LEBARAN, PERANTAU, DAN SEPI

Baca Juga

Beberapa hari lalu, saya sedang makan pecel lele bersama anak saya di dekat kampus, tempat langganan kalau sedang ditinggal istri ke luar kota yang praktis saya kadang jadi jarang masak. Warungnya tidak besar, hanya sepetak dengan kursi plastik warna-warni dan banner yang mulai pudar warnanya. Tapi yang bikin saya tertarik justru namanya: Putra Lampung. Sebuah nama yang menimbulkan rasa penasaran. Saya tanya ke penjualnya, siapa yang dari Lampung. Dengan logat yang saya kenal betul sebagai logat PUJAKESUMA (Putra Jawa Kelahiran Sumatera / Transmigran Jawa di Sumatera), dia menjawab, "Saya, Mas. Dari Metro." Dan seperti layaknya sesama perantau yang tiba-tiba merasa ketemu sepupu jauh, obrolan kami pun mengalir ngalor-ngidul.

Ada semacam kode tak tertulis bahwa kalau dua perantau ketemu, apalagi dari daerah yang sama, maka batas-batas antara "penjual" dan "pembeli" akan luluh pelan-pelan. Kami ngobrol tentang banyak hal, mulai dari cerita kapan mulai tinggal di Bengkulu sampai soal harga sembako yang terus naik. Tapi obrolan menjadi lebih dalam ketika kami membahas soal lebaran. Bukan cuma Idul Fitri, tapi juga Idul Adha. Dua-duanya sama-sama menyisakan rasa sepi di dada perantau.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)
Saya ingat betul, beberapa kali saya shalat ied di perantauan, habis salam terakhir imam, orang-orang langsung bubar. Tak ada salaman panjang yang biasanya membuat kita berdiri berlama-lama, tak ada suara anak kecil yang tertawa sembari berlarian dengan baju baru, tak ada aroma opor dari rumah tetangga yang menguar pelan-pelan menyiksa penciuman. Yang ada hanyalah deretan kendaraan yang buru-buru balik ke rumah, atau lebih tepatnya, ke kontrakan.

Lucunya, kue-kue lebaran pun tetap dibeli. Padahal bukan untuk menyambut tamu, karena memang tidak ada tamu yang datang. Biasanya kue-kue itu akan dimakan sendiri, atau paling banter ditawarkan ke teman sesama perantau sebelah rumah yang juga sedang leyeh-leyeh di depan kipas angin. Mungkin ini cara perantau bertahan secara mental. Seolah dengan membeli kue lebaran, kita sedang meyakinkan diri bahwa ini memang lebaran.

Saya sempat nanya ke si pemilik warung, bagaimana dia biasanya merayakan Idul Adha. Dia tertawa kecil, semacam tawa getir. "Ya gitu, Mas. Kalau lagi ramai pesanan, habis shalat ied langsung buka warung. Soalnya momen kayak gitu justru yang banyak orang nyari makan di luar. Pada nggak masak." Rasanya semacam ironi, saat di kampung halaman, orang-orang pada sibuk membagikan daging kurban, di sini kita sibuk membakar lele buat orang yang lapar tapi bukan karena habis potong kambing.

Saya juga mengalami hal serupa. Beberapa kali Idul Adha lewat tanpa suara kambing. Tak ada petugas masjid yang keliling membagikan kupon, tak ada anak-anak yang ribut minta bagian jeroan, tak ada ibu-ibu yang ngomel karena plastik daging bocor di ember. Yang ada hanyalah notifikasi WhatsApp, dan itu pun kadang saya baca sambil ngopi sendirian di warung kopi yang tetap buka saat lebaran.

Kadang-kadang saya mikir, lebaran di tanah rantau ini seperti lebaran dalam film bisu. Semua elemen ada—takbir, salat ied, kue-kue, dan kadang daging—tapi tak ada suara latarnya. Tak ada riuh keluarga, tak ada gumam bapak, tak ada sendok garpu berdenting. Hanya ada kita dan kesunyian yang pelan-pelan menjadi kebiasaan.

Saya pernah mencoba pulang kampung saat Idul Adha, tapi tiket mahal dan waktu cuti yang mepet membuat pilihan itu menjadi kemewahan tersendiri. Jadilah saya lebih sering bertahan di kota, menjadi saksi betapa banyak perantau yang memilih tidak pulang, bukan karena tak rindu, tapi karena rindu itu lebih murah kalau dipendam daripada dibiayai.

Lalu, saya kembali mengenang lebaran kurban di kampung. Ada semacam kehangatan yang tidak bisa dibeli di kota. Suasana masjid yang ramai, teriakan panitia yang bingung membagi daging, dan senyum-senyum tetangga yang menyapa meski jarang ketemu. Semuanya kini seperti kenangan yang disimpan dalam toples kaca—terlihat, tapi tak bisa disentuh.

Yang membuat sedih, bukan karena tidak ada kambing yang disembelih, tapi karena tidak ada yang bisa kita bagi. Di perantauan, bahkan membagikan senyum pun terasa mahal karena orang-orang terlalu sibuk bertahan hidup. Kita menjadi pribadi-pribadi soliter yang menabung kebahagiaan untuk nanti, entah kapan dan di mana.

Pernah suatu waktu saya iseng beli daging kambing potongan kecil di pasar, lalu saya masak gulai. Cuma biar terasa seperti lebaran. Rasanya? Biasa saja. Yang luar biasa justru rasa kosongnya. Saya makan sendiri di dapur, dengan suara kipas angin sebagai teman. Tidak ada sendok cadangan, tidak ada canda. Hanya ada saya, nasi, dan rasa yang pelan-pelan hambar.

Saya pikir, mungkin begini memang nasib para perantau. Kita menggantungkan makna pada apa yang ada, bukan apa yang seharusnya. Kita ciptakan sendiri atmosfer lebaran, meski palsu, meski sementara. Karena kalau tidak begitu, kita bisa gila memikirkan betapa hidup ini ternyata sangat sepi saat yang lain berkumpul.

Saya tanya ke si pemilik warung, pernah gak kurban di sini? Dia mengangguk pelan. "Pernah, Mas. Tapi nyumbang patungan sama teman-teman. Nanti disembelih bareng, terus dagingnya dimasak di kos." Saya senyum mendengar jawabannya. Setidaknya, masih ada cara agar lebaran tak sekosong itu. Bahwa kurban bukan hanya soal menyembelih kambing, tapi juga menyambung rasa.

Kadang-kadang saya iri melihat video orang mudik lebaran. Mereka yang turun dari bus dengan peluh dan senyum, dijemput bapaknya yang membawa motor Supra tua. Mereka yang pulang membawa cerita, membawa uang, membawa rindu yang sudah mengendap lama. Saya yang nonton hanya bisa menunduk, pura-pura sibuk dengan HP.

Ada hal-hal yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang tinggal di rumah. Bukan rumah dalam arti fisik, tapi rumah yang benar-benar rumah: tempat pulang, tempat ditunggu, tempat disediakan teh hangat dan cerita. Sementara kita para perantau, tinggal di tempat tidur yang bisa digulung dan dipindah kapan saja.

Suatu malam, saya lihat seekor kambing digiring masuk ke pekarangan masjid kecil dekat kosan. Ternyata itu persiapan Idul Adha. Saya dekati kambing itu. Diam. Matanya seperti tahu bahwa esok dia akan jadi makanan. Saya diam juga. Kami sama-sama menyadari, nasib kadang tak bisa ditawar.

Ada bagian dari hidup ini yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Seperti rasa ingin pulang tapi tidak bisa. Seperti menyalakan kompor pagi-pagi untuk menggoreng ketupat instan. Seperti menyeka mata saat mendengar takbir lewat dari pengeras suara. Semuanya seperti sedang bercanda, tapi tanpa tawa.

Besoknya, saya tidak ikut salat ied. Bukan karena tidak mau, tapi karena tubuh saya terlalu berat. Bukan oleh lelah, tapi oleh sepi. Saya tidur lebih lama, berharap bangun-bangun semua sudah selesai. Tapi justru ketika bangun, sepinya makin tebal. Bahkan suara burung pun seperti malas bersuara.

Kadang saya berpikir, mungkin lebaran di perantauan ini adalah cara Tuhan mengajari kita arti kehilangan. Bahwa yang kita rindukan bukan dagingnya, bukan makanannya, tapi kebersamaan yang menghangatkan dada. Sesuatu yang tidak bisa digantikan oleh Grab atau promo makanan.

Saya bertanya lagi pada pemilik warung, "Besok buka, Mas?" Dia menjawab, "Ya buka. Mau tutup juga bingung ngapain." Kami tertawa pelan. Tertawa yang bukan karena lucu, tapi karena sama-sama paham: bahwa di perantauan, bahkan hari raya pun harus tetap dijalani seperti hari biasa.

Saya pulang dari warung itu dengan perasaan yang aneh. Campur aduk. Di satu sisi, saya merasa kuat karena tetap bisa bertahan. Tapi di sisi lain, saya merasa rapuh karena tak punya apa-apa untuk dibagi. Saya hanya punya cerita. Dan itu pun hanya bisa saya ceritakan lewat tulisan ini.

Malamnya, saya tulis catatan pendek di notes HP: “Lebaran ini saya tidak akan menangis.” Lalu saya tidur sambil mendengarkan lagu lawas Ebiet G. Ade. Di perantauan, musik kadang jadi obat paling manjur untuk luka yang tak berdarah.

Lebaran kurban memang bukan sekadar soal daging yang dibagi. Tapi tentang siapa yang datang membawa tawa. Dan kalau tidak ada yang datang, setidaknya kita bisa menyapa diri sendiri. Mengucapkan Selamat Lebaran, bro. Kau sudah bertahan sejauh ini.

Share:

0 comments