MERUWAT KEPANDUAN HIZBUL WATHAN

Baca Juga

Hari ini, angka 107 tahun resmi tersemat pada tubuh tua Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan, sebuah usia yang sebenarnya sudah sangat matang, bahkan tergolong sepuh untuk ukuran sebuah organisasi kepemudaan di negeri ini. Kalau kita bayangkan manusia, usia segitu pasti sudah tinggal tulang berbalut kulit, duduk di kursi goyang, dan hanya mampu bercerita soal masa lalu kepada cicit-cicitnya yang mungkin setengah mendengarkan sambil main gadget. Tapi Hizbul Wathan (HW) bukanlah manusia biasa, ia adalah entitas ideologis yang seharusnya makin tua makin berisi, makin sakti, dan makin relevan dengan tantangan zaman yang kian absurd ini. Namun, mari kita jujur sejenak sambil menyeruput kopi, apakah HW hari ini benar-benar sudah menjadi raksasa yang disegani, ataukah ia hanya besar di dalam kandang sendiri alias jago kandang? Saya melihat ada semacam paradoks yang menggelitik di sini.

Kita punya sejarah mentereng sebagai "kakak kandung" tentara karena melahirkan Jenderal Soedirman, tapi di lapangan, popularitas kita sering kali kalah lincah dibandingkan "adik" kita yang berbaju cokelat muda itu. Perayaan milad ini seharusnya bukan sekadar seremoni potong tumpeng atau apel akbar semata, melainkan momentum untuk menampar pipi kita sendiri agar sadar bahwa dunia sudah berubah drastis. Jangan sampai kita terlena dengan romantisme sejarah tahun 1918, sementara anak-anak muda Gen Z di luar sana bahkan bingung seragam HW itu seragam ormas apalagi.

Coba sampeyan-sampeyan perhatikan fenomena di sekolah-sekolah Muhammadiyah, di mana HW adalah menu wajib yang tak bisa ditawar-tawar lagi layaknya mata pelajaran Kemuhammadiyahan. Di satu sisi, ini adalah kekuatan struktural yang luar biasa karena menjamin suplai kader yang tidak akan pernah putus selama sekolah Muhammadiyah masih berdiri tegak di muka bumi. Tapi di sisi lain, kewajiban struktural ini sering kali mematikan kreativitas dan menjadikan kegiatan kepanduan sekadar formalitas menggugurkan kewajiban kurikulum belaka. Anak-anak ikut HW bukan karena mereka merasa itu keren atau menantang, tapi karena kalau tidak ikut, nilai rapor mereka bakal merah atau ijazah mereka ditahan. Akibatnya, ruh "kepanduan" yang seharusnya penuh petualangan, kegembiraan, dan kemandirian, berubah menjadi baris-berbaris yang membosankan di tengah terik matahari Jumat siang. Kita menciptakan jutaan anggota pasif yang begitu lulus sekolah, langsung melempar seragam hijaunya ke gudang dan tak pernah mau menengoknya lagi. Ini adalah masalah serius yang harus diakui oleh para pimpinan di kwartir pusat hingga daerah, bahwa kuantitas massal kita belum berbanding lurus dengan loyalitas dan kebanggaan organik. Barangkali kita terlalu lama nyaman berlindung di bawah ketiak nama besar Muhammadiyah, sehingga lupa caranya bertarung di hutan rimba kompetisi organisasi kepemudaan yang sesungguhnya.

Kalau Pramuka punya Satuan Karya (SAKA) yang memfasilitasi minat spesifik anggotanya mulai dari Bhayangkara hingga Dirgantara, lantas apa yang ditawarkan HW secara spesifik untuk mewadahi hobi anak muda kekinian? Kita masih sering terjebak pada materi-materi klasik seputar tali-temali, sandi morse, dan semapur yang, mohon maaf, bagi anak zaman sekarang mungkin terasa seantik mesin ketik pita. Padahal, potensi untuk membuat unit-unit khusus yang taktis dan modern sangat terbuka lebar jika kita mau sedikit saja membuka mata dan pikiran. Bayangkan jika HW memiliki unit khusus "Pandu Siber" yang jago coding dan keamanan data yang nempel dengan Majelis Pustaka dan Informasi, atau "Pandu Rescue" yang terintegrasi penuh dengan MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center) dengan kualifikasi internasional. Itu baru namanya modernisasi yang menyentuh substansi kebutuhan zaman, bukan sekadar modernisasi atribut atau logo yang kosmetik belaka. Tanpa spesialisasi yang jelas dan menarik, HW akan selamanya dianggap sebagai kegiatan "baris-berbaris" belaka, padahal esensi scouting jauh lebih luas dari itu.

Lihatlah saudara seperguruan kita, Tapak Suci Putera Muhammadiyah, yang sukses melompat pagar dan diterima dengan tangan terbuka di berbagai kampus negeri bahkan hingga ke mancanegara. Tapak Suci bisa begitu luwes masuk ke mana-mana karena mereka menjual "skill" bela diri dan prestasi olahraga, bukan sekadar menjual doktrin organisasi yang kaku. Orang mau ikut Tapak Suci bukan karena mereka ingin jadi kader Muhammadiyah, tapi karena mereka ingin bisa silat, ingin sehat, dan ingin keren dengan seragam merahnya yang gagah itu. Nah, HW seharusnya bisa meniru strategi penetrasi kultural ini dengan menjadikan skill kepanduan sebagai jualan utama yang seksi. Mengapa kita tidak bermimpi ada Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Hizbul Wathan di Universitas Indonesia, UGM, atau bahkan di kampus-kampus swasta elit, sebagaimana Pramuka bisa ada di mana saja? Selama HW masih memposisikan diri secara eksklusif sebagai "kepanduan milik sekolah Muhammadiyah," maka selama itu pula kita tidak akan pernah bisa menjadi organisasi yang inklusif dan membumi. Kita perlu merobohkan tembok mental block yang mengatakan bahwa HW hanya untuk orang Muhammadiyah, karena nilai-nilai kepanduan seperti kedisiplinan dan cinta alam itu universal.

Mungkin sebagian dari sampeyan-sampeyan akan protes dan bilang, "Lho, HW kan berasaskan Islam, jadi wajar dong kalau eksklusif?" Tunggu dulu, bukankah Islam itu rahmatan lil 'alamin, yang artinya rahmat bagi seluruh alam semesta, bukan rahmat bagi warga persyarikatan saja? Menjadi inklusif dan terbuka tidak berarti menggadaikan akidah, justru itu adalah sarana dakwah bil hal yang paling efektif di tengah masyarakat yang majemuk.

Kalau HW bisa dikemas dengan tampilan yang lebih pop, lebih adventure-oriented, dan tidak terlalu kental nuansa indoktrinasinya di awal rekrutmen, saya yakin banyak anak muda di luar sana yang tertarik bergabung. Mereka butuh wadah untuk menyalurkan energi berlebih, butuh komunitas yang positif, dan butuh skill bertahan hidup di alam bebas. Jika HW mampu menyediakan paket kegiatan yang menjawab kebutuhan itu tanpa embel-embel birokrasi yang njelimet, pasarnya sangat besar. Persoalannya, apakah kita berani mengubah kemasan "jamu pahit" ini menjadi "minuman energi" yang segar tanpa menghilangkan khasiat utamanya?

Bicara soal atribut, kadang saya berpikir apakah warna hijau tentara dan cokelat tanah yang kita banggakan itu masih relevan secara psikologis untuk anak muda zaman now yang lebih suka warna-warna cerah atau pastel? Tentu saja saya tidak menyarankan kita mengganti warna keramat itu, karena di sanalah letak historisnya, tapi desain dan fitting seragamnya mbok ya disesuaikan dengan selera fashion hari ini. Jangan sampai seragam HW terlihat kedodoran, kucel, dan membuat pemakainya merasa seperti sedang ikut wajib militer zaman Jepang yang menyeramkan. Rebranding visual itu penting, bukan untuk gaya-gayaan, tapi untuk membangun citra bahwa organisasi ini dikelola dengan profesional dan kekinian. Anak muda itu makhluk visual; mereka menilai buku dari sampulnya, dan mereka menilai organisasi dari seberapa keren foto kegiatannya di Instagram. Kalau feed media sosial HW isinya cuma foto bapak-bapak pejabat memberikan sambutan di podium, ya jangan harap anak muda mau melirik.

Saya membayangkan sebuah transformasi di mana HW memiliki divisi-divisi taktis yang mirip dengan SAKA di Pramuka, tapi dengan branding dan kurikulum yang khas Muhammadiyah namun berstandar global. Misalnya, kita buat "Korps Pandu Wirausaha" yang melatih anggotanya berbisnis digital, atau "Korps Pandu Lingkungan" yang fokus pada isu perubahan iklim dan daur ulang sampah. Ini bukan hal yang mustahil, mengingat Muhammadiyah punya sumber daya manusia yang melimpah ruah di segala bidang keilmuan dan profesi. Masalahnya selama ini adalah kita terlalu sektoral; orang pintar di Majelis Ekonomi tidak diajak ngurus HW, orang hebat di Majelis Lingkungan Hidup tidak diminta bikin kurikulum HW. HW dibiarkan berjalan sendiri dengan logikanya yang usang, sementara majelis lain berlari kencang dengan program-program modernnya. Sinergi antar-majelis ini harus dipaksa terjadi, agar HW mendapatkan suntikan nutrisi intelektual dan skill yang beragam, tidak melulu soal baris-berbaris dan menyanyi lagu mars.

Memang, mengubah sebuah kapal tua yang sangat besar seperti HW untuk berbelok arah itu susahnya minta ampun, butuh tenaga ekstra dan nakhoda yang gila. Struktur organisasi yang gemuk dari pusat sampai ranting sering kali justru menjadi penghambat kelincahan manuver, karena setiap keputusan harus melalui rapat pleno yang panjang dan melelahkan. Birokrasi internal kita kadang lebih rumit daripada mengurus KTP di kelurahan, dan inilah penyakit kronis yang harus diamputasi jika kita ingin lari kencang. Kita butuh desentralisasi kewenangan yang memberikan ruang gerak lebih bebas bagi kwartir daerah atau bahkan qabilah di sekolah/kampus untuk berinovasi sesuai kearifan lokal. Jangan semuanya harus menunggu petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) dari pusat yang turunnya sering kali terlambat. Biarkan tunas-tunas muda di daerah berkreasi membuat kegiatan yang "out of the box", asalkan tidak melanggar prinsip dasar akidah dan akhlak.

Coba kita tengok sejarah Jenderal Soedirman lagi, tapi kali ini jangan lihat pangkat jenderalnya, lihatlah masa mudanya saat menjadi pandu HW yang militan. Soedirman muda ditempa bukan dengan duduk mendengarkan ceramah di dalam ruangan ber-AC, tapi dengan kegiatan fisik yang keras, kepemimpinan lapangan yang nyata, dan tanggung jawab sosial yang berat. Spirit "Panglima Besar" itu lahir dari debu dan keringat kepanduan, dari keberanian mengambil risiko, bukan dari kenyamanan fasilitas organisasi. Sekarang, kita sering terjebak memuja sosok Soedirman sebagai berhala sejarah, tapi gagal mewarisi etos kerjanya yang trengginas dan revolusioner. Kita bangga memajang foto beliau di dinding markas, tapi kegiatan kita lembek dan tidak mencetak karakter petarung. Modernisasi HW adalah upaya untuk menghidupkan kembali spirit Soedirman dalam konteks abad 21, di mana "perang gerilya" kita hari ini adalah perang melawan kebodohan, kemiskinan, dan ketertinggalan teknologi.

Salah satu kunci sukses Tapak Suci adalah standardisasi jurus dan sistem kenaikan tingkat yang jelas serta bergengsi, sehingga anggotanya merasa punya target pencapaian yang prestisius. Di HW, sistem Tanda Kecakapan Umum (TKU) dan Tanda Kecakapan Khusus (TKK) sering kali tidak dianggap sebagai sesuatu yang prestisius. Ini menurunkan wibawa organisasi di mata anggotanya sendiri; kalau mendapatkan badge itu mudah, buat apa diperjuangkan mati-matian? Kita harus mengembalikan "sakralitas" dari setiap lencana yang ditempel di seragam, bahwa itu adalah simbol kompetensi, bukan hiasan. Jika perlu, libatkan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) untuk menguji kecakapan khusus tertentu, sehingga sertifikat HW laku dipakai untuk melamar kerja. Bayangkan kalau sertifikat "Pandu Jurnalistik" HW diakui oleh Dewan Pers, atau sertifikat "Pandu SAR" HW diakui oleh Basarnas, pasti anak-anak muda akan berebut masuk.

Lantas, bagaimana dengan konsep "Pembela Tanah Air" yang menjadi arti harfiah dari nama Hizbul Wathan itu sendiri? Di era damai seperti sekarang, membela tanah air tidak lagi dengan bambu runcing, melainkan dengan karya nyata yang solutif bagi permasalahan bangsa. HW harus hadir di tengah masyarakat yang kebanjiran, bukan hanya sebagai tukang angkut mie instan, tapi sebagai manajer posko yang handal dan pemimpin pemulihan trauma. HW harus hadir di kampung-kampung kumuh untuk mengajar anak jalanan, hadir di hutan-hutan gundul untuk menanam pohon, hadir di dunia maya untuk memerangi hoaks. Definisi "pembelaan" harus diperluas spektrumnya agar relevan dengan kegelisahan generasi milenial dan gen Z yang sangat concern pada isu-isu sosial dan lingkungan. Jika HW bisa membranding dirinya sebagai "NGO-nya anak muda Muhammadiyah" yang bergerak di bidang kemanusiaan dan lingkungan via kepanduan, itu akan sangat seksi.

Keberadaan HW di kampus-kampus non-Muhammadiyah adalah sebuah keniscayaan yang harus diperjuangkan, meski jalannya pasti terjal dan berliku. Langkah awalnya bisa dimulai dengan membentuk komunitas pecinta alam atau kelompok studi yang berafiliasi dengan nilai-nilai HW tanpa harus langsung memasang bendera formal yang mencolok. Masuklah lewat pintu hobi, lewat pintu diskusi, lewat pintu persaudaraan, baru pelan-pelan kenalkan baju seragamnya. Orang tidak akan resisten dengan nilai-nilai kebaikan seperti jujur, dipercaya, dan hemat, yang menjadi undang-undang HW, karena itu nilai universal. Yang sering bikin orang resisten itu adalah kemasan luarnya yang terkesan eksklusif dan "kelompok banget". Strategi marketing kita harus diubah dari "hard selling" yang memaksa orang masuk, menjadi "soft selling" yang membuat orang penasaran dan akhirnya jatuh cinta.

Kita juga tidak boleh menutup mata bahwa sumber pendanaan sering menjadi alasan klasik mengapa kegiatan HW mandek dan tidak variatif. Tapi, bukankah kita diajarkan untuk mandiri dan tidak cengeng meminta-minta sumbangan? Unit-unit usaha produktif berbasis kepanduan harus digalakkan, misalnya jasa outbound training profesional yang dikelola oleh kader HW, penyewaan alat camping, atau toko merchandise yang dikelola secara modern. Jangan biarkan HW menjadi benalu bagi kas sekolah atau kas persyarikatan, tapi jadikan ia sapi perah yang menghasilkan profit sekaligus benefit sosial. Kemandirian ekonomi organisasi akan melahirkan kemandirian sikap dan keleluasaan dalam membuat program-program gila tanpa harus disetir oleh donatur. Jiwa entrepreneurship K.H. Ahmad Dahlan harusnya menular deras di nadi setiap anggota pandu HW.

Tantangan lainnya adalah soal instruktur atau pelatih yang sering kali stoknya itu-itu saja, orang lama yang metodenya belum di-update sejak zaman Orde Baru. Kita butuh regenerasi pelatih yang radikal; kirim kader-kader muda terbaik untuk belajar metode scouting di luar negeri, ikut pelatihan SAR tingkat lanjut, atau kursus manajemen organisasi modern. Jangan biarkan pelatih HW hanya bermodal semangat dan suara lantang, tapi miskin metodologi pendidikan yang menyenangkan dan efektif. Anak sekarang kritis-kritis; mereka akan membandingkan pelatihnya dengan konten kreator di YouTube. Kalau pelatih HW kalah menarik dan kalah pintar dari YouTuber, ya wassalam, ditinggallah latihan itu. Investasi terbesar HW harusnya bukan pada gedung atau seragam, tapi pada peningkatan kapasitas otak dan skill para pelatihnya.

Saya teringat sebuah adagium lama yang mengatakan bahwa "tradisi adalah menjaga apinya, bukan menyembah abunya." HW punya api semangat yang menyala sejak 1918, tapi kalau kita sibuk menyembah abunya (baca: simbol-simbol masa lalu) tanpa menjaga apinya agar tetap panas membakar zaman, maka kita sedang membunuh HW pelan-pelan. Modernisasi bukanlah pengkhianatan terhadap tradisi, melainkan cara terbaik untuk menghormati para pendiri agar warisan mereka tetap hidup dan berguna. K.H. Ahmad Dahlan adalah seorang pembaru, seorang modernis sejati pada zamannya; beliau pasti akan sedih melihat organisasi bentukannya menjadi jumud dan gagap menghadapi perubahan. Kalau beliau masih hidup, mungkin beliau yang akan paling dulu menyuruh kita merombak kurikulum HW agar sesuai dengan kebutuhan abad 21. Jadi, jangan takut dibilang tidak nyunnah atau melanggar pakem hanya karena kita ingin membuat HW lebih relevan dan progresif.

Menjadikan HW sebesar dan sepopuler Tapak Suci memang terdengar ambisius, tapi bukan berarti tidak mungkin jika kita mau bekerja ekstra keras dan cerdas. Kuncinya ada pada "produk" yang kita tawarkan; Tapak Suci punya produk "bela diri" yang jelas manfaatnya, nah HW harus merumuskan "produk" apa yang mau dijual ke publik luas. Apakah produk itu bernama "karakter kepemimpinan"? Apakah "keterampilan survival"? Atau "solidaritas kemanusiaan"? Apapun itu, kemaslah produk tersebut dalam paket yang profesional, tersertifikasi, dan menyenangkan. Buatlah orang merasa rugi kalau tidak ikut HW, bukan merasa terpaksa. Ubah mindset dari "kewajiban" menjadi "kebutuhan".

Mungkin sudah saatnya kita menginisiasi "Jambore Inovasi HW" di mana setiap qabilah atau kwarda diwajibkan memamerkan inovasi teknologi atau sosial mereka, bukan cuma lomba pasang tenda tercepat. Biarkan mereka berkompetisi membuat aplikasi pantau bencana, membuat drone pemetaan desa, atau membuat metode pengolahan limbah plastik. Dari sana akan lahir bibit-bibit unggul yang melek teknologi, yang membuktikan bahwa pandu HW itu smart dan tech-savvy. Panggung-panggung HW harus diisi oleh prestasi nyata yang terukur, bukan sekadar pidato retorika yang mengawang-awang. Inilah cara kita berbicara kepada dunia bahwa HW sudah bangun dari tidur panjangnya dan siap berlari.

Tulisan ini saya tulis bukan karena saya benci, justru karena saking cintanya saya pada warisan Mbah Dahlan ini, saya tidak rela melihatnya lapuk dimakan usia. Benda antik memang mahal harganya, tapi kalau cuma ditaruh di lemari kaca, ia tidak memberikan manfaat apa-apa bagi kehidupan. HW harus keluar dari etalase sejarah, turun ke jalanan berlumpur, masuk ke laboratorium canggih, dan bergaul di kafe-kafe tempat anak muda nongkrong. Ia harus menjadi teman yang asyik, mentor yang bijak, dan wadah yang menampung segala kegalauan anak muda untuk diubah menjadi energi positif. Milad ke-107 ini harus jadi titik balik, sebuah turning point yang radikal.

Sudah cukup kita bernostalgia, sudah cukup kita merasa besar dengan bayang-bayang masa lalu. Mulai besok, mari kita bongkar kurikulum usang, mari kita desain ulang seragam agar lebih stylish, mari kita buka pintu selebar-lebarnya bagi siapa saja yang ingin bergabung tanpa sekat-sekat primordial. Jadikan HW sebagai rumah besar bagi patriot-patriot muda yang ingin berkarya untuk bangsa, apapun latar belakang ormas atau agamanya. Kalau Tapak Suci bisa, kenapa HW tidak? Kalau Pramuka bisa punya SAKA, kenapa HW tidak bisa punya korps spesialis yang lebih hebat? Jawabannya ada di kemauan kita untuk berubah atau punah.

Akhir kata, selamat milad ke-107 Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan. Umurmu sudah tua, tapi jiwamu harus tetap muda, liar, dan berbahaya bagi musuh-musuh kemanusiaan. Jangan biarkan dirimu menjadi dinosaurus yang punah karena gagal beradaptasi dengan perubahan iklim zaman. Jadilah elang yang terus memperbarui paruh dan cakarnya agar bisa terbang tinggi dan menerkam mangsa dengan presisi. Mari bergerak, mari berbenah, karena Indonesia butuh pandu-pandu yang bukan cuma jago tepuk tangan, tapi jago menyelesaikan masalah. Fastabiqul khairat!

Bagikan artikel ini:

0 comments