Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami
Membincangkan wilayah 3T seperti Enggano sesungguhnya berbicara tentang keadilan pembangunan yang tak kunjung tiba. Pulau kecil yang menjorok ke Samudra Hindia ini kerap menjadi citra tentang tepi NKRI yang masih menanti sentuhan negara secara nyata. Selama puluhan tahun, status Enggano sebagai kecamatan di bawah kabupaten menandakan bahwa negara hadir, namun sekadar secara administratif.

Tak dapat dimungkiri, skema birokrasi yang kaku dan hierarkis justru sering memperpanjang jarak antara kebutuhan nyata warga dengan solusi kebijakan yang diharapkan. Dalam banyak kasus, keputusan strategis tentang layanan publik, infrastruktur, bahkan penanganan bencana, kerap kali harus menunggu proses panjang yang melibatkan lintas tingkatan pemerintahan. Tidak jarang, hasil akhirnya justru tak menyentuh akar persoalan.

Bila menilik lebih dalam, model pemerintahan kecamatan di wilayah seperti Enggano ternyata lebih banyak menghadirkan batasan daripada peluang. Kewenangan yang terbatas serta anggaran yang serba pas-pasan menambah rumit upaya memajukan wilayah yang sudah sejak awal berangkat dari posisi tidak setara.

Banyak warga dan pelaku pembangunan di Enggano mengakui bahwa tantangan terbesar adalah pada kecepatan dan ketepatan respons pemerintah. Seringkali, ada jarak waktu yang sangat lama antara pengajuan kebutuhan masyarakat dengan realisasi program pemerintah. Dalam konteks ini, wilayah terluar seperti Enggano nyaris selalu menjadi prioritas kedua setelah kebutuhan daerah pusat atau kabupaten.

Ketika pembangunan berjalan lamban, masyarakat lokal harus menerima fakta bahwa akses kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur tetap tersendat. Bahkan, dalam kondisi krisis, seperti saat pandemi atau bencana alam, respons pemerintah menjadi ujian nyata bagi tata kelola wilayah terpencil. Keadaan ini semakin menegaskan bahwa model birokrasi lama tidak sanggup menjawab kompleksitas kebutuhan wilayah 3T.

Ada pertanyaan yang mengemuka, mengapa negara belum berani mendesain ulang model pemerintahan untuk wilayah dengan tantangan unik seperti Enggano? Jawaban yang sering muncul adalah kekhawatiran akan inkonsistensi kebijakan serta potensi tumpang tindih kewenangan. Namun, jika stagnasi dibiarkan, wilayah seperti Enggano akan semakin jauh tertinggal.

Pengalaman masa lalu, di mana pemerintah pusat pernah bereksperimen dengan berbagai model pemerintahan khusus, menjadi pembelajaran penting. Model otorita Batam, otonomi khusus Papua dan Aceh, hingga keistimewaan DIY, merupakan upaya negara untuk menjawab tantangan lokalitas, meski dengan motivasi yang beragam. Namun, belum ada model yang benar-benar didedikasikan khusus bagi wilayah 3T yang berkarakter geografis dan sosial unik seperti Enggano.

Kalau kita bicara mengenai pengelolaan wilayah khusus, Batam memang sering disebut sebagai contoh otorita yang efektif. Namun, Batam adalah kawasan ekonomi strategis yang berbeda orientasinya dengan wilayah 3T. Sementara itu, Aceh dan Papua diberi otonomi khusus karena sejarah konflik dan identitas. Lalu, di mana posisi Enggano dan puluhan wilayah 3T lain yang bukan kawasan industri, bukan pula wilayah dengan status politik khusus?

Banyaknya tantangan itu memperlihatkan bahwa upaya membangun wilayah 3T harus dimulai dari desain tata kelola yang benar-benar baru dan tidak sekadar hasil adaptasi dari model lama. Justru, keberanian untuk keluar dari zona nyaman model birokrasi konvensional menjadi syarat utama agar wilayah seperti Enggano mampu mengejar ketertinggalan.

Sebagai pengajar, saya kerap mendapati bahwa logika “one size fits all” dalam tata kelola pemerintahan justru memperparah ketimpangan antarwilayah. Enggano hanyalah salah satu dari banyak wilayah yang menjadi korban generalisasi kebijakan yang tidak peka pada konteks. Sudah saatnya, negara berani mendesain sistem yang benar-benar tailor-made.

Jika menilik Undang-Undang Pemerintahan Daerah, memang ada ruang untuk pembentukan entitas administratif baru. Namun, realisasi di lapangan masih sangat minim. Salah satu sebabnya, tidak adanya model yang benar-benar relevan bagi kebutuhan wilayah 3T seperti Enggano—yang, sekali lagi, bukan wilayah industri, bukan pula kantong konflik, melainkan pulau terdepan dengan segala keterbatasannya.

Merumuskan Otorita Khusus Terintegrasi

Atas dasar refleksi panjang atas kegagalan model lama, saya menawarkan satu gagasan baru: Otorita Khusus Terintegrasi (OKT). OKT adalah model pemerintahan yang tidak sekadar menambah struktur birokrasi, namun mendesain ulang secara radikal cara negara hadir dan bekerja di wilayah-wilayah ekstrem seperti Enggano.

Dalam skema OKT, wilayah seperti Enggano dikelola oleh sebuah otorita yang bertanggung jawab langsung kepada kementerian, khususnya Kementerian Dalam Negeri. Mandat yang diberikan luas dan terintegrasi, mulai dari pengelolaan layanan publik, pengembangan infrastruktur, hingga penyusunan kebijakan pembangunan. Kepala Otorita diangkat Presiden, sehingga stabilitas kepemimpinan lebih terjaga.

Dengan model ini, tidak lagi terjadi tumpang tindih atau tarik-ulur kepentingan antara kabupaten, provinsi, maupun pusat. Otorita Khusus Terintegrasi diberi kewenangan penuh dalam hal perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, namun tetap dengan mekanisme pengawasan ketat dari pusat dan lembaga audit independen.

OKT juga memiliki karakteristik utama, yaitu fleksibilitas dan keterbukaan dalam merekrut tenaga profesional serta ASN dari seluruh Indonesia. Model pengelolaan sumber daya manusia ini memungkinkan wilayah 3T mendapatkan SDM terbaik dengan insentif yang kompetitif dan sistem merit yang jelas.

Lebih jauh, Otorita Khusus Terintegrasi diberikan kewenangan fiskal khusus. Anggaran yang dialokasikan tidak lagi terfragmentasi, melainkan berbentuk block grant yang dapat dikelola secara mandiri, disesuaikan dengan kebutuhan dan prioritas nyata di lapangan. Ini membuka ruang bagi inovasi dalam pengelolaan keuangan daerah.

Berbicara tentang regulasi, tentu pembentukan OKT membutuhkan dasar hukum yang kuat, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun revisi undang-undang terkait. Namun, urgensi pembentukan OKT dapat lebih cepat dijawab dengan mengadopsi semangat “affirmative action” untuk wilayah 3T. Dengan demikian, proses hukum berjalan seiring dengan eksekusi nyata di lapangan.

Melalui OKT, Enggano diharapkan bisa menjadi lokomotif percepatan pembangunan di wilayah 3T. Semua program dan proyek strategis bisa langsung dirancang, diputuskan, dan dieksekusi oleh Otorita, tanpa harus menunggu restu dari level pemerintahan di atasnya. Hal ini akan sangat membantu percepatan layanan publik dan pembangunan infrastruktur dasar.

Model serupa sudah diterapkan di beberapa negara lain dengan karakteristik wilayah terpencil dan terluar. Misalnya, Northern Territory di Australia dan Nunavut di Kanada, yang mendapatkan kewenangan administratif langsung dari pemerintah pusat. Keberhasilan dua wilayah itu dalam menata pelayanan publik dan infrastruktur menjadi referensi penting, meski tentunya harus diadaptasi dengan konteks Indonesia.

Perlu dicatat, meski langsung di bawah kementerian, Otorita Khusus Terintegrasi tidak boleh menjadi lembaga yang tertutup. Harus ada ruang partisipasi masyarakat dan mekanisme checks and balances. Proses perumusan kebijakan, penyusunan anggaran, hingga pelaksanaan program harus terbuka bagi publik dan melibatkan pemangku kepentingan lokal.

Selain pengawasan internal dan audit eksternal, pelibatan universitas, lembaga riset, dan organisasi masyarakat sipil akan memperkuat tata kelola OKT. Mereka berperan tidak hanya sebagai mitra pembangunan, tetapi juga sebagai watchdog yang kritis terhadap pelaksanaan kebijakan di lapangan.

Pada titik ini, transformasi digital juga menjadi pilar utama. Dengan kondisi geografis Enggano yang menantang, pengelolaan layanan publik berbasis digital akan sangat membantu transparansi, efisiensi, dan kecepatan layanan. Sistem e-government bisa dioptimalkan untuk manajemen keuangan, administrasi kependudukan, hingga layanan kesehatan dan pendidikan.

Tentu saja, keberhasilan Otorita Khusus Terintegrasi sangat bergantung pada komitmen politik pemerintah pusat. Alokasi dana, kejelasan kewenangan, serta konsistensi pengawasan harus benar-benar dijaga. Jangan sampai model baru ini hanya menjadi nama tanpa substansi, atau justru menjadi ruang baru bagi praktik-praktik penyimpangan.

Di sisi lain, teori administrasi negara klasik yang dikemukakan Max Weber tentang birokrasi memang menekankan pentingnya struktur hierarkis dan rasionalitas aturan. Namun, dalam konteks wilayah 3T seperti Enggano, model weberian ini acap kali justru menghadirkan hambatan baru, sebagaimana dikritik Herbert Simon lewat gagasan bounded rationality—di mana pengambilan keputusan dalam organisasi publik tidak pernah sepenuhnya rasional karena terbatasnya informasi dan sumber daya di lapangan. Dalam prakteknya, keterbatasan tersebut semakin nyata di wilayah terpencil, sehingga diperlukan lembaga yang lebih luwes dan adaptif. Menarik untuk dicermati, Elinor Ostrom pernah menegaskan bahwa kelembagaan publik harus dibangun secara tailor-made, sesuai konteks sosial dan lingkungan lokal, agar dapat benar-benar menjawab kebutuhan warga.

Kemudian, konsep governance dari James Rosenau serta pendekatan collaborative governance yang diusung Ansell dan Gash mempertegas urgensi sinergi multi-aktor dalam tata kelola publik, terutama untuk wilayah-wilayah yang kompleks seperti 3T. Keduanya menyebut bahwa pemerintahan yang efektif membutuhkan keterlibatan langsung masyarakat sipil dan dunia usaha, bukan hanya negara. Sementara itu, Christopher Hood dalam konsep new public management menekankan perlunya efisiensi, akuntabilitas, dan inovasi dalam organisasi publik—suatu prinsip yang sangat sesuai dengan semangat Otorita Khusus Terintegrasi yang penulis tawarkan. Dengan mengadopsi pemikiran para ahli tersebut, desain OKT bagi Enggano dan wilayah 3T lain dapat benar-benar berakar pada landasan teoritik kuat, sekaligus tetap adaptif terhadap dinamika zaman.

Menyusun Jalan Baru Wilayah 3T

Setiap kebijakan baru selalu berpotensi menimbulkan resistensi. Tidak terkecuali OKT. Penolakan bisa datang dari birokrasi lama yang merasa kehilangan kewenangan, atau dari elite lokal yang khawatir kehilangan pengaruh. Oleh sebab itu, komunikasi publik yang jujur dan dialogis sangat diperlukan sejak awal.

Masyarakat lokal perlu dilibatkan secara aktif dalam proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan OKT. Mereka harus didengarkan aspirasinya, diberi ruang dalam pengawasan, dan diberdayakan dalam pelaksanaan program. Dengan demikian, keberadaan Otorita benar-benar menjadi milik bersama, bukan sekadar proyek dari atas.

Pemberdayaan masyarakat lokal juga menjadi kunci dalam memastikan keberlanjutan program. Tidak cukup hanya membangun infrastruktur atau layanan publik, namun juga membangun kapasitas warga agar mampu mengelola, merawat, dan mengembangkan hasil pembangunan secara mandiri di masa depan.

Penguatan identitas dan budaya lokal menjadi bagian integral dari OKT. Setiap kebijakan pembangunan harus menghargai dan merangkul kearifan lokal, memastikan Enggano tidak kehilangan identitasnya di tengah derasnya arus modernisasi dan pembangunan.

Dalam konteks geopolitik, pembentukan Otorita Khusus Terintegrasi juga menjadi bukti nyata kehadiran negara di wilayah perbatasan. Ini sangat penting dalam mempertegas kedaulatan dan integrasi nasional, khususnya di tengah meningkatnya dinamika kawasan regional.

Tidak kalah penting, pembangunan OKT harus berorientasi pada keberlanjutan lingkungan. Setiap proyek pembangunan wajib memastikan perlindungan ekosistem pulau, mengingat Enggano adalah wilayah yang sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan. Pelibatan ahli lingkungan dan komunitas lokal mutlak diperlukan.

Di sisi lain, ekonomi lokal harus menjadi prioritas. Otorita perlu mendorong pengembangan sektor-sektor potensial, seperti perikanan, pariwisata berbasis alam, dan pertanian organik yang sesuai dengan daya dukung pulau. Dukungan teknologi tepat guna dan akses pasar juga harus menjadi agenda strategis.

Agar pelayanan publik benar-benar berkualitas, penempatan guru, tenaga kesehatan, dan ASN profesional di Enggano perlu diberikan insentif khusus dan perlakuan afirmatif. Dengan demikian, wilayah 3T tidak lagi menjadi tempat “buangan” ASN, melainkan menjadi lokasi pengabdian yang bergengsi.

Selanjutnya, sinergi dengan perguruan tinggi dan dunia usaha akan mempercepat transfer teknologi dan inovasi. Enggano bisa menjadi laboratorium inovasi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kolaborasi dengan universitas akan membuka peluang riset terapan dan pengembangan kapasitas lokal yang berkelanjutan.

Dalam hal pembiayaan, Otorita perlu memastikan transparansi dan akuntabilitas anggaran. Seluruh proses perencanaan dan penggunaan dana harus terbuka, dengan sistem pelaporan daring yang dapat diakses publik dan diaudit oleh lembaga independen. Ini menjadi pondasi utama membangun kepercayaan masyarakat dan mencegah praktik korupsi.

Tak kalah penting adalah membangun indikator keberhasilan yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada peningkatan kualitas hidup warga. Indeks kebahagiaan, kesehatan, pendidikan, dan pelestarian lingkungan menjadi ukuran utama keberhasilan OKT di masa depan.

Setiap proses perubahan membutuhkan waktu dan adaptasi. Oleh karena itu, pembentukan OKT harus diiringi dengan mekanisme monitoring dan evaluasi yang rutin. Setiap kebijakan yang tidak berjalan efektif harus segera dievaluasi dan diperbaiki, dengan melibatkan masukan dari masyarakat dan para ahli.

Akhirnya, yang terpenting dari semua ini adalah memastikan bahwa Otorita Khusus Terintegrasi bukan sekadar solusi teknokratis, tetapi benar-benar menjadi jalan baru bagi keadilan pembangunan di wilayah 3T. Enggano harus menjadi contoh nyata bagaimana negara hadir, bukan sekadar di atas kertas, tetapi juga dalam realitas keseharian warga.

Pembentukan OKT tidak boleh dianggap sebagai proyek sementara. Ini harus menjadi komitmen jangka panjang negara dalam menuntaskan ketimpangan pembangunan. Setiap perubahan yang terjadi harus berpihak pada masyarakat, bukan pada elit atau kelompok tertentu.

Dengan kehadiran OKT, diharapkan wilayah 3T seperti Enggano tak lagi terpinggirkan. Sebaliknya, mereka justru bisa tumbuh menjadi pusat-pusat inovasi yang menginspirasi wilayah lain. Negara tidak lagi hadir sebagai “tamu”, melainkan benar-benar menjadi “tuan rumah” di rumahnya sendiri.

Afirmasi Komitmen dan Argumen Kunci

Pada akhirnya, gagasan pembentukan Otorita Khusus Terintegrasi adalah refleksi dari tanggung jawab negara yang sesungguhnya. Inilah saatnya membuktikan bahwa keadilan pembangunan tidak berhenti di pulau-pulau besar, melainkan menjangkau hingga ke pulau terluar seperti Enggano.

Argumen utama yang harus dipegang adalah tidak ada satupun wilayah yang boleh dibiarkan berjalan sendiri tanpa uluran tangan negara. OKT menjadi instrumen nyata mewujudkan janji keadilan sosial dalam konstitusi dan cita-cita Nawacita yang digadang-gadang selama ini.

Kita belajar dari kegagalan masa lalu bahwa tata kelola birokrasi lama tidak sanggup melayani kebutuhan unik wilayah 3T. Kini, keberanian dan inovasi kebijakan adalah jawaban. Dengan OKT, negara bisa melompat lebih cepat, tanpa dibelenggu pola lama yang justru menghambat.

Dengan modal desain kelembagaan yang adaptif, komitmen politik yang kuat, dan pengawasan publik yang ketat, OKT sangat mungkin menjadi lokomotif baru pembangunan di wilayah 3T. Tentu, kesuksesannya membutuhkan gotong royong semua pihak—masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha.

Tidak ada kata terlambat untuk berubah. Justru, menunda berarti memperdalam jurang ketimpangan dan menambah beban masa depan bangsa. Enggano dan puluhan wilayah 3T lainnya pantas memperoleh keadilan yang telah lama mereka nanti-nantikan.

Referensi dalam tulisan ini cukup sebagai penguat argumen utama, bukan sebagai ornamen akademik. Pengalaman Batam, praktik otonomi di negara lain, serta pengalaman Indonesia dalam membangun kawasan khusus menjadi bahan pembelajaran yang memperkaya argumentasi.

Saya percaya, kehadiran Otorita Khusus Terintegrasi akan menjadi babak baru dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia. Model ini bukan sekadar solusi teknis, tetapi sekaligus bukti kehadiran negara yang lebih adil, responsif, dan berpihak pada yang paling membutuhkan.

Semoga Enggano, dan wilayah 3T lain, segera merasakan perubahan nyata dari keberanian negara dalam mendesain ulang tata kelola wilayahnya. Hanya dengan cara inilah, Indonesia benar-benar hadir dan berdaulat di setiap jengkal tanah airnya.

Setiap kali saya berdiri di depan mahasiswa, saya selalu bertanya: “Apa masalah yang ingin kamu teliti?” Lucunya, pertanyaan ini justru membuat mereka terdiam lebih lama daripada saat menjawab soal ujian statistik. Padahal, dalam dunia riset, masalah adalah titik mula. Tanpa masalah, riset kita hanya jadi kumpulan teori yang kering dan tak membumi. Sayangnya, banyak mahasiswa justru memulai penelitiannya dengan menjejalkan teori sebanyak mungkin, berharap pembaca terkesan. Hasilnya? Tulisan jadi ngalor-ngidul dan kehilangan arah.

Di dunia bisnis, kemampuan mengidentifikasi masalah sama pentingnya dengan kemampuan menyusun strategi. Ambil contoh divisi pemasaran yang penjualannya stagnan selama enam kuartal terakhir. Pimpinan perusahaan bingung, tim marketing panik, dan investor mulai gelisah. Tetapi ketika diminta menjelaskan “masalahnya apa?”, mereka menjawab dengan data angka, bukan cerita. Ini seperti dokter yang hanya menunjukkan hasil lab, tanpa menjelaskan gejala yang dirasakan pasien. Dunia manajemen tak hanya butuh data, tapi juga narasi yang mampu mengaitkan idealitas dan realitas.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)
Salah satu kunci dalam mengurai persoalan adalah memahami konsep klasik: Das Sollen dan Das Sein. Ini bukan mantra ajaib, tapi alat bantu berpikir yang sangat sederhana. Dalam konteks pemasaran, misalnya, Das Sollen berarti “apa yang seharusnya dilakukan oleh brand.” Menurut teori, perusahaan seharusnya memiliki positioning yang kuat, diferensiasi yang jelas, dan value proposition yang relevan dengan kebutuhan pasar. Itu idealnya. Itu textbook-nya.

Namun, mari kita tengok kenyataan di lapangan—Das Sein. Kita mendapati banyak merek lokal yang kehilangan relevansi, iklannya tak nyambung dengan target market, dan bahkan pelanggan sendiri tak tahu apa sebenarnya keunggulan brand tersebut. Mereka ingin disebut premium, tapi masih bermain di strategi diskon. Mereka ingin loyalitas pelanggan, tapi tidak punya CRM yang berjalan efektif. Inilah celah yang harus dijadikan bahan bakar penelitian.

Permasalahan dalam manajemen bisnis terjadi justru karena ada jurang antara Das Sollen dan Das Sein tadi. Di dunia nyata, kita menyebutnya dengan istilah “gap”—celah antara harapan dan kenyataan. Seorang peneliti yang tajam akan segera menangkap gap itu, lalu merumuskannya secara sistematis. Misalnya: “Perusahaan A mengklaim sebagai pelopor inovasi digital di sektor ritel (Das Sollen), namun adopsi e-commerce-nya justru tertinggal dibanding pesaing yang lebih kecil (Das Sein).” Dari sini, kita punya pijakan untuk bergerak ke tahap berikutnya: merumuskan pertanyaan penelitian.

Lalu, bagaimana merumuskan pertanyaan yang baik? Tidak cukup hanya menanyakan “kenapa ini terjadi?” Pertanyaan dalam riset harus fokus, jelas, dan dapat dijawab secara ilmiah. Dalam studi kasus perusahaan A tadi, kita bisa mulai dengan pertanyaan seperti: “Apa saja hambatan internal yang menghambat transformasi digital di perusahaan ritel besar?” Atau, “Mengapa konsumen tidak merasakan diferensiasi merek yang diklaim oleh perusahaan X?” Semakin spesifik pertanyaannya, semakin tajam arah penelitian.

Salah satu kesalahan umum mahasiswa maupun praktisi bisnis adalah berasumsi terlalu cepat. Mereka menyangka telah tahu jawabannya sebelum menggali datanya. Misalnya, seorang brand manager mengatakan, “Kita kehilangan market share karena promosi kita kurang.” Padahal, ketika ditelusuri, masalahnya bukan di promosi, melainkan di experience pelanggan yang buruk setelah pembelian. Maka, penting untuk bersikap seperti seorang ilmuwan: bertanya, bukan berasumsi.

Dalam dunia bisnis yang bergerak cepat, kita sering kali tergoda mencari solusi instan tanpa mendefinisikan masalah dengan tepat. Saya pernah diajak diskusi oleh seorang teman yang punya bisnis di industri FMCG yang meluncurkan lima produk baru dalam setahun, tapi semuanya gagal. Ketika ditelusuri, mereka tidak melakukan riset pasar yang memadai. Mereka hanya berangkat dari semangat inovasi, bukan dari pemahaman tentang kebutuhan dan perilaku konsumen. Di sinilah pentingnya menyusun masalah secara akademik: bukan sekadar syarat skripsi, tetapi juga fondasi strategi yang efektif.

Salah satu metode yang sering saya ajarkan adalah dengan memulai dari studi literatur—apa kata teori dan riset sebelumnya tentang fenomena yang kita amati? Dari sana kita bisa menarik Das Sollen. Misalnya, teori AIDA (Attention, Interest, Desire, Action) menyebut bahwa iklan harus membangkitkan minat konsumen sebelum bisa mengubahnya menjadi aksi pembelian. Namun jika di lapangan, konsumen hanya menonton iklan tapi tidak membeli, maka kita punya Das Sein yang menyimpang. Ini awal yang bagus untuk menulis masalah riset.

Lalu, kita jangan cepat puas hanya dengan satu sumber teori. Dunia manajemen penuh dengan pendekatan berbeda—ada yang berbasis perilaku konsumen, ada yang fokus pada strategi korporat, ada pula yang dari sisi teknologi. Maka, merumuskan Das Sollen bukan hanya soal teori tunggal, tapi bagaimana kita menempatkan idealitas dari berbagai pendekatan ke dalam satu kerangka logis. Itu sebabnya, menyusun Bab I bukan soal menulis panjang lebar, tapi memilih dengan bijak mana yang relevan dan mendalam.

Saya juga sering menyarankan mahasiswa untuk terjun langsung ke lapangan. Rasakan denyut bisnisnya. Wawancarai pelanggan, amati kompetitor, dan lihat dari dekat bagaimana keputusan dibuat di ruang rapat. Karena dari sanalah Das Sein bisa benar-benar ditemukan. Jangan hanya mengandalkan laporan perusahaan atau kutipan media. Realitas bisnis sering kali lebih kompleks dari yang tampak di permukaan.

Di era digital, kita punya kemewahan data. Tapi data tanpa narasi hanyalah angka mati. Oleh karena itu, riset bisnis harus menghidupkan data dengan cerita yang menjelaskan konteks. Contohnya: bukan hanya mengatakan “tingkat churn rate naik 15%,” tapi menjelaskan mengapa pelanggan meninggalkan layanan, bagaimana mereka membuat keputusan pindah, dan apa yang sebenarnya mereka cari. Di sinilah seni menulis masalah akademik menemukan bentuknya.

Banyak perusahaan besar gagal bukan karena kurang strategi, tapi karena tidak memahami masalah mereka sendiri. Mereka sibuk memperbaiki gejala, bukan akar penyebab. Seperti pasien yang hanya minum pereda nyeri untuk sakit kepala, padahal penyebabnya adalah tekanan darah tinggi. Dalam riset manajemen, kita belajar membedakan simptom dan akar masalah. Itulah yang membedakan strategi yang efektif dari sekadar tambal sulam.

Bagi para dosen, tantangannya adalah mengubah cara pandang mahasiswa dari sekadar “menyelesaikan tugas” menjadi “menemukan sesuatu yang penting.” Kita tak bisa hanya berkata: “Carilah topik yang menarik.” Kita harus membimbing mereka untuk melihat bahwa setiap gap antara teori dan kenyataan adalah peluang emas untuk riset. Kita perlu mengajarkan cara berpikir kritis, bukan hanya cara mengutip teori.

Di dalam ruang kelas saya, saya suka memberi contoh-contoh nyata dari dunia usaha. Misalnya, kenapa produk-produk lokal sering kalah bersaing di e-commerce meski kualitasnya tak kalah? Mengapa startup yang viral di media sosial sering tak bertahan lama? Atau, mengapa banyak program loyalitas gagal meningkatkan retensi pelanggan? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan hanya menarik, tapi juga menunjukkan bahwa riset akademik bisa menjawab tantangan riil di dunia kerja.

Tentu, proses menyusun masalah akademik tidak selalu mudah. Bahkan bagi yang sudah berpengalaman, menyusun Bab I bisa jadi tugas yang paling menantang. Tapi jika kita memulainya dengan kerangka Das Sollen–Das Sein, kita punya alat navigasi yang andal. Kita tidak akan mudah tersesat dalam tumpukan teori. Kita tahu ke mana arah riset kita dan mengapa itu penting dilakukan.

Di sisi lain, perusahaan juga bisa belajar banyak dari pendekatan akademik ini. Terutama dalam membuat keputusan strategis. Ketika strategi gagal, alih-alih menyalahkan tim, cobalah kembali ke dasar: apakah masalah yang ingin kita selesaikan sudah jelas? Apakah kita paham gap-nya? Banyak inovasi gagal bukan karena idenya buruk, tapi karena tidak menjawab masalah yang nyata.

Kita bisa belajar dari perusahaan seperti Apple atau Tesla. Mereka tidak hanya menciptakan produk, tapi memulai dari pemahaman mendalam atas masalah konsumen. Steve Jobs pernah bilang: “Start with the customer experience and work backwards to the technology.” Ini adalah cara berpikir Das Sein–Das Sollen dalam praktik. Kita pahami dulu kenyataan di lapangan, lalu bandingkan dengan idealitas yang ingin kita capai.

Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa menggunakan prinsip ini. Mengapa kita gagal menabung? Mengapa kita terus menunda pekerjaan? Jika kita tahu idealnya seperti apa, dan tahu kenyataannya seperti apa, maka kita bisa merumuskan masalah pribadi kita sendiri. Prinsip ini universal dan sangat aplikatif, tak hanya di ruang kuliah, tapi juga di ruang rapat, bahkan ruang keluarga.

Menariknya, mahasiswa yang mampu menyusun masalah dengan baik biasanya juga mampu menyusun solusi yang relevan. Karena mereka sudah memetakan konteks, memahami aktor-aktor yang terlibat, dan bisa melihat hubungan sebab-akibat. Dalam bisnis, ini sangat penting. Karena solusi yang keliru bisa lebih mahal dari masalahnya sendiri.

Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan bahwa menyusun masalah akademik bukan hanya keterampilan menulis, tapi keterampilan berpikir. Dan dalam dunia yang penuh disrupsi seperti sekarang, kemampuan berpikir kritis adalah aset terbesar. Jangan tergoda untuk mempercantik tulisan dengan jargon, tapi hampa makna. Mulailah dari Das Sollen, bandingkan dengan Das Sein, lalu rumuskan pertanyaannya dengan jernih.

Begitulah seharusnya riset bekerja. Ia hadir bukan untuk sekadar mengisi rak perpustakaan, tapi untuk menjawab kegelisahan, menyambung harapan, dan menuntun perubahan. Karena pada akhirnya, riset yang baik bukan hanya menjawab pertanyaan, tapi juga mampu mengajukan pertanyaan yang lebih bermakna.
Setiap kali hari wisuda datang, saya selalu bingung harus merasa bahagia atau justru sedih. Bahagia karena kalian akhirnya menuntaskan satu fase penting dalam hidup. Tapi juga sedih, karena itu berarti saya tidak akan melihat lagi nama kalian di daftar bimbingan, tidak akan ada notifikasi pesan tengah malam yang isinya cuma, “Pak, boleh tolong cek dropbox revisi skripsi saya malam ini?” atau “Pak, maaf baru sempat revisi, laptop saya rusak.” Semuanya akan menjadi kenangan. Tersimpan rapi dalam ingatan kami dosen yang diam-diam sering terharu melihat perjuangan anak-anak didiknya.

Kalian mungkin tidak sadar, tapi saya menyaksikan semuanya. Betapa kalian datang ke kampus dengan wajah letih, kadang belum sarapan, kadang juga sambil menenteng kudapan sebagai pengganjal perut. Saya tahu kalian sering tidak punya cukup keberanian untuk datang ke meja saya, atau bahkan sekadar ngopi sambil diskusi. Tapi kalian tetap datang. Duduk di hadapan saya, mencoba paham konsep, metode, kutipan teori yang kadang saya sendiri lupa letaknya di buku maupun jurnal mana.
Ilustrasi Wisuda (Gambar : AI Generated)
Tidak perlu merasa malu kalau skripsi dan artikelmu telat selesai. Tidak usah menunduk kalau hari ini kamu berdiri di antara yang nilainya tidak cumlaude. Karena percaya atau tidak, hari ini kamu berdiri di sini bukan karena kamu hebat. Kamu berdiri di sini karena kamu tidak menyerah. Itu saja. Kamu bertahan. Melewati hari-hari sulit, tekanan dari rumah, ekspektasi dari orang tua, perbandingan dengan teman, bahkan kehilangan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi kamu tetap maju.

Kadang saya bertanya-tanya dalam hati, bagaimana kalian bisa kuat. Dulu ada seorang mahasiswa saya kehilangan keluarganya yang seharusnya menjadi supporting system terkuat. Ia tidak sempat berpamitan karena sang ayah berpulang di kampung yang jauh. Tapi esoknya, ia tetap datang ke kampus, mengembalikan draft yang sudah dicoret-coret oleh saya beberapa hari sebelumnya. Saya tidak tega. Tapi juga bangga.

Ada pula mahasiswa yang bekerja di beberapa tempat sekaligus. Semua dilakukan agar bisa bayar semesteran. Tugas-tugasnya sering telat. Revisi skripsinya penuh typo. Tapi ia tidak pernah mengeluh. Bahkan ketika saya tawarkan untuk cuti dulu, dia hanya tersenyum dan berkata, “Nggak pak, saya harus lulus. Ibu saya nunggu.”

Lulus bukan karena pintar. Banyak orang pintar di luar sana yang tidak pernah lulus-lulus. Lulus bukan karena nilai sempurna. Ada banyak nilai yang bisa diketik ulang, tapi tekad dan keteguhan itu bukan soal angka. Lulus karena kalian bersedia duduk di ruangan saya menepi dari riuhnya kampus demi mengerjakan skripsi dan artikel, menahan kantuk siang, mengatur napas saat membaca hasil revisi yang seolah tidak ada habisnya. Lulus karena kamu bilang, “Saya bisa,” meski dalam hati kamu ragu luar biasa.

Saya tahu kalian capek. Saya tahu kalian pernah menangis dan marah diam-diam. Saat file skripsi hilang. Saat dosen pembimbing tidak membalas pesan. Saat teman-teman lain sudah sidang skripsi duluan. Saat orang tua bertanya terus kapan lulus, padahal kalian sendiri juga belum punya jawabannya. Tapi kalian terus jalan. Itu luar biasa.

Orang kadang mengira yang hebat itu yang cepat. Yang selesai empat tahun, yang lulus dengan pujian, yang fotonya banyak diunggah di Instagram. Tapi hidup ini bukan soal siapa yang paling duluan, melainkan siapa yang tetap berjalan ketika kakinya goyah, ketika dadanya sesak, ketika jalannya sendiri dan sunyi. Dan hari ini, kalian telah membuktikannya.

Wisuda adalah panggung kecil untuk sebuah perjalanan besar. Sebuah jeda sebelum dunia yang sesungguhnya membuka pintunya. Hari ini kalian mungkin memakai toga, menggenggam ijazah, dan berfoto bersama orang tua. Tapi besok, ketika semua itu ditaruh di lemari, kalian akan kembali dihadapkan pada hidup. Tidak ada jadwal kuliah. Tidak ada reminder dosen. Hanya kalian dan keputusan-keputusan yang harus diambil sendiri.

Saya tidak bisa menjanjikan apa-apa tentang dunia setelah wisuda. Saya tidak tahu apakah kalian akan langsung dapat pekerjaan, atau justru harus menunggu lama. Saya tidak tahu apakah kalian akan diterima sesuai jurusan, atau malah jadi pawang hujan padahal dulunya kuliah manajemen. Tapi saya percaya satu hal: kalau kalian sudah pernah bertahan di masa sulit, maka kalian pasti bisa melalui yang lebih sulit lagi.

Ada hal-hal yang tidak diajarkan di kelas. Misalnya bagaimana menerima penolakan. Bagaimana berdamai dengan kegagalan. Bagaimana tetap bangun pagi meski tidak ada lagi kelas jam tujuh. Semua itu akan kalian pelajari sendiri, dengan cara yang unik dan personal. Tapi bekal kalian cukup. Bahkan lebih dari cukup. Karena kalian pernah menyelesaikan skripsi dalam keadaan hampir menyerah. Itu bukan hal kecil.

Hari ini saya ingin kalian menepuk bahu kalian sendiri. Katakan pada diri sendiri, “Aku sudah sampai sejauh ini.” Jangan tunggu orang lain memuji. Jangan tunggu dunia berterima kasih. Karena kalianlah pahlawan untuk kisah hidup kalian sendiri. Dan itu sudah cukup indah untuk dirayakan.

Tentu, di antara kalian ada yang merasa tidak puas. Ada yang merasa seharusnya bisa lebih cepat, lebih bagus, lebih hebat. Tapi percayalah, setiap orang punya waktunya sendiri. Hidup ini bukan lomba lari estafet. Tidak ada medali untuk siapa yang sampai duluan. Yang penting adalah: kamu sampai. Dan hari ini, kamu sampai.

Kalian tidak harus hebat untuk memulai. Tapi kalian harus mulai agar suatu hari bisa menjadi hebat. Dan kalian sudah memulainya. Dari ruang kelas yang panas, dari tugas yang ditulis tengah malam, dari skripsi yang direvisi berkali-kali. Dari tangis dan tawa, dari ragu dan percaya. Itu semua bagian dari perjalanan.

Saya ingin kalian membawa kenangan ini ke mana pun kalian pergi. Kenangan bahwa kalian pernah punya dosen galak yang cerewet soal margin dan font, tapi diam-diam bangga melihat kalian maju. Bahwa kalian pernah punya teman seperjuangan yang berbagi mi instan di kosan, berbagi wifi, bahkan berbagi rasa cemas. Bahwa kalian pernah menjadi mahasiswa yang penuh harap.

Jangan buru-buru jadi dewasa. Nikmati masa transisi ini. Nikmati waktu saat kalian masih bisa bercanda soal skripsi, soal deadline, soal dosen killer. Karena suatu hari nanti, kalian akan merindukan semua itu. Dan ketika rindu itu datang, semoga ia tidak menyakitkan, tapi justru menyemangati.

Ada dunia yang menunggu kalian. Tapi jangan biarkan dunia itu mengubah kalian jadi asing. Tetap jadi diri sendiri. Tetap bawa senyum kalian yang dulu kalian pakai saat minta tanda tangan revisi. Tetap rendah hati. Karena dunia tidak suka orang sombong, tapi diam-diam menghormati yang tekun dan jujur.

Saya tidak tahu akan seperti apa wajah kalian lima atau sepuluh tahun dari sekarang. Tapi saya berharap, ketika kalian membaca ulang tulisan ini suatu hari nanti, kalian akan mengingat satu hal: kalian pernah punya keberanian untuk tidak menyerah. Dan itu akan jadi cahaya kecil yang menuntun kalian di masa-masa sulit berikutnya.

Jangan pernah berpikir kalian lulus sendirian. Di balik toga itu ada doa orang tua, peluh keringat, bahkan air mata yang tak terlihat. Ada pelukan yang tertunda, ada janji yang kalian genggam dalam diam. Ada cinta yang kalian bawa dari rumah ke ruang kelas, dari kamar kos ke ruang seminar.

Mungkin kalian tidak mengubah dunia secara langsung. Tapi kalian mengubah diri sendiri, dan itu awal dari segala perubahan. Dunia tidak butuh banyak orang hebat. Dunia butuh orang yang tidak menyerah. Yang jujur. Yang tidak takut mencoba lagi meski gagal berkali-kali.

Hari ini, saya ingin bilang terima kasih. Terima kasih karena sudah mempercayai saya sebagai dosen kalian. Terima kasih karena sudah mau mendengarkan, walau kadang saya terlalu banyak menasihati. Terima kasih karena sudah menginspirasi saya, tanpa kalian sadari. Karena sebenarnya, dosen pun belajar dari mahasiswanya.

Tidak usah takut gagal di luar sana. Gagal itu biasa. Yang tidak biasa adalah orang yang tetap berdiri dan mencoba lagi. Jadi, gagal saja kalau memang harus. Tapi jangan berhenti. Terus jalan. Terus hidup.

Ingat baik-baik: kalian tidak lulus karena hebat. Kalian lulus karena kalian tidak menyerah. Dan untuk itu, saya sangat bangga. Sangat, sangat bangga.

Selamat wisuda, anak-anak baik. Dunia sudah menunggu cerita kalian berikutnya.

Tiga bulan belakangan ini, lini masa media sosial lagi ramai membahas soal dugaan ijazah palsu mantan presiden. Kasusnya bukan main-main, saking panasnya sampai menyeret kampus almamaternya dan juga mantan dosen pembimbingnya ke permukaan. Orang-orang yang dulu kerjaannya cuma jadi pengamat politik dadakan, sekarang jadi pengamat akademik dadakan. Semua ikut komentar. Dan seperti biasa, grup WhatsApp keluarga pun tak ketinggalan. Dari yang cuma ngerti ijazah SD sampai profesor beneran, semua ikut nimbrung.

Yang bikin heboh bukan cuma dugaan ijazah palsunya, tapi juga pernyataan dari sang dosen pembimbing yang bilang kalau dia tuh sebenarnya nggak pernah lihat ijazah si mahasiswa itu. Lah, kok bisa? Ternyata setelah ditelisik lebih dalam, oh, rupanya beliau bukan dosen pembimbing skripsi, tapi dosen pembimbing akademik. Wah, ini mah beda fungsi. Beda jalur.

Ilustrasi jenis-jenis dosen pembimbing di kampus (Gambar : AI Generated)

Nah, dari sini saya jadi kepikiran. Banyak orang di luar dunia kampus tuh sering salah paham. Kirain dosen pembimbing itu ya cuma satu: dosen pembimbing skripsi. Padahal kalau kita gali lebih dalam, jenis-jenis dosen pembimbing itu banyak, Bung! Kayak menu warteg, ada macam-macam. Dan tiap jenis punya fungsi dan gaya masing-masing.

Mari kita mulai dari dosen pembimbing akademik. Ini adalah dosen yang biasanya kita dapat di awal semester kuliah. Tugasnya sebenarnya simpel: mendampingi mahasiswa secara akademik. Tapi realitanya? Kadang cuma ketemu pas awal semester buat tanda tangan KRS, habis itu raib seperti mantan yang mendadak nggak bisa dihubungi. Tapi jangan salah, dosen jenis ini sangat penting. Kalau kamu punya masalah akademik, seperti bingung milih mata kuliah, IP turun drastis, atau mau cuti kuliah, ya ke beliau inilah kamu seharusnya datang.

Walau begitu, banyak mahasiswa yang bahkan nggak tahu siapa dosen pembimbing akademiknya. Bukan karena lupa, tapi karena saking jarangnya komunikasi. Bahkan kadang dosennya sendiri juga nggak tahu siapa saja mahasiswa bimbingannya. Ini hubungan akademik yang misterius. Ada, tapi seperti tidak ada.

Jenis kedua adalah dosen pembimbing PKM alias Program Kreativitas Mahasiswa. Nah, ini biasanya muncul di pertengahan masa kuliah. Ketika mahasiswa mulai tertarik ikut kompetisi dan ingin nambah poin buat sertifikat. Dosen pembimbing PKM ini biasanya harus sabar. Karena mahasiswa kadang bikin proposalnya mepet deadline, minta tanda tangan pas udah tengah malam, dan suka berubah-ubah topik. Tapi kalau tim PKM-nya menang, yang senang juga dosennya. Dosen langsung auto bangga seolah-olah itu ide dia.

Dosen pembimbing PKM ini kadang jadi semacam penasehat bisnis. Mahasiswa bikin produk minuman dari kulit pisang, atau bikin aplikasi pencari jodoh berbasis syariah, dan dosennya harus kasih masukan seolah-olah ini produk masa depan. Padahal dalam hati mungkin dosennya mikir, "Lah ini kok rasanya kayak MLM ya..."

Lanjut ke dosen pembimbing KKN alias Kuliah Kerja Nyata. Ini adalah dosen yang mendampingi mahasiswa saat mereka turun ke lapangan, hidup di desa, dan pura-pura jadi agen perubahan. Dosen KKN ini biasanya keliling dari satu lokasi ke lokasi lain buat sidak. Tapi ada juga yang cukup lewat Zoom, tanya kabar, terus bilang, "Yang penting jaga nama baik kampus ya, Nak."

Menjadi dosen pembimbing KKN itu kadang mengharukan. Mereka melihat mahasiswa yang awalnya nggak bisa bangun pagi, tiba-tiba jadi rajin ikut gotong royong. Mahasiswa yang biasanya cuma bisa ngopi di burjo, sekarang bisa jadi pemateri pelatihan ibu-ibu PKK. Momen ini kadang bikin dosennya terharu, walau tetap waswas takut tiba-tiba ada laporan keributan gara-gara rebutan sinyal WiFi desa.

Yang nggak kalah seru adalah dosen pembimbing magang. Ini adalah dosen yang tugasnya mendampingi mahasiswa yang sedang praktik kerja di perusahaan, kantor pemerintahan, atau lembaga lainnya. Biasanya dosen ini akan jadi penghubung antara kampus dan tempat magang. Tapi, kadang juga jadi pelampiasan curhat mahasiswa yang stres gara-gara disuruh fotokopi seharian.

Dosen pembimbing magang ini punya tugas yang rumit. Mereka harus memastikan mahasiswa mendapatkan pengalaman yang bermanfaat, tapi juga harus tahan dengar laporan mahasiswa yang bilang, "Bu, saya merasa magangnya nggak sesuai jurusan." Belum lagi kalau mahasiswa-nya magang di luar kota, dosennya kadang cuma bisa berharap laporan magangnya beneran ditulis sendiri, bukan hasil copas dari kakak tingkat.

Nah, ini dia jenis dosen yang paling legendaris: dosen pembimbing skripsi. Dosen inilah yang paling menentukan nasib mahasiswa di akhir masa studinya. Baik buruknya hubungan mahasiswa dengan dosen ini bisa jadi penentu apakah mahasiswa lulus tepat waktu atau jadi warga kampus abadi. Hubungan ini seperti pacaran jangka panjang. Ada suka, ada duka, ada ghosting juga.

Dosen pembimbing skripsi itu ada macam-macam gayanya. Ada yang teliti banget sampai typo koma saja dikoreksi. Ada juga yang santai, yang penting kamu submit aja dulu. Ada yang susah ditemui karena sibuk seminar, dan ada yang gampang ditemui tapi jawabannya suka bikin emosi, "Coba kamu pikirkan lagi ya," tanpa penjelasan tambahan.

Namun, ada juga dosen pembimbing yang levelnya di atas semua itu. Dosen pembimbing spiritual sekaligus motivator. Biasanya dosen seperti ini akan bilang hal-hal yang menyentuh hati, kayak, "Kamu jangan menyerah. Semua orang punya waktunya sendiri." Atau, "Ingat Nak, skripsi itu bukan soal pintar, tapi soal niat dan konsistensi." Dosen model begini bikin mahasiswa merasa didukung dan dihargai. Seolah-olah mereka punya coach pribadi dalam hidup.

Dosen motivator ini biasanya juga jadi tempat curhat. Mahasiswa cerita soal pacar, soal keluarga, bahkan soal hidup yang terasa berat. Dan hebatnya, dosen ini bisa menanggapi dengan sabar. Bahkan kadang kasih nasihat sambil nyeduh teh. Mahasiswa pulang dari bimbingan bukan cuma dapat revisi, tapi juga semangat baru.

Di sisi lain, tidak sedikit juga dosen pembimbing yang jadi momok. Yang kalau ketemu rasanya kayak diinterogasi KPK. Mahasiswa jadi gugup, ngomong terbata-bata, dan pulang bimbingan dengan mental koyak. Tapi ya, di balik kerasnya itu, kadang niatnya baik. Cuma ekspresinya saja yang kelihatan seperti baru kehilangan saham.

Kalau dipikir-pikir, semua jenis dosen pembimbing itu punya peran masing-masing. Ada yang tugasnya administratif, ada yang akademik, ada yang sosial, dan ada yang emosional. Masing-masing punya caranya sendiri dalam mendampingi mahasiswa. Dan semua sama pentingnya. Tanpa mereka, mahasiswa bisa tersesat seperti guling hilang di kosan berantakan.

Yang sering jadi masalah adalah ketika mahasiswa sendiri nggak tahu harus ke dosen yang mana untuk urusan tertentu. Ujung-ujungnya semua dilempar ke dosen pembimbing skripsi, padahal belum tentu itu wewenangnya. Maka dari itu, edukasi soal fungsi masing-masing dosen pembimbing ini penting. Biar nggak salah sasaran.

Tentu, idealnya semua dosen pembimbing punya waktu dan energi untuk membimbing mahasiswa dengan sepenuh hati. Tapi kita juga harus ingat, dosen juga manusia. Mereka punya urusan, punya beban kerja, bahkan punya masalah hidup. Jadi kadang, kalau balas email atau WhatsApp mahasiswa agak lama, ya mohon dimaklumi.

Hubungan antara mahasiswa dan dosen pembimbing itu unik. Kadang seperti anak dan orang tua, kadang seperti bos dan anak buah, kadang juga seperti teman seperjuangan. Tapi apapun bentuknya, kalau dijalani dengan saling pengertian, hasilnya pasti baik. Walaupun skripsi tetap direvisi tiga kali.

Di tengah ramainya kabar soal dugaan ijazah palsu dan dosen pembimbing yang merasa tidak pernah membimbing, kita jadi diingatkan bahwa peran dosen itu tidak bisa digeneralisasi. Ada banyak jenis, banyak bentuk, dan banyak cara. Tidak bisa disamaratakan.

Jadi, kalau kamu mahasiswa dan belum tahu siapa dosen pembimbingmu, coba deh cari tahu. Jangan-jangan dia udah nunggu kamu dari semester lalu. Dan kalau kamu dosen, semoga sabar dan kuat mendampingi mahasiswa yang kadang suka hilang lalu muncul pas akhir semester bawa revisi dadakan.

Karena di kampus, hubungan paling krusial bukan cuma dengan pacar. Tapi juga dengan dosen pembimbing. Mereka lah yang akan menentukan, apakah kamu lulus dengan senyum, atau lulus dengan drama dan air mata.

Begitulah hidup. Bahkan untuk urusan akademik pun, kita tetap butuh pembimbing. Karena sejatinya, manusia memang tidak ditakdirkan berjalan sendiri.


Praktik kementerian teknis mendirikan dan mengelola perguruan tinggi sendiri telah menjelma menjadi fenomena sistemik yang secara diametral bertentangan dengan prinsip pengelolaan pendidikan tinggi yang terintegrasi. Dalam konstruksi ideal sistem pendidikan nasional, Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) seharusnya menjadi garda terdepan dan satu-satunya otoritas pengelola pendidikan tinggi. Namun realitas yang terjadi justru menunjukkan wajah buram fragmentasi pendidikan, di mana setidaknya 20 kementerian/lembaga non-pendidikan - berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2018 - dengan leluasa mengoperasikan 179 perguruan tinggi secara tersebar dan tidak terkoordinasi.

Fenomena ini tidak hanya menciptakan inefisiensi sistemik, tetapi juga melahirkan paradoks dalam pembangunan sumber daya manusia. Di satu sisi, pemerintah gencar mendorong program Merdeka Belajar Kampus Merdeka yang mengedepankan fleksibilitas dan kolaborasi multidisiplin. Di sisi lain, praktik kementerian teknis yang mengelola perguruan tinggi sendiri justru menciptakan sekat-sekat disipliner yang kaku dan sempit. Lulusan yang dihasilkan seringkali terkungkung dalam paradigma sektoral sempit, kurang mampu beradaptasi dengan dinamika pasar kerja yang semakin kompleks dan interdependen.

Distribusi perguruan tinggi antar kementerian menunjukkan pola yang timpang dan tidak proporsional. Kementerian Kesehatan dengan 37 perguruan tinggi, Kementerian Perindustrian (18), Pertanian (12), Kelautan dan Perikanan (11), hingga Perhubungan (11) - semua menunjukkan betapa ego sektoral telah mengalahkan pertimbangan pedagogis yang lebih holistik. Yang lebih memprihatinkan, lembaga-lembaga dengan domain sangat spesifik seperti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) hingga Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pun merasa perlu memiliki perguruan tinggi sendiri. Pertanyaan mendasarnya: apakah pembangunan perguruan tinggi oleh kementerian teknis ini benar-benar dilandasi kebutuhan pembangunan SDM, atau sekadar menjadi proyek prestisius dan alat memperbesar anggaran?

Motif pendirian perguruan tinggi oleh kementerian teknis perlu dikritisi secara mendalam. Setidaknya terdapat tiga faktor utama yang menjadi pendorong: pertama, alokasi anggaran khusus yang tidak kecil; kedua, kendali penuh atas kurikulum dan sistem rekrutmen; ketiga, citra sebagai pembangun SDM unggul. Namun ironisnya, di balik gembar-gembor pembangunan SDM spesifik tersebut, banyak dari institusi ini justru memiliki kualitas yang jauh di bawah standar perguruan tinggi negeri. Data akreditasi tahun 2021 menunjukkan 60% perguruan tinggi kementerian berada di peringkat B dan di bawahnya dalam penilaian BAN-PT.

Ilustrasi Pendidikan Tinggi (Gambar : GeneratedAI)

Masalah inefisiensi sistemik terlihat nyata dalam duplikasi program studi yang tidak perlu. Ambil contoh Politeknik Penerbangan Indonesia di bawah Kementerian Perhubungan dan Program Studi Teknik Penerbangan di Institut Teknologi Bandung (ITB). Keduanya menghasilkan lulusan dengan kompetensi serupa, namun dengan biaya dan kualitas yang berbeda signifikan. Biaya pendidikan per mahasiswa di politeknik kementerian ternyata 40-60% lebih tinggi dibanding PTN, sementara tingkat serapan lulusannya di pasar kerja justru lebih rendah 20-30%. Ini menunjukkan betapa model pengelolaan yang terfragmentasi telah menciptakan pemborosan sumber daya yang tidak kecil.

Kualitas lulusan juga menjadi persoalan serius. Survei pada tahun 2023 menunjukkan 72% lulusan politeknik Kementerian Perhubungan bekerja di lingkungan Kemenhub sendiri, sementara hanya 15% yang mampu bersaing di pasar kerja yang lebih luas. Ini mencerminkan kompetensi sempit yang tidak sesuai dengan kebutuhan era disrupsi, di mana fleksibilitas dan kemampuan adaptasi menjadi kunci utama.

Persoalan kurikulum di perguruan tinggi kementerian juga patut mendapat sorotan kritis. Sebuah studi pada tahun 2022 menemukan bahwa 70% sekolah kedinasan masih menggunakan modul pembelajaran yang sama selama 10-15 tahun terakhir. Padahal, laporan Bank Dunia (2021) memproyeksikan bahwa 65% pekerjaan di masa depan akan membutuhkan keterampilan baru yang belum diajarkan dalam kurikulum-kurikulum lama tersebut. Ketertinggalan ini semakin memperlebar kesenjangan antara dunia pendidikan dengan kebutuhan industri.

Tata kelola perguruan tinggi kementerian juga menunjukkan banyak kelemahan struktural. Audit pada tahun 2022 mengungkap bahwa 45% anggaran digunakan untuk belanja pegawai, sementara hanya 20% yang dialokasikan untuk pengembangan akademik. Rasio dosen-mahasiswa yang mencapai 1:47 juga jauh di bawah standar SN-Dikti yang menetapkan 1:25. Ini menunjukkan salah urus dalam pengelolaan pendidikan tinggi.

Di tengah kompleksitas masalah ini, kita bisa belajar dari praktik baik di Taiwan. Laporan Ministry of Education Taiwan (2021) menunjukkan bagaimana Universitas Kepolisian tetap berada di bawah kementerian pendidikan, sementara kepolisian hanya memberikan masukan kurikulum. Hasilnya, lulusannya diakui secara nasional dan memiliki fleksibilitas untuk bekerja di berbagai sektor. Model ini membuktikan bahwa spesialisasi tidak harus berarti pengkotak-kotakan.

Solusi mendesak yang diperlukan adalah konsolidasi sistemik dengan pendekatan bertahap namun pasti. Pertama, pengalihan seluruh perguruan tinggi kementerian ke bawah Kemendiktisaintek dengan tetap melibatkan kementerian teknis sebagai stakeholder kurikulum. Kedua, merger institusi sejenis - misalnya dengan menggabungkan 11 politeknik Kementerian Perhubungan menjadi 3-4 politeknik unggulan. Ketiga, penghapusan bertahap perguruan tinggi yang tidak memenuhi standar melalui integrasi dengan perguruan tinggi negeri terdekat.

Reformasi sistem rekrutmen juga menjadi krusial. Sistem seleksi harus benar-benar transparan dan berbasis meritokrasi murni, bukan "warisan jabatan" yang selama ini terjadi. Penerapan kuota minimal 40% untuk mahasiswa dari keluarga kurang mampu - sebagaimana diatur dalam Permendikbud No. 6 Tahun 2021 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru - bisa menjadi langkah awal memutus siklus feodalisme pendidikan.

Pada level kebijakan, revisi UU Pendidikan Tinggi diperlukan untuk mempertegas otoritas Kemendiktisaintek. Kementerian teknis seharusnya berperan sebagai "pemangku kepentingan" yang memberikan masukan kebutuhan sektoral, bukan sebagai operator pendidikan. Model kolaborasi seperti di Belanda patut diadopsi, di mana akademi kepolisian tetap berada di bawah kementerian pendidikan tetapi kurikulumnya dirancang bersama kepolisian.

Dari sisi anggaran, konsolidasi dana pendidikan akan menciptakan efisiensi yang signifikan. Alih-alih tersebar di 179 perguruan tinggi kementerian, anggaran bisa dipusatkan untuk meningkatkan kualitas 50-60 perguruan tinggi negeri/swasta unggulan. Pengalaman integrasi 7 akademi pemerintah ke perguruan tinggi negeri pada tahun 2002 telah membuktikan hasil positif: dalam 5 tahun, akreditasinya naik dari B ke A.

Penguatan sistem sertifikasi kompetensi nasional juga menjadi keharusan. Daripada mengandalkan ijazah kedinasan yang bernuansa sektoral, lebih baik mengembangkan standar kompetensi nasional yang diakui semua sektor. Model pendidikan vokasi Jerman melalui sistem "dual education" bisa menjadi inspirasi dalam membangun mekanisme pengakuan kompetensi yang lebih fleksibel.

Pembenahan tata kelola menjadi prasyarat mutlak untuk mewujudkan transformasi ini. Rekomendasi OECD (2020) tentang perlunya badan independen yang mengawasi standar pendidikan tinggi secara nasional patut dipertimbangkan. Badan ini harus memiliki kewenangan penuh untuk mengevaluasi dan menertibkan perguruan tinggi, terlepas dari kementerian pembinanya.

Pada akhirnya, yang dibutuhkan adalah keberanian politik untuk melakukan reformasi struktural yang mendalam. Pendidikan tinggi adalah investasi strategis bangsa yang terlalu penting untuk dikotak-kotakkan oleh ego sektoral dan kepentingan jangka pendek. Dengan sistem yang terintegrasi, berkeadilan, dan berorientasi pada kebutuhan masa depan, Indonesia dapat menghasilkan sumber daya manusia unggul yang tidak hanya menguasai bidang spesifik, tetapi juga memiliki wawasan holistik dan kemampuan adaptasi tinggi. Inilah tantangan besar yang harus kita jawab bersama jika ingin pendidikan tinggi Indonesia benar-benar menjadi lokomotif kemajuan bangsa.

Sebagai penguji skripsi, mereka melakukan penilaian menyeluruh melalui pendekatan bertahap. Proses evaluasi dimulai dengan memeriksa elemen-elemen kunci yang menjadi indikator awal kualitas sebuah karya ilmiah. Berikut penjabaran mendetail mengenai aspek-aspek yang menjadi fokus penilaian:

1. Kelengkapan dan Kualitas Referensi

Daftar referensi merupakan cerminan dari kedalaman studi literatur yang dilakukan penulis. Penguji akan melihat apakah sumber-sumber yang digunakan mencakup karya-karya fundamental dalam bidang ilmu terkait. Referensi yang baik tidak hanya terbatas pada textbook, tetapi juga meliputi jurnal ilmiah terkini dan sumber-sumber primer lainnya. Keseimbangan antara sumber klasik dan kontemporer menjadi indikator bahwa penulis telah melakukan tinjauan literatur yang komprehensif.

Ilustrasi (Gambar : GeneratedAI)

Aspek teknis penyusunan referensi juga mendapat perhatian khusus. Konsistensi dalam format penulisan menunjukkan kedisiplinan akademik penulis. Penguji akan memeriksa apakah seluruh sitasi dalam teks sesuai dengan daftar referensi, serta apakah format penulisan mengikuti pedoman yang berlaku. Kesalahan dalam penulisan referensi seringkali mengindikasikan kelalaian dalam aspek-aspek lain yang lebih substantif.

Kualitas referensi juga dinilai dari relevansi dan otoritas sumber yang digunakan. Penguji akan memperhatikan apakah referensi yang dipilih benar-benar mendukung argumen dalam skripsi, atau sekadar menjadi hiasan belaka. Dominasi sumber-sumber sekunder yang tidak akademis, atau ketergantungan berlebihan pada satu dua sumber saja, dapat mengurangi kredibilitas karya ilmiah tersebut.

2. Presisi dan Relevansi Judul

Judul skripsi merupakan gerbang pertama yang membuka pemahaman terhadap keseluruhan penelitian. Sebuah judul yang baik harus mampu menggambarkan esensi penelitian secara tepat tanpa menjadi terlalu umum atau terlalu sempit. Penguji akan menilai apakah judul sudah mencerminkan variabel-variabel kunci yang diteliti serta konteks penelitian yang spesifik.

Kesesuaian antara judul dengan konten penelitian menjadi fokus evaluasi berikutnya. Tidak jarang ditemukan ketidakselarasan antara judul yang terlalu ambisius dengan pembahasan yang sebenarnya lebih terbatas. Judul yang ideal harus mampu menjadi "janji akademik" yang kemudian ditepati dalam pembahasan di seluruh bab skripsi.

Aspek kebaruan dan orisinalitas juga tercermin dalam pemilihan judul. Penguji akan melihat apakah judul sudah menunjukkan kontribusi unik dari penelitian tersebut terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Judul yang hanya mengulang penelitian-penelitian sebelumnya tanpa menawarkan perspektif baru cenderung kurang menarik secara akademik.

3. Kematangan Penyajian Abstrak

Abstrak yang baik berfungsi sebagai peta miniatur yang menggambarkan lanskap keseluruhan penelitian. Penguji akan mengevaluasi apakah abstrak sudah mencakup elemen-elemen penting seperti latar belakang, tujuan, metode, temuan, dan implikasi penelitian. Kelengkapan unsur-unsur ini menunjukkan kedewasaan penulis dalam menyajikan karya ilmiah.

Kejelasan ekspresi dan presisi bahasa dalam abstrak menjadi indikator kualitas berikutnya. Abstrak yang ditulis dengan kalimat-kalimat panjang dan berbelit-belit seringkali menyulitkan pemahaman. Sebaliknya, penyajian yang ringkas namun padat makna menunjukkan kemampuan penulis dalam mengkomunikasikan ide-ide kompleks secara efektif.

Konsistensi antara abstrak dengan isi skripsi merupakan aspek krusial yang selalu diperiksa. Tidak jarang ditemukan ketidaksesuaian antara klaim dalam abstrak dengan pembahasan mendetail di bab-bab berikutnya. Abstrak yang akurat harus mampu menjadi preview yang jujur terhadap keseluruhan isi skripsi.

4. Konsistensi Struktur dan Organisasi

Struktur skripsi yang terorganisir dengan baik memudahkan pembaca memahami alur pemikiran penulis. Penguji akan memeriksa apakah urutan bab dan subbab menunjukkan logika penelitian yang jelas, mulai dari perumusan masalah, landasan teori, metodologi, analisis, hingga simpulan. Jika struktur terlihat acak atau tidak sistematis, hal ini dapat mengindikasikan kelemahan dalam perencanaan penelitian.  

Selain kerangka besar, penguji juga memperhatikan konsistensi format penulisan. Apakah penomoran bab, subbab, dan gambar/tabel mengikuti pedoman yang berlaku? Apakah terdapat ketidakseragaman dalam penulisan heading, margin, atau spacing? Kesalahan kecil dalam format sering kali mencerminkan ketidaktelitian yang mungkin juga terjadi dalam analisis konten.  

Keseimbangan pembahasan antar-bab juga menjadi pertimbangan penting. Bab metodologi yang terlalu panjang tetapi analisis data yang dangkal, misalnya, menunjukkan ketimpangan dalam pengerjaan skripsi. Struktur yang ideal harus mencerminkan pembagian porsi yang proporsional sesuai bobot masing-masing komponen penelitian.  

5. Ketajaman Rumusan Masalah

Pertanyaan penelitian yang tajam dan terfokus menjadi tulang punggung sebuah skripsi. Penguji akan menilai apakah pertanyaan yang diajukan benar-benar muncul dari celah (gap) dalam literatur, bukan sekadar mengulang studi sebelumnya. Pertanyaan yang terlalu luas (misalnya, "Bagaimana pengaruh media sosial?") menunjukkan kurangnya kedalaman, sementara pertanyaan yang terlalu sempit dapat membatasi ruang analisis.  

Selain itu, penguji memeriksa kesesuaian antara pertanyaan penelitian dengan metode yang digunakan. Apakah pertanyaan bersifat kualitatif tetapi dijawab dengan survei kuantitatif? Apakah pertanyaan tentang "mengapa" hanya dijawab dengan deskripsi "apa"? Inkonsistensi semacam ini mengindikasikan kelemahan konseptual yang serius.  

Terakhir, pertanyaan penelitian harus mengarah pada temuan yang bermakna. Jika pertanyaan terlalu dangkal atau jawabannya sudah dapat diprediksi dari awal, skripsi tersebut kehilangan nilai akademisnya. Pertanyaan yang baik harus memicu eksplorasi mendalam dan memberikan kontribusi baru bagi bidang ilmu.  

6. Kekokohan Landasan Teoretis  

Kerangka teoretis berfungsi sebagai fondasi yang memperkuat bangunan argumen dalam skripsi. Penguji akan mengevaluasi apakah teori yang dipilih relevan dengan masalah penelitian dan apakah penulis benar-benar memahami konsep-konsep kunci. Penggunaan teori yang asal-asalan hanya untuk memenuhi syarat formalitas akan mudah terdeteksi.  

Visualisasi hubungan antar-variabel dalam model teoretis juga menjadi sorotan. Diagram yang tidak jelas, rancu, atau tidak sesuai dengan penjelasan tekstual menunjukkan kelemahan dalam perumusan konsep. Sebaliknya, kerangka yang dirancang dengan baik membantu pembaca memahami logika penelitian secara intuitif. 

Penguji juga melihat orisinalitas penerapan teori. Apakah penulis hanya menyalin mentah-mentah model dari literatur, atau mengembangkannya sesuai konteks penelitian? Skripsi yang berkualitas tidak hanya mengadopsi teori, tetapi juga menyesuaikan, mengkritik, atau bahkan mengusulkan modifikasi berdasarkan temuan empiris.  

7. Transparansi Proses Penelitian  

Lampiran yang lengkap dan terorganisir mencerminkan transparansi dalam pelaksanaan penelitian. Penguji akan memeriksa kelengkapan instrumen seperti kuesioner, panduan wawancara, atau lembar observasi. Jika data mentah tidak disertakan, sulit untuk mengevaluasi validitas analisis yang dilakukan.  

Konsistensi antara lampiran dan bab metodologi juga menjadi fokus penilaian. Apakah prosedur pengumpulan data yang dijelaskan dalam bab metode benar-benar tercermin dalam instrumen yang dilampirkan? Ketidaksesuaian di sini dapat menimbulkan keraguan terhadap keandalan seluruh penelitian.  

Terakhir, penguji memperhatikan etika penelitian yang tercermin dalam lampiran. Apakah terdapat bukti persetujuan etik (jika diperlukan), surat izin penelitian, atau pernyataan kerahasiaan informan? Kelalaian dalam dokumentasi etis dapat menjadi masalah serius, terutama untuk penelitian yang melibatkan subjek manusia.  

***

Proses penilaian skripsi tidak hanya menguji hasil akhir, tetapi juga merekonstruksi seluruh perjalanan penelitian. Dengan memeriksa ketujuh aspek di atas secara kritis, penguji dapat menentukan apakah skripsi tersebut memenuhi standar akademik sekaligus memberikan umpan balik yang membangun bagi perkembangan keilmuan penulis.

____________________

* Tulisan ini disadur dari SINI

Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • ENGGANO DI UJUNG TANDUK
  • RAPOR TANPA MERAH DAN SEKOLAH TANPA LUKA
  • EKSISTENSI DUA FORUM
  • KESEPIANNYA PARA ORANG TUA DI KALA SENJA

Ramadhan Bercerita

PARIWARA

PARIWARA

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar