyata, kerja keras, dan kerja cerdas untuk kemaslahatan umat manusia tanpa memandang bulu. Jangan harap bisa pulang membawa jimat penglaris dagangan atau air doa yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit mulai dari panu hingga kanker stadium akhir. Oleh-oleh dari pengajian ini biasanya berupa semangat yang meletup-letup untuk ikut serta dalam proyek kemanusiaan atau minimal rasa malu karena belum bisa berbuat banyak untuk orang lain. Di sini, kesalehan seseorang tidak diukur dari seberapa lama ia bisa bertapa di gua sunyi tanpa makan dan minum, melainkan dari seberapa besar kontribusinya dalam mewujudkan fasilitas publik yang bermanfaat.
Coba perhatikan baik-baik materi kajiannya, hampir selalu bermuara pada ajakan untuk mendirikan masjid yang makmur, sekolah yang berkemajuan, rumah sakit yang melayani, hingga kampus yang mencerahkan. Orang-orang Muhammadiyah ini sepertinya punya obsesi aneh untuk mengubah setiap jengkal tanah wakaf menjadi bangunan produktif yang bisa memutar roda ekonomi dan pendidikan umat. Kalau ada tanah kosong, naluri kemuhammadiyahan mereka akan langsung bergetar hebat dan merumuskan rencana pembangunan amal usaha, bukan merumuskan tempat untuk mencari wangsit. Bagi mereka, membiarkan tanah menganggur tanpa dimanfaatkan untuk kepentingan umat adalah sebuah dosa sosial yang harus segera ditebus dengan amal nyata berupa pembangunan infrastruktur. Maka tak heran jika aset Muhammadiyah bertebaran di mana-mana, dari kota besar hingga pelosok desa yang sinyal internetnya pun masih senin-kamis.
Isi pengajiannya benar-benar pragmatis dalam artian yang paling mulia, yaitu bagaimana agama ini bisa hadir sebagai solusi konkret atas permasalahan hidup sehari-hari yang dihadapi masyarakat. Ketika orang lain sibuk berdebat tentang dalil memanjangkan jenggot atau celana cingkrang, orang Muhammadiyah sudah sibuk meletakkan batu pertama pembangunan klinik kesehatan ibu dan anak. Mereka seolah ingin menegaskan bahwa Islam itu bukan hanya sekadar ritual penyembahan di atas sajadah, tapi juga gerakan sosial yang membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Narasi yang dibangun adalah narasi pemberdayaan, di mana setiap individu didorong untuk menjadi agen perubahan di lingkungannya masing-masing dengan kapasitas yang dimilikinya. Jadi, kalau sampeyan datang ke sana dengan niat ingin belajar ilmu kebal, siap-siap saja kecewa berat karena yang diajarkan adalah ilmu kebal kemiskinan lewat etos kerja dan kewirausahaan.
Di Muhammadiyah, yang dikaji secara mendalam dan berulang-ulang adalah soal bagaimana hidup yang singkat ini agar bisa benar-benar bermanfaat bagi sesama manusia dan makhluk hidup lainnya. Filosofi ini tertanam kuat di benak para kadernya, sehingga orientasi hidup mereka bukan lagi sekadar menyelamatkan diri sendiri dari api neraka, tapi juga menyelamatkan orang lain dari neraka dunia. Mereka percaya bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain, sebuah prinsip yang terdengar klise tapi sangat berat pelaksanaannya di lapangan. Tidak ada tempat bagi egoisme spiritual yang hanya mementingkan kesalehan ritual pribadi sambil menutup mata terhadap penderitaan tetangga yang kelaparan atau anak yatim yang putus sekolah. Kesaktian yang diakui di sini adalah kesaktian mengubah uang receh sumbangan jamaah menjadi gedung bertingkat yang melahirkan ribuan sarjana setiap tahunnya.
Cerita-cerita hikmah yang disampaikan di mimbar pengajian Muhammadiyah bukanlah soal kesaktian supranatural orang sakti di masa lampau yang bisa terbang atau menghilang sesuka hati. Yang diceritakan adalah kisah-kisah inspiratif tentang perjuangan Kiai Ahmad Dahlan yang rela melelang barang-barang rumah tangganya demi menggaji guru-guru di sekolah yang didirikannya. Kisah tentang bagaimana para pendahulu organisasi ini berdarah-darah mempertahankan sekolah dan panti asuhan di tengah gempuran penjajah dan keterbatasan ekonomi yang mencekik leher. Heroisme yang ditonjolkan adalah heroisme pengorbanan harta dan jiwa untuk memastikan roda organisasi tetap berputar memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Tidak ada bumbu mistis yang ditambahkan, karena realitas perjuangan mereka sudah cukup dramatis dan menggetarkan hati tanpa perlu tambahan efek khusus ala film Hollywood.
Justru di sinilah letak keunikan dan kekuatan narasi Muhammadiyah, yang berhasil membumikan sosok-sosok teladan menjadi manusia biasa yang bisa ditiru jejak langkahnya oleh siapa saja. Kiai Dahlan digambarkan bukan sebagai superman yang tak tersentuh, melainkan sebagai manusia biasa yang punya rasa cemas, punya masalah keuangan, tapi punya tekat baja untuk memajukan umatnya. Pendekatan ini membuat jamaah merasa relevan dan terhubung, karena mereka sadar bahwa untuk menjadi mulia tidak perlu menunggu punya sayap atau punya ilmu rawa rontek. Cukup dengan memiliki kepedulian sosial dan mau menyisihkan sebagian rezeki untuk kepentingan bersama, siapa pun bisa menjadi pahlawan di lingkungannya masing-masing tanpa terkecuali. Ini adalah demokratisasi kesalehan yang luar biasa, di mana tiket masuk surga tidak dimonopoli oleh mereka yang punya privilege keturunan atau kesaktian tertentu.
Kesederhanaan dan kebermanfaatan menjadi dua kata kunci yang terus didengungkan di setiap kesempatan, seolah menjadi mantra wajib yang harus dihafal di luar kepala. Pejabat teras Muhammadiyah sering kali tampil dengan gaya yang jauh dari kesan glamor atau feodal, bahkan kadang sulit dibedakan mana pimpinan pusat dan mana marbot masjid saking sederhananya. Mereka mengajarkan bahwa jabatan dan kekayaan hanyalah alat titipan Tuhan yang harus digunakan seefektif mungkin untuk melayani umat, bukan untuk minta dilayani atau disembah-sembah. Budaya egaliter ini sangat kental terasa, di mana kritik dan masukan bisa disampaikan dengan terbuka tanpa rasa takut kualat pada sang pemimpin. Sebab di sini, yang disucikan adalah nilai-nilai kebenaran dan kejujuran, bukan sosok individu yang dianggap setengah dewa.
Jamaah pengajian akan diajak untuk melihat bekal akhirat sebagai sebuah rangkaian panjang yang terhubung langsung dengan setiap tindakan kecil yang kita lakukan di dunia ini. Pandangan ini menolak dikotomi atau pemisahan yang kaku antara urusan duniawi dan ukhrawi, seolah-olah keduanya adalah dua kutub yang saling bermusuhan dan tidak bisa didamaikan. Di Muhammadiyah, bekerja mencari nafkah yang halal, belajar ilmu pengetahuan umum, dan berorganisasi adalah bagian integral dari ibadah itu sendiri jika diniatkan dengan benar. Jadi, jangan heran kalau rapat pengurus ranting yang membahas anggaran renovasi toilet masjid pun dianggap sama sakralnya dengan wirid di sepertiga malam terakhir. Karena toilet yang bersih akan membuat jamaah nyaman beribadah, dan kenyamanan itu adalah bagian dari pelayanan yang bernilai pahala di sisi Tuhan.
Melihat akhirat itu bukan sesuatu yang terpisah dari realitas kita saat ini, bukan sebuah dunia antah berantah yang baru akan kita masuki setelah jantung berhenti berdetak nanti. Akhirat adalah perpanjangan dari apa yang kita tanam hari ini, sebuah konsekuensi logis dari setiap keputusan yang kita ambil detik demi detik di dunia yang fana ini. Konsep ini memaksa kita untuk selalu sadar dan waspada dalam bertindak, karena setiap langkah punya dampak jangka panjang yang melintasi batas kematian. Tidak ada istilah "nanti saja tobatnya kalau sudah tua", karena membangun peradaban akhirat harus dimulai sejak muda dengan karya nyata yang monumental. Surga itu tidak bisa diraih hanya dengan melamun atau berangan-angan, tapi harus direbut dengan keringat dan kerja keras dalam menebar kebaikan di muka bumi.
Sesuatu yang wah dan megah di akhirat nanti hanyalah refleksi dari akumulasi kebaikan-kebaikan kecil yang kita tumpuk dengan telaten selama hidup di dunia. Bayangkan akhirat itu seperti sebuah celengan raksasa yang isinya adalah koin-koin amal jariyah yang kita masukkan setiap hari tanpa henti, sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Muhammadiyah mengajarkan kita untuk menjadi investor akhirat yang cerdas, yang tahu portofolio amal mana yang memberikan dividen pahala paling besar dan berkelanjutan alias sustainable. Makanya mereka gencar membangun institusi pendidikan dan kesehatan, karena itulah jenis investasi yang pahalanya tidak akan putus meski investornya sudah terkubur di dalam tanah. Ini adalah strategi manajemen spiritual tingkat tinggi yang menggabungkan visi visioner dengan eksekusi lapangan yang presisi.
Dunia ini harus diisi dengan berlomba-lomba dengan kebaikan, sebuah kompetisi sehat yang tidak saling menjatuhkan tapi saling menguatkan satu sama lain dalam koridor kebajikan. Tidak ada waktu untuk saling sikut atau saling dengki melihat keberhasilan orang lain, karena fokus utama adalah bagaimana kita bisa memberikan kontribusi terbaik versi diri kita sendiri. Persaingan di sini bukan soal siapa yang paling kaya atau paling populer, tapi siapa yang paling banyak memberi manfaat dan solusi bagi permasalahan umat. Atmosfer kompetisi ini menciptakan dinamika yang positif, di mana setiap cabang dan ranting Muhammadiyah berlomba-lomba memamerkan prestasi amal usahanya, bukan memamerkan koleksi batu akiknya. Dan hebatnya, "pamer" di sini justru memicu semangat pihak lain untuk meniru dan melakukan hal yang lebih baik lagi di kemudian hari.
Sehingga akhirat itu terlihat sebagai sebuah akumulasi kebaikan yang solid, bukan sekadar harapan kosong yang digantungkan pada doa orang lain setelah kita mati. Kita diajarkan untuk menjadi arsitek nasib kita sendiri di masa depan dengan menggambar desain amal saleh yang kokoh dan tahan uji sejak hari ini. Tidak ada jalan pintas menuju surga, tidak ada cheat code atau kode curang yang bisa dipakai untuk menembus gerbang keabadian tanpa bekal yang cukup. Semuanya harus melalui proses, melalui tahapan perjuangan yang kadang melelahkan dan penuh tantangan, tapi di situlah letak seninya beragama.
Muhammadiyah menawarkan jalan yang terjal tapi jelas petanya, bukan jalan yang terlihat mulus tapi ternyata menyesatkan ke lembah kemalasan dan fatalisme.
Makanya di Muhammadiyah ada salah satu semboyan yang terkenal yang dikutip dari Alquran, sebuah frasa pendek namun memiliki daya ledak yang luar biasa bagi siapa saja yang merenunginya: Fastabiqul Khairat. Kalimat ini bukan sekadar slogan tempelan yang dipajang di spanduk-spanduk acara atau kop surat organisasi semata. Ini adalah etos, ini adalah ruh, ini adalah bahan bakar nuklir yang menggerakkan mesin organisasi raksasa ini selama lebih dari satu abad lamanya. Fastabiqul Khairat yang berarti "berlomba-lombalah dalam kebaikan" adalah perintah suci yang diterjemahkan menjadi aksi nyata tanpa banyak basa-basi diplomasi. Semboyan ini menampar kita yang sering kali merasa cukup dengan menjadi orang baik yang pasif, padahal menjadi baik saja tidak cukup, kita harus berlomba menjadi yang terbaik dalam memberi manfaat.
Fastabiqul Khairat itu maknanya bukan balapan lari karung 17 Agustusan yang ada menang dan ada kalahnya, di mana yang kalah akan bersedih hati. Dalam konteks ini, semua orang bisa jadi pemenang asalkan mereka bergerak, asalkan mereka tidak diam berpangku tangan melihat ketidakadilan dan kebodohan merajalela. Ini adalah seruan untuk proaktif, inisiatif, dan progresif dalam merespons tantangan zaman yang semakin gila ini dengan solusi yang konstruktif. Ketika ada bencana alam, semangat ini mewujud dalam bentuk pasukan relawan yang turun duluan ke lokasi sebelum bantuan pemerintah sampai. Ketika ada wabah penyakit, semangat ini mewujud dalam kesiapan rumah sakit-rumah sakit Muhammadiyah menjadi garda terdepan penanganan pasien tanpa tanya isi dompetnya dulu.
Bentuk implementasinya di lapangan sangat beragam dan sering kali membuat kita geleng-geleng kepala karena saking totalitasnya orang-orang Muhammadiyah ini dalam beramal. Lihatlah bagaimana ibu-ibu Aisyiyah yang usianya sudah senja masih semangat mengelola Taman Kanak-Kanak Bustanul Athfal di pelosok desa dengan gaji yang mungkin hanya cukup untuk beli bensin motor. Lihatlah bagaimana para pemuda Muhammadiyah patungan uang jajan mereka untuk membedah rumah warga miskin yang hampir roboh tanpa mengharap diliput media massa. Lihatlah bagaimana LazisMu mengelola dana zakat, infak, dan sedekah dengan manajemen modern yang transparan sehingga setiap rupiah bisa dipertanggungjawabkan penggunaannya. Semua itu adalah manifestasi nyata dari Fastabiqul Khairat, bukan sekadar jargon kosong yang diteriakkan saat kampanye pemilihan ketua umum saja.
Semboyan ini juga mengajarkan kita untuk tidak cepat berpuas diri dengan pencapaian yang sudah diraih, karena di atas langit masih ada langit, di atas kebaikan masih ada kebaikan yang lebih besar. Jika hari ini sudah berhasil membangun satu sekolah, maka besok targetnya adalah membangun universitas, dan lusa targetnya mungkin membangun stasiun luar angkasa kalau perlu. Tidak ada kata berhenti atau pensiun dalam kamus perjuangan Muhammadiyah, karena berhenti berarti mati, berhenti berarti membiarkan kebatilan mengambil alih panggung sejarah. Semangat untuk terus bertumbuh dan berkembang inilah yang membuat organisasi ini tetap relevan dan segar meski zaman terus berubah dengan cepatnya. Mereka tidak sibuk meratapi masa lalu kejayaan Islam, tapi sibuk menyusun batu bata peradaban untuk kejayaan masa depan Islam yang berkemajuan.
Uniknya, kompetisi dalam kebaikan ini dilakukan dengan penuh kegembiraan, seolah-olah membangun rumah sakit itu sama asyiknya dengan main futsal bareng teman-teman satu geng. Tidak ada wajah-wajah tertekan atau menderita saat mereka dimintai sumbangan, yang ada justru senyum lebar karena merasa diberi kesempatan untuk menanam saham di akhirat. Dompet boleh menipis, rekening boleh berkurang, tapi hati mereka kaya raya dengan keyakinan bahwa apa yang mereka keluarkan akan kembali berlipat ganda dalam bentuk keberkahan. Logika matematika sedekah ala Muhammadiyah memang sering kali tidak masuk di akal para ekonom kapitalis, tapi terbukti ampuh menjaga cashflow organisasi tetap hijau royo-royo. Keajaiban itu nyata adanya, tapi bukan lewat jampi-jampi, melainkan lewat kekuatan jamaah yang solid dan ikhlas lillahi ta'ala.
Ciri khas lain dari implementasi Fastabiqul Khairat adalah profesionalitas dalam mengelola amal usaha, tidak dikelola dengan sistem manajemen "pokoknya jalan" atau manajemen warung kopi. Sekolah Muhammadiyah harus punya standar mutu yang jelas, rumah sakitnya harus terakreditasi paripurna, dan laporan keuangannya harus diaudit oleh akuntan publik independen. Mereka sadar bahwa niat baik saja tidak cukup, niat baik harus didukung dengan tata kelola yang baik agar hasilnya maksimal dan tidak malah menjadi beban di kemudian hari. Tuhan mencintai pekerjaan yang dilakukan dengan itqan (profesional/tuntas), dan Muhammadiyah berusaha menerjemahkan cinta Tuhan itu ke dalam SOP organisasi yang ketat. Jadi, jangan harap bisa korupsi di sini, karena malaikat pencatat amal dan auditor internal sama-sama galaknya dalam mengawasi setiap sen uang umat.
Bahkan dalam hal-hal kecil sekalipun, semangat berlomba dalam kebaikan ini terasa denyutnya, misalnya dalam urusan ketepatan waktu memulai acara pengajian atau rapat organisasi. Budaya jam karet alias ngaret yang sudah mendarah daging di masyarakat kita berusaha dikikis pelan-pelan, meskipun kadang masih ada satu dua yang telat dengan alasan ban bocor yang klise. Disiplin waktu dianggap sebagai bagian dari amanah dan penghormatan terhadap waktu orang lain yang juga berharga untuk berbuat kebaikan lainnya. Menghargai waktu adalah menghargai kehidupan itu sendiri, dan orang Muhammadiyah tidak mau menyia-nyiakan kehidupan dengan menunggu hal-hal yang tidak pasti. Semuanya harus terencana, terukur, dan tepat sasaran, agar energi umat tidak habis hanya untuk urusan seremonial belaka.
Pada akhirnya, ajaran di pengajian Muhammadiyah ini menawarkan sebuah perspektif keberagamaan yang dewasa, rasional, dan sangat fungsional bagi kehidupan modern yang kompleks. Ia mengajak kita keluar dari cangkang mistisisme yang melenakan menuju medan amal yang menantang namun menjanjikan kepuasan batin yang sejati dan abadi. Kita diajak untuk menjadi muslim yang tidak hanya saleh secara ritual di dalam masjid, tapi juga saleh secara sosial di tengah pasar, kantor, dan ruang publik lainnya. Menjadi muslim yang kehadirannya dirindukan karena membawa solusi, bukan muslim yang kehadirannya ditakuti karena membawa pentungan atau membawa proposal fiktif. Ini adalah jalan sunyi yang tidak banyak sorotan kamera, tapi jejaknya abadi terukir dalam senyum para penerima manfaat.
Jadi, kalau sampeyan suatu saat merasa butuh pencerahan rohani yang tidak menuntut sampeyan mematikan nalar sehat, silakan mampir ke gedung dakwah Muhammadiyah terdekat di kota sampeyan. Jangan lupa bawa dompet, bukan untuk membayar tiket masuk, tapi untuk mengantisipasi kalau-kalau hati sampeyan tergerak melihat kotak infak yang diedarkan dengan penuh senyum ramah. Siapa tahu, dari recehan yang sampeyan masukkan itu, akan lahir sebuah klinik di pedalaman Papua atau beasiswa untuk anak cerdas yang kurang mampu di pelosok desa. Dan percayalah, perasaan ikut memiliki andil dalam kebaikan semacam itu jauh lebih menentramkan jiwa daripada sekadar takjub mendengar cerita orang sakti yang bisa terbang ke bulan tanpa roket NASA.
Tutup mata sejenak, bayangkan betapa indahnya jika seluruh energi umat Islam dialihkan dari perdebatan khilafiyah yang tak berujung menuju perlombaan membangun peradaban yang memuliakan manusia. Itulah mimpi besar yang ditawarkan oleh Muhammadiyah lewat Fastabiqul Khairat-nya, sebuah mimpi yang sangat mungkin kita wujudkan bersama asal kita mau mulai bergerak sekarang juga. Tidak perlu menunggu jadi sakti untuk bermanfaat, cukup jadi manusia biasa yang peduli, itu sudah lebih dari cukup untuk membuat malaikat tersenyum melihat kita dari langit. Lagipula, buat apa bisa terbang kalau di darat saja kita masih sering tersandung masalah sampah dan kemacetan yang belum beres-beres sampai hari ini?











