ENGGANO DI UJUNG TANDUK
Baca Juga
Enggano bukan nama asing bagi sebagian besar pejabat pusat. Pulau ini sering disebut dalam berbagai forum strategis, masuk dalam dokumen RPJMN, dan bahkan sampai memunculkan Inpres No. 12 Tahun 2025. Tapi di balik nama yang cantik itu, ada luka yang tak terlihat dari atas meja rapat: isolasi. Selama ini, kita menyangka pembangunan telah menjamah ke seluruh pelosok negeri. Kita bangga dengan narasi "dari Sabang sampai Merauke." Namun Enggano menunjukkan bahwa realitas di lapangan sering kali tak seindah dokumen resmi. Pulau ini kini benar-benar di ujung tanduk, tercekik oleh dua krisis sekaligus: macetnya distribusi hasil bumi dan kelangkaan BBM.
Di tengah gempita pembangunan nasional, Enggano tertinggal sendirian. Bayangkan sebuah pulau yang punya sumber daya alam melimpah, hasil laut segar, dan hutan yang belum banyak terjamah. Tapi semua itu tak berarti jika tidak ada jalan keluar. Selama empat bulan terakhir, alur laut menuju Pelabuhan Pulau Baai di Bengkulu mengalami pendangkalan parah. Dampaknya sangat nyata: tak ada kapal logistik yang bisa masuk atau keluar. Warga tidak bisa menjual kelapa, ikan, atau pisang. Semua menumpuk dan rusak di tempat.
Saya pernah bilang, bangsa ini bisa besar jika konektivitasnya utuh. Tapi konektivitas bukan hanya jalan tol atau bandara megah. Konektivitas adalah ketika warga di ujung Enggano bisa menjual hasil bumi ke Bengkulu tanpa harus menunggu kapal yang tak kunjung datang. Ketika pasokan BBM datang tepat waktu, bukan menunggu dua minggu hingga genset mati dan listrik padam. Ketika harga BBM bukan Rp 13 ribu per liter untuk pertalite, atau Rp 6 ribu untuk solar. Konektivitas adalah urusan nyawa dan masa depan. Dan di Enggano, konektivitas kini menjadi kemewahan.
Sebagian orang mungkin menganggap ini masalah teknis. Bahwa pengerukan pelabuhan sedang dilakukan oleh Pelindo II dan butuh waktu. Bahwa kapal logistik akan kembali beroperasi setelah alur laut kembali normal. Tapi bagi warga Enggano, ini bukan sekadar soal teknis. Ini tentang ekonomi rumah tangga yang lumpuh. Tentang anak-anak yang tak bisa belajar karena listrik padam. Tentang nelayan yang bingung harus bagaimana karena hasil lautnya tidak bisa dibawa ke darat. Ini tentang negara yang absen, meski dalam dokumen terlihat hadir.
Saya tidak sedang mengkritik siapa-siapa. Saya hanya ingin kita semua membuka mata. Apa yang terjadi di Enggano adalah gambaran telanjang dari gagalnya sistem distribusi logistik kita di wilayah terluar. Kita sering bicara soal transformasi digital, tapi lupa bahwa ada warga yang bahkan tak punya sinyal. Kita bicara ekonomi hijau, tapi lupa bahwa hasil bumi tidak bisa keluar dari pulau. Kita bicara soal ketahanan energi, tapi lupa bahwa PLTD di Enggano mati karena solar tidak masuk. Bukankah ini ironi?
Sejak Inpres 12/2025 dikeluarkan, harapan sebenarnya tumbuh. Tapi sayangnya, pelaksanaan di lapangan belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan sistemik. Tidak ada kapal pengangkut hasil bumi. Tidak ada SPBU darurat. Tidak ada trayek logistik tetap. Padahal, dalam 3 hari saja, langkah-langkah cepat sebenarnya bisa dilakukan. Mengapa belum? Mungkin karena Enggano terlalu jauh dari Jakarta. Mungkin karena laporan belum lengkap. Tapi alasan-alasan itu tidak layak lagi.
Bila kita mau, sebenarnya solusinya ada di depan mata. Kita bisa segera aktifkan kapal LCT berkapasitas dangkal untuk melayani trayek Enggano-Bengkulu secara mingguan. Tidak butuh infrastruktur mewah. Kita hanya butuh koordinasi cepat antarinstansi. Kita bisa bangun gudang transit untuk mengonsolidasikan hasil bumi. Kita bisa tugaskan koperasi atau BUMDes menjadi agregator komoditas. Pemerintah daerah punya SDM, pemerintah pusat punya anggaran. CSO dan warga juga siap.
Saya bertemu banyak kepala daerah yang frustrasi. Mereka ingin bergerak cepat, tapi terbentur birokrasi. Padahal krisis seperti ini tak bisa diatasi dengan mekanisme biasa. Perlu perlakuan luar biasa. Perlu pendekatan darurat. Ketika alur laut tertutup, jangan menunggu surat resmi untuk bertindak. Ketika listrik mati, jangan tunggu rapat koordinasi nasional. Ini soal keberpihakan. Kita harus berani membuat keputusan yang melompat.
Tentu saja, kita tidak sedang bicara tentang solusi jangka panjang hari ini. Itu penting, tapi yang lebih penting adalah menjamin bahwa warga Enggano bisa hidup layak mulai minggu depan. Listrik menyala, hasil bumi bisa dijual, dan BBM bisa dibeli dengan harga wajar. Maka, seharusnya sekarang pemerintah pusat menetapkan status "darurat distribusi logistik Enggano." Dengan begitu, anggaran bisa cair lebih cepat, dan kewenangan lintas instansi bisa digunakan secara luwes.
Setelah itu, kita bisa bicara tentang jangka menengah. Tentang pengerukan permanen alur Pulau Baai. Tentang penempatan SPBU mini permanen di Enggano. Tentang insentif bagi operator logistik yang mau masuk ke rute sulit ini. Bahkan tentang pembentukan BUMN Logistik 3T yang secara khusus melayani kawasan terluar. Tapi semua itu tidak akan terjadi kalau kita tidak memulai dari sekarang.
Saya sering ditanya, apa sih yang paling dibutuhkan di wilayah seperti Enggano? Jawabannya sederhana: kepastian. Kepastian bahwa kapal datang tiap minggu. Kepastian bahwa listrik menyala tiap hari. Kepastian bahwa harga BBM tidak melonjak setiap bulan. Kepastian bahwa warga tidak harus menunggu bantuan atau belas kasihan. Mereka butuh sistem, bukan hanya simpati.
Sebagai bangsa, kita tak bisa terus bergantung pada belas kasihan alam. Apalagi dengan iklim yang makin tak menentu. Kita butuh sistem logistik yang tahan terhadap guncangan. Maka, penting untuk menggabungkan kekuatan logistik, energi, dan transportasi dalam satu sistem respons darurat. Bukan sektoral, bukan ego kementerian, tapi terintegrasi. Enggano adalah panggilan untuk membentuk sistem itu.
Saya paham, kita sedang dalam masa transisi pasca Pemilu. Banyak yang fokus pada konstelasi politik. Tapi di sisi lain, rakyat di Enggano tidak bisa menunggu. Anak-anak tetap harus belajar. Warga tetap butuh makan. Kalau listrik mati, kalau BBM habis, maka pemerintahan apapun tak akan berarti bagi mereka. Di mata mereka, negara itu hadir ketika mereka bisa hidup wajar.
Kalau kita ingin Enggano menjadi contoh keberhasilan pembangunan wilayah terluar, maka kita harus serius hari ini. Kita tidak bisa hanya menjadikan pulau ini sebagai bahan presentasi atau indikator pencapaian politik. Kita harus menjadikannya laboratorium kebijakan konektivitas dan layanan dasar. Karena kalau Enggano saja bisa hidup normal, pulau-pulau lain pun pasti bisa.
Kita juga harus belajar dari kesalahan. Pendangkalan alur laut tidak bisa lagi dianggap sebagai kejadian biasa. Kita perlu sistem pemantauan alur pelabuhan yang real-time. Kita perlu standar minimum akses logistik untuk pulau terluar. Harus ada sistem alarm dini yang membuat kapal pengganti otomatis bergerak begitu jalur utama terganggu. Ini teknologi sederhana, tinggal kemauan politiknya.
Saya ingin tegaskan satu hal: warga Enggano tidak minta dibantu. Mereka hanya minta haknya dikembalikan. Hak atas energi, atas akses, atas pasar, atas layanan publik. Hak untuk merasa menjadi bagian dari Indonesia. Ini bukan soal bantuan, tapi soal kewajiban negara. Jadi, jangan salah tempatkan simpati. Tempatkan ia dalam kebijakan.
Tentu saya tidak menutup mata bahwa pengerukan alur itu butuh waktu. Tapi bukan berarti semua harus menunggu. Kita bisa melakukan solusi paralel. Kirim kapal kecil sekarang. Kirim solar sekarang. Bangun koordinasi darurat sekarang. Sekecil apapun gerakannya, asal terukur dan terjadwal, akan terasa dampaknya.
Mari kita ingat, Enggano bukan sekadar pulau terpencil. Ia adalah wajah Indonesia di batas terluar. Jika kita gagal di sana, kita akan kehilangan wajah kita sendiri. Pembangunan tak boleh berhenti di Sumatera. Ia harus melampaui, menjangkau, dan merangkul.
Saya percaya bangsa ini besar bukan karena kota-kota megapolitan, tapi karena kita mau menjaga desa-desa kecil, pulau-pulau sepi, dan orang-orang yang tinggal jauh dari pusat. Justru dari merekalah kita belajar apa arti keadilan sosial dan pembangunan inklusif. Enggano adalah pengingat, bukan penghalang.
Kalau hari ini kita biarkan Enggano sendiri, maka besok akan datang pulau lain yang senasib. Jangan tunggu satu per satu jatuh baru kita bergerak. Mari jadikan Enggano sebagai momentum untuk memperbaiki sistem kita. Bukan sekadar tambal sulam, tapi perubahan cara pandang dan pola tindak.
Dalam setiap perubahan besar, selalu ada satu krisis kecil yang menggerakkan semuanya. Mungkin, Enggano-lah krisis kecil itu. Jangan kita lewatkan.
Tags:
Nusantara
0 comments