TEOLOGI UANG DAN BIDANG ILMU EKONOMI SPIRITUAL

Baca Juga

Kalau hidup ini kayak naskah pidato pengukuhan guru besar, mungkin saya bakal bikin judul yang nggak biasa. Bukan tentang kapitalisme global atau sistem fiskal modern, tapi tentang “Teologi Uang sebagai Landasan Kebijakan Ekonomi Spiritual.” Ya, kedengarannya memang kayak campuran antara khutbah Jumat dan Rapat Komisi XI DPR, tapi sebenarnya ini judul yang serius tapi santai. Saya nggak bercanda. Saya serius mikir, kalau jadi guru besar, saya pengin ngomongin soal uang, tapi bukan sekadar uang di dompet. Uang yang sering dianggap benda mati padahal tiap harinya ngatur hidup orang. Uang yang bisa jadi ibadah, bisa juga jadi bencana. Uang yang kita anggap duniawi, padahal spiritualitasnya lebih tinggi dari harapan netizen pada giveaway TikTok.

Kita ini, mau diakui atau tidak, hidup dalam masyarakat yang ibadahnya diatur dompet. Mau umroh butuh duit. Mau nikah butuh mahar. Bahkan sedekah pun butuh transfer bank. Uang jadi sarana, tapi kadang juga jadi tujuan. Dan di titik itulah, saya merasa perlu untuk memperlakukan uang nggak cuma sebagai alat tukar atau simbol kekayaan, tapi sebagai entitas teologis. Bukan dalam arti disembah kayak dewa, tapi sebagai objek tafsir spiritual. Kalau orang bisa bikin “teologi penderitaan” atau “teologi pembebasan,” kenapa saya nggak bisa bikin “teologi uang”?
Ilustrasi Cover Naskah Pidato Guru Besar (Gambar : Bikinan Sendiri)
Saya tahu, ini pasti akan dianggap nyeleneh sama sebagian akademisi. Tapi bukankah justru ilmu itu lahir dari keisengan yang serius? Dulu siapa yang nyangka teori relativitas itu lahir dari orang yang bengong liat jam kereta? Nah, saya juga begitu. Aku sering banget bengong tiap habis narik uang di ATM, sambil mikir, “Apa dosa-dosa dompetku hari ini?” Dari situ saya kepikiran, bahwa uang nggak cuma berdampak ke ekonomi, tapi juga ke cara kita berdoa, mencintai, bahkan membenci.

Kita seringkali menilai moralitas orang dari cara dia pakai uang. Kalau dia dermawan, dibilang mulia. Kalau dia pelit, dibilang kikir. Tapi kita jarang tanya, kenapa dia pelit? Mungkin dia punya trauma masa kecil. Mungkin dia takut miskin. Atau mungkin dia pernah dikhianati orang yang dia pinjami uang. Dan di titik itulah, saya merasa uang bukan cuma soal angka, tapi soal iman, rasa aman, dan luka batin yang tidak ditanggung oleh saldo.

Saya nggak mau bikin pidato yang kayak baca jurnal. Saya maunya pidato yang kalau dibacain, orang-orang bisa bilang, “Iya ya, saya juga pernah ngerasain itu.” Karena buatku, jadi guru besar bukan cuma soal ngasih ilmu ke orang, tapi soal bikin orang merasa dimengerti. Maka dari itu, saya pengin ngebahas uang dari sisi yang lebih manusiawi, lebih spiritual, dan tentu saja, lebih filosofis.

Uang itu seperti mantan. Dikenang tapi bikin sakit hati. Dikejar malah menjauh. Disimpan terlalu lama malah bikin curiga. Tapi, di saat-saat terjepit, dia satu-satunya yang kita cari. Maka penting untuk punya pemahaman yang sehat tentang uang. Bukan cuma sehat secara ekonomi, tapi juga sehat secara rohani. Di sinilah aku merasa, perlu ada teologi uang. Supaya kita bisa berdamai dengan dompet sendiri.

Ada orang yang rajin banget ibadah tapi masih hobi ngemplang utang. Ada juga yang nggak pernah ke masjid tapi tiap bulan nyumbang ke panti asuhan. Kita sering bingung, mana yang lebih spiritual? Padahal bisa jadi dua-duanya sedang menjalani spiritualitas dengan cara masing-masing. Teologi uang ngajarin kita bahwa spiritualitas itu nggak selalu berbentuk ritual. Kadang berbentuk keputusan finansial yang bijak, adil, dan bertanggung jawab.

Waktu kecil, saya kira orang kaya itu pasti bahagia. Tapi setelah gede, saya baru sadar, banyak orang kaya yang hidupnya kayak kalkulator rusak—nggak pernah tenang karena terus dihitungin. Saya jadi mikir, jangan-jangan uang itu bukan sumber bahagia, tapi alat ukur rasa cukup. Nah, di titik inilah spiritualitas uang bekerja. Uang ngajarin kita bahwa hidup itu soal cukup, bukan soal banyak.

Kalau suatu saat nanti saya dikasih mimbar pidato pengukuhan, saya bakal cerita soal bagaimana uang bisa merusak ibadah. Ada orang yang salatnya lima waktu, tapi habis salat langsung ngitung fee korupsi. Ada juga yang kerja di judol, tiap hari ngitung uang haram, tapi selalu nyisihin rejeki buat orang tua. Hidup ini kompleks. Teologi uang ngajarin kita buat tidak gampang nge-judge orang cuma dari dompetnya.

Dalam dunia akademik, saya pengin bikin cabang keilmuan baru. Namanya, “Ekonomi Spiritual.” Isinya bukan cara cepat kaya menurut hadis, tapi lebih ke bagaimana orang bisa hidup damai secara finansial. Bukan sekadar bebas utang, tapi juga bebas dari rasa bersalah saat belanja. Ilmu ini akan menggabungkan ilmu ekonomi, psikologi keuangan, dan nilai-nilai spiritual. Kayak nasi magelangan: nasi, mie, telur, saos—berantakan tapi enak.

Teologi uang ini juga bisa dipakai untuk ngaji ulang hadis-hadis tentang harta. Bukan buat menjustifikasi kekayaan atau kemiskinan, tapi buat memahami konteks zaman dan rasa. Contohnya, kenapa Nabi bilang “tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah”? Jangan-jangan ini bukan sekadar anjuran buat dermawan, tapi juga tentang martabat manusia saat memberi dan menerima.

Saya juga pengin ngomongin soal mental budgeting umat. Gimana caranya supaya kita bisa beli kebutuhan, tanpa dikendalikan keinginan. Ini penting, karena kadang kita lebih takut saldo nol daripada hati kosong. Padahal, ketenangan hidup kadang datang bukan dari gaji, tapi dari rasa syukur yang diangsur tiap hari.

Di masyarakat, ada mitos bahwa orang religius itu nggak boleh cinta dunia. Tapi gimana caranya nggak cinta dunia kalau kita hidup di dunia? Nah, teologi uang ngajarin bahwa mencintai dunia itu sah, selama tahu batas dan arah. Uang bisa dipakai buat membangun masjid, tapi juga bisa dipakai buat nyewa buzzer. Jadi, soal niat dan tanggung jawab.

Saya juga kepikiran buat ngajarin anak-anak muda biar nggak gampang silau sama flexing. Di Instagram, semua orang keliatan kaya. Tapi di dunia nyata, banyak yang pusing bayar cicilan. Teologi uang ngajarin bahwa yang penting bukan tampilan, tapi ketahanan batin. Bisa tenang walau saldo tinggal lima belas ribu, itu ilmu tingkat dewa.

Penting juga ngomongin soal utang. Di kampus, nggak ada mata kuliah “Manajemen Utang dan Pertobatan Finansial.” Padahal ini masalah semua orang. Teologi uang bisa jadi jalan tengah buat ngajarin cara berutang yang sehat, dan cara memaafkan diri dari kesalahan finansial masa lalu. Karena kadang, kita lebih tega sama orang lain daripada sama dompet sendiri.

Saya tahu, teologi uang ini bakal jadi bahan tertawaan. Tapi bukankah semua ide besar dulu pernah diketawain? Dulu orang yang bilang bumi itu bulat dianggap gila. Sekarang yang gila justru yang percaya bumi datar. Jadi, saya sih bodo amat. Yang penting saya punya keyakinan bahwa uang bukan sekadar kertas atau angka, tapi juga cerita dan doa yang kita bisikkan dalam hati.

Uang itu seperti makhluk spiritual. Dia bisa mempertemukan orang, tapi juga bisa memisahkan. Bisa jadi sumber pahala, tapi juga sumber dosa. Bisa menyejukkan, bisa juga membakar. Maka dari itu, penting buat punya ilmu yang bisa bikin kita sadar bahwa setiap transaksi adalah ibadah kecil, dan setiap pengeluaran adalah bentuk cinta atau ego.

Kalau kamu tanya, kenapa saya milih nama “teologi uang”? Jawabannya sederhana. Karena terlalu banyak orang yang belajar ekonomi tapi nggak belajar empati. Terlalu banyak yang bisa ngitung bunga, tapi nggak bisa ngitung luka. Terlalu banyak yang tahu investasi, tapi nggak tahu introspeksi. Ilmu tanpa rasa itu kayak teh tanpa gula—pahit dan bikin males.

Saya juga pengin ngajak lembaga zakat dan bank syariah buat ikut diskusi. Biar nggak cuma ngomongin nisab dan riba, tapi juga soal rasa takut, cemas, dan harapan yang melekat pada uang. Supaya zakat bukan cuma angka yang dipotong, tapi jadi pengingat bahwa rezeki itu bukan soal kerja keras semata, tapi juga tentang belas kasih Tuhan dan rejeki orang lain yang dititipkan di dompet kita.

Dan akhirnya, saya cuma pengin bilang, jadi guru besar itu bukan soal gelar. Tapi soal keberanian untuk bercerita dari sudut yang tak biasa. Kalau orang lain bercerita soal pasar global, aku akan bercerita soal pasar tradisional. Kalau orang lain ngomongin kebijakan fiskal, saya akan ngomongin isi dompet emak-emak. Karena di situlah ilmu bertemu kenyataan. Di antara sisa kembalian dan doa dalam hati.

Jadi kalau nanti ada orang yang nanya, “Kok judul pidato pengukuhanmu aneh banget?” saya akan jawab dengan senyum, “Karena hidup ini lebih butuh pengertian spiritual tentang uang, daripada seminar investasi yang diakhiri dengan penawaran member platinum.”

Dan semoga saja, suatu hari nanti, dompet kita nggak cuma penuh isi, tapi juga penuh makna

Share:

0 comments