Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami
Ada satu kebiasaan baru di dunia kampus Indonesia yang kalau dipikir-pikir agak absurd tapi nyata, dosen sekarang bukan lagi sibuk ngajar atau riset di lapangan, tapi sibuk nyari jurnal. Iya, nyari jurnal. Bukan nyari ilmu, bukan nyari murid, tapi nyari tempat di mana tulisannya bisa dimuat, terutama kalau ada logo kecil bertuliskan indexed by Scopus. Logo itu sekarang sudah seperti tanda tangan Tuhan di dunia akademik. Kalau ada, maka dosen dianggap suci.

Obrolan di ruang dosen pun berubah. Dulu masih bisa santai ngomongin resep gulai, gosip mahasiswa, atau ngerumpi tentang rektor baru. Sekarang topiknya cuma satu: Scopus. Kalau tidak ngomong Scopus, ya ngomong Sinta. Dua kata yang terdengar seperti nama orang tapi bisa menentukan hidup-matinya seorang dosen. Kadang saya pikir, kalau Scopus dan Sinta itu benar-benar manusia, mungkin mereka sudah jadi tamu kehormatan setiap rapat senat universitas.
Ilustrasi Industri Index Jurnal (Gambar : AI Generated)

Saya pernah mendengar satu cerita. Ada seorang dosen muda, belum genap dua tahun ngajar, tapi sudah seperti pejuang yang kehilangan arah. Ia berkata lirih, “Mas, saya capek. Semua orang nyuruh saya publikasi Scopus. Saya belum sempat meneliti, tapi sudah dituntut publikasi.” Saya cuma bisa menepuk bahunya dan bilang, “Sabar, Nak. Di dunia ini, tidak semua yang terindeks Scopus itu benar-benar berguna.”

Sekarang ini, setiap dosen seperti hidup dalam sistem yang diciptakan untuk membuat mereka terus berlari, tapi tidak tahu tujuannya ke mana. Mau naik jabatan? Scopus. Mau naik pangkat? Scopus. Mau jadi guru besar? Scopus. Bahkan mau makan di kantin pun, topik obrolannya tetap Scopus. Dosen yang tidak punya publikasi Scopus itu sekarang seperti warga kelas dua. Sekalipun dia mengajar dengan hati dan mengubah hidup banyak mahasiswa, tetap saja dianggap kurang “bermutu.”

Masalahnya, Scopus ini sudah jadi industri. Bukan sekadar platform indeks. Ia sudah berubah jadi sistem ekonomi tersendiri. Ada jurnal yang menawarkan publikasi cepat, ada yang buka jalur khusus fast track, ada pula yang terang-terangan minta “biaya pemrosesan.” Dunia akademik pun pelan-pelan berubah jadi dunia perniagaan. Di kampus, pengetahuan diperdagangkan seperti gorengan di pinggir jalan. Bedanya, gorengan bisa dimakan.

Lucunya lagi, para dosen jadi seperti pekerja lepas di pabrik tulisan. Ada yang rela begadang seminggu penuh demi satu paper. Ada yang rela jual motor demi bayar biaya publikasi. Ada juga yang rajin ikut webinar internasional, bukan untuk menambah ilmu, tapi untuk numpang nama di proceeding. Semua ini dilakukan demi satu hal: index Scopus. Kalau Scopus adalah agama, mungkin para dosen ini sudah dianggap jamaah paling taat.

Saya pernah ikut satu seminar dosen muda. Di sana ada pembicara yang bilang, “Sekarang ini bukan lagi era siapa yang paling pintar, tapi siapa yang paling cepat publish.” Kalimat itu disambut tawa getir. Sebab semua tahu, sekarang kecepatan lebih penting daripada kedalaman. Penelitian tidak lagi tentang apa yang ditemukan, tapi di mana dimuat.

Industri ini akhirnya menciptakan lingkaran setan. Kampus menuntut dosen untuk punya publikasi internasional. Dosen pun berbondong-bondong mencari jurnal cepat terbit. Jurnal cepat terbit melihat peluang dan menaikkan tarif. Muncullah jurnal predator, yang tidak peduli isi riset, asal bayar. Dan yang lucu, kadang justru jurnal seperti inilah yang paling ramai diminati. Karena mudah, cepat, dan maaf, tidak peduli mutu.

Ada satu dosen yang saya kenal, wajahnya selalu terlihat letih tiap kali rapat. Ia bilang, “Mas, saya sampai lupa rasanya mengajar dengan tenang. Setiap kali masuk kelas, yang saya pikirkan cuma belum nulis, belum submit, belum accepted.” Dosen ini sudah lebih mirip buruh pabrik artikel. Bedanya, buruh pabrik dapat lembur. Ia tidak.

Sementara itu, mahasiswa hanya jadi penonton. Mereka melihat dosennya sibuk sendiri. Ada yang dosennya sekarang jarang datang karena lagi ngejar publikasi. Ada yang tugas akhirnya mandek karena pembimbingnya masih menunggu peer review. Dunia kampus yang dulu hidup karena interaksi kini perlahan terasa dingin. Dosen sibuk ngejar Scopus, mahasiswa sibuk ngejar dosen.

Ironisnya, sebagian besar hasil riset itu bahkan tidak pernah kembali ke masyarakat. Penelitian tentang petani yang tidak pernah dibaca petani. Kajian tentang UMKM yang tidak pernah diketahui pelaku UMKM. Paper yang ditulis dengan semangat mengubah dunia, tapi hanya berakhir di repositori kampus. Dunia akademik jadi seperti pabrik mobil yang tidak pernah mengeluarkan mobilnya ke jalan.

Kalau semua penelitian hanya berakhir pada angka-angka dan indeks, untuk apa semua ini dilakukan? Bukankah tujuan ilmu pengetahuan itu seharusnya untuk kehidupan yang lebih baik? Tapi nyatanya, sekarang kita hidup di era di mana pengetahuan hanya penting kalau bisa diindeks, bukan kalau bisa dirasakan.

Dosen yang aktif menulis di media massa sering kali dianggap “tidak ilmiah.” Dosen yang rajin terjun ke masyarakat dianggap “tidak akademis.” Padahal justru mereka yang paling banyak memberi manfaat langsung. Tapi sistem kita tidak mengukur itu. Sistem kita hanya menghitung angka sitasi, bukan dampak sosial.

Saya tidak menyalahkan Scopus sepenuhnya. Ia hanyalah alat. Masalahnya adalah cara kita memperlakukannya. Di tangan kita, Scopus berubah jadi berhala. Dihormati, ditakuti, disembah. Tapi lupa bahwa berhala, betapapun besar, tetap tidak bisa memberi makna.

Kadang saya berpikir, apa jadinya kalau Socrates atau Al-Ghazali hidup di era ini? Mungkin mereka tidak akan dianggap ilmuwan besar, karena tidak punya publikasi Scopus. Padahal ilmu mereka sudah mengubah peradaban. Mereka menulis untuk manusia, bukan untuk reviewer anonim di luar negeri yang bahkan tidak tahu mereka makan apa hari itu.

Industri ini juga menciptakan hierarki baru. Dosen yang “Scopus-nya banyak” kini dipuja seperti selebritas. Dosen yang belum punya publikasi dianggap belum matang. Padahal belum tentu. Ada banyak dosen yang mengajar dengan hati, membimbing mahasiswa sampai sukses, tapi tak pernah merasa perlu memublikasikan risetnya. Ilmunya nyata, meski tidak terindeks.

Saya pernah ditanya seorang mahasiswa, “Pak, kenapa Bapak jarang nulis Scopus?” Saya jawab santai, “Karena saya lebih suka menulis yang bisa dibaca manusia, bukan mesin.” Anak itu tertawa, mungkin tidak paham, tapi setidaknya saya lega bisa jujur. Kadang, kejujuran kecil seperti itu lebih menenangkan daripada seribu kutipan.

Masalahnya, sistem ini tidak memberi ruang bagi kejujuran semacam itu. Dosen akhirnya berpura-pura sibuk riset, padahal hanya sibuk mencari tempat publish. Mereka tidak punya waktu untuk berpikir. Mereka hanya punya waktu untuk mengejar deadline submission.

Industri ini juga menciptakan pasar baru. Ada bimbingan nulis Scopus berbayar. Ada workshop publikasi cepat. Ada lembaga yang menjual “template sukses submit.” Semua menguangkan kegelisahan dosen. Dunia akademik berubah jadi pasar malam. Penuh lampu, ramai sua22ra, tapi intinya cuma satu, jualan.

Kadang saya heran, bagaimana ilmu yang seharusnya membebaskan, kini justru menjerat para pencarinya. Dosen jadi seperti pekerja di tambang data. Menggali angka, bukan makna. Dan yang paling sedih, banyak dari mereka tidak sadar sedang dieksploitasi oleh sistem yang mereka sendiri pertahankan.

Seorang dosen senior pernah bilang pada saya, “Dulu, kami meneliti untuk menjawab pertanyaan hidup. Sekarang, kalian meneliti untuk memenuhi target kinerja.” Saya hanya bisa tertunduk. Karena beliau benar. Ilmu kini tidak lagi lahir dari rasa ingin tahu, tapi dari rasa takut tidak naik pangkat.

Saya tidak menolak publikasi internasional. Dunia memang butuh keterbukaan. Tapi yang perlu kita ingat, ilmu pengetahuan itu seharusnya bukan soal berapa kali dikutip, tapi berapa banyak hidup yang berubah karenanya. Karena sehebat-hebatnya Scopus, ia tidak pernah tahu rasanya membantu satu desa keluar dari krisis air bersih.

Kalau boleh jujur, saya rindu masa di mana dosen dikenal bukan karena jumlah sitasinya, tapi karena muridnya yang sukses. Karena di situlah sejatinya fungsi pendidikan. Bukan soal publish or perish, tapi teach and flourish.

Mungkin, sudah saatnya kita berhenti memuja Scopus dan mulai memuliakan manusia. Karena sehebat apapun artikel yang kita tulis, kalau tidak berdampak pada siapa pun di luar ruang akademik, maka semua itu tidak lebih dari karya tanpa nyawa. Dan dunia ini, sudah cukup ramai dengan karya seperti itu.

Tulisan Anindito Aditomo yang mantan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan era Menteri Nadiem Makariem tiba-tiba muncul di beranda Facebook saya. Padahal tulisan itu relatif baru di posting. Tapi kalimat pertamanya sudah membuat saya berhenti menggulir layar. Tentang pengajaran di Harvard. Tentang bagaimana dosen di sana diperlakukan bukan sebagai pengisi jadwal, tapi sebagai profesional pengajar. Dia sekarang menjadi visiting scholar di Harvard dengan dukungan Fullbright. Saya baca sampai habis. Lalu saya diam. Tulisan itu sederhana, tapi tajam.

Di Harvard, katanya, setiap dosen dibantu dua pakar pedagogi dan satu asisten teknologi. Mereka berdiskusi panjang hanya untuk menyiapkan satu mata kuliah. Di Indonesia, dosen baru sering hanya dibekali RPS semester lalu. Kadang malah tidak ada. Apalagi Silabus. Diperkenalkan ke mahasiswa, lalu diminta langsung mengajar. Seperti dilempar ke kolam dan disuruh belajar berenang sendiri.

Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Ada perbedaan yang tidak kecil di sini. Di sana, mengajar dianggap pekerjaan ilmiah. Di sini, mengajar lebih sering dianggap rutinitas. Di sana, dosen diberi waktu untuk berpikir dan merancang. Di sini, dosen berpacu dengan tenggat nilai dan absen kehadiran. Harvard memang tidak bisa dijadikan patokan tunggal, tapi perbandingan ini menelanjangi satu hal: keseriusan kita masih jauh.

Banyak dosen di Indonesia yang bekerja melebihi batas manusiawi. Mengajar 24 SKS, kadang 30. Satu dosen bisa mengampu lima hingga delapan mata kuliah di tiga program studi berbeda. Dari pagi sampai sore berpindah ruang, malamnya memeriksa tugas, lalu besoknya mengulang lagi. Kalau Anindito menulis dosen Harvard hanya mengajar dua mata kuliah setahun, dosen kita mungkin menertawakan itu sambil menguap kelelahan.

Beban mengajar seperti itu bukan hanya persoalan tenaga. Ia menggerus kualitas berpikir. Tidak ada waktu untuk meninjau metode, memperbarui materi, atau sekadar membaca literatur baru. Akibatnya, pengajaran sering stagnan. PowerPoint yang dipakai tahun lalu dipakai lagi tahun ini. Kadang bahkan masih memuat tanggal 2021.

Ruang dosen di kampus kita sering jadi pemandangan yang serupa: tumpukan kertas nilai, RPS, daftar hadir, dan laptop yang terbuka di tiga tab sekaligus. Itupun kalau punya ruang dosen. Dosen menyiapkan soal ujian sambil menjawab chat mahasiswa dan surat edaran dekanat. Semua dilakukan cepat. Tidak sempat merenungkan, apalagi mendesain pengalaman belajar yang bermakna.

Kampus sering lupa bahwa mengajar adalah inti dari universitas. Sebagian besar pendapatannya berasal dari mahasiswa. Tapi perhatiannya lebih banyak ke penelitian dan publikasi. Padahal, kampus yang baik tidak hanya menghasilkan jurnal, tapi juga menghasilkan pembelajar.

Di luar negeri, banyak universitas punya “teaching and learning center”. Tempat dosen belajar menjadi pengajar yang lebih baik. Di situ, pengajaran dianggap kegiatan akademik yang bisa diteliti, dikembangkan, dan dinilai. Di Indonesia, istilah itu masih terdengar asing. Yang lebih sering muncul adalah “beban kerja dosen” dan “angka kredit”.

Ada dosen yang ingin memperbaiki cara mengajarnya, tapi tidak tahu harus mulai dari mana. Tidak ada pelatihan. Tidak ada mentoring. Tidak ada forum untuk saling belajar. Bahkan untuk urusan dasar seperti RPS dan silabus pun sering harus dibuat sendiri setiap semester. Seharusnya ada tim khusus di prodi yang menyiapkannya. Tapi yang sering terjadi, semuanya diserahkan ke masing-masing dosen.

Struktur akademik kita seperti mesin birokrasi yang efisien di atas kertas, tapi lelah di lapangan. Dosen diminta produktif di semua lini: mengajar, meneliti, mengabdi, menulis, dan melapor. Tapi waktu tetap 24 jam. Akhirnya, yang paling dikorbankan adalah kualitas pengajaran. Karena mengajar tidak memberi nilai tambah karier secepat publikasi jurnal.

Kampus negeri besar pun menghadapi hal serupa. Dosen dengan gelar doktor tetap harus mengajar banyak SKS. Mereka masih harus bimbing skripsi, duduk di komisi, ikut rapat akreditasi, lalu menulis laporan penelitian untuk memenuhi kewajiban. Tidak ada ruang untuk refleksi pedagogis. Semua sibuk mengejar tenggat.

Beberapa kampus swasta mencoba melakukan perubahan. Mereka mulai menurunkan beban mengajar dan memberi waktu dosen untuk memperbaiki metode. Tapi jumlahnya masih minoritas. Kebanyakan kampus kecil justru bertahan dengan sistem lama: semakin banyak dosen mengajar, semakin hemat biaya operasional.

Sistem insentif dari pemerintah juga tidak membantu. Pola akreditasi dan penilaian dosen masih berbasis pada paradigma “research university”. Semua kampus dipaksa berlomba menulis jurnal internasional. Tidak peduli apakah kampus itu cocok jadi universitas riset atau universitas pengajaran. Akhirnya semua sibuk mengejar Scopus, sambil tetap harus mengajar 30 SKS.

Di tingkat kebijakan, istilah “kualitas pembelajaran” hanya muncul sebagai indikator di laporan. Tidak pernah menjadi ukuran utama dalam kenaikan jabatan. Padahal, tanpa pengajaran yang baik, riset pun tidak akan tumbuh. Mahasiswa kehilangan dasar berpikir kritis. Dosen kehilangan kesempatan untuk menularkan keilmuan secara mendalam.

Fenomena dosen yang mengajar lintas bidang juga banyak terjadi. Ada yang latar belakangnya politik, tapi harus mengajar kewirausahaan, manajemen operasi, dan metode penelitian. Semua dijalani karena kekurangan SDM. Di Harvard, satu mata kuliah dirancang tim. Di sini, satu dosen menangani tiga bidang sekaligus.

Sertifikasi dosen yang diharapkan bisa meningkatkan kualitas pengajaran, sayangnya lebih administratif dari substansial. Formulirnya panjang, lampirannya banyak, tapi isinya jarang menyinggung bagaimana mengajar dengan lebih baik. Yang diperiksa bukan kualitas proses, tapi kelengkapan berkas.

Kalimat Anindito tentang “pedagogical content knowledge” itu penting. Ia bicara soal inti yang hilang dari sistem kita. Dosen tahu ilmunya, tapi tidak selalu tahu cara mengajarkannya. Karena tidak pernah ada tempat untuk belajar itu.

Bayangkan kalau setiap kampus punya unit kecil yang fokus hanya pada pengajaran. Isinya tim lintas dosen yang membuat desain pembelajaran, modul, dan asesmen. Mereka memantau efektivitas pengajaran seperti halnya tim riset memantau publikasi. Maka dosen bisa fokus pada substansi, bukan dokumen.

Ruang kelas yang baik lahir dari dosen yang punya waktu berpikir. Tapi waktu itu sekarang habis untuk mengurus bukti fisik. Padahal, mahasiswa datang ke kampus bukan untuk melihat sertifikat akreditasi, tapi untuk belajar. Dan belajar butuh pengajar yang punya tenaga dan arah.

Ada satu universitas kecil di salah satu kota di Indonesia yang mulai meniru model “teaching improvement center”. Dosen diminta mendokumentasikan metode pengajarannya, lalu didiskusikan dalam forum. Setiap semester ada penghargaan untuk dosen dengan inovasi pembelajaran terbaik. Kecil, tapi efektif. Mahasiswa mulai lebih aktif, dosen mulai lebih bersemangat.

Perubahan seperti itu tidak butuh anggaran besar. Yang dibutuhkan hanya kemauan untuk menempatkan mengajar di posisi yang pantas. Karena selama ini, mengajar adalah pekerjaan yang paling sering dibicarakan, tapi paling jarang diperhatikan.

Beberapa rektor muda mulai sadar. Mereka mengurangi SKS dosen senior agar bisa fokus membimbing dosen muda. Tapi langkah seperti ini masih jarang. Di banyak kampus lain, dosen senior justru dibebani urusan administrasi dan jabatan struktural.

Kampus yang serius pada pengajaran tidak akan membiarkan dosennya sendirian di ruang kelas. Akan ada dukungan akademik, teknologi, dan administrasi. Akan ada evaluasi berbasis kualitas, bukan kuantitas. Tapi selama sistem insentifnya tetap seperti sekarang, semua itu akan tetap ideal di atas kertas.

Harvard mungkin terlalu jauh untuk dibandingkan. Tapi ide di baliknya tidak mahal. Menghormati profesi dosen sebagai pengajar yang butuh dukungan adalah hal yang bisa dilakukan siapa pun. Tidak perlu dana triliunan. Cukup dengan niat untuk memulai.

Dunia pendidikan kita sering sibuk mengubah kurikulum, tapi jarang memperhatikan siapa yang mengajarkannya. Padahal, kurikulum hanya sebaik orang yang menyampaikan. Dosen yang tidak punya waktu berpikir tidak akan pernah sempat berinovasi.

Kampus yang baik bukan yang punya banyak jurnal, tapi yang punya banyak mahasiswa berpikir kritis. Itu tidak akan terjadi kalau dosennya sibuk memenuhi target administratif.

Kalau suatu hari nanti pemerintah mulai menilai pengajaran dengan standar yang sama seriusnya seperti riset, mungkin arah akan berubah. Dosen akan merasa dihargai bukan karena publikasi, tapi karena keberhasilan membuat mahasiswa paham.

Membaca tulisan Anindito membuat saya sadar, kita bukan kekurangan talenta, tapi kekurangan sistem yang memanusiakan dosen. Harvard punya uang, tapi mereka juga punya kesadaran bahwa ilmu tidak bisa diajarkan dengan tenaga yang lelah.

Di ruang-ruang kampus Indonesia, ada banyak dosen baik yang masih bertahan karena idealisme. Mereka tetap masuk kelas dengan semangat, meski jamnya panjang dan bebannya berat. Mereka pantas mendapat sistem yang lebih adil.

Kalau sistem berubah, mungkin mereka akan punya waktu untuk berpikir ulang tentang cara mengajar. Tentang bagaimana mahasiswa belajar. Tentang bagaimana ilmu diturunkan dengan benar.

Dan mungkin nanti, dosen Indonesia tidak perlu iri pada Harvard. Mereka akan punya cerita sendiri. Cerita tentang kampus yang tidak lagi melupakan ruang kelas. Tentang pengajaran yang disiapkan dengan hati, bukan hanya dengan format RPS.

Mungkin saat itu, istilah “beban mengajar” bisa kita ubah menjadi “tanggung jawab mengajar”. Karena yang berat bukan jumlah SKS-nya, tapi sistem yang membuat dosen lupa pada hakikatnya sendiri: menjadi pengajar.

Empat hari terakhir ini saya tidak masuk kelas. Semua mata kuliah yang saya ajar, saya liburkan. Mahasiswa tentu senang. Mereka mengira dosennya sedang malas. Padahal sebaliknya. Saya sedang serius belajar. Bukan belajar akademik, tapi belajar hidup. Belajar tentang standar. Belajar tentang kompetensi. Saya ikut pelatihan calon asesor.

Hari pertama, saya bertemu dengan pemateri berstatus calon master asesor. Sebenarnya beliau sudah sangat pro, tapi karena soal waktu saja, beliau belum sepenuhnya menjadi master. Bulan depan ujian kompetensinya. Setelahnya beliau resmi bergelar master. Materinya tidak main-main. Langsung mengenai jantung prodi. Saya pun undang para kaprodi. Saya ingin mereka juga merasakan. Supaya teman-teman paham. Bahwa kurikulum bukan hanya soal SKS dan RPS. Tapi juga soal standar kompetensi.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)
Hari kedua sampai kelima, suasana semakin menarik. Dua master asesor datang dari Jakarta. Mereka bukan orang biasa. Yang satu pakar SDM dan otomotif. Yang satu lagi, legenda kopi Indonesia. Ya, kopi. Minuman yang sering dianggap sepele. Padahal di baliknya, ada dunia yang luas. Ada profesi. Ada standar.

Saya tidak ingin cerita banyak tentang pelatihannya. Itu bisa kapan-kapan. Yang ingin saya ceritakan sekarang adalah kopi. Kenapa? Karena kopi ternyata tidak sekadar minuman. Kopi punya dunia sendiri. Dan saya dipertemukan dengan tokoh yang menjadikan kata “barista” dikenal di Indonesia. Beliau pencipta istilah itu.

Nama beliau sudah lama malang melintang di dunia kopi. Ia menulis tujuh buku. Semua tentang kopi. Ia keliling Indonesia. Dari Aceh sampai Papua. Hanya untuk satu hal: menstandarkan kompetensi orang-orang yang hidup dari kopi. Supaya mereka punya pengakuan. Supaya profesi barista diakui sejajar dengan profesi lain.

Kenapa harus distandarkan? Pertanyaan itu juga pernah muncul di benak saya. Apa salahnya orang bikin kopi sesuai seleranya? Ternyata salah. Profesi itu harus punya dasar. Harus ada ukuran. Barista tidak boleh seenaknya. Sama seperti dokter. Sama seperti pilot. Kesalahan kecil bisa fatal.

Semalam, kami ajak beliau ke sebuah kafe di kota saya. Pemiliknya senang sekali. Masih muda dan suami istri. Jarang-jarang ada legenda kopi singgah. Kami duduk berjam-jam. Ngobrol. Sambil menyeruput kopi buatan anak-anak muda kota ini. Waktu berjalan cepat. Dua jam terasa seperti sebentar. Saya banyak belajar.

Saya bukan maniak kopi. Pernah. Tapi berhenti. Dulu saya kecanduan kopi hitam. Tanpa gula. Pahit adalah sahabat. Tapi perut saya protes. Asam lambung saya tidak bersahabat. Maka saya kurangi. Kadang masih minum. Tapi tidak setiap hari. Jadi saya tidak bisa disebut pecandu.

Namun, saya bisa melihat bagaimana legenda itu memperlakukan kopi. Ia bisa tahu jenis kopi hanya dari uapnya. Ia tahu takaran hanya dari aroma. Lidahnya peka. Hidungnya tajam. Matanya awas. Seolah semua indranya dipersembahkan untuk kopi. Tidak berlebihan kalau saya menyebutnya sebagai legenda hidup kopi Indonesia.

Beliau bahkan mendirikan lembaga yg mensertifikasikan kompetensi khusus kopi. Mungkin satu-satunya di Indonesia. Itu bukan main. Karena mendirikan lembaga semacam ini tidak gampang. Harus ada standar. Harus ada perangkat. Harus ada asesor. Tapi ia lakukan itu. Demi satu hal: supaya profesi barista punya martabat.

Barista tidak boleh dipandang rendah. Ia bukan sekadar tukang bikin kopi. Ia adalah profesi. Dengan keterampilan. Dengan standar. Dengan sertifikasi. Sama seperti pilot. Sama seperti dokter. Sama seperti insinyur. Itulah pesan yang terus ia bawa.

Saya tahu betul betapa berat membuat standar. Tidak semua orang suka. Banyak yang menganggap itu membatasi. Padahal sebaliknya. Standar bukan membatasi. Standar melindungi. Standar menjaga mutu. Standar memberi kepastian.

Kopi adalah contoh yang menarik. Lihat bagaimana dunia internasional memperlakukan kopi. Ada kompetisi barista. Ada sertifikasi internasional. Ada standar mesin. Ada ukuran biji. Semuanya diatur. Dan itu membuat industri kopi dunia maju. Tidak asal-asalan.

Di Indonesia, jalan itu baru dimulai. Masih banyak kafe yang bikin kopi tanpa ukuran. Takaran suka-suka. Penyajian asal jadi. Konsumen pun tidak tahu harus menuntut apa. Inilah yang ingin diperbaiki oleh beliau itu. Ia ingin kopi Indonesia punya standar.

Saya bisa melihat semangat itu sama dengan semangat kami di kampus. Saya juga ingin mahasiswa punya standar. Bukan sekadar lulus kuliah. Tapi lulus dengan kompetensi. Dengan sertifikat. Dengan bukti bahwa ia bisa bekerja sesuai standar. Tidak asal pintar teori.

Maka malam tadi, obrolan kami melebar. Dari kopi ke pendidikan. Dari barista ke dosen. Dari kafe ke kampus. Ternyata sama saja. Intinya: standar. Tidak ada profesi yang bisa besar tanpa standar. Tidak ada karya yang bisa dihargai tanpa ukuran.

Di kampus, banyak mahasiswa yang merasa pintar. Banyak yang yakin bisa kerja. Tapi tanpa standar, semua itu rapuh. Hanya ilusi. Sama seperti kopi tanpa takaran. Rasanya bisa enak hari ini. Besok bisa aneh. Tidak konsisten.

Saya suka semangat beliau. Ia tidak hanya menulis buku. Ia membangun sistem. Ia turun langsung ke daerah. Ia ketemu petani. Ia latih anak muda. Ia bangun lembaga. Ia lakukan apa yang orang lain hanya bicarakan.

Itulah yang membedakan orang besar. Ia tidak berhenti di kata. Ia wujudkan dalam kerja. Ia sabar. Ia konsisten. Ia tetap berjalan. Karena ia tahu, standar akan membuat profesi ini dihormati.

Saya melihat wajah-wajah anak muda di kafe malam itu. Mereka terkesima. Mereka baru tahu ada standar di balik kopi. Selama ini mereka pikir bikin kopi hanya soal rasa. Ternyata ada ilmu. Ada teknik. Ada sertifikasi. Ada kompetensi.

Mata mereka berbinar. Barangkali mereka akan lebih serius belajar. Barangkali mereka ingin sertifikasi juga. Barangkali mereka ingin jadi barista sejati. Bukan sekadar pekerja kafe. Itu harapan yang tumbuh malam itu yang bisa saya tangkap sebelum beranjak pulang.

Saya pun merasa, pertemuan itu bukan kebetulan. Saya jadi belajar banyak. Tentang kopi. Tentang standar. Tentang profesi. Tentang perjuangan. Tentang idealisme. Dan tentang arti sebuah kompetensi.

Maka, saya ingin katakan: barista dan pilot tidak ada bedanya. Sama-sama profesi. Sama-sama harus terstandar. Sama-sama butuh sertifikasi. Sama-sama butuh tanggung jawab. Hanya medianya yang berbeda.

Kopi mengajarkan saya banyak hal. Bahwa hidup ini harus punya ukuran. Bahwa kerja harus punya standar. Bahwa kompetensi harus diakui. Dan bahwa idealisme kadang harus melawan arus.

Saya pulang malam tadi dengan perasaan lain. Ada kagum. Ada hormat. Ada juga tekad. Tekad untuk membawa semangat standar itu ke kampus. Tekad untuk menjadikan mahasiswa bukan sekadar lulusan. Tapi profesional.

Hari-hari saya mungkin kembali sibuk. Kelas akan kembali jalan. Mahasiswa akan kembali ramai. Tapi pengalaman empat hari ini, dan obrolan dua jam malam itu, akan saya simpan lama. Itu pelajaran hidup.

Saya percaya, standar bukan untuk membatasi. Standar justru membebaskan. Membebaskan dari ketidakpastian. Membebaskan dari kesalahan. Membebaskan dari keraguan. Dan itu berlaku di kopi. Berlaku di kampus. Berlaku di hidup.

Dan akhirnya, saya semakin yakin. Bahwa apa yang kami lakukan di kampus melalui lembaga sertifikasi bukan formalitas. Itu perjuangan. Itu bagian dari membangun negeri. Dari barista hingga insinyur. Dari kafe hingga kampus. Semuanya butuh standar.

Karena tanpa standar, semua hanya kebetulan. Dengan standar, profesi jadi mulia. Dengan standar, kompetensi jadi nyata. Dengan standar, hidup punya arah. Dan barista pun bisa sejajar dengan pilot.
Beberapa waktu yang lalu, entah mengapa, saya terpaku pada sebuah unggahan di media sosial. Isinya adalah potongan tulisan dari seorang rektor kampus swasta besar, kampus yang umurnya hampir setua republik. Rektor ini bercerita soal pendiriannya yang sudah ia simpan dan suarakan sejak belasan tahun lalu: ia tidak setuju dengan model pemeringkatan kampus yang digagas lembaga-lembaga asing. Bukan sekali dua kali ia mengucapkan itu. Bahkan ia mengumpulkan opini-opininya di berbagai media massa, menjadikannya semacam jejak perjuangan panjang. Rasanya seperti membaca arsip seorang pejuang yang sejak lama berdiri di garis depan melawan arus besar.

Saya membacanya sambil bertanya-tanya, dari mana sebenarnya perdebatan ini bermula? Kampus swasta, dalam sejarahnya, lahir bukan dari ambisi untuk bersaing soal ranking, melainkan sebagai respon atas kebutuhan yang tidak seluruhnya mampu dipenuhi negara. Di masa awal republik, pendidikan tinggi adalah barang mewah. Pemerintah punya beban berat, membangun negara, membentuk birokrasi, memperbaiki infrastruktur, dan pada saat yang sama, mendidik rakyat. Dalam situasi seperti itu, kampus swasta menjadi penolong yang menambal kekurangan kapasitas negara.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)
Bagi mereka yang hidup di era itu, suasananya mungkin terasa heroik. Ada idealisme yang tebal. Pendiri kampus swasta membuka pintu bagi anak-anak bangsa yang tak terjangkau kampus negeri. Tak peduli gedungnya sederhana, fasilitasnya seadanya, dan dosennya bekerja ganda, tujuan mereka jelas yaitu mengangkat derajat bangsa lewat pendidikan tinggi. Saya suka membayangkan semangat masa itu seperti menyalakan lilin di tengah gelap. Nyala kecil, tapi berarti.

Namun zaman bergeser. Sekitar dua dekade terakhir, lanskap pendidikan tinggi berubah drastis. Negara yang dulu membutuhkan bantuan kampus swasta, kini memiliki kapasitas lebih besar. Kampus negeri menjamur, bahkan di kota-kota kecil yang dulu tak terbayangkan punya universitas. Bagi sebagian orang, ini kabar baik, akses pendidikan semakin merata. Tapi bagi kampus swasta, ini berarti medan persaingan berubah total. Mereka yang dulunya mitra, kini harus berhadap-hadapan sebagai pesaing.

Kondisi ini mirip dua saudara yang dulu saling menopang, lalu tiba-tiba dipaksa berebut sumber daya yang sama. Mahasiswa adalah sumber daya itu. Kalau dulu kampus swasta relatif santai menerima pendaftar, kini mereka harus berstrategi habis-habisan. Tidak ada lagi "kursi selalu penuh" seperti era 90-an. Jumlah lulusan SMA mungkin stabil, tapi pilihan mereka semakin banyak, dan tentu saja, mereka ingin yang terbaik.

Perubahan ini memunculkan satu kesadaran baru, branding kampus menjadi urusan hidup mati. Branding ini tidak hanya soal baliho besar di perempatan atau iklan digital yang muncul di layar ponsel. Branding kampus, di mata generasi sekarang, sangat dipengaruhi oleh dua indikator yang dianggap “objektif”, akreditasi dan peringkat. Dua hal yang di mata publik tampak sebagai bukti kualitas, meski kita semua tahu, realitasnya bisa jauh lebih rumit.

Akreditasi memang awalnya dimaksudkan sebagai jaminan mutu. Ia seperti sertifikat kesehatan yang memastikan rumah makan Anda bersih dan aman. Tapi dalam dunia kampus swasta, sertifikat ini punya peran tambahan yaitu sebagai senjata pemasaran. Calon mahasiswa (dan terutama orang tuanya) seringkali menjadikan nilai akreditasi sebagai penentu akhir pilihan. Tidak peduli betapa ramahnya staf administrasi atau betapa hijau pepohonan di kampus itu, jika akreditasi rendah, rasanya seperti membeli mobil tanpa rem.

Lalu ada perangkingan. Ini lebih baru, dan lebih membingungkan. Pemeringkatan kampus yang digagas lembaga-lembaga asing sering menggunakan metrik-metrik yang, kalau kita jujur, tidak selalu relevan dengan realitas kampus di daerah. Tapi angka ranking itu punya daya magis di brosur dan laman resmi kampus. “Top 500 Asia” atau “Peringkat 10 Nasional” terdengar lebih seksi daripada kalimat “Gedungnya adem, dosennya ramah”.

Maka wajar jika banyak kampus swasta memandang akreditasi dan ranking sebagai prioritas. Mereka bukan sekadar mengejar gengsi. Ini soal memastikan arus mahasiswa baru tidak terhenti. Tanpa mahasiswa, kampus swasta akan layu, bukan dalam hitungan dekade, tapi dalam hitungan tahun.

Saya teringat satu cerita dari awal 2010-an. Ada satu sistem perangkingan yang berbasis website. Salah satu indikatornya adalah jumlah backlink dan dokumen yang bisa dirayapi mesin pencari. Hasilnya? Banyak kampus swasta lalu “beternak” subdomain. Mahasiswa diberi blog pribadi di bawah domain kampus. Setiap jurusan membuat portal dokumen, dari skripsi sampai tugas kuliah, semuanya diunggah. Bagi sebagian orang, ini terlihat seperti trik murahan. Tapi bagi kampus, ini strategi bertahan hidup.

Kita bisa mencibir, tentu saja. Kita bisa bilang itu menurunkan martabat akademik. Tapi kita juga harus jujur, di pasar pendidikan tinggi yang kompetitif, bertahan kadang membutuhkan keluwesan yang tidak selalu elegan. Bagi kampus swasta, ini bukan lomba estetik. Ini maraton untuk bertahan hidup, dengan sepatu yang mungkin sudah bolong di ujungnya.

Yang menarik, di balik semua ini, ada semacam paradoks. Publik ingin pendidikan tinggi berkualitas, tapi juga menuntut biaya yang terjangkau. Kampus swasta yang berinvestasi besar untuk menaikkan akreditasi dan ranking harus mencari cara menutup biaya itu, biasanya lewat uang kuliah. Tapi jika biaya naik, mahasiswa bisa kabur ke kampus negeri yang disubsidi. Lingkaran setan ini membuat banyak kampus swasta berada di posisi sulit.

Sementara itu, lembaga pemeringkat terus mengubah indikatornya. Kadang, perubahan ini membuat kampus yang tadinya di posisi menengah tiba-tiba jatuh, bukan karena kualitasnya menurun, tapi karena rumusnya berubah. Di sisi lain, kampus yang lihai membaca tren indikator bisa naik peringkat tanpa benar-benar mengubah kualitas pembelajaran. Dunia pemeringkatan ini, kalau boleh saya bilang, separuh ilmu, separuh seni, separuh trik. Ya, saya tahu itu tiga separuh.

Kenyataan pahitnya, mahasiswa baru tidak akan membaca catatan kaki metodologi perangkingan. Mereka akan melihat angka besar di brosur. Angka itu akan masuk ke kepala orang tua mereka, mempengaruhi keputusan, dan akhirnya mempengaruhi keberlangsungan kampus. Sederhana, tapi menentukan.

Di sinilah akreditasi dan perangkingan berubah dari instrumen penjaminan mutu menjadi instrumen marketing. Di tengah persaingan yang kian ketat, dua hal ini menjadi wajah depan kampus swasta. Mungkin tidak selalu mencerminkan isi rumahnya, tapi cukup untuk membuat tamu masuk ke pintu.

Bagi kampus besar yang sudah mapan, mungkin ada kemewahan untuk mengabaikan permainan ini. Mereka punya reputasi yang dibangun puluhan tahun, jaringan alumni kuat, dan sumber daya finansial yang stabil. Tapi bagi kampus swasta menengah dan kecil, mengabaikan ranking berarti membuka pintu ke penurunan jumlah mahasiswa yang bisa berujung pada penutupan program studi, bahkan kampus.

Dan begitulah, setiap awal tahun ajaran, rapat pimpinan kampus swasta sering berubah menjadi ajang diskusi strategi menaikkan akreditasi dan ranking. Kadang terasa seperti tim sepak bola yang membicarakan strategi promosi liga, bukan pembahasan murni akademik. Tapi begitulah tuntutan zaman.

Masalahnya, publik jarang melihat sisi ini. Mereka mengira ranking hanyalah soal gengsi. Padahal di balik angka itu ada gaji dosen, beasiswa mahasiswa, listrik laboratorium, dan biaya perawatan gedung. Semua bergantung pada satu hal, apakah cukup banyak mahasiswa baru mendaftar.

Saya pikir, di sinilah letak tragisnya. Kampus swasta yang dulu lahir untuk membantu negara kini harus bersaing mati-matian dengannya. Tidak ada ruang nostalgia di pasar yang kian keras ini. Anda hanya sebaik ranking dan akreditasi terakhir Anda.

Maka saya tidak heran jika ada kampus yang rela melakukan hal-hal kreatif, kadang nekat, untuk menaikkan posisi. Ada yang membangun tim khusus SEO, ada yang mengundang dosen tamu internasional demi publikasi, ada yang menggelar lomba-lomba agar namanya sering disebut media. Semuanya diarahkan untuk menambah poin di mata lembaga pemeringkat.

Kita mungkin bertanya: apa ini tidak menggeser tujuan mulia pendidikan tinggi? Mungkin iya. Tapi itu pertanyaan yang sama seperti “apakah rumah makan yang memajang foto artis di dindingnya sedang menggeser tujuan memberi makan?” Jawabannya adalah mungkin. Tapi jika itu membuat pelanggan datang, rumah makan itu tetap bisa hidup.

Di titik ini, saya melihat akreditasi dan perangkingan sebagai semacam bahasa pasar. Ia tidak selalu adil, tidak selalu akurat, tapi selama pembeli (mahasiswa) memakainya untuk memilih, penjual (kampus) harus menguasainya. Tidak mengerti bahasa pasar sama saja dengan menutup toko di jam ramai.

Kadang, saya membayangkan: bagaimana jika sistem ini dirombak total? Jika akreditasi benar-benar hanya mengukur mutu akademik dan tidak dipublikasikan sebagai alat marketing? Jawabannya mungkin indah secara teori, tapi sulit secara praktik. Dunia nyata punya logika sendiri.

Yang pasti, kampus swasta tidak punya kemewahan untuk mengabaikannya. Mereka tidak bisa hidup hanya dari idealisme. Idealismenya harus diberi bensin, dan bensinnya datang dari mahasiswa yang mendaftar.

Dan begitu kita menyadari ini, kita akan mengerti mengapa sebuah ranking di laman resmi kampus bisa membuat rapat pimpinan bersorak atau murung. Ranking itu bukan sekadar angka. Ia adalah detak jantung kampus swasta.

Kalau kampus negeri punya infus dari negara, kampus swasta punya pompa air yang mereka putar sendiri. Setiap tetes air, setiap mahasiswa, harus mereka dapatkan dengan keringat sendiri. Dalam kondisi seperti itu, akreditasi dan perangkingan bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan pokok.

Saya rasa, inilah yang membuat unggahan sang rektor itu terasa getir. Ia melihat bagaimana sesuatu yang dulu ia tolak, kini menjadi bagian tak terpisahkan dari permainan. Seperti veteran yang menolak perang, tapi tahu anak-anaknya harus ikut jika ingin bertahan.

Mungkin di masa depan, akan ada cara lain untuk mengukur kualitas kampus yang lebih adil dan relevan. Tapi untuk saat ini, realitasnya jelas, di dunia kampus swasta, ranking dan akreditasi adalah tiket untuk bertahan hidup. Dan tiket itu mahal.
Kalau ada dua hal yang bisa bikin saya langsung kebawa ke masa kecil, itu adalah bau asap kayu bakar dan lagu-lagu mars kepanduan. Entah kenapa, setiap dengar “Satya ku kudarmakan…”, dada ini langsung hangat. Padahal, kalau dipikir-pikir, nyanyi di lapangan panas-panas sambil baris-berbaris itu nggak romantis-romantis amat. Tapi itulah kekuatan gerakan kepanduan, entah itu Hizbul Wathan atau Pramuka, mereka punya cara membekas di hati.

Hari ini, 14 Agustus, adalah Hari Pramuka. Sebagian orang mungkin cuma tahu ini sebagai momen upacara tahunan, pakai seragam cokelat, dan hormat ke bendera. Tapi bagi yang pernah merasakan masa-masa itu, ini bukan sekadar seremoni. Ini nostalgia. Ini ajang reuni tanpa undangan. Dan bagi saya, ini juga kesempatan membicarakan saudara sepupu Pramuka yang jarang disebut: Hizbul Wathan.
Ilustrasi Anggota Pramuka dan Hizbul Wathan Sedang Berkemah Bersama (Gambar : AI Generated)
Banyak yang belum tahu, Hizbul Wathan itu adalah gerakan kepanduan milik Muhammadiyah. Lahirnya bahkan lebih tua dari Pramuka Indonesia. Kalau Pramuka baru resmi dibentuk tahun 1961, Hizbul Wathan sudah berdiri sejak 1918. Waktu itu, KH Ahmad Dahlan belum sibuk diminta foto bareng presiden, tapi sudah mikir pentingnya anak muda belajar disiplin, cinta tanah air, dan siap jadi pemimpin.

Kalau diibaratkan keluarga besar, Pramuka itu sepupu populer yang sering masuk TV, sedangkan Hizbul Wathan itu sepupu alim yang rajin ngaji tapi nggak kalah jago main tali-temali. Keduanya sama-sama pandu, sama-sama suka camping, tapi punya nuansa yang sedikit berbeda. Pramuka identik dengan salam tiga jari, Hizbul Wathan salamnya satu jari ke atas, tanda tauhid. Sama-sama keren, cuma beda gaya.

Di masa sekarang, dua gerakan ini seperti dua toko kelontong yang masih bertahan di tengah gempuran minimarket 24 jam. Anak-anak sekarang lebih familiar sama game mobile dan TikTok daripada semaphore atau morse. Tapi herannya, Pramuka dan Hizbul Wathan tetap hidup. Bahkan, di beberapa sekolah, justru jadi ekstrakurikuler yang paling rame.

Saya masih ingat, dulu latihan Pramuka itu penuh aroma keringat bercampur tanah basah. Pelatihnya tegas, tapi sering bercanda. Ada yang galak banget, kalau barisnya nggak rapi bisa disuruh push-up. Tapi ada juga yang kalau capek latihan, ujung-ujungnya ngasih tebak-tebakan receh. Kalau di Hizbul Wathan, latihannya mirip, cuma ada tambahan yel-yel yang nyebut nama Allah dan pesan moral dari sirah Nabi.

Banyak orang kira kegiatan kepanduan cuma soal simpul tali dan bendera. Padahal, ada filosofi mendalam di balik itu. Mengikat tali bukan cuma biar tenda berdiri, tapi simbol bahwa hidup itu butuh simpul yang kuat: prinsip, iman, dan persaudaraan. Dan belajar kode morse itu mengajarkan bahwa komunikasi itu penting, bahkan dalam keadaan darurat sekalipun.

Yang bikin saya salut, di zaman serba digital ini, kegiatan kepanduan masih bisa bikin anak-anak mau lepas dari HP. Coba aja suruh anak SMA ikut perkemahan. Awalnya mungkin ngedumel karena sinyal susah. Tapi begitu malam api unggun, semua lupa HP. Nyanyi bareng, cerita horor, atau sekadar saling goda sambil makan mie rebus. Itu pengalaman yang nggak bisa diunduh.

Pramuka punya Dasa Dharma, Hizbul Wathan punya 10 janji pandu. Keduanya berisi nilai-nilai yang, kalau dipraktikkan, bisa bikin negara ini adem. Mulai dari takwa kepada Tuhan, cinta alam, tolong-menolong, sampai disiplin. Sederhana, tapi justru sering dilupakan orang dewasa yang katanya lebih “paham hidup”.

Bagi sebagian anak muda Muhammadiyah, Hizbul Wathan bukan sekadar ekskul, tapi jalan kaderisasi. Di situlah mereka belajar memimpin regu, membimbing adik kelas, bahkan mengatur acara besar. Di Pramuka juga sama. Coba tanya anak yang pernah jadi Ketua Dewan Ambalan, mereka pasti punya skill organisasi yang lebih rapi dari panitia konser.

Saya pernah ikut perkemahan bareng Pramuka dan Hizbul Wathan sekaligus. Rasanya kayak gabungan dua band besar main di panggung yang sama. Ada lagu Pramuka, ada mars Hizbul Wathan. Ada salam tiga jari, ada satu jari. Tapi suasananya akur-akur aja. Karena pada dasarnya, misi mereka sama: membentuk generasi yang tangguh, berkarakter, dan siap melayani.

Yang menarik, seragam mereka pun punya cerita. Seragam Pramuka cokelat muda-cokelat tua itu terinspirasi warna tanah, lambang kesederhanaan. Seragam Hizbul Wathan biasanya hijau tua-hijau muda, simbol kesuburan dan kehidupan. Dua-duanya mengajarkan cinta alam lewat warna yang mereka pakai di badan. Ini semacam fashion statement yang nggak lekang waktu.

Kalau di Pramuka ada tingkatan Siaga, Penggalang, Penegak, dan Pandega, di Hizbul Wathan ada Athfal, Pengenal, Penghela, dan Penuntun. Namanya beda, tapi filosofinya sama: tumbuh bertahap, belajar dari yang kecil sampai mandiri. Hidup itu memang seperti perjalanan kepanduan, selalu ada tingkat berikutnya yang harus dicapai.

Yang kadang bikin saya tertawa sendiri adalah tradisi lomba-lomba. Dari lomba pionering sampai jelajah rute. Ada yang saking semangatnya bikin menara tali, malah roboh sebelum dinilai. Ada juga yang waktu jelajah malah nyasar ke kebun warga dan pulang bawa pisang. Tapi semua itu jadi cerita yang diceritakan ulang bertahun-tahun kemudian.

Di Hari Pramuka ini, saya rasa penting mengingat bahwa gerakan kepanduan bukan cuma warisan masa lalu. Ini investasi masa depan. Kalau anak-anak sekarang bisa disiplin bangun pagi untuk apel, mereka mungkin akan terbiasa tepat waktu di dunia kerja. Kalau mereka terbiasa menolong teman satu regu, kelak mereka nggak akan cuek sama tetangga.

Hizbul Wathan dan Pramuka juga punya kesamaan dalam hal menanamkan rasa nasionalisme. Bukan nasionalisme teriak-teriak, tapi yang tenang dan konsisten. Menghormati bendera, menjaga lingkungan, menghargai keberagaman. Nilai-nilai ini justru terasa mahal di era medsos yang penuh debat kusir.

Bagi saya pribadi, perkemahan adalah puncak dari semua kegiatan kepanduan. Di sanalah semua teori diuji: simpul tali, masak-memasak, kerjasama tim. Dan anehnya, di sanalah juga banyak kisah cinta monyet lahir. Entah kenapa, obor dan api unggun punya efek dramatis buat anak remaja. Pramuka atau Hizbul Wathan, semua pernah ngalamin.

Saya yakin, kalau KH Ahmad Dahlan masih hidup, beliau akan senyum melihat Hizbul Wathan masih eksis. Begitu juga Bapak Pandu Indonesia, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, pasti bangga lihat Pramuka tetap kokoh. Karena di tengah semua perubahan zaman, dua gerakan ini masih setia pada misinya.

Yang perlu kita pikirkan sekarang adalah bagaimana membuat kepanduan relevan untuk generasi yang tumbuh dengan Netflix dan Instagram. Tantangannya besar, tapi bukan berarti mustahil. Bayangkan kalau pionering di-update jadi bikin instalasi seni dari bambu, atau jelajah alam dilengkapi tantangan foto Instagramable. Anak-anak pasti makin semangat.

Saya pernah lihat latihan gabungan Pramuka dan Hizbul Wathan di sebuah lapangan desa. Dari jauh, kelihatan kayak dua kelompok suporter bola yang berbeda atribut. Tapi saat nyanyi lagu “Satu Nusa Satu Bangsa”, semua larut. Bulu kuduk merinding. Rasanya, inilah Indonesia yang kita mau: berbeda tapi satu tujuan.

Di kampus Muhammadiyah, Hizbul Wathan sering jadi kegiatan wajib bagi mahasiswa baru. Awalnya banyak yang malas, tapi ujung-ujungnya kangen. Karena di situlah mereka kenal teman-teman baru, belajar baris-berbaris, dan merasakan serunya yel-yel bareng. Ada energi kolektif yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.

Pramuka juga punya efek yang sama di sekolah-sekolah negeri. Banyak yang mengaku awalnya ikut karena diwajibkan, tapi akhirnya ketagihan. Mungkin karena di situ mereka merasa punya peran. Menjadi bagian dari regu, memegang bendera, atau bahkan sekadar jaga tenda. Semua bikin merasa dibutuhkan.

Kalau ada yang bilang gerakan kepanduan itu ketinggalan zaman, saya akan bilang: tunggu dulu. Justru di zaman yang serba instan ini, latihan kesabaran, kerjasama, dan kemandirian itu mahal. Dan kepanduan menawarkan semua itu dalam paket lengkap. Gratis pula, kecuali iuran makan mie instan di perkemahan.

Hizbul Wathan dan Pramuka juga mengajarkan kepemimpinan yang membumi. Pemimpin regu nggak cuma nyuruh-nyuruh, tapi ikut gotong royong. Pemimpin sejati adalah yang mau tidur di tenda bocor bersama anggotanya, bukan yang kabur ke tenda panitia. Ini pelajaran yang bahkan bos-bos kantoran pun kadang lupa.

Banyak alumni kepanduan yang sukses di berbagai bidang. Ada yang jadi guru, tentara, pengusaha, bahkan pejabat. Dan kalau ditanya rahasianya, banyak yang bilang: mental dan disiplin yang dibentuk sejak jadi pandu. Rupanya, ilmu mendirikan tenda di tengah hujan ada hubungannya dengan mendirikan bisnis di tengah krisis.

Kadang, saya membayangkan jika Pramuka dan Hizbul Wathan bikin jambore nasional gabungan. Bayangkan ribuan tenda dengan warna berbeda berdiri berdampingan. Yel-yel bersahut-sahutan. Malam api unggun diakhiri dengan lagu kebangsaan yang dinyanyikan bersama. Itu pasti jadi momen persatuan yang luar biasa.

Di Hari Pramuka ini, mari kita ingat bahwa kepanduan adalah tentang membentuk manusia. Bukan sekadar pintar membuat simpul, tapi juga tahu kapan harus mengendurkan ikatan. Bukan cuma pandai memimpin barisan, tapi juga peka terhadap yang tertinggal di belakang. Itulah jiwa sejati pandu.

Kalau ditanya apa bedanya Hizbul Wathan dan Pramuka, saya akan jawab: sama-sama mendidik, sama-sama membentuk karakter, cuma punya aksen yang berbeda. Seperti dua lagu dari genre yang sama tapi liriknya beda. Dan seperti musik, semakin banyak kita dengar, semakin kaya pengalaman kita.

Akhir kata, saya ingin mengucapkan Selamat Hari Pramuka untuk semua pandu di negeri ini. Baik yang berseragam cokelat maupun hijau, yang salamnya tiga jari maupun satu jari. Teruslah menyalakan api semangat, karena generasi ini butuh teladan. Dan semoga, 10-20 tahun lagi, masih ada anak-anak yang bangga bilang, “Saya ini bekas pandu.”


Di tengah hiruk-pikuk dunia bisnis yang berubah lebih cepat dari kecepatan informasi, kita masih menyaksikan sesuatu yang paradoks. Di satu sisi, perusahaan besar dan startup digital menghadapi disrupsi teknologi, perubahan perilaku konsumen, dan tuntutan keberlanjutan yang tak bisa ditawar. Di sisi lain, kampus-kampus bisnis, termasuk yang bergengsi, masih mengajarkan manajemen seperti tahun 1980-an. Saya tidak bermaksud merendahkan. Tapi fakta ini tak bisa diabaikan: kita sedang mencetak lulusan untuk dunia yang sudah tidak ada.

Perguruan tinggi, khususnya program studi manajemen, harus berani mengakui bahwa model lama sudah tidak cukup. Konsentrasi pemasaran dan SDM yang dulu dianggap inti, kini terasa seperti pakaian usang yang dipaksakan untuk dikenakan di tubuh yang telah berubah bentuk. Bukan berarti dua bidang itu tidak penting. Tapi cara kita mengajarkannya, terlalu teoretis, terlalu linier, terlalu terpisah dari realitas digital telah membuatnya kehilangan daya tembus.
Ilustrasi Reformasi Studi Manajemen (Gambar : AI Generated)
Bayangkan seorang lulusan manajemen yang bisa menjelaskan teori 4P secara sempurna, tapi bingung saat diminta membuat kampanye iklan di TikTok. Atau mahasiswa yang hafal teori motivasi Maslow, tapi tak tahu bagaimana mengelola tim remote yang bekerja dari Bali, Jakarta, dan Toronto. Ini bukan soal kurang pintar. Ini soal kurikulum yang gagap merespons zaman.

Dunia bisnis hari ini bukan lagi tentang siapa yang punya produk terbaik atau tim terbesar. Dunia bisnis sekarang adalah tentang siapa yang paling cepat belajar, paling cepat beradaptasi, dan paling cepat mengintegrasikan teknologi ke dalam DNA organisasinya. Di sinilah letak kegagalan sistem pendidikan kita. Kita masih mengajarkan manajemen sebagai ilmu yang statis, padahal ia harus diajarkan sebagai seni berubah.

Saya beberapa kali bertemu dengan pemimpin perusahaan yang mengeluhkan kualitas lulusan. Bukan karena mereka tidak pintar, tapi karena mereka tidak siap. Mereka butuh pelatihan berbulan-bulan sebelum bisa memberi kontribusi nyata. Ini bukan kegagalan mahasiswa. Ini kegagalan sistem. Kita terlalu sibuk mempertahankan tradisi, hingga lupa bahwa tujuan utama pendidikan adalah relevansi.

Transformasi kurikulum bukan lagi pilihan. Ia adalah keharusan. Kita tidak bisa terus-menerus memperbaiki kapal di tengah badai. Kita harus merancang kapal baru. Kapal yang ringan, lincah, dan bisa berlayar di ombak digital. Dan kampus, khususnya prodi manajemen, harus menjadi galangan kapal tempat kapal-kapal baru itu dibangun.

Dalam konteks inilah, dua konsentrasi lama, pemasaran dan SDM, harus direvitalisasi secara radikal. Bukan sekadar menambah satu dua mata kuliah digital. Tapi merombak total paradigma. Kita tidak butuh ahli pemasaran yang hanya bisa membuat brosur. Kita butuh desainer pengalaman pelanggan yang memahami algoritma, data, dan emosi manusia secara bersamaan.

Demikian pula dengan SDM. Dunia kerja bukan lagi tentang rotasi jabatan atau penilaian kinerja tahunan. Dunia kerja sekarang adalah tentang pengalaman manusia, kesejahteraan mental, dan kemampuan beradaptasi. HR tidak lagi menjadi fungsi administratif, tapi menjadi arsitek budaya organisasi di tengah ketidakpastian.

Maka dari itu, saya menawarkan dua konsentrasi baru yang bukan sekadar ganti nama, tapi perubahan mendasar dalam cara berpikir. Pertama, Digital Business & Innovation Management. Ini bukan pemasaran yang dipoles digital. Ini adalah pendekatan menyeluruh terhadap bisnis di era platform, ekosistem, dan data-driven decision making. Di sini, mahasiswa belajar bukan hanya bagaimana menjual, tapi bagaimana menciptakan nilai baru melalui inovasi.

Kedua, People & Organizational Transformation. Ini bukan SDM yang diperluas. Ini adalah disiplin baru yang menggabungkan psikologi, teknologi, dan strategi untuk membangun organisasi yang tangguh. Di sini, mahasiswa belajar bagaimana memimpin perubahan, merancang pengalaman kerja, dan membangun kepemimpinan adaptif.

Kedua konsentrasi ini lahir dari kenyataan bahwa bisnis modern tidak lagi berjalan dalam silo. Pemasaran tidak bisa berdiri sendiri tanpa data operasi. SDM tidak bisa berjalan tanpa dukungan teknologi. Maka, kurikulum harus dirancang secara integratif. Setiap mata kuliah harus memiliki benang merah yang menghubungkan fungsi-fungsi bisnis dalam satu kesatuan yang utuh.

Salah satu kunci dari transformasi ini adalah literasi data. Bukan berarti setiap mahasiswa manajemen harus jadi data scientist. Tapi mereka harus mampu membaca data, memahami insight, dan mengambil keputusan berbasis bukti. Dalam dunia di mana gut feeling tidak lagi cukup, data adalah bahasa baru manajemen.

Maka, mata kuliah seperti Analitik Bisnis untuk Pengambilan Keputusan harus menjadi inti kurikulum. Mahasiswa tidak hanya belajar statistik, tapi juga cara menggunakan tools seperti Power BI, Google Analytics, atau SQL dasar. Mereka harus bisa mengubah angka menjadi cerita, dan cerita menjadi aksi.

Tapi jangan salah sangka. Ini bukan ajakan untuk menghilangkan sisi manusiawi dari manajemen. Justru sebaliknya. Semakin digital dunia ini, semakin dibutuhkan sentuhan manusia. Kita butuh pemimpin yang tidak hanya pintar secara teknis, tapi juga empatik, inklusif, dan berintegitas. Maka, etika dan keberlanjutan harus menjadi tulang punggung kurikulum.

Mata kuliah seperti Etika Bisnis & Keberlanjutan tidak boleh menjadi pelengkap yang ditempatkan di semester akhir. Ia harus menjadi lensa yang digunakan untuk melihat setiap aspek bisnis. Dari strategi pemasaran hingga keputusan rekrutmen, dari inovasi produk hingga manajemen rantai pasok, semua harus dievaluasi dari sudut pandang ESG: lingkungan, sosial, dan tata kelola.

Di sinilah letak keunikan lulusan manajemen masa depan. Mereka bukan sekadar operator bisnis. Mereka adalah penyeimbang. Mereka tahu bagaimana mengejar profit, tapi juga tahu batasnya. Mereka paham teknologi, tapi tidak terjebak di dalamnya. Mereka mampu berpikir sistemik, tapi tetap peduli pada individu.

Kita juga harus berhenti mengajar manajemen sebagai ilmu yang netral. Dunia bisnis adalah arena konflik nilai. Antara efisiensi dan keadilan. Antara pertumbuhan dan keberlanjutan. Antara inovasi dan etika. Mahasiswa harus dilatih untuk berdebat, merenung, dan membuat keputusan dalam ketegangan ini. Bukan dengan memberi jawaban, tapi dengan membuka pertanyaan.

Salah satu cara terbaik untuk melakukannya adalah melalui project-based learning. Mahasiswa tidak boleh hanya menulis esai atau ujian akhir. Mereka harus bekerja pada proyek nyata: membantu UMKM go digital, merancang strategi transformasi untuk perusahaan menengah, atau membuat program kesejahteraan karyawan untuk startup.

Dalam proyek-proyek ini, mahasiswa dari dua konsentrasi, Digital Business dan People Transformation, harus bekerja bersama. Karena di dunia nyata, masalah bisnis tidak datang dalam kotak terpisah. Ketika sebuah perusahaan ingin go digital, itu bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal orang. Bagaimana mempersiapkan karyawan? Bagaimana mengubah budaya? Siapa yang akan memimpin perubahan?

Kolaborasi ini harus dipupuk sejak awal. Kita butuh kurikulum yang memaksa mahasiswa keluar dari zona nyaman disiplin mereka. Seorang calon ahli inovasi harus belajar psikologi perubahan. Seorang calon pemimpin organisasi harus memahami dasar-dasar algoritma. Ini bukan multitasking. Ini adalah multi-intelligence.

Dan di tengah semua ini, kampus harus berhenti menjadi menara gading. Kita harus membuka pintu lebar-lebar untuk industri. Bukan hanya untuk magang atau rekrutmen, tapi untuk menjadi mitra dalam merancang kurikulum. Advisory board dari dunia usaha bukan sekadar formalitas. Ia harus menjadi mekanisme penyeimbang agar kampus tidak terjebak dalam ilusi akademik.

Saya masih ingat ketika mendengar seorang dosen di satu kampus berkata, “Kami tidak boleh terlalu mengikuti industri, nanti kita kehilangan otoritas akademik.” Saya menghormati sikap itu. Tapi saya juga bertanya: otoritas untuk apa? Jika otoritas itu hanya menghasilkan lulusan yang tidak dibutuhkan, maka otoritas itu hampa makna.

Kita butuh keseimbangan. Akademik yang kuat, tapi relevan. Teori yang mendalam, tapi bisa diterapkan. Penelitian yang rigor, tapi menjawab masalah nyata. Inilah yang saya sebut sebagai relevance with rigor.

Salah satu cara mewujudkannya adalah dengan mengintegrasikan sertifikasi industri ke dalam kurikulum. Mahasiswa tidak hanya lulus dengan IPK, tapi juga dengan portofolio dan sertifikasi nyata: Google Analytics, Meta Blueprint, HR Analytics dari edX, atau Scrum Fundamentals. Ini bukan kompromi. Ini adalah jembatan.

Dan jangan lupa, soft skills tetap penting. Bahkan lebih penting. Di era di mana mesin bisa menggantikan pekerjaan teknis, yang tidak bisa digantikan adalah empati, kreativitas, dan kemampuan berkolaborasi. Maka, mata kuliah seperti Leadership & Team Collaboration harus menjadi wajib, bukan pilihan.

Kita juga harus mengubah cara mengajar. Dosen tidak lagi menjadi satu-satunya sumber ilmu. Mereka harus menjadi fasilitator, mentor, dan pembuka jalan. Metode ceramah harus dikurangi. Diskusi, simulasi, dan experiential learning harus diperbanyak. Dunia sudah berubah dari push ke pull, mahasiswa mencari ilmu, bukan menunggu diberi.

Peran dosen pun berubah. Mereka tidak hanya dinilai dari jumlah publikasi, tapi juga dari dampak nyata mereka terhadap mahasiswa dan masyarakat. Seorang dosen yang berhasil membimbing mahasiswa menciptakan startup yang menyerap puluhan tenaga kerja, layak dihargai setara dengan yang menulis jurnal internasional.

Akhirnya, kita harus berani mengukur keberhasilan kurikulum bukan dari angka-angka, tapi dari cerita. Cerita tentang lulusan yang mampu mengubah nasib UMKM. Cerita tentang pemimpin muda yang membawa perusahaan keluarga go digital. Cerita tentang HR yang merancang kebijakan kerja yang manusiawi di tengah tekanan profit.

Karena pada akhirnya, manajemen bukan ilmu tentang mengelola uang atau mesin. Ia adalah ilmu tentang mengelola manusia. Dan manusia tidak bisa dikelola dengan formula kaku. Ia butuh keberanian, kebijaksanaan, dan visi.

Maka, kampus harus berhenti menjadi pabrik gelar. Kita harus menjadi taman tempat benih-benih pemimpin masa depan ditanam, dirawat, dan dilepaskan ke dunia dengan keyakinan bahwa mereka siap, bukan hanya untuk bekerja, tapi untuk memimpin, mengubah, dan memberi makna.

Revolusi manajemen tidak dimulai di ruang rapat direksi. Ia dimulai di kelas kuliah. Di tangan dosen yang berani berubah. Di meja mahasiswa yang berani bertanya. Di hati para pemimpin kampus yang berani mengambil risiko.

Kita tidak butuh lebih banyak manajer. Kita butuh lebih banyak pemimpin. Dan pemimpin itu harus lahir dari kampus yang berani meninggalkan masa lalu, bukan dari sisa-sisa era industri yang sudah usang.

Jika tidak sekarang, kapan lagi?

Kita hidup di zaman yang tidak memberi ruang bagi yang ragu. Dunia bisnis tidak menunggu. Teknologi tidak berhenti. Konsumen tidak setia. Dan generasi muda tidak sabar.

Maka, ayo kita ubah. Bukan hanya kurikulum. Tapi mindset. Bukan hanya struktur. Tapi semangat. Bukan hanya metode. Tapi tujuan.

Karena manajemen yang baik bukan yang mengikuti zaman. Tapi yang menciptakan zaman. Dan kampus, khususnya prodi manajemen, harus menjadi tempat di mana zaman baru itu dimulai.

Bukan dengan teriakan revolusi. Tapi dengan langkah-langkah nyata: merombak kurikulum, melatih dosen, membuka diri pada industri, dan menempatkan manusia sebagai pusat dari segala keputusan.

Kita tidak sedang berbicara tentang perbaikan. Kita sedang berbicara tentang transformasi. Dan transformasi selalu dimulai dari satu keberanian: mengakui bahwa yang lama sudah tidak cukup.

Sekarang, saatnya kita membuktikan bahwa pendidikan manajemen di Indonesia bisa menjadi teladan, bukan penonton. Karena masa depan bisnis kita, ditentukan oleh kualitas pemimpin yang kita lahirkan hari ini.

Dan pemimpin itu sedang duduk di kelas. Menunggu guru yang berani mengajaknya melompat ke masa depan.
Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • HARGA SEBUAH KOMPETENSI
  • BENGKULU MACET [TANPA] KENDARAAN
  • DOSEN DAN INDUSTRI INDEX JURNAL
  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • APA ITU BEM SI, BEM NUSANTARA, DAN BEM-BEM LAINNYA?

Ramadhan Bercerita

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar