Di akhir bulan kemarin, saya menulis soal bagaimana metode yang dipakai oleh Muhammadiyah dalam menentukan awal ramadan, syawal, dan zulhijjah yang berbeda dari metode yang dipakai oleh pemerintah maupun ormas lainnya.
Sebenarnya perbedaan yang terjadi di awal ramadan tahun ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Sekira 7 tahunan yang lalu juga terjadi perbedaan awal ramadan / syawal dan kebetulan selama 7 tahun terakhir, awal ramadan serta syawal antara Muhammadiyah dengan pemerintah selalu sama atau berbarengan.
Saat terjadi perbedaan seperti awal ramadan tahun ini, orang-orang ramai membincangkan kembali soal ayat dalam Alquran tentang kewajiban untuk menaati Ulil Amri.
Adapun ayat yang menyebut soal kewajiban ini terdapat dalam surat An-Nisa ayat 59 :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Muhammadiyah dianggap "melanggar" perintah tuhan dengan menyelisihi ketetapan pemerintah yang oleh kebanyakan orang awam dianggap sebagai ulil amri (padahal Muhammadiyah sudah jauh lebih dulu mengumumkan ketetapan awal ramadan, syawal, dan zulhijjah sejak awal tahun ini) soal hasil sidang isbat.
Muhammadiyah sendiri sudah sejak lama berijtihad menggunakan metode hisab hakiki wujudul hilal dalam menentukan awal bulan. Muhammadiyah bukan tanpa dasar memilih metode ini. Sebagai organisasi dan gerakan islam modern, Muhammadiyah selalu berusaha menggunakan agama dan sains sebagai pijakannya. Sains digunakan bukan untuk menggantikan agama. Muhammadiyah tidak menuhankan sains. Justru Muhammadiyah menggunakan sains untuk mengungkap tanda-tanda kebesaran Allah yang disebut dalam Alquran dan hadits.
Lantas dengan keyakinannya ini soal metode hisab, apakah Muhammadiyah bisa dianggap tidak patuh pada Ulil Amri? Apakah Muhammadiyah membangkang pada perintah Allah dalam Alquran?
Khusus tentang persoalan ulil amri, yang jadi persoalan bukanlah tentang keharusan patuh pada ulil amri, karena perintah patuh pada ulil amri sudah dinashkan secara jelas dalam Al-Qur’an.
Tetapi yang jadi persoalan adalah siapakah yang berhak disebut ulil amri dalam ayat tersebut. Satu pihak menyatakan bahwa ulil amri itu adalah pemerintah. Untuk urusan penetapan awal Ramadhan dan terutama awal Syawal, ulil amrinya adalah Menteri Agama. Dengan demikian, apabila Pemerintah sudah menetapkan awal bulan Ramadhan dan Syawal, maka semua umat Islam harus mematuhinya. Dalam hubungannya dengan Muhammadiyah, jika Muhammadiyah mengumumkan berbeda dengan Pemerintah, berarti Muhammadiyah tidak taat dengan ulil amri, berarti juga tidak melaksanakan perintah Allah dalam ayat di atas.
|
Kitab HPT, merupakan kumpulan hasil pembahasan dan penetapan urusan-urusan keagamaan para ulama Muhammadiyah yang tergabung dalam Majelis Tarjih dan Tajdid (Foto : Istimewa) |
Sementara itu, pihak lain, terutama Muhammadiyah, dengan keyakinan tinggi tanpa keraguan sedikit pun, tidak menolak untuk patuh dalam ayat tersebut. Tapi yang dipertanyakan adalah apakah menteri agama itu sah disebut sebagai ulil amri sesuai dengan terminologi yang disebut dalam surat An-Nisa tersebut?
Untuk urusan keagamaan, apalagi ibadah mahdhah, harusnya diputuskan oleh lembaga yang punya kompetensi dan otoritas untuk itu. Misalnya di Mesir yang memutuskan satu Syawal adalah Grand Mufti, sementara Menteri Agama/Wakaf hanya menyaksikan. Di Saudi Arabia yang memutuskan adalah Mahkamah Agung. Di Malaysia yang memutuskan adalah Mufti Negara. Dan sebagian besar negara-negara Islam lainnya yang memutuskan juga adalah seorang mufti.
Mufti atau grand mufti ditunjuk oleh pemerintah berdasarkan kriteria keulamaan, keilmuan, dan keahlian dalam hal agama. Sementara di Indonesia menteri agama adalah jabatan politik, ditunjuk oleh presiden berdasarkan pertimbangan politik bukan dengan pertimbangan keilmuan dan keulamaannya. Indonesia tidak memiliki mufti atau grand mufti.
Oleh sebab itu selama ini fatwa-fatwa keagamaan dikeluarkan oleh lembaga-lembaga fatwa yang ada pada ormas-ormas Islam seperti Majelis Tarjih dan Tajdid (Muhammadiyah), Lajnah Bahtsul Matsail (Nadhlatul Ulama), dan Komisi Fatwa (Majelis Ulama Indonesia).
Pengertian Ulil Amri
Secara bahasa ulî adalah bentuk jamak dari wali yang berarti pemilik atau yang mengurus dan menguasai. Bentuk jamak dari kata tersebut menunjukkan bahwa mereka itu banyak. Sedangkan kata al-amr adalah perintah atau urusan.
Dengan demikian ulil amri adalah orang-orang yang berwewenang mengurus urusan kaum muslim. Mereka adalah orang-orang yang diandalkan dalam menangani persoalan-persoalan kemasyarakatan.
“Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (Q.S. Al-Maidah 5: 55)
Siapakah ulil amri tersebut? Jika dikaitkan dengan Surat Al-Maidah ayat 55 diatas maka ulil amri itu adalah pemimpin umat yang menggantikan kepemimpinan Rasulullah SAW.
Dalam ayat di atas dijelaskan tiga hirarki kepemimpinan: Allah, Rasul-Nya dan orang- orang yang beriman. Secara operasional, kepemimpinan Allah SWT itu dilaksanakan oleh Rasulullah SAW, dan sepeninggal beliau kepemimpinan itu dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman.
Empat Syarat Menjadi Ulil Amri
Sebagai Nabi dan Rasul, Nabi Muhammad SAW tidak bisa digantikan, tapi sebagai kepala negara, pemimpin, ulil amri tugas beliau dapat digantikan. Orang-orang yang dapat dipilih menggantikan beliau sebagai pemimpin minimal harus memenuhi empat kriteria sebagai mana yang dijelaskan dalam Surat Al-Maidah ayat 55 di atas. Empat syarat tersebut adalah
1. Beriman kepada Allah SWT
Karena ulil amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah SAW, sedangkan Rasulullah sendiri adalah pelaksana kepemimpinan Allah SWT, maka tentu saja yang pertama sekali harus dimiliki oleh penerus kepemimpinan beliau adalah keimanan (kepada Allah, Rasul dan rukun iman yang lainnya).
Tanpa keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya bagaimana mungkin dia dapat diharapkan memimpin umat menempuh jalan Allah di atas permukaan bumi ini.
2. Mendirikan Shalat
Shalat adalah ibadah vertikal langsung kepada Allah SWT. Seorang pemimpin yang mendirikan shalat diharapkan memiliki hubungan vertikal yang baik dengan Allah SWT. Diharapkan nilai-nilai kemuliaan dan kebaikan yang terdapat di dalam shalat dapat tercermin dalam kepemimpinannya.
Misalnya nilai kejujuran. Apabila wudhu’ seorang imam yang sedang memimpin shalat batal, sekalipun tidak diketahui orang lain dia akan mengundurkan diri dan siap digantikan orang lain, karena dia sadar bahwa dia tidak lagi berhak menjadi imam.
3. Membayarkan Zakat
Zakat adalah ibadah mahdhah yang merupakan simbol kesucian dan kepedulian sosial. Seorang pemimpin yang berzakat diharapkan selalu berusaha mensucikan hati dan hartanya. Dia tidak akan mencari dan menikmati harta dengan cara yang tidak halal (misalnya dengan korupsi, kolusi dan nepotisme).
Dan lebih dari pada itu dia memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap kaum dhu’afa’ dan mustadh’afin. Dia akan menjadi pembela orang-orang yang lemah.
4. Selalu Tunduk Patuh Kepada Allah SWT
Dalam ayat di atas disebutkan pemimpin itu haruslah orang-orang yang selalu ruku’ (wa hum râki’ûn). Ruku’ adalah simbol kepatuhan secara mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya yang secara konkret dimanifestasikan dengan menjadi seorang muslim yang kafah (total), baik dalam aspek aqidah, ibadah, akhlaq maupun mu’amalat.
Aqidahnya benar (bertauhid secara murni dengan segala konsekuensinya, bebas dari segala bentuk kemusyrikan), ibadahnya tertib dan sesuai tuntutan Nabi, akhlaqnya terpuji (shidiq, amanah, adil, istiqamah dan sifat-sifat mulia lainnya) dan mu’amalatnya (dalam seluruh aspek kehidupan) tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
***
Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa umarâ’ atau hukâm adalah ulil amri dengan syarat-syarat minimal yang sudah disebutkan di atas. Tetapi sebagian memperluas makna ulil amri tidak hanya kepada pemerintah atau penguasa semata tetapi jug kepada siapa saja yang mempunyai kompetensi dan mendapatkan amanah untuk memimpin suatu urusan, baik itu perorangan atau lembaga.
Ahlul halli wal aqdi adalah ulil amri dalam bidang-bidang yang ditugaskan dan menjadi wewenang mereka, misalnya dalam pemilihan kepala negara, menetapkan undang-undang, dan urusan-urusan lainnya.
Menurut Ibn ‘Abbâs, ulil amri adalah ahli fiqh dan agama. Menurut Mujâhid, ‘Athâ’ dan Abu al-‘Aliyah serta Hasan al-Bashri, ulil amri itu adalah ulama. Menurut Ibn Katsîr sendiri, ulil amri mencakup keduanya, umara dan ulama.
Menurut Muhammad ‘Abduh, ulil amri adalah jamaah ahlul ahli wal aqdi dari kaum Muslimin. Mereka adalah umara’ (pemerintah) dan hukama’ (penguasa), ulama, para panglima, dan semua pemimpin masyarakat.
Jika mereka semua sepakat tentang suatu urusan, kita semua wajib mematuhinya asal tidak bertentang perintah Allah dan Rasul-Nya.
Menurut sebagian ulama, karena kata al-amr yang berbentuk ma’rifah atau difinite, maka wewenang pemilik kekuasaan terbatas hanya pada persoalan-persoalan kemasyarakatan (umum) semata, bukan persoalan akidah atau keagamaan murni. Untuk persoalan aqidah dan keagamaan murni harus dikembalikan kepada nash-nash agama (Al-Qur’an dan As-Sunnah).
Dalam hal ini, Muhammad Abduh mengatakan bahwa perbedaan pendapat sangat mungkin terjadi dalam pemahaman terhadap nash, bukan dalam mematuhi nash. Dalam masalah hadits tentang tata cara untuk mengetahui awal Ramadhan dan awal Syawal, persoalannya bukan pada masalah patuh atau tidak patuh pada petunjuk Rasul tersebut, tetapi tentang bagaimana memahami hadits tersebut.
Menurut pandangan Muhammadiyah, hadits itu ada ‘illatnya (alasan/fakta yang melingkupinya), yaitu karena umat pada masa itu belum mempunyai cara lain untuk mengetahui awal bulan kecuali dengan melihat hilal. Kalau gagal melihat hilal karena mendung, maka bulan yang sedang berjalan itu digenapkan 30 hari. Sekarang, ilmu astronomi sudah demikian maju, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui awal bulan.
Oleh sebab itu Muhammadiyah berkeyakinan bahwa apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah tidak melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya tatkala menggunakan metode hisab hakiki wujudul hilal untuk menentukan awal bulan.
Sebagian memahami, bahwa yang bersifat ta’abbudi (tidak boleh dirubah sedikitpun) adalah puasa Ramadhan dimulai tanggal 1 Ramadhan dan shalat ‘Idul Fitri tanggal 1 Syawal. Sedangkan bagaimana cara menentukan awal Ramadhan dan awal Syawal itu adalah sesuatu yang bersifat ta’aqquli (rasional, dapat berubah mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi) dan lebih bersifat teknis.
***
Dari apa yang sudah dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa ulil amri itu adalah
1. Umarâ’ dan hukâm dalam pengertian yang luas (legislatif, eksekutif dan yudikatif) dengan segala perangkat dan wewenangnya yang terbatas
2. Semua pemimpin masyarakat dalam bidangnya masing- masing
3. Para ulama baik perorangan ataupun kelembagaan seperti lembaga-lembaga fatwa
Jika terjadi perbedaan pendapat dalam persoalan pemahamaan nash-nash agama, diselesaikan dengan menggunakan kaedah-kaedah perbedaan pendapat yang sudah ada dan biasa dalam sejarah pemikiran hukum Islam.
Pemerintah tidak dapat mengintervensi dalam persoalan pemahaman terhadap nash, karena hal itu bukan wilayah wewenangnya. Tetapi jika terjadi perbedaan pendapat dalam persoalan kemasyarakatan yang bersifat ijtihadi, maka pemerintah dapat memutuskan pendapat mana yang akan diikuti.
Dalam perbedaan pendapat dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal, dalam kaitannya dengan pelaksanaan ibadah puasa dan shalat ‘Ied, maka penyelesaiannya diserahkan kepada para pemimpin agama dalam urusan membimbing umat. Tetapi urusan libur ‘Iedul Fithri dan hal-hal lain di luar urusan keagamaan murni / ibadah, diputuskan oleh Pemerintah.
***
Dari apa yang sudah dijelaskan panjang lebar diatas, maka Muhammadiyah menegaskan bahwa apa yang selama ini diyakini dan dilakukan oleh Muhammadiyah tidaklah melanggar perintah tuhan. Muhammadiyah memahami dalil untuk menaati ulil amri ini secara komprehensif dengan mengambil literatur pemaknaan dari berbagai ulama dan akademisi yang sejak ratusan tahun lalu juga telah membahasnya secara mendetail, bukan hanya dari pemaknaan secara letterleijk (tertulis apa adanya).
Gaya pemahaman dalil seperti ini telah menjadi langgam Muhammadiyah sejak awal didirikannya.
Semoga ini bisa menjelaskan dan memberikan pemahaman kepada masyarakat ketika melihat bahwa ada sedikit perbedaan antara Muhammadiyah dengan pemerintah untuk hal-hal yang terkait dengan urusan ibadah. Wallahu'alam bishawab.
_____________________
Catatan :
1. Artikel ini mengutip dan mengambil tulisan dari makalah yang disampaikan oleh Allahuyarham Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, M.Sc (Ketua PP Muhammadiyah periode 2005-2020) yang disampaikan dalam sarasehan dan sosialisasi hisab rukyat Muhammadiyah, yang diadakan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Yogyakarta pada hari Kamis 4 Sya’ban 1434 H / 13 Juni 2013. Tulisan ini juga telah beliau publikasikan dalam Jurnal Tarjih
2. Perbedaan yang terjadi seperti penetapan awal ramadan tahun ini jangan dinilai sebagai sebuah perpecahan, tapi jadikanlah sebagai sebuah khazanah dan kekayaan intelektual dalam berislam.
3. Untuk bisa disebut sebagai ulama, Muhammadiyah memiliki kriteria tersendiri bukan sekedar dilihat dari garis nasab saja.
Mengutip apa yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. Syafiq Mughni (Ketua PP Muhammadiyah periode 2015-2022), ulama adalah konsep teologis, yakni orang yang menguasai ilmu agama, bertakwa kepada Allah (yakhsyallaha), dan membawa misi kenabian (waratsatul anbiya’). Kualitas keilmuan seseorang mungkin bisa diukur oleh manusia, tetapi dua kualitas lainnya (ketakwaan dan misi kenabian) hanya diketahui oleh Allah. Dengan kata lain, apakah seseorang berhak disebut ulama atau tidak, dengan tiga kriteria itu, adalah urusan Allah yang Maha Tahu.
4. Dalan hal membahas dan memutuskan segala urusan terkait masalah keagamaan, Muhammadiyah memiliki lembaga khusus yang bernama Majelis Tarjih dan Tajdid. Dalam bahasa sederhana, lembaga ini disebut juga sebagai lembaganya para ulama Muhammadiyah untuk membahas dan memutuskan segala persoalan keagamaan dan ibadah. Majelis/lembaga ini ada di semua jenjang organisasi di Muhammadiyah, mulai dari pusat (Nasional) hingga ranting (desa).