KRITIK UNTUK STUDI MANAJEMEN : MENCETAK PEMIMPIN ABAD 21 YANG LAHIR DARI KAMPUS, BUKAN DARI SISA ERA INDUSTRI
Baca Juga
Di tengah hiruk-pikuk dunia bisnis yang berubah lebih cepat dari kecepatan informasi, kita masih menyaksikan sesuatu yang paradoks. Di satu sisi, perusahaan besar dan startup digital menghadapi disrupsi teknologi, perubahan perilaku konsumen, dan tuntutan keberlanjutan yang tak bisa ditawar. Di sisi lain, kampus-kampus bisnis, termasuk yang bergengsi, masih mengajarkan manajemen seperti tahun 1980-an. Saya tidak bermaksud merendahkan. Tapi fakta ini tak bisa diabaikan: kita sedang mencetak lulusan untuk dunia yang sudah tidak ada.
Perguruan tinggi, khususnya program studi manajemen, harus berani mengakui bahwa model lama sudah tidak cukup. Konsentrasi pemasaran dan SDM yang dulu dianggap inti, kini terasa seperti pakaian usang yang dipaksakan untuk dikenakan di tubuh yang telah berubah bentuk. Bukan berarti dua bidang itu tidak penting. Tapi cara kita mengajarkannya, terlalu teoretis, terlalu linier, terlalu terpisah dari realitas digital telah membuatnya kehilangan daya tembus.
Bayangkan seorang lulusan manajemen yang bisa menjelaskan teori 4P secara sempurna, tapi bingung saat diminta membuat kampanye iklan di TikTok. Atau mahasiswa yang hafal teori motivasi Maslow, tapi tak tahu bagaimana mengelola tim remote yang bekerja dari Bali, Jakarta, dan Toronto. Ini bukan soal kurang pintar. Ini soal kurikulum yang gagap merespons zaman.
Dunia bisnis hari ini bukan lagi tentang siapa yang punya produk terbaik atau tim terbesar. Dunia bisnis sekarang adalah tentang siapa yang paling cepat belajar, paling cepat beradaptasi, dan paling cepat mengintegrasikan teknologi ke dalam DNA organisasinya. Di sinilah letak kegagalan sistem pendidikan kita. Kita masih mengajarkan manajemen sebagai ilmu yang statis, padahal ia harus diajarkan sebagai seni berubah.
Saya beberapa kali bertemu dengan pemimpin perusahaan yang mengeluhkan kualitas lulusan. Bukan karena mereka tidak pintar, tapi karena mereka tidak siap. Mereka butuh pelatihan berbulan-bulan sebelum bisa memberi kontribusi nyata. Ini bukan kegagalan mahasiswa. Ini kegagalan sistem. Kita terlalu sibuk mempertahankan tradisi, hingga lupa bahwa tujuan utama pendidikan adalah relevansi.
Transformasi kurikulum bukan lagi pilihan. Ia adalah keharusan. Kita tidak bisa terus-menerus memperbaiki kapal di tengah badai. Kita harus merancang kapal baru. Kapal yang ringan, lincah, dan bisa berlayar di ombak digital. Dan kampus, khususnya prodi manajemen, harus menjadi galangan kapal tempat kapal-kapal baru itu dibangun.
Dalam konteks inilah, dua konsentrasi lama, pemasaran dan SDM, harus direvitalisasi secara radikal. Bukan sekadar menambah satu dua mata kuliah digital. Tapi merombak total paradigma. Kita tidak butuh ahli pemasaran yang hanya bisa membuat brosur. Kita butuh desainer pengalaman pelanggan yang memahami algoritma, data, dan emosi manusia secara bersamaan.
Demikian pula dengan SDM. Dunia kerja bukan lagi tentang rotasi jabatan atau penilaian kinerja tahunan. Dunia kerja sekarang adalah tentang pengalaman manusia, kesejahteraan mental, dan kemampuan beradaptasi. HR tidak lagi menjadi fungsi administratif, tapi menjadi arsitek budaya organisasi di tengah ketidakpastian.
Maka dari itu, saya menawarkan dua konsentrasi baru yang bukan sekadar ganti nama, tapi perubahan mendasar dalam cara berpikir. Pertama, Digital Business & Innovation Management. Ini bukan pemasaran yang dipoles digital. Ini adalah pendekatan menyeluruh terhadap bisnis di era platform, ekosistem, dan data-driven decision making. Di sini, mahasiswa belajar bukan hanya bagaimana menjual, tapi bagaimana menciptakan nilai baru melalui inovasi.
Kedua, People & Organizational Transformation. Ini bukan SDM yang diperluas. Ini adalah disiplin baru yang menggabungkan psikologi, teknologi, dan strategi untuk membangun organisasi yang tangguh. Di sini, mahasiswa belajar bagaimana memimpin perubahan, merancang pengalaman kerja, dan membangun kepemimpinan adaptif.
Kedua konsentrasi ini lahir dari kenyataan bahwa bisnis modern tidak lagi berjalan dalam silo. Pemasaran tidak bisa berdiri sendiri tanpa data operasi. SDM tidak bisa berjalan tanpa dukungan teknologi. Maka, kurikulum harus dirancang secara integratif. Setiap mata kuliah harus memiliki benang merah yang menghubungkan fungsi-fungsi bisnis dalam satu kesatuan yang utuh.
Salah satu kunci dari transformasi ini adalah literasi data. Bukan berarti setiap mahasiswa manajemen harus jadi data scientist. Tapi mereka harus mampu membaca data, memahami insight, dan mengambil keputusan berbasis bukti. Dalam dunia di mana gut feeling tidak lagi cukup, data adalah bahasa baru manajemen.
Maka, mata kuliah seperti Analitik Bisnis untuk Pengambilan Keputusan harus menjadi inti kurikulum. Mahasiswa tidak hanya belajar statistik, tapi juga cara menggunakan tools seperti Power BI, Google Analytics, atau SQL dasar. Mereka harus bisa mengubah angka menjadi cerita, dan cerita menjadi aksi.
Tapi jangan salah sangka. Ini bukan ajakan untuk menghilangkan sisi manusiawi dari manajemen. Justru sebaliknya. Semakin digital dunia ini, semakin dibutuhkan sentuhan manusia. Kita butuh pemimpin yang tidak hanya pintar secara teknis, tapi juga empatik, inklusif, dan berintegitas. Maka, etika dan keberlanjutan harus menjadi tulang punggung kurikulum.
Mata kuliah seperti Etika Bisnis & Keberlanjutan tidak boleh menjadi pelengkap yang ditempatkan di semester akhir. Ia harus menjadi lensa yang digunakan untuk melihat setiap aspek bisnis. Dari strategi pemasaran hingga keputusan rekrutmen, dari inovasi produk hingga manajemen rantai pasok, semua harus dievaluasi dari sudut pandang ESG: lingkungan, sosial, dan tata kelola.
Di sinilah letak keunikan lulusan manajemen masa depan. Mereka bukan sekadar operator bisnis. Mereka adalah penyeimbang. Mereka tahu bagaimana mengejar profit, tapi juga tahu batasnya. Mereka paham teknologi, tapi tidak terjebak di dalamnya. Mereka mampu berpikir sistemik, tapi tetap peduli pada individu.
Kita juga harus berhenti mengajar manajemen sebagai ilmu yang netral. Dunia bisnis adalah arena konflik nilai. Antara efisiensi dan keadilan. Antara pertumbuhan dan keberlanjutan. Antara inovasi dan etika. Mahasiswa harus dilatih untuk berdebat, merenung, dan membuat keputusan dalam ketegangan ini. Bukan dengan memberi jawaban, tapi dengan membuka pertanyaan.
Salah satu cara terbaik untuk melakukannya adalah melalui project-based learning. Mahasiswa tidak boleh hanya menulis esai atau ujian akhir. Mereka harus bekerja pada proyek nyata: membantu UMKM go digital, merancang strategi transformasi untuk perusahaan menengah, atau membuat program kesejahteraan karyawan untuk startup.
Dalam proyek-proyek ini, mahasiswa dari dua konsentrasi, Digital Business dan People Transformation, harus bekerja bersama. Karena di dunia nyata, masalah bisnis tidak datang dalam kotak terpisah. Ketika sebuah perusahaan ingin go digital, itu bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal orang. Bagaimana mempersiapkan karyawan? Bagaimana mengubah budaya? Siapa yang akan memimpin perubahan?
Kolaborasi ini harus dipupuk sejak awal. Kita butuh kurikulum yang memaksa mahasiswa keluar dari zona nyaman disiplin mereka. Seorang calon ahli inovasi harus belajar psikologi perubahan. Seorang calon pemimpin organisasi harus memahami dasar-dasar algoritma. Ini bukan multitasking. Ini adalah multi-intelligence.
Dan di tengah semua ini, kampus harus berhenti menjadi menara gading. Kita harus membuka pintu lebar-lebar untuk industri. Bukan hanya untuk magang atau rekrutmen, tapi untuk menjadi mitra dalam merancang kurikulum. Advisory board dari dunia usaha bukan sekadar formalitas. Ia harus menjadi mekanisme penyeimbang agar kampus tidak terjebak dalam ilusi akademik.
Saya masih ingat ketika mendengar seorang dosen di satu kampus berkata, “Kami tidak boleh terlalu mengikuti industri, nanti kita kehilangan otoritas akademik.” Saya menghormati sikap itu. Tapi saya juga bertanya: otoritas untuk apa? Jika otoritas itu hanya menghasilkan lulusan yang tidak dibutuhkan, maka otoritas itu hampa makna.
Kita butuh keseimbangan. Akademik yang kuat, tapi relevan. Teori yang mendalam, tapi bisa diterapkan. Penelitian yang rigor, tapi menjawab masalah nyata. Inilah yang saya sebut sebagai relevance with rigor.
Salah satu cara mewujudkannya adalah dengan mengintegrasikan sertifikasi industri ke dalam kurikulum. Mahasiswa tidak hanya lulus dengan IPK, tapi juga dengan portofolio dan sertifikasi nyata: Google Analytics, Meta Blueprint, HR Analytics dari edX, atau Scrum Fundamentals. Ini bukan kompromi. Ini adalah jembatan.
Dan jangan lupa, soft skills tetap penting. Bahkan lebih penting. Di era di mana mesin bisa menggantikan pekerjaan teknis, yang tidak bisa digantikan adalah empati, kreativitas, dan kemampuan berkolaborasi. Maka, mata kuliah seperti Leadership & Team Collaboration harus menjadi wajib, bukan pilihan.
Kita juga harus mengubah cara mengajar. Dosen tidak lagi menjadi satu-satunya sumber ilmu. Mereka harus menjadi fasilitator, mentor, dan pembuka jalan. Metode ceramah harus dikurangi. Diskusi, simulasi, dan experiential learning harus diperbanyak. Dunia sudah berubah dari push ke pull, mahasiswa mencari ilmu, bukan menunggu diberi.
Peran dosen pun berubah. Mereka tidak hanya dinilai dari jumlah publikasi, tapi juga dari dampak nyata mereka terhadap mahasiswa dan masyarakat. Seorang dosen yang berhasil membimbing mahasiswa menciptakan startup yang menyerap puluhan tenaga kerja, layak dihargai setara dengan yang menulis jurnal internasional.
Akhirnya, kita harus berani mengukur keberhasilan kurikulum bukan dari angka-angka, tapi dari cerita. Cerita tentang lulusan yang mampu mengubah nasib UMKM. Cerita tentang pemimpin muda yang membawa perusahaan keluarga go digital. Cerita tentang HR yang merancang kebijakan kerja yang manusiawi di tengah tekanan profit.
Karena pada akhirnya, manajemen bukan ilmu tentang mengelola uang atau mesin. Ia adalah ilmu tentang mengelola manusia. Dan manusia tidak bisa dikelola dengan formula kaku. Ia butuh keberanian, kebijaksanaan, dan visi.
Maka, kampus harus berhenti menjadi pabrik gelar. Kita harus menjadi taman tempat benih-benih pemimpin masa depan ditanam, dirawat, dan dilepaskan ke dunia dengan keyakinan bahwa mereka siap, bukan hanya untuk bekerja, tapi untuk memimpin, mengubah, dan memberi makna.
Revolusi manajemen tidak dimulai di ruang rapat direksi. Ia dimulai di kelas kuliah. Di tangan dosen yang berani berubah. Di meja mahasiswa yang berani bertanya. Di hati para pemimpin kampus yang berani mengambil risiko.
Kita tidak butuh lebih banyak manajer. Kita butuh lebih banyak pemimpin. Dan pemimpin itu harus lahir dari kampus yang berani meninggalkan masa lalu, bukan dari sisa-sisa era industri yang sudah usang.
Jika tidak sekarang, kapan lagi?
Kita hidup di zaman yang tidak memberi ruang bagi yang ragu. Dunia bisnis tidak menunggu. Teknologi tidak berhenti. Konsumen tidak setia. Dan generasi muda tidak sabar.
Maka, ayo kita ubah. Bukan hanya kurikulum. Tapi mindset. Bukan hanya struktur. Tapi semangat. Bukan hanya metode. Tapi tujuan.
Karena manajemen yang baik bukan yang mengikuti zaman. Tapi yang menciptakan zaman. Dan kampus, khususnya prodi manajemen, harus menjadi tempat di mana zaman baru itu dimulai.
Bukan dengan teriakan revolusi. Tapi dengan langkah-langkah nyata: merombak kurikulum, melatih dosen, membuka diri pada industri, dan menempatkan manusia sebagai pusat dari segala keputusan.
Kita tidak sedang berbicara tentang perbaikan. Kita sedang berbicara tentang transformasi. Dan transformasi selalu dimulai dari satu keberanian: mengakui bahwa yang lama sudah tidak cukup.
Sekarang, saatnya kita membuktikan bahwa pendidikan manajemen di Indonesia bisa menjadi teladan, bukan penonton. Karena masa depan bisnis kita, ditentukan oleh kualitas pemimpin yang kita lahirkan hari ini.
Dan pemimpin itu sedang duduk di kelas. Menunggu guru yang berani mengajaknya melompat ke masa depan.
Tags:
Pendidikan
Perguruan Tinggi
0 comments