Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami

Praktik kementerian teknis mendirikan dan mengelola perguruan tinggi sendiri telah menjelma menjadi fenomena sistemik yang secara diametral bertentangan dengan prinsip pengelolaan pendidikan tinggi yang terintegrasi. Dalam konstruksi ideal sistem pendidikan nasional, Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) seharusnya menjadi garda terdepan dan satu-satunya otoritas pengelola pendidikan tinggi. Namun realitas yang terjadi justru menunjukkan wajah buram fragmentasi pendidikan, di mana setidaknya 20 kementerian/lembaga non-pendidikan - berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2018 - dengan leluasa mengoperasikan 179 perguruan tinggi secara tersebar dan tidak terkoordinasi.

Fenomena ini tidak hanya menciptakan inefisiensi sistemik, tetapi juga melahirkan paradoks dalam pembangunan sumber daya manusia. Di satu sisi, pemerintah gencar mendorong program Merdeka Belajar Kampus Merdeka yang mengedepankan fleksibilitas dan kolaborasi multidisiplin. Di sisi lain, praktik kementerian teknis yang mengelola perguruan tinggi sendiri justru menciptakan sekat-sekat disipliner yang kaku dan sempit. Lulusan yang dihasilkan seringkali terkungkung dalam paradigma sektoral sempit, kurang mampu beradaptasi dengan dinamika pasar kerja yang semakin kompleks dan interdependen.

Distribusi perguruan tinggi antar kementerian menunjukkan pola yang timpang dan tidak proporsional. Kementerian Kesehatan dengan 37 perguruan tinggi, Kementerian Perindustrian (18), Pertanian (12), Kelautan dan Perikanan (11), hingga Perhubungan (11) - semua menunjukkan betapa ego sektoral telah mengalahkan pertimbangan pedagogis yang lebih holistik. Yang lebih memprihatinkan, lembaga-lembaga dengan domain sangat spesifik seperti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) hingga Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pun merasa perlu memiliki perguruan tinggi sendiri. Pertanyaan mendasarnya: apakah pembangunan perguruan tinggi oleh kementerian teknis ini benar-benar dilandasi kebutuhan pembangunan SDM, atau sekadar menjadi proyek prestisius dan alat memperbesar anggaran?

Motif pendirian perguruan tinggi oleh kementerian teknis perlu dikritisi secara mendalam. Setidaknya terdapat tiga faktor utama yang menjadi pendorong: pertama, alokasi anggaran khusus yang tidak kecil; kedua, kendali penuh atas kurikulum dan sistem rekrutmen; ketiga, citra sebagai pembangun SDM unggul. Namun ironisnya, di balik gembar-gembor pembangunan SDM spesifik tersebut, banyak dari institusi ini justru memiliki kualitas yang jauh di bawah standar perguruan tinggi negeri. Data akreditasi tahun 2021 menunjukkan 60% perguruan tinggi kementerian berada di peringkat B dan di bawahnya dalam penilaian BAN-PT.

Ilustrasi Pendidikan Tinggi (Gambar : GeneratedAI)

Masalah inefisiensi sistemik terlihat nyata dalam duplikasi program studi yang tidak perlu. Ambil contoh Politeknik Penerbangan Indonesia di bawah Kementerian Perhubungan dan Program Studi Teknik Penerbangan di Institut Teknologi Bandung (ITB). Keduanya menghasilkan lulusan dengan kompetensi serupa, namun dengan biaya dan kualitas yang berbeda signifikan. Biaya pendidikan per mahasiswa di politeknik kementerian ternyata 40-60% lebih tinggi dibanding PTN, sementara tingkat serapan lulusannya di pasar kerja justru lebih rendah 20-30%. Ini menunjukkan betapa model pengelolaan yang terfragmentasi telah menciptakan pemborosan sumber daya yang tidak kecil.

Kualitas lulusan juga menjadi persoalan serius. Survei pada tahun 2023 menunjukkan 72% lulusan politeknik Kementerian Perhubungan bekerja di lingkungan Kemenhub sendiri, sementara hanya 15% yang mampu bersaing di pasar kerja yang lebih luas. Ini mencerminkan kompetensi sempit yang tidak sesuai dengan kebutuhan era disrupsi, di mana fleksibilitas dan kemampuan adaptasi menjadi kunci utama.

Persoalan kurikulum di perguruan tinggi kementerian juga patut mendapat sorotan kritis. Sebuah studi pada tahun 2022 menemukan bahwa 70% sekolah kedinasan masih menggunakan modul pembelajaran yang sama selama 10-15 tahun terakhir. Padahal, laporan Bank Dunia (2021) memproyeksikan bahwa 65% pekerjaan di masa depan akan membutuhkan keterampilan baru yang belum diajarkan dalam kurikulum-kurikulum lama tersebut. Ketertinggalan ini semakin memperlebar kesenjangan antara dunia pendidikan dengan kebutuhan industri.

Tata kelola perguruan tinggi kementerian juga menunjukkan banyak kelemahan struktural. Audit pada tahun 2022 mengungkap bahwa 45% anggaran digunakan untuk belanja pegawai, sementara hanya 20% yang dialokasikan untuk pengembangan akademik. Rasio dosen-mahasiswa yang mencapai 1:47 juga jauh di bawah standar SN-Dikti yang menetapkan 1:25. Ini menunjukkan salah urus dalam pengelolaan pendidikan tinggi.

Di tengah kompleksitas masalah ini, kita bisa belajar dari praktik baik di Taiwan. Laporan Ministry of Education Taiwan (2021) menunjukkan bagaimana Universitas Kepolisian tetap berada di bawah kementerian pendidikan, sementara kepolisian hanya memberikan masukan kurikulum. Hasilnya, lulusannya diakui secara nasional dan memiliki fleksibilitas untuk bekerja di berbagai sektor. Model ini membuktikan bahwa spesialisasi tidak harus berarti pengkotak-kotakan.

Solusi mendesak yang diperlukan adalah konsolidasi sistemik dengan pendekatan bertahap namun pasti. Pertama, pengalihan seluruh perguruan tinggi kementerian ke bawah Kemendiktisaintek dengan tetap melibatkan kementerian teknis sebagai stakeholder kurikulum. Kedua, merger institusi sejenis - misalnya dengan menggabungkan 11 politeknik Kementerian Perhubungan menjadi 3-4 politeknik unggulan. Ketiga, penghapusan bertahap perguruan tinggi yang tidak memenuhi standar melalui integrasi dengan perguruan tinggi negeri terdekat.

Reformasi sistem rekrutmen juga menjadi krusial. Sistem seleksi harus benar-benar transparan dan berbasis meritokrasi murni, bukan "warisan jabatan" yang selama ini terjadi. Penerapan kuota minimal 40% untuk mahasiswa dari keluarga kurang mampu - sebagaimana diatur dalam Permendikbud No. 6 Tahun 2021 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru - bisa menjadi langkah awal memutus siklus feodalisme pendidikan.

Pada level kebijakan, revisi UU Pendidikan Tinggi diperlukan untuk mempertegas otoritas Kemendiktisaintek. Kementerian teknis seharusnya berperan sebagai "pemangku kepentingan" yang memberikan masukan kebutuhan sektoral, bukan sebagai operator pendidikan. Model kolaborasi seperti di Belanda patut diadopsi, di mana akademi kepolisian tetap berada di bawah kementerian pendidikan tetapi kurikulumnya dirancang bersama kepolisian.

Dari sisi anggaran, konsolidasi dana pendidikan akan menciptakan efisiensi yang signifikan. Alih-alih tersebar di 179 perguruan tinggi kementerian, anggaran bisa dipusatkan untuk meningkatkan kualitas 50-60 perguruan tinggi negeri/swasta unggulan. Pengalaman integrasi 7 akademi pemerintah ke perguruan tinggi negeri pada tahun 2002 telah membuktikan hasil positif: dalam 5 tahun, akreditasinya naik dari B ke A.

Penguatan sistem sertifikasi kompetensi nasional juga menjadi keharusan. Daripada mengandalkan ijazah kedinasan yang bernuansa sektoral, lebih baik mengembangkan standar kompetensi nasional yang diakui semua sektor. Model pendidikan vokasi Jerman melalui sistem "dual education" bisa menjadi inspirasi dalam membangun mekanisme pengakuan kompetensi yang lebih fleksibel.

Pembenahan tata kelola menjadi prasyarat mutlak untuk mewujudkan transformasi ini. Rekomendasi OECD (2020) tentang perlunya badan independen yang mengawasi standar pendidikan tinggi secara nasional patut dipertimbangkan. Badan ini harus memiliki kewenangan penuh untuk mengevaluasi dan menertibkan perguruan tinggi, terlepas dari kementerian pembinanya.

Pada akhirnya, yang dibutuhkan adalah keberanian politik untuk melakukan reformasi struktural yang mendalam. Pendidikan tinggi adalah investasi strategis bangsa yang terlalu penting untuk dikotak-kotakkan oleh ego sektoral dan kepentingan jangka pendek. Dengan sistem yang terintegrasi, berkeadilan, dan berorientasi pada kebutuhan masa depan, Indonesia dapat menghasilkan sumber daya manusia unggul yang tidak hanya menguasai bidang spesifik, tetapi juga memiliki wawasan holistik dan kemampuan adaptasi tinggi. Inilah tantangan besar yang harus kita jawab bersama jika ingin pendidikan tinggi Indonesia benar-benar menjadi lokomotif kemajuan bangsa.

Sebagai penguji skripsi, mereka melakukan penilaian menyeluruh melalui pendekatan bertahap. Proses evaluasi dimulai dengan memeriksa elemen-elemen kunci yang menjadi indikator awal kualitas sebuah karya ilmiah. Berikut penjabaran mendetail mengenai aspek-aspek yang menjadi fokus penilaian:

1. Kelengkapan dan Kualitas Referensi

Daftar referensi merupakan cerminan dari kedalaman studi literatur yang dilakukan penulis. Penguji akan melihat apakah sumber-sumber yang digunakan mencakup karya-karya fundamental dalam bidang ilmu terkait. Referensi yang baik tidak hanya terbatas pada textbook, tetapi juga meliputi jurnal ilmiah terkini dan sumber-sumber primer lainnya. Keseimbangan antara sumber klasik dan kontemporer menjadi indikator bahwa penulis telah melakukan tinjauan literatur yang komprehensif.

Ilustrasi (Gambar : GeneratedAI)

Aspek teknis penyusunan referensi juga mendapat perhatian khusus. Konsistensi dalam format penulisan menunjukkan kedisiplinan akademik penulis. Penguji akan memeriksa apakah seluruh sitasi dalam teks sesuai dengan daftar referensi, serta apakah format penulisan mengikuti pedoman yang berlaku. Kesalahan dalam penulisan referensi seringkali mengindikasikan kelalaian dalam aspek-aspek lain yang lebih substantif.

Kualitas referensi juga dinilai dari relevansi dan otoritas sumber yang digunakan. Penguji akan memperhatikan apakah referensi yang dipilih benar-benar mendukung argumen dalam skripsi, atau sekadar menjadi hiasan belaka. Dominasi sumber-sumber sekunder yang tidak akademis, atau ketergantungan berlebihan pada satu dua sumber saja, dapat mengurangi kredibilitas karya ilmiah tersebut.

2. Presisi dan Relevansi Judul

Judul skripsi merupakan gerbang pertama yang membuka pemahaman terhadap keseluruhan penelitian. Sebuah judul yang baik harus mampu menggambarkan esensi penelitian secara tepat tanpa menjadi terlalu umum atau terlalu sempit. Penguji akan menilai apakah judul sudah mencerminkan variabel-variabel kunci yang diteliti serta konteks penelitian yang spesifik.

Kesesuaian antara judul dengan konten penelitian menjadi fokus evaluasi berikutnya. Tidak jarang ditemukan ketidakselarasan antara judul yang terlalu ambisius dengan pembahasan yang sebenarnya lebih terbatas. Judul yang ideal harus mampu menjadi "janji akademik" yang kemudian ditepati dalam pembahasan di seluruh bab skripsi.

Aspek kebaruan dan orisinalitas juga tercermin dalam pemilihan judul. Penguji akan melihat apakah judul sudah menunjukkan kontribusi unik dari penelitian tersebut terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Judul yang hanya mengulang penelitian-penelitian sebelumnya tanpa menawarkan perspektif baru cenderung kurang menarik secara akademik.

3. Kematangan Penyajian Abstrak

Abstrak yang baik berfungsi sebagai peta miniatur yang menggambarkan lanskap keseluruhan penelitian. Penguji akan mengevaluasi apakah abstrak sudah mencakup elemen-elemen penting seperti latar belakang, tujuan, metode, temuan, dan implikasi penelitian. Kelengkapan unsur-unsur ini menunjukkan kedewasaan penulis dalam menyajikan karya ilmiah.

Kejelasan ekspresi dan presisi bahasa dalam abstrak menjadi indikator kualitas berikutnya. Abstrak yang ditulis dengan kalimat-kalimat panjang dan berbelit-belit seringkali menyulitkan pemahaman. Sebaliknya, penyajian yang ringkas namun padat makna menunjukkan kemampuan penulis dalam mengkomunikasikan ide-ide kompleks secara efektif.

Konsistensi antara abstrak dengan isi skripsi merupakan aspek krusial yang selalu diperiksa. Tidak jarang ditemukan ketidaksesuaian antara klaim dalam abstrak dengan pembahasan mendetail di bab-bab berikutnya. Abstrak yang akurat harus mampu menjadi preview yang jujur terhadap keseluruhan isi skripsi.

4. Konsistensi Struktur dan Organisasi

Struktur skripsi yang terorganisir dengan baik memudahkan pembaca memahami alur pemikiran penulis. Penguji akan memeriksa apakah urutan bab dan subbab menunjukkan logika penelitian yang jelas, mulai dari perumusan masalah, landasan teori, metodologi, analisis, hingga simpulan. Jika struktur terlihat acak atau tidak sistematis, hal ini dapat mengindikasikan kelemahan dalam perencanaan penelitian.  

Selain kerangka besar, penguji juga memperhatikan konsistensi format penulisan. Apakah penomoran bab, subbab, dan gambar/tabel mengikuti pedoman yang berlaku? Apakah terdapat ketidakseragaman dalam penulisan heading, margin, atau spacing? Kesalahan kecil dalam format sering kali mencerminkan ketidaktelitian yang mungkin juga terjadi dalam analisis konten.  

Keseimbangan pembahasan antar-bab juga menjadi pertimbangan penting. Bab metodologi yang terlalu panjang tetapi analisis data yang dangkal, misalnya, menunjukkan ketimpangan dalam pengerjaan skripsi. Struktur yang ideal harus mencerminkan pembagian porsi yang proporsional sesuai bobot masing-masing komponen penelitian.  

5. Ketajaman Rumusan Masalah

Pertanyaan penelitian yang tajam dan terfokus menjadi tulang punggung sebuah skripsi. Penguji akan menilai apakah pertanyaan yang diajukan benar-benar muncul dari celah (gap) dalam literatur, bukan sekadar mengulang studi sebelumnya. Pertanyaan yang terlalu luas (misalnya, "Bagaimana pengaruh media sosial?") menunjukkan kurangnya kedalaman, sementara pertanyaan yang terlalu sempit dapat membatasi ruang analisis.  

Selain itu, penguji memeriksa kesesuaian antara pertanyaan penelitian dengan metode yang digunakan. Apakah pertanyaan bersifat kualitatif tetapi dijawab dengan survei kuantitatif? Apakah pertanyaan tentang "mengapa" hanya dijawab dengan deskripsi "apa"? Inkonsistensi semacam ini mengindikasikan kelemahan konseptual yang serius.  

Terakhir, pertanyaan penelitian harus mengarah pada temuan yang bermakna. Jika pertanyaan terlalu dangkal atau jawabannya sudah dapat diprediksi dari awal, skripsi tersebut kehilangan nilai akademisnya. Pertanyaan yang baik harus memicu eksplorasi mendalam dan memberikan kontribusi baru bagi bidang ilmu.  

6. Kekokohan Landasan Teoretis  

Kerangka teoretis berfungsi sebagai fondasi yang memperkuat bangunan argumen dalam skripsi. Penguji akan mengevaluasi apakah teori yang dipilih relevan dengan masalah penelitian dan apakah penulis benar-benar memahami konsep-konsep kunci. Penggunaan teori yang asal-asalan hanya untuk memenuhi syarat formalitas akan mudah terdeteksi.  

Visualisasi hubungan antar-variabel dalam model teoretis juga menjadi sorotan. Diagram yang tidak jelas, rancu, atau tidak sesuai dengan penjelasan tekstual menunjukkan kelemahan dalam perumusan konsep. Sebaliknya, kerangka yang dirancang dengan baik membantu pembaca memahami logika penelitian secara intuitif. 

Penguji juga melihat orisinalitas penerapan teori. Apakah penulis hanya menyalin mentah-mentah model dari literatur, atau mengembangkannya sesuai konteks penelitian? Skripsi yang berkualitas tidak hanya mengadopsi teori, tetapi juga menyesuaikan, mengkritik, atau bahkan mengusulkan modifikasi berdasarkan temuan empiris.  

7. Transparansi Proses Penelitian  

Lampiran yang lengkap dan terorganisir mencerminkan transparansi dalam pelaksanaan penelitian. Penguji akan memeriksa kelengkapan instrumen seperti kuesioner, panduan wawancara, atau lembar observasi. Jika data mentah tidak disertakan, sulit untuk mengevaluasi validitas analisis yang dilakukan.  

Konsistensi antara lampiran dan bab metodologi juga menjadi fokus penilaian. Apakah prosedur pengumpulan data yang dijelaskan dalam bab metode benar-benar tercermin dalam instrumen yang dilampirkan? Ketidaksesuaian di sini dapat menimbulkan keraguan terhadap keandalan seluruh penelitian.  

Terakhir, penguji memperhatikan etika penelitian yang tercermin dalam lampiran. Apakah terdapat bukti persetujuan etik (jika diperlukan), surat izin penelitian, atau pernyataan kerahasiaan informan? Kelalaian dalam dokumentasi etis dapat menjadi masalah serius, terutama untuk penelitian yang melibatkan subjek manusia.  

***

Proses penilaian skripsi tidak hanya menguji hasil akhir, tetapi juga merekonstruksi seluruh perjalanan penelitian. Dengan memeriksa ketujuh aspek di atas secara kritis, penguji dapat menentukan apakah skripsi tersebut memenuhi standar akademik sekaligus memberikan umpan balik yang membangun bagi perkembangan keilmuan penulis.

____________________

* Tulisan ini disadur dari SINI

Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • 1 JAM YANG MENENTUKAN ; SEBUAH DIALOG TENTANG NARASI KEHIDUPAN
  • MENGUNGKAP NOVELTY DALAM KARYA ILMIAH: SKRIPSI, TESIS, DAN DISERTASI
  • EKSISTENSI DUA FORUM
  • KETIKA KEKUASAAN TAK MAU PERGI

Ramadhan Bercerita

PARIWARA

PARIWARA

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar