BISNIS RUMPUT HAY
Baca Juga
Suasana sore di kawasan Pantai Panjang, Bengkulu, memang selalu menawarkan romantisme tersendiri yang sulit ditolak oleh siapa saja yang melewatinya. Tepat di pertigaan ramai dekat Bencoolen Mall, mata saya tertumbuk pada penjual kelinci yang berderet rapi di pinggir jalan utama. Entah angin apa yang membawa saya, tiba-tiba saja mobil menepi dan saya memutuskan membeli kelinci yang lucu itu. Alasannya sebenarnya sangat sederhana dan tidak muluk-muluk, yakni saya hanya ingin menumbuhkan rasa kasih sayang di hati anak-anak kepada sesama makhluk hidup. Kita harus sadar sepenuhnya bahwa binatang adalah ciptaan Tuhan yang bernyawa, sama halnya dengan manusia yang butuh dikasihi. Dengan merawat kelinci, anak-anak akan belajar tanggung jawab, belajar memberi makan, dan belajar membersihkan kotoran setiap hari. Itu adalah pelajaran moral yang tidak didapatkan di bangku sekolah manapun, bahkan di universitas ternama sekalipun.
Sebenarnya kehadiran hewan peliharaan di rumah kami bukanlah hal yang benar-benar baru, karena sebelumnya sudah ada penghuni lain. Dulu ada seekor kucing yang entah datang dari mana, mungkin kucing liar yang nasibnya sedang beruntung menemukan rumah kami. Karena rasa iba, kami rutin memberinya makan, sampai akhirnya ia menjadi jinak dan betah berlama-lama di teras rumah. Bulunya putih bersih dan cantik sekali, wajahnya mirip persilangan antara kucing Persia mahal dengan kucing kampung biasa. Namun, nasib malang tak dapat ditolak, kebahagiaan itu ternyata tidak berlangsung lama bagi keluarga kami. Saat kucing itu baru saja melahirkan anak-anaknya yang lucu, ia tiba-tiba hilang diambil orang yang tidak bertanggung jawab. Sedih rasanya, tapi mungkin itulah yang memicu keinginan kuat kami untuk kembali memelihara hewan, kali ini kelinci.
Kembali ke soal kelinci tadi, ada satu fakta mengejutkan yang baru saja menampar logika saya yang selama ini keliru. Sejak kecil, kita seolah-olah dicekoki oleh dogma tontonan televisi bahwa makanan pokok kelinci adalah wortel dan kangkung. Tokoh kartun Bugs Bunny dengan wortel di tangannya adalah penipu ulung yang sukses menyesatkan jutaan orang di dunia, termasuk saya. Ternyata, memberi makan wortel dan sayuran basah secara terus-menerus adalah kesalahan fatal dalam dunia perkelincian. Sayuran itu mengandung gas dan kadar air tinggi yang justru membuat perut kelinci menjadi kembung dan begah. Tak jarang hal ini menyebabkan diare parah yang berujung pada kematian mendadak pada kelinci peliharaan. Pantas saja banyak orang bilang memelihara kelinci itu susah dan gampang mati, ternyata pakannya yang salah kaprah.
Pencerahan itu datang dari si penjual kelinci di pinggir jalan yang mewanti-wanti saya dengan wajah serius. Ia melarang keras saya memberikan sayuran segar sebagai menu utama, sebuah saran yang terdengar aneh di telinga orang awam. Ia menyarankan agar kelinci diberi pelet atau pur khusus yang sudah diformulasikan untuk kebutuhan gizi hewan pengerat itu. Namun, ia menambahkan satu hal lagi, jika ingin variasi yang sehat, berikanlah rumput hay atau rumput kering. Secara spesifik ia menyebut nama Timothy Hay, sebuah istilah yang terdengar sangat kebarat-baratan dan asing bagi telinga orang kampung seperti saya. Ia menjelaskan bahwa serat kasar dalam rumput itulah kunci kesehatan pencernaan kelinci agar bisa berumur panjang. Saya manggut-manggut saja, meski dalam hati masih bertanya-tanya makhluk macam apa itu rumput hay.
Rasa penasaran yang membuncah memaksa jari-jari saya menari di layar ponsel untuk mencari tahu lebih lanjut. Mesin pencari Google menyajikan deretan gambar dan penjelasan ilmiah tentang apa itu Timothy Hay dan manfaat ajaibnya. Karena ingin yang terbaik untuk si kelinci, saya pun mencoba memesan setengah kilogram secara online untuk membuktikannya. Ketika paket itu datang, saya amati barangnya baik-baik dengan mata telanjang di bawah lampu terang. Bentuknya sungguh di luar dugaan saya karena warnanya cokelat, kering, krispi, dan baunya persis seperti aroma kebun di musim kemarau. Ini benar-benar mirip rumput liar yang biasa tumbuh di semak-semak belakang rumah, bedanya hanya ini sudah dikeringkan. Tidak ada bedanya dengan rumput ilalang yang sering kita abaikan begitu saja saat berjalan kaki pagi.
Namun, reaksi si kelinci saat disodori rumput kering itu sungguh di luar nalar manusia pada umumnya. Mereka menyerbu tumpukan rumput kering itu dengan nafsu makan yang meledak-ledak, seolah itu adalah hidangan bintang lima. Suara kriuk-kriuk terdengar renyah saat gigi mereka mengunyah batang-batang rumput yang bagi kita tampak seperti sampah itu. Setengah kilogram rumput hay yang saya beli ludes tak bersisa hanya dalam hitungan beberapa hari saja. Alhasil, pos pengeluaran bulanan saya pun bertambah satu item baru yang cukup rutin yakni belanja rumput kering. Tentu saja ini membuat saya geleng-geleng kepala melihat betapa lahapnya mereka memakan "uang" saya. Tapi melihat mereka sehat dan lincah, rasa berat mengeluarkan uang itu sedikit terobati.
Malamnya saya merenung, memikirkan betapa uniknya situasi ekonomi yang sedang saya jalani saat ini. Saya membeli rumput, sebuah komoditas yang dalam nalar orang Indonesia bukanlah barang dagangan yang lazim. Bagi saya, ini adalah sebuah usaha yang sedikit nyeleneh namun faktanya uang berputar deras di sana. Di kampung halaman saya dulu, rumput adalah musuh bebuyutan para petani dan pemilik kebun yang harus dibasmi. Orang bebas "mengarit" rumput di mana saja, kapan saja, tanpa perlu izin dan tanpa perlu membayar sepeser pun. Rumput tumbuh liar, bebas, dan gratis, tersedia melimpah ruah disediakan oleh alam semesta.
Bahkan saking tidak berharganya rumput di mata masyarakat kita, orang rela keluar uang banyak untuk membunuhnya. Lihatlah para petani yang harus membeli racun rumput, menyemprotkannya berliter-liter agar tanaman liar itu mati dan mengering. Mereka keluar biaya tenaga, waktu, dan uang hanya untuk memusnahkan apa yang sekarang saya beli dengan harga mahal. Padahal, rumput itu punya daya hidup yang luar biasa karena disemprot mati, minggu depan sudah tumbuh lebat lagi. Siklus ini terus berulang dari tumbuh, diracun, mati, tumbuh lagi, dan diracun lagi tanpa henti. Tidak pernah terlintas di benak orang kampung saya bahwa "sampah" yang mereka racun itu bisa dimasukkan plastik dan dijual. Sungguh sebuah ironi yang menggelitik nalar bisnis siapa saja yang jeli melihatnya.
Sepanjang yang saya tahu selama hidup puluhan tahun, tidak ada orang jualan rumput liar secara terang-terangan. Kalaupun ada yang jual rumput, pastilah itu jenis rumput gajah mini untuk taman rumah orang kaya atau lapangan golf. Atau paling banter rumput fatimah yang konon khasiatnya untuk melancarkan persalinan ibu-ibu hamil yang mau melahirkan. Tapi menjual rumput liar yang dikeringkan untuk pakan hewan adalah sebuah anomali pasar yang sangat menarik. Tidak ada toko kelontong yang memajang rumput kering di etalase mereka bersanding dengan rokok dan sabun mandi. Ini adalah ceruk pasar yang tersembunyi, yang tidak terlihat oleh mata telanjang para pebisnis konvensional. Tapi karena ada permintaan dari para pecinta kelinci, pasar itu tercipta dengan sendirinya.
Inilah hebatnya manusia, karena ada masalah seperti kelinci butuh serat, muncullah inovasi yang menjadi solusi bisnis. Para penjual ini dengan cerdik mengemas rumput liar, mengeringkannya dengan teknologi atau sinar matahari, lalu memberinya label harga. Jangan kaget, harganya sungguh tidak main-main dan bisa bikin dompet bergetar, yaitu 30 ribu rupiah per kilogramnya. Bayangkan, harga sekilo rumput kering ini lebih mahal daripada harga sekilo beras kualitas medium di pasar tradisional. Jika saya hanya memelihara sepasang kelinci, satu kilogram itu habis dalam waktu seminggu saja tanpa sisa. Artinya, dalam satu bulan, saya butuh setidaknya 4 kilogram rumput hay untuk menjaga perut mereka tetap kenyang.
Situasi menjadi semakin menantang bagi dompet saya ketika hukum alam mulai bekerja pada peliharaan kami. Sepasang kelinci itu ternyata sangat produktif, dan tak lama kemudian lahirlah 6 ekor bayi kelinci yang mungil. Total jenderal kini ada 8 mulut yang harus diberi makan setiap harinya di kandang belakang rumah kami. Kebutuhan akan pasokan rumput hay pun melonjak tajam, berlipat-lipat dari perhitungan anggaran awal saat membeli. Ini bukan lagi sekadar hobi memelihara binatang, ini sudah menjadi pos pengeluaran tetap layaknya membayar listrik atau air. Tapi di balik pusingnya kepala memikirkan biaya pakan, otak bisnis saya justru berputar kencang.
Coba Anda bayangkan sejenak, berapa besar potensi perputaran uang di balik bisnis rumput kering ini. Saya pernah membawa topik tentang potensi bisnis "receh" tapi menguntungkan ini ke hadapan mahasiswa saya di kampus. Kebetulan semester ini saya diamanahi mengajar 5 kelas mata kuliah Kewirausahaan dari 3 program studi dan fakultas yang berbeda. Saya mewajibkan setiap mahasiswa untuk tidak hanya berteori, tapi benar-benar terjun menjalankan project wirausaha nyata di lapangan. Salah satu ide tak lazim yang saya lontarkan dan saya dorong kepada mereka adalah mencoba bisnis jualan rumput ini. Reaksi mereka sudah bisa saya tebak, mereka bengong, melongo, dan menatap saya dengan tatapan tidak percaya.
Di benak para mahasiswa milenial dan Gen Z itu, bisnis rumput adalah sesuatu yang sangat aneh dan rendahan. Bagi mereka, yang namanya bisnis itu ya jualan kopi kekinian, thrifting baju bekas, atau bikin aplikasi startup. Kalaupun harus jualan pakan hewan, bayangan mereka adalah menjadi reseller pur atau pelet pabrikan yang kemasannya mentereng. Menjual rumput, dalam persepsi mereka, adalah pekerjaan tukang ngarit di desa, bukan pekerjaan mahasiswa calon sarjana. Mereka tidak bisa melihat bahwa di balik tumpukan rumput kering itu tersimpan lembaran rupiah yang nyata. Mentalitas gengsi inilah yang seringkali menjadi tembok penghalang terbesar bagi pengusaha muda untuk memulai.
Lalu saya coba jelaskan simulasi hitungan bisnisnya di papan tulis agar mata dan nalar mereka terbuka lebar. Mari kita asumsikan harga jual rumput Timothy Hay ini di pasaran adalah Rp 30.000 per kilogram. Modal bahan bakunya nyaris nol rupiah jika kita mau sedikit rajin mencari rumput liar jenis tertentu di lahan kosong. Biaya yang keluar mungkin hanya untuk bensin transportasi, tenaga untuk menyabit, dan proses pengeringan yang mengandalkan matahari. Taruhlah biaya operasional dan kemasan plastik klip yang rapi memakan biaya Rp 5.000 per kilonya. Maka, keuntungan bersih yang bisa dikantongi adalah Rp 25.000 untuk setiap satu kilogram rumput yang terjual. Margin keuntungannya mencapai ratusan persen, angka yang mustahil didapat dari jualan pulsa.
Mari kita bermain angka lebih jauh lagi, jika dalam sehari Anda bisa menjual 10 kilogram saja secara rutin. Itu artinya Anda sudah mengantongi keuntungan bersih Rp 250.000 per hari, setara dengan gaji manajer level menengah. Kalikan dengan 30 hari, maka omzet bersih sebulan bisa mencapai Rp 7.500.000 hanya dari berjualan rumput kering. Itu baru hitungan moderat, belum jika Anda mensuplai ke toko-toko hewan atau komunitas pecinta kelinci. Pasarnya sangat spesifik atau niche, tapi pembelinya adalah orang-orang fanatik yang rela keluar uang demi kesehatan hewan. Pemilik hewan peliharaan adalah konsumen yang irasional, mereka tidak peduli harga asalkan "anak bulu" mereka sehat.
Saya jelaskan juga bahwa kuncinya ada pada pencitraan merek atau branding serta pengemasan yang membuat rumput itu naik kelas. Jangan jual dengan nama "rumput liar kering", itu tidak akan laku dan terdengar sangat murahan di telinga. Gunakanlah nama latin atau nama dagang internasional seperti "Local Timothy Hay" atau "Premium Dried Grass". Masukkan ke dalam kemasan standing pouch yang bening, beri stiker logo yang desainnya estetik dan kekinian. Dengan sentuhan sedikit kreativitas, rumput yang tadinya diinjak-injak orang bisa berubah menjadi komoditas premium yang diburu pembeli. Nilai tambah inilah yang membedakan antara tukang ngarit biasa dengan pengusaha pakan ternak modern.
Mahasiswa saya mulai tampak berpikir, dahi mereka berkerut mencerna logika yang saya sampaikan dengan berapi-api di depan kelas. Saya tekankan bahwa rumput Timothy yang asli memang impor, biasanya dari Amerika atau Kanada, makanya harganya mahal. Tapi, Indonesia ini tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman, masa kita tidak bisa mencari substitusinya? Banyak jenis rumput lokal yang memiliki tekstur dan kandungan serat mirip dengan rumput impor tersebut jika diproses dengan benar. Tantangannya adalah riset, mencari jenis rumput lokal mana yang aman dan disukai oleh kelinci. Di sinilah peran mahasiswa sebagai kaum intelektual untuk melakukan inovasi produk, bukan hanya menjadi pedagang perantara.
Saya tantang mereka, siapa yang berani mengambil peluang ini, dialah yang akan memenangkan persaingan di masa depan. Bisnis itu bukan soal ikut-ikutan tren yang sedang ramai, karena tren itu cepat sekali berlalu dan memudar. Bisnis yang kuat adalah bisnis yang menjadi solusi atas masalah yang dihadapi oleh sekelompok orang, sekecil apapun kelompok itu. Masalahnya jelas, kelinci butuh serat, wortel bikin sakit, dan Timothy Hay impor harganya selangit. Solusinya adalah sediakan rumput kering lokal berkualitas dengan harga yang lebih miring namun tetap menguntungkan. Itu rumus sederhana ekonomi yang sering dilupakan karena kita terlalu sibuk mencari ide yang muluk-muluk.
Saya juga mengingatkan bahwa bisnis di sektor hobi, seperti memelihara kelinci ini, sangat tahan terhadap resesi ekonomi. Orang mungkin akan mengurangi belanja baju baru atau menunda ganti gadget saat ekonomi sedang sulit. Tapi bagi pecinta hewan, jatah makan peliharaan adalah pos yang haram untuk dikurangi kualitasnya sedikitpun. Mereka lebih rela makan mie instan asalkan kelincinya tetap bisa makan rumput hay yang bergizi dan sehat. Loyalitas konsumen di sektor ini sangat tinggi, dan pembelian berulang atau repeat order-nya sangat terjamin setiap bulan. Sekali pelanggan cocok dengan produk rumput Anda, mereka akan berlangganan seumur hidup kelincinya.
Belum lagi jika kita bicara soal skalabilitas bisnis ini ke arah yang lebih luas dan masif jangkauannya. Jika produksi rumput lokal ini berhasil, pasarnya bukan hanya tetangga satu komplek atau satu kota saja. Dengan kekuatan marketplace dan ekspedisi, rumput kering yang ringan ini bisa dikirim ke seluruh pelosok Nusantara. Ongkos kirimnya murah karena barangnya ringan, tidak seperti mengirim cairan atau barang pecah belah yang berisiko. Anda bisa tinggal di Bengkulu, tapi pembeli Anda bisa datang dari Jakarta, Surabaya, bahkan Makassar. Internet telah meruntuhkan tembok geografis, memungkinkan rumput desa merambah pasar kota metropolitan.
Lantas, apa yang membuat bisnis semacam ini sering dipandang sebelah mata oleh banyak orang di sekitar kita? Jawabannya klasik, karena terlihat kotor, remeh, dan tidak bergengsi di mata sosial masyarakat umum. Orang lebih bangga bilang "saya punya kedai kopi" daripada "saya jualan rumput", padahal profitnya belum tentu kalah. Jebakan gengsi inilah yang sering membunuh potensi pengusaha muda sebelum mereka sempat berkembang menjadi besar. Padahal, uang tidak mengenal bau, uang dari jualan rumput sama berharganya dengan uang dari jualan emas. Seorang pengusaha sejati harus mampu menanggalkan jubah gengsinya dan memakai kacamata peluang.
Kita bisa belajar banyak dari filosofi rumput itu sendiri yang sering kita injak-injak setiap hari. Rumput itu tangguh, diinjak tak mati, dipotong tumbuh lagi, ia simbol ketahanan yang luar biasa. Begitu juga seharusnya mental seorang wirausahawan dalam menghadapi gempuran persaingan dan kegagalan yang datang silih berganti. Jangan cengeng, jangan mudah layu, harus tumbuh lagi dan lagi meski ditebas berkali-kali oleh keadaan. Belajar dari rumput, berbisnis pun harus punya daya tahan atau endurance yang panjang, bukan napas pendek.
Saya berharap, dari ratusan mahasiswa yang saya ajar, ada satu atau dua yang berani menyeriusi ide nyeleneh ini. Atau setidaknya, pola pikir mereka terbuka bahwa peluang usaha itu berserakan di sekitar kita, bahkan di bawah kaki kita. Seringkali kita terlalu sibuk mendongak ke atas mencari peluang besar, sampai lupa menunduk melihat emas hijau di bawah. Bisnis rumput hanyalah contoh kecil dari ribuan ketidaklaziman yang bisa dikonversi menjadi keuntungan finansial. Dunia ini penuh dengan hal-hal aneh, dan di setiap keanehan itu tersimpan peluang bagi mereka yang mau berpikir.
Memang, memulai usaha yang tidak lazim butuh keberanian ekstra dan telinga yang tebal menghadapi cibiran orang. Orang akan tertawa saat Anda mulai menjemur rumput, tetangga akan berbisik curiga melihat Anda membungkus ilalang. Tapi biarkanlah mereka tertawa sekarang, karena Anda yang akan tertawa paling keras saat melihat saldo rekening bertambah. Jadilah pembeda, jadilah anomali, karena di situlah letak kunci kemenangan di era yang serba seragam ini. Jangan takut menjadi berbeda, karena orang sukses biasanya memang sedikit berbeda di mata orang biasa.
Pada akhirnya, cerita tentang rumput ini hanyalah sebuah pemantik bagi nalar kita yang mungkin sedang tumpul. Di era disrupsi yang serba cepat ini, kita dituntut untuk inovatif, solutif, dan berani menerjang ketidaklaziman. Inovasi seringkali lahir dari hal-hal yang dianggap sepele, dianggap sampah, atau dianggap masalah oleh orang lain. Dari ketidaklaziman itulah seringkali muncul inovasi besar yang mengubah peta permainan ekonomi menjadi lebih menarik. Mulailah melatih mata Anda untuk melihat apa yang tidak dilihat orang lain, bahkan jika itu hanya sebatang rumput.



0 comments