Sosok
itu adalah orang yang jarang anak
lelaki tertuanya temui saat aku kecil, namun hubungan emosional mereka selalu
dekat. Ia memeras keringat pagi hingga malam. Tak pernah sekalipun anak
lelakinya tersebut mendengar ia mengeluh tentang pekerjaannya. Anaknya mengenal
ia sebagai sosok masa lalunya, justru dari adik-adiknya. Ia yang rela
mengorbankan masa mudanya untuk bekerja di sawah dan menjadi tukang jahit demi
membiayai sekolah adik-adiknya.
Ia bukanlah anak tertua, namun tanggungjawabnya
melampaui posisinya. Ia menjadi sandaran, tumpuan, dan kakak yang bisa
diandalkan bagi adik-adiknya. Saat teman-temannya terfokus pada sekolah
keguruan yang saat itu menjadi trend
di zamannya, ia memilih untuk membantu ayahnya membuat peci dan membantu ibunya
berjualan makanan di warung kecil rumahnya.
Ia
dikenal oleh anaknya sebagai sosok yang selalu mendahulukan kepentingan
oranglain dibanding kepentingan dirinya sendiri. Saat itu adiknya sedang
beranjak remaja. Sudah mafhum bahwa remaja kala itu sedang gandrung-gandrungnya bermain gitar. Tak tega ia melihat adiknya
yang senang bermain gitar namun selalu meminjam dari oranglain, tatkala ia
mendapat rezeki yang seharusnya bisa ia gunakan untuk membeli barang
keperluannya sendiri, ia justru menghibahkan rezeki tersebut untuk menyenangkan
adiknya dengan membelikannya sebuah gitar.
Kehidupan keluarganya saat itu bisa
dikatakan secara materi tidak lebih beruntung dibanding kehidupan seorang guru
honorer di desa saat ini. Namun ia selalu diajarkan nilai-nilai moral kehidupan
untuk terus mensyukuri apa yang Tuhan berikan padanya. Agama menjadi marka
hidup yang selalu didengungkan oleh ayahnya. Secara immaterial, ia jauh lebih
beruntung dibanding anak kyai chost saat ini yang selalu manggung dan di-amplopi rupiah berwarna merah. Inilah yang
membentuk karakternya yang kuat secara mental, tangguh secara fisik, serta
anggun dalam moral.
Saat
memasuki usia remaja, ia memilih untuk berjalan kaki sejauh 22 kilometer,
menembus hutan belantara yang masih asri, untuk pergi ke sekolah. Dikala teman-temannya
memakai motor serta sepeda, ia tidak sedikitpun merengek pada orangtuanya
meminta untuk dibelikan kendaraan. Ia memilih untuk terus menyelesaikan
sekolahnya walau harus berjalan kaki sejauh itu. Singkong dan pisang rebus selalu
ibunya siapkan untuk bekal sehari-hari.
Tiba
masa kuliah, ia memilih berkuliah di kampus terdekat yang bisa diakses dari
rumahnya. Ukuran dekat saat itu adalah 35 kilometer dari rumahnya. Tak ada
jurusan yang bisa dipilih seperti sebanyak saat ini, ia memilih untuk belajar tentang
pendidikan luar sekolah. Sembari kuliah, ia bekerja pagi hingga malam mengajar
sekolah dasar hingga sekolah keguruan. Upah yang diterimapun tak bisa dikatakan
cukup oleh kita saat ini.
Namun, nilai-nilai agama yang telah mengakar kuat
dalam alam bawah sadarnya, membuat ia tak perlu membuang waktu mengeluhkan
deretan angka-angka dalam tabel gaji yang harus ia tandatangani setiap
bulannya. Ia selalu mensyukuri berapapun rezeki yang ia terima dari Tuhannya.
Ketika
Allah menitipkan anak laki-laki padanya, ia seolah tak mampu berucap banyak
selain kata syukur dan memuji kebesaran Tuhannya. Harapan dan masa depannya
tertumpah pada laki-lakinya. Ia menghabiskan ribuan jam untuk mengais rezeki
demi masa depan anak satu-satunya saat itu. Baginya, meluangkan waktu bagi
anaknya merupakan sebuah keharusan ditengah pekerjaan yang menyita waktunya.
Bagaimana
tidak, ia harus berangkat pagi saat anaknya masih baru bangun, lalu pulang saat
siang hanya untuk makan, berlanjut kemudian bertemu dengan anaknya dikala
malam. Itupun terkadang harus berebutan dengan waktu untuk rapat-rapat desa
yang mempercayakannya sebagai salah seorang pamong. Kala itu, tidak terlintas
menjadi pamong adalah sebuah pekerjaan yang akan mendatangkan materi. Namun ia
hanya memikirkan tentang kontribusi yang bisa ia berikan untuk membangun desa
yang didirikan oleh ayahnya sebagai migran generasi pertama.
Bagi
anaknya, ia merupakan sosok kebapakan yang selalu menyayangi dengan cara yang
lain. Ia adalah pendidik sekaligus pemberi modul-modul kehidupan yang tak
pernah diajarkan di bangku sekolah. Ia selalu memberikan contoh-contoh nyata
tentang sebuah nilai moral saat mengajarkan pada anaknya.
Sewaktu anaknya
diberikan kejutan oleh Tuhannya untuk
menanggalkan apa yang telah anak tersebut perjuangkan selama berbulan-bulan, ia
tak lantas mengasihi dan ikut berduka dengan kejadian tersebut. Ia justru
mengatakan pada anaknya “Nak, pulanglah.
Allah sedang menguatkan imanmu, ia sedang memberikan jalan padamu untuk menuliskan
bait takdir dalam paragraf lain di narasi kehidupanmu”.
Kini,
saat tiba gilirannya ia mendapatkan kado
cinta dari Tuhannya, ia tak mengeluh. Tak nampak sedikitpun raut muka
kesedihan maupun rasa sakit yang ia dera. Entahlah, mungkin itu semua hanya
usahanya untuk menenangkan istri, anak, serta adik-adiknya agar tak khawatir
dengan apa yang terjadi padanya.
Tak
banyak yang bisa anak laki-laki tertuanya lakukan. Hanya do’a dan harapan yang selalu
terucap dalam sujud dan bait-bait sebelum Aamiin. Semoga Allah memberikan kemanjuran dan keberkahan hidup padamu, Pak.
Bengkulu,
9 Hari Menjelang Peringatan Hari Lahir Ibunya
-anak
laki-laki tertuanya-