ASA DARI DESA UNTUK MERENGKUH STRATA TIGA
Baca Juga
Ting, bunyi
pemberitahuan dari facebook
membuyarkan konsentrasiku terhadap jurnal-jurnal yang sedang kubaca. Lampu LED biru
menyala di pojok kiri atas ponsel pintar itu menandakan bahwa notifikasi tersebut bukan menandakan
adanya komentar di postingan status facebook
ku.
“Saran pertemanan yang mungkin anda kenal”
Itulah bunyi
pemberitahuan tersebut. Aku lihat siapa yang disarankan oleh algoritma facebook ini kepadaku. Disana
tertulis Agus dengan photo dia yang
terpampang sedang tersenyum. Sesaat pikiranku melayang pada masa-masa 15-20
tahun yang lalu. Masa dimana listrik baru ada di beberapa desa saja dan jika
ingin menonton tv, harus rame-rame di salah seorang warga yang cukup mampu
untuk membeli televise dan memasang parabola.
***
“Pak, hari ini saya
ikut bapak ya ke SD?”
“Loh, kok gak ikut
ke SD nya ibu saja?”
“Nggak pak, saya
pengen ke SD bapak saja. Kan minggu kemarin saya sudah ikut ibu. Sekarang gentian
ikut ke sekolahnya bapak”
Percakapan itu
selalu menghias pagi setelah sarapan sebelum orangtuaku berangkat ke sekolah
masing-masing. Mereka berdua bekerja sebagai guru di SD yang berbeda. Lokasi
keduanya cukup jauh, sehingga kadang aku bergantian mengikuti mereka. Seminggu
ikut ke SD nya bapak, lalu minggu berikutnya ikut ke SD nya ibu. Begitu
seterusnya. Namun entah kenapa aku lebih suka ikut ke sekolahnya bapak. Mungkin
Karena siswa-siswinya bapak di Kelas 6 lebih mudah untuk diajak bergaul dan mau
bermain denganku yang kala itu masih berumur 3-4 tahun.
“Ndi, kamu mau
tetap tinggal di kantor atau ikut bapak ke kelas?”
“Saya ikut bapak
ke kelas saja”
“Andi, ayo lihat
orang main bola di lapangan depan”
“Sebentar mas, aku
izin dulu sama bapak”
Namanya Agus, aku
biasa memanggilnya mas Agus. Ia adalah salah satu murid yang paling pintar di
kelasnya bapak. Bapak biasanya langsung mengizinkanku pergi pas jam istirahat
jika yang mengajak adalah mas Agus. Bapak sendiri biasanya menjadikan mas Agus
sebagai problem solver saat ada
contoh perhitungan matematika yang tidak bisa dikerjakan oleh siswa lainnya.
Mas Agus akan diminta maju ke depan kelas dan diminta mengisi jawaban dari
soal-soal matematika yang diberikan oleh bapak.
***
Waktupun berlalu,
aku hanya ikut bapak ke sekolah selama kurun waktu 1-2 tahun. Setelah itu aku
memulai rutinitasku bersekolah di TK dekat rumah. Pun begitu dengan mas Agus,
ia beranjak lulus dari SD dan melanjutkan ke SMP yang berada di desaku. Mas
Agus bertemu kembali dengan bapak sebagai pengajarnya, Karena bapak juga ikut
mengajar di SMP tersebut. Setiap Idul Fitri, mas Agus selalu menyempatkan
silaturahmi ke rumah kami. Bahkan sampai ia sudah di jenjang SMA yang lokasinya
di desa yang berbeda. Mas Agus selalu meminta wejangan dari bapak tentang apapun. Dan kalau ia datang ke rumah,
bapak selalu meminta ibu memanggil dan mencariku walaupun sedang bermain di
luar rumah. Bagi bapak, Mas Agus mungkin sudah dianggap sebagai anaknya yang
itu berarti seperti kakakku. Masa kecilku saat ikut bapak ke SD dihabiskan
dengan bermain bersamanya saat jeda kelas. Ini mungkin memori yang selalu membekas dalam ingatan bapak hingga kini.
![]() |
Sumber : dari sini |
Satu waktu, mas
Agus datang ke rumah. Kalau tidak salah waktu itu ba’da maghrib. Aku yang baru
selesai sholat di masjid, bergegas pulang ke rumah saat tahu ada mas Agus. Aku
menyalaminya, dan ikut duduk di sebelah bapak. Kala itu mas Agus datang dengan
maksud meminta wejangan,
pertimbangan, dan gambaran untuk langkah hidupnya setelah itu. Mas Agus waktu
itu sudah lulus dari SMA dan sempat membantu orangtuanya bekerja di sawah
selama kurang lebih 1 tahunan. Ia datang mengutarakan maksud ingin berkuliah.
Dan menurutnya, bapak adalah salah satu orang yang pas untuk dimintai pendapat
tentang itu. Wajar saja menurutku, karena pola pikir bapak selalu maju dan
terbuka. Bapak adalah orang yang selalu mendorong orang untuk bisa meraih
pendidikan setinggi-tingginya dan merengkuh pengalaman seluas-luasnya.
Pola pikir bapak
yang seperti itu menjadi tidak lazim di zamannya. Pernah satu waktu bapak
ditentang habis-habisan oleh para sesepuh desa karena bapak adalah orang yang
mengusulkan dan menggarap perluasan tanah makam di desa. Para sesepuh
beranggapan bahwa jika tanah makam diperluas, maka kelak akan banyak warga yang
meninggal. Tak sedikit warga yang ikut mengamini anggapan ini. Tapi tidak untuk
bapak. Bapak mencoba membuat penjelasan logis bahwa yang namanya kematian pasti
akan selalu ada. Namun dengan luas tanah makam yang ada, akan sulit untuk
menguburkan jenazah warga di masa mendatang jika telah penuh. Bapak pun balik
bertanya, apakah mau jika nantinya ada warga yang meninggal lalu kuburannya
dibuat bertingkat dengan kuburan yang telah ada sebelumnya. Dan wargapun
berangsur-angsur mengerti tentang apa yang dimaksudkan oleh bapak tadi.
Alhasil, tanah makam berhasil diperluas.
Kembali ke cerita
mas Agus tadi, ia memilih untuk meminta pendapat dari bapak karena ia
menginginkan dukungan yang tidak ia dapatkan dalam supporting system di lingkungannya. Bagi orang di sekitarnya,
kuliah adalah hal mewah yang hanya bisa diperoleh bagi anak-anak dari kalangan
berada dan tak jarang tinggal di kota. Bagi mereka, anak-anak muda di desa
setelah selesai sekolah maka harus kembali ke sawah atau kebun untuk meneruskan
usaha orangtuanya. Selain persoalan biaya, tentu pengetahuan tentang bagaimana
dunia kuliah adalah hal krusial yang menjadi barang langka disana. Wajar jika
tak banyak anak mudanya yang melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi
walaupun orangtuanya bisa dikatakan mampu. Namun tidak bagi mas Agus.
Di hadapan bapak,
ia menceritakan bahwa ia ingin mendobrak cara berpikir orang disekitarnya. Ia
ingin bisa maju, menggapai pendidikan tertinggi yang bisa ia capai, serta ingin
merubah nasibnya. Baginya, walaupun ia anak petani di sebuah desa yang
berlokasi sekitar 90 kilometer jauhnya dari pusat kota, tidak lantas
menjustifikasi bahwa ia tidak bisa kuliah. Ia Ingin menjadi pribadi yang merdeka
yang terbebas dari kungkungan kultur yang ada. Pemikiran dia yang seperti ini
yang menjadikannya berbeda dari yang lain dan membuat bapak senang berdiskusi dengannya.
Saya masih ingat
betul apa yang dikatakan bapak dalam akhir percakapan malam itu setelah kurang lebih
satu jam dijelaskan bagaimana dunia kuliah, dinamikanya, hambatan-hambatan yang
mungkin terjadi, serta gambaran setelah itu.
“Kamu sudah yakin
dan bulat untuk meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi?”
“InshaAllah saya
siap pak. Saya ingin berubah dan bisa sekolah setinggi-tingginya”
“Bagaimana dengan
orangtuamu? Apakah mereka setuju jika kamu kuliah?”
“Justru bapak saya
yang menyuruh saya datang kemari pak. Beliau sangat percaya dengan bapak, dan
beliau bilang bahwa beliau akan mendukung apa saja yang bapak sarankan”
“Baik kalau
begitu. Bismillah, kamu kuatkan tekadmu, yakinkan dirimu, dan minta doa kedua
orantuamu, berangkatlah kuliah ke seberang (maksudnya ke Jawa). Carilah
pengalaman hidup seluas-luasnya. Hidupmu itu bukan sekedar desa dan kecamatan
ini saja. Dunia itu sangat luas. Carilah bekal untuk kehidupanmu nanti. Jangan pernah
menyerah untuk menyelesaikan studimu. Dan jangan lupa gunakan ilmumu kelak
untuk ikut membebaskan masyarakatmu dari keterbelakangan ilmu pengetahuan,
kebodohan, serta kemajuan zaman. Agar kelak masyarakat akan ikut menikmati buah
dari ilmu dan tekadmu tadi”
***
Setelah pertemuan
malam itu, saya hampir 5 tahun lebih tidak bertemu dengannya. Sampai akhirnya
ia datang ke rumah untuk bersilaturahmi dan lagi-lagi meminta wejangan saat lebaran.
“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
“Bapak ada dek?”
“Ada, silahkan
masuk dulu”
Adikku lantas
masuk dan memanggil bapak di belakang. Wajah bapak tampak sumringan melihat
tamu yang bertandang siang itu. Ya, dialah mas Agus yang 5 tahun lalu juga
datang ke rumah meminta wejangan
tentang keputusannya untuk melanjutkan studi.
Mas Agus
menceritakan bahwa ia kini telah menyelesaikan kuliahnya S1 nya. Walaupun agak
terlambat (normalnya adalah 4 tahun), namun akhirnya ia bisa juga menyelesaikan
studinya walau dengan usaha yang tidak mudah. Selama kuliah di Surabaya, ia
tinggal di masjid dan bekerja sebagai marbot.
Saat sore ia menjadi pengajar TPA bagi anak-anak di sekitar masjid dan malamnya
mengajar ngaji. Ia juga berdagang kecil-kecilan sebagai sales makanan dan guru les sebagai ikhtiar mencukupkan biaya
kuliah. Beberapa kali ia mendapat beasiswa dari beberapa yayasan yang juga
sering memberikan beasiswa bagi mahasiswa berprestasi maupun tidak mampu. Ia
sengaja tidak pulang selama 5 tahun demi menghemat biaya, karena perjalanan
dari Surabaya ke desa kami cukup jauh, yang jika ditempuh menggunakan bus, bisa
sampai 3-4 hari sekali pergi. Sehingga saat lebaran maupun liburan, dia memilih
tinggal di Surabaya.
![]() |
Sumber : dari sini |
Kepada bapak, ia
menyerahkan sebuah buku berwarna hijau. Buku itu adalah skripsinya dia yang dia
terbitkan menjadi sebuah buku agar bisa dibaca banyak orang. Lumayan tebal
bukunya. Bapak pun sangat gembira menerimanya, mengingat bapak sangat gemar
membaca buku. Di rumah kami, ada ratusan buku tertata rapih di rak-rak buku
yang berjejer di dalam ruangan. Kebanyakan adalah buku tentang agama dan buku literature
mata pelajaran yang bapak ampu di sekolah.
Di tengah sesi
silaturahmi itu, ia menagih bapak
untuk memberikan wejangan kembali kepadanya. Sebenarnya bapak sudah tidak berkenan
karena apa yang ia cita-citakan sudah tercapai. Namun ia tetap merengek memintanya. Dan bapakpun tidak
bisa menolaknya.
***
2 tahun setelah
itu, ia kembali lagi ke rumah kami untuk bersilaturahmi saat lebaran. Ia
bercerita bahwa ia telah menyelesaikan studi S2 nya sesuai dengan apa yang
diwejangkan oleh bapak 2 tahun yang lalu. Saya sendiri bingung wejangan yang
mana yang ia maksud. Padahal waktu itu bapak hanya menyitir sebuah hadis dan ayat dalam alquran yang
artinya kurang lebih adalah
“Mencari ilmu itu wajib hukumnya bagi setiap manusia, dari ayunan ibu sampai liang lahat”
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu paling mulia. Yang mengajar manusia dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya (manusia tersebut).”
Baginya, 2 sitiran hadis dan ayat tadi dimaknai bahwa
jangan cepat berpuas diri dalam mencari ilmu. Allah menurunkan ilmu pengetahuan
bagi manusia sebagai jalan menuju takwa. Ilmu yang kelak didapat sesunguhnya
bukanlah sebuah tumpukan informasi yang dipendam dalam akal manusia semata,
namun juga sebagai alat analisis untuk membuka tabir-tabir Tuhan yang berada
dalam ilmu pengetahuan yang lagi-lagi untuk semakin menguatkan keyakinan dan
kehambaan kepada kuasa Allah yang menciptakan bumi dan segala isinya bukan
tanpa maksud.
Inilah yang meyakinkannya untuk meneruskan studi S2
nya dengan beasiswa dari kampus tempat ia studi. Lagi-lagi ia membawa sebuah
buku yang ia sadur dari thesisnya dia. Buku itu banyak bercerita tentang pemaknaan
Bahasa arab dan penggunaannya terhadap tafsir-tafsir Alquran, hadis, maupun
kitab-kitab karangan ulama di masa lalu.
***
Kini, dari notifikasi facebook tersebut, saya jadi tahu bahwa mas Agus baru saja
menyelesaikan studi doktornya. Ia mengambil sebuah tema disertasi yang
sebenarnya lazim diambil oleh mereka yang studi di perguruan tinggi di timur
tengah. Namun ia mampu menuliskan dan menjabarkannya secara runut dan rapih di
Indonesia, negara yang teramat jauh letak geografisnya dengan wilayah tempat
diturunkannya Islam dan wilayah pemakai Bahasa arab sebagai Bahasa ibu.
Saat aku menelepon bapak melalui Whatsapp dan mengabarkan tentang mas Agus, raut muka bapak sangat sumringah. Mungkin dalam hati bapak, beliau sangat mensyukuri bahwa ada satu muridnya
yang mampu meraih strata tiga walaupun ia berasal dari desa. Mas Agus adalah
orang yang mampu membangun dan menyatukan asanya menjadi sebuah supporting system untuk membantunya
mewujudkan cita-citanya. Ia mampu mendobrak pikiran dan kultur orang di masanya.
Dan kini ia menjadi bagian dari masyarakat yang sedang berikhtiar membebaskan
masyarakatnya dari belenggu ketidaktahuan. Semoga Allah senantiasa merahmatimu,
mas Agus !!
Tags:
Nusantara
0 comments