Ketika senja meranggas di ufuk barat,
Sang Ayah, mentari keluarga, rebah dalam lelap abadi.
Satu nyawa, setitik debu di jagat raya,
Namun bagi putrinya, runtuhlah semesta yang ia punya.
Dunia berduka, barangkali sejenak,
Lalu kembali bercanda dalam hiruk pikuknya.
Tapi tidak baginya, yang hatinya remuk redam,
Jiwa tercabik, dunia kehilangan warna.
Ayah, gunung tempatnya berteduh,
Kini telah menjadi batu nisan yang bisu.
Pelukan hangat yang selalu menentramkan,
Kini tinggal kenangan yang membekukan kalbu.
Dulu, tawa Ayah adalah simfoni di pagi hari,
Kini hanya gema sayup yang mengiris memori.
Dulu, tangan Ayah adalah benteng pelindungnya,
Kini hanya bayangan yang menghantui mimpi.
Ia meratap, meraung dalam sunyi,
"Ayah, ke mana kau pergi?
Tinggalkan aku sendiri di dunia yang fana ini,
Siapa yang akan menuntunku arungi badai nanti?"
Oh, dunia memang tak mengerti,
Derita seorang anak yang kehilangan pelindung hati.
Bagai burung kecil kehilangan induknya,
Terombang-ambing, tak tahu arah tujuannya.
Namun, di tengah kepedihan yang menggunung,
Ia ingat pesan Ayah yang selalu terngiang,
"Nak, hidup harus terus berjalan,
Jadilah wanita kuat, hadapi dunia dengan tegar."
Air mata pun berganti tekad baja,
Ia akan bangkit, demi cinta sang Ayah.
Meski dunia terasa hampa,
Ia kan terus melangkah, menggapai asa.
Ayah, walau ragamu telah tiada,
Namun semangatmu akan selalu berkobar di jiwa.
Engkau adalah matahariku,
Yang sinarnya abadi, menerangi langkahku.
Ilustrasi (Gambar : Istimewa) |