ADA APA DENGAN NYAI AHMAD DAHLAN [?]
Baca Juga
Beberapa hari ini
di group-group Whatsapp berwarna
Muhammadiyah, banyak bertebaran poster, meme,
dan seruan-seruan untuk ikut nonton bareng film Nyai Ahmad Dahlan (NAD) yang
akan diputar di bioskop mulai tanggal 24 Agustus 2017. Sebagai salah satu warga
Muhammadiyah, saya senang Karena salah satu tokoh arus utama pergerakan ‘Aisyiah
diangkat ke layar lebar. Setelah sebelumnya, tahun 2010, kisah Kyai Dahlan juga
diangkat dengan judul Sang Pencerah. Konon penontonnya mencapai 1,3 juta orang
dan menjadi salah satu film terbaik karya sineas dalam negeri.
Tak sedikit warga
Muhammadiyah yang mengapresiasi film ini. Tentu ini menjadi kebanggan tersendiri
bagi mereka, termasuk saya. Bahkan di salah satu portal berita Muhammadiyah,
disebutkan sudah ada satu sekolah Muhammadiyah yang booking 1500 tiket untuk nonton film yang diproduseri langsung
oleh cicit Nyai Ahmad Dahlan itu. Bagi saya itu tidak mengejutkan, la wong satu sekolah Muhammadiyah saja,
siswanya bisa mencapai 2000 orang. Seandainya semua civitas akademika perguruan
Muhammadiyah dari mulai SMP – Perguruan Tinggi nonton film ini semua, bisa-bisa menyalip jumlah
penonton AADC #1 yang konon mencapai 4
juta penonton. Beuh, aktingnya Om Dahnil bisa-bisa dapat Piala Citra
itu, dan setelah selesai jadi Ketum PP Pemuda Muhammadiyah, langsung banting
setir jadi actor FTV. Hehehehe……….
Namun, di tengah
gegap gempitanya warga Muhammadiyah menyambut film NAD, ada sebagian kader yang
agak
kritis menanyakan tentang alasan mengapa kita harus ikut-ikutan nonton film ini dan apa kontribusi dari film ini yang diberikan
kepada Muhammadiyah/'Aisyiah. Sebagian orang beranggapan jangan-jangan ini hanya permainannya produser dan tim marketingnya PH film ini agar filmnya laris. Menurut saya wajar saja ada pertanyaan ini, melihat
masifnya pimpinan Muhammadiyah, lembaga, majelis, maupun organisasi otonom di
lingkungan Muhammadiyah di semua tingkatan, mempromosikan dan mengakomodir
kegiatan nonton bareng film ini. Dengan pemikiran yang rasional, tentu akan
menanyakan sebab-akibat masifnya
kampanye ini.
Ada apa dengan
Muhammadiyah? #ini bukan judul film loh….. :p
***
Bagi saya sendiri,
film-film seperti ini patut diapresiasi. Kenapa? Karena film ini mengangkat
topik yang sangat spesifik, selain juga beririsan dengan salah satu organisasi
keagamaan terbesar di Indonesia. Kita tahu bahwa film-film dengan tema tokoh
pahlwan selama ini tidak banyak yang memuncaki box office. Sebut saja film Tjokroaminoto yang ditonton oleh 130
ribu orang, film Jenderal Soedirman dengan jumlah penonton 170 ribu orang, Soegija
dengan jumlah penonton 900 ribu orang, dan Kartini dengan 400 ribu penonton. Hanya
ada beberapa film bertema kepahlawanan saja yang mampu meraup penonton lebih
dari 1 juta orang, seperti Sang Pencerah yang mengangkat kisah Kiai Dahlan
dalam berjuang mendakwahkan Islam dengan mendirikan organisasi Muhammadiyah.
Seperti yang kita tahu, membludaknya jumlah penonton film Sang Pencerah tidak
bisa dilepaskan dari masifnya promosi di kalangan internal. Sebagai salah satu
organisasi massa terbesar di Indonesia, Muhammadiyah sukses menggerakkan
massanya untuk mentadabburi
bioskop-bioskop guna menonton dan menyerap nilai-nilai perjuangan kiai Dahlan
di masa lalu yang manfaatnya bisa dirasakan saat ini. Namun pertanyaannya,
apakah film dengan tokoh dari organisasi massa besar juga akan sukses seperti
Sang Pencerah juga? Tentu saja tidak. Film Sang Kiai yang mengangkat kisah
kepahlawan Haddratusyaikh justru
hanya di-tadabburi 220 ribu orang.
Bayangkan saja,
seandainya para Production House (PH)
berhenti membuat film dengan tema kepahlawanan, Karena minimnya jumlah
penonton, bisa-bisa bioskop kita hanya akan diwarnai oleh pilem-pilem seperti Hantu Goyang Bollywood, Genderuwo Ketangkap
Hansip, Kuntilanak Telat Datang Bulan, dan sebagainya. Kan gawat kalau ini terjadi. Anak-anak kita tidak akan bisa
memvisualkan tokoh-tokoh pahlawan yang diceritakan oleh gurunya di sekolah.
Semuanya serba abstrak, seabstrak
teori hukum kekekalan energi. Semuanya hanya bisa dirasakan, tapi tidak bisa
dilihat/divisualkan. Hahahaha……..
Orang seperti saya
yang jarang banget nonton di bioskop, paling nunggu download filmnya di IndoMovieXXI #Eh, mau pergi nonton kalau
filmnya sedang bagus. Bagus disini tentu sangat subjektif. Tapi kebanyakan film
yang saya tonton cenderung ke tema-tema historic.
Bagi saya, selain untuk memvisualkan imajinasi tentang seorang tokoh pahlawan,
saya lebih pada ikut nyumbang agar
film-film seperti ini tidak putus dikreasikan dimasa depan. Toh gak tiap bulan
juga saya nonton.
***
Kembali ke cerita
awal tadi, terlepas dari ada atau tidaknya fee
yang diberikan kepada Muhammadiyah, film ini patut diapresiasi. Sebagai kader,
setidaknya saya bisa melihat gambaran peristiwa-peristiwa seputaran perjuangan
beliau yang bisa saja muncul dalam film ini, yang bisa jadi tidak pernah kita
ketahui, atau kita baca dalam literature sejarah yang ada. Dan saya
mengalaminya beberapa kali, saat nonton kisah Habibie Ainun contohnya, yang ternyata beliau agak PHP juga ya zaman mudanya. Sangat jauh
berbeda dengan yang diceritakan di buku, atau cerita-cerita di media social.
Saat orang lain
menghargai perjuangan tokoh kita dengan mengangkatnya ke layar lebar, toh tidak
ada salahnya kita juga ikut meramaikan dan mendukung film ini. Jarang-jarang
ada PH yang mau mengangkat kisah
perjuangan tokoh yang terafiliasi dengan kelompok tertentu, Karena [mungkin]
khawatir tidak laku. Maklum, sentimen ke-ormassan di kalangan kita kan kadang masih
tinggi. Jadi, tidak ada salahnya kan ikut meramaikan film ini, toh harga
tiketnya bisa diganti dengan cukup puasa rokok 2 bungkus saja atau pulsa internet 1 gigabyte yang biasanya kamu habiskan dalam waktu 3 hari untuk dipakai ngecengin gebetan, iya kan? #Eh
Tags:
Persyarikatan
0 komentar