WAHYU KEPRABON DI ERA DIGITAL

Baca Juga

Sejak masa kerajaan-kerajaan Jawa, masyarakat memiliki cara tersendiri untuk membaca kelayakan seorang pemimpin. Kelayakan tidak ditentukan hanya oleh garis keturunan, tetapi juga oleh sesuatu yang dipahami sebagai wahyu kepabron. Wahyu ini dipandang sebagai pertanda kedewasaan batin, kematangan moral, dan kesiapan seseorang memegang amanah besar. Dalam tradisi lama, wahyu kepabron dipercaya hadir bersama pribadi yang mampu menjaga diri, mampu menahan ambisi, dan mampu memelihara harmoni di tengah masyarakatnya. Harmoni menjadi simbol utama bahwa seseorang pantas memimpin. Kepantasan itu dinilai melalui perilaku, bukan sekadar pernyataan.

Cerita-cerita tentang wahyu kepabron menjadi bagian penting dalam narasi kekuasaan kerajaan Jawa. Kisah naik-turunnya raja sering dijelaskan melalui hadir atau hilangnya wahyu tersebut. Ketika seorang raja menjaga kebijaksanaan, keteguhan, dan kehati-hatian, masyarakat menilai bahwa wahyu masih bersamanya. Ketika raja menunjukkan perilaku yang mengganggu harmoni, masyarakat akan membaca bahwa wahyu mulai menjauh. Cara pandang ini membuat masyarakat lebih menilai batin seorang pemimpin daripada apa yang tampak di permukaan. Dengan demikian, wahyu kepabron adalah konsep budaya yang menilai kelayakan moral berdasarkan perilaku nyata.

Ilustrasi Raja di Era Digital (Gambar : AI Generated)

Perubahan besar dalam cara publik menilai kepemimpinan terasa kuat sejak ruang digital menjadi pusat komunikasi sosial. Publik memberikan perhatian bukan lagi dari cerita turun-temurun, tetapi dari jejak tindakan yang muncul setiap hari di layar. Perubahan ini mengatur ulang bagaimana dukungan politik terbentuk dan bagaimana legitimasi dibangun. Dalam kondisi seperti ini, struktur kekuasaan menghadapi tekanan untuk menjadi lebih terbuka dan lebih konsisten. Tekanan tersebut membuat konsep kelayakan pemimpin mengalami pergeseran. Pergeseran ini berlangsung bertahap mengikuti perkembangan teknologi.

Masyarakat Indonesia yang akrab dengan budaya Jawa membawa ingatan lama ketika menilai pemimpin. Konsep wahyu kepabron tetap menjadi rujukan batin, meski wujudnya tidak lagi sama. Dalam Etika Jawa, Franz Magnis Suseno menjelaskan bahwa pemimpin dihargai karena kedalaman wataknya. Kedalaman itu terlihat dari ketenangan, kesabaran, dan kemampuan menjaga harmoni. Pada masa lalu, harmoni dibaca dari tindakan sehari-hari. Kini harmoni itu dibaca dari pola komunikasi digital. Pola ini menjadi rujukan publik untuk membaca kualitas batin pemimpin.

Ruang digital membuat semua tindakan mudah diamati. Pengamatan publik tidak memiliki batas ruang dan waktu. Setiap pernyataan yang tidak tepat akan langsung mendapat respons. Respons publik membentuk persepsi. Persepsi menentukan legitimasi. Legitimasi menjadi dasar bagi pemimpin untuk menjalankan kebijakan. Legitimasi tidak lagi bergantung pada simbol atau cerita, tetapi pada konsistensi tindakan yang terekam.

Bukti menjadi lebih penting daripada kesan. Bukti itu berupa jejak digital yang bertahan lama dan sulit dihapus. Orang dapat melihat bagaimana pemimpin bersikap dalam krisis, menjawab kritik, dan menjelaskan kebijakan. Semua rekam tindakan itu membentuk gambaran tentang kelayakan. Publik akan mengingat pola, bukan momen tunggal. Pola inilah yang menjadi dasar penilaian masyarakat dalam era digital.

Dinamika tersebut membuat ruang digital menjadi pusat perhatian publik. Setiap unggahan menjadi bagian dari rekam tindakan. Setiap klarifikasi menjadi bagian dari penilaian. Pemimpin harus memahami bahwa penilaian publik tidak hanya mengenai isi pesan, tetapi juga cara menyampaikan pesan. Konsistensi menjadi faktor kunci dalam membangun persepsi positif. Persepsi positif memperkuat legitimasi.

Ketika perhatian bergerak cepat, kejelasan komunikasi menjadi kebutuhan utama. Kejelasan memberi pegangan bagi publik dalam memahami arah kebijakan. Tanpa kejelasan, publik mudah terpengaruh oleh informasi yang lebih cepat, meski tidak akurat. Di sini peran pemimpin diuji untuk tetap menjaga ritme komunikasi yang terukur. Ritme yang terukur membantu membangun stabilitas. Stabilitas menjadi dasar bagi kepercayaan publik.

Di tengah perubahan ini, muncul tantangan besar berupa banjir informasi. Informasi tidak selalu jernih. Namun di balik tantangan itu terdapat peluang untuk membangun hubungan lebih dekat dengan masyarakat. Ruang digital membuka jalan bagi dialog langsung. Dialog yang terbuka membentuk hubungan yang lebih kuat. Hubungan mengarah pada penerimaan. Penerimaan menjadi unsur penting dalam membangun legitimasi.

Jejak digital membuat standar baru dalam menilai pemimpin. Setiap tindakan memiliki konsekuensi. Pemimpin perlu menjaga kesesuaian antara kata dan tindakan. Publik sangat sensitif terhadap ketidaksesuaian. Ketidaksesuaian memicu keraguan. Keraguan merusak legitimasi. Legitimasi yang rusak membuat pemimpin kehilangan kepercayaan.

Walaupun ruang digital membawa perubahan besar, nilai budaya tetap menjadi bagian penting. Nilai seperti ketenangan, kebijaksanaan, dan pengendalian diri tidak hilang. Nilai itu justru menjadi lebih terlihat dalam cara pemimpin menghadapi tekanan digital. Respon yang tergesa atau emosional akan mudah terbaca. Publik mengharapkan pemimpin yang matang secara batin. Kematangan terlihat dari ritme komunikasi yang stabil.

Stabilitas itu sejalan dengan inti konsep wahyu kepabron. Dalam budaya Jawa, pemimpin yang matang menjaga keseimbangan dalam situasi sulit. Era digital membuat ujian keseimbangan lebih sering muncul. Ujian itu datang dari komentar publik, dari kritik, atau dari informasi salah. Pemimpin yang matang akan menjaga ketenangan. Ketengan akan terlihat dalam rekam digital. Rekam tindakan yang stabil memberi rasa aman bagi publik.

Rasa aman menjadi dasar dari kepercayaan. Kepercayaan menentukan dukungan. Dukungan memberi legitimasi. Legitimasi kemudian memberi ruang bagi pemimpin untuk menjalankan visi. Visi yang kuat memerlukan pijakan kepercayaan publik. Kepercayaan publik tidak hadir secara otomatis. Kepercayaan harus dibangun melalui rekam tindakan yang konsisten.

Manuel Castells dalam Communication Power menekankan bahwa kekuasaan di era digital terbentuk melalui kemampuan mengatur arus informasi. Pemimpin yang mampu menjaga aliran informasi tetap jernih memiliki peluang lebih besar mempertahankan dukungan publik. Dukungan publik menjadi penentu ketahanan politik. Ketahanan politik menentukan stabilitas kebijakan. Stabilitas adalah syarat minimum bagi pembangunan jangka panjang.

Fenomena ini membuat pemimpin harus lebih peka terhadap perubahan suasana publik. Publik tidak lagi mengikuti pemimpin hanya karena posisi. Publik menimbang melalui bukti dan rekam tindakan. Penimbangan ini membuat struktur kekuasaan lebih terbuka. Keterbukaan menuntut pemimpin menjaga kualitas komunikasi. Kualitas komunikasi mempengaruhi legitimasi.

Gabungan antara nilai tradisi dan kecakapan digital menjadi fondasi kepemimpinan masa kini. Nilai tradisi menyediakan kedalaman moral. Kecakapan digital memberikan kemampuan membaca situasi modern. Keduanya harus berjalan beriringan. Ketika salah satu hilang, kepemimpinan menjadi pincang. Pemimpin membutuhkan keduanya untuk bertahan di tengah perubahan cepat.

Era digital juga menguji ritme komunikasi pemimpin. Ritme yang terlalu sering dapat melelahkan publik. Ritme yang terlalu jarang dapat membuat pemimpin dianggap tidak hadir. Keseimbangan adalah kuncinya. Keseimbangan menunjukkan kematangan. Kematangan memberikan kesan bahwa pemimpin memahami situasi. Pemahaman itu memperkuat kepercayaan.

Dalam budaya Jawa, pemimpin ideal adalah pemimpin yang mampu menjaga batas dan tidak terjebak pada godaan untuk tampil berlebihan. Prinsip itu tetap relevan dalam ruang digital. Pemimpin perlu memilih waktu yang tepat untuk berbicara dan waktu yang tepat untuk diam. Diam bukan berarti absen. Diam adalah bagian dari strategi menjaga kejernihan. Kejernihan menjadi tanda kematangan.

Kematangan itu juga terlihat dari cara pemimpin menjaga jarak aman dengan konflik digital. Konflik digital mudah membakar emosi. Pemimpin harus menjaga jarak agar tetap jernih. Jernih dalam menilai situasi. Jernih dalam merumuskan respons. Respons yang jernih memperlihatkan kedewasaan. Kedewasaan menjadi dasar penerimaan publik.

Ketika publik menerima pemimpin, hubungan sosial menjadi lebih stabil. Stabilitas ini memberi ruang bagi pemimpin untuk memperbaiki kebijakan secara berkelanjutan. Keberlanjutan membutuhkan kepercayaan. Kepercayaan membutuhkan rekam tindakan yang konsisten. Konsistensi itulah yang menjadi rujukan utama bagi publik dalam menilai pemimpin masa kini.

Namun konsistensi bukanlah sesuatu yang mudah dijaga. Inkonsistensi menjadi tantangan besar dalam era digital karena publik memiliki memori kolektif. Memori ini tersimpan dalam arsip internet. Pernyataan lama dapat muncul kembali kapan saja. Ketika pernyataan itu tidak selaras dengan tindakan baru, publik akan mempertanyakannya. Pertanyaan itu bisa berkembang menjadi kritik. Kritik yang tidak terkelola akan menggerus legitimasi.

Stabilitas dalam menghadapi kritik menjadi ukuran penting. Publik menghargai pemimpin yang tidak defensif dan tetap rasional. Rasionalitas memberi ruang bagi dialog. Dialog menciptakan hubungan yang sehat antara pemimpin dan masyarakat. Hubungan yang sehat melahirkan penerimaan sosial. Penerimaan sosial menguatkan posisi politik.

Dalam sistem politik modern, persepsi sering lebih berpengaruh daripada realitas. Persepsi dibentuk oleh rekam tindakan yang mudah dilihat. Rekam yang stabil membentuk persepsi positif. Persepsi positif menciptakan rasa aman. Rasa aman mendorong dukungan. Dukungan mendukung kelangsungan kepemimpinan. Keberlangsungan menciptakan ruang kerja yang lebih tenang.

Di sinilah tradisi dan teknologi bertemu secara nyata. Tradisi memberikan kerangka moral. Teknologi memberikan sarana untuk menampilkan rekam tindakan. Pertemuan keduanya melahirkan cara baru dalam membaca kelayakan pemimpin. Kelayakan tidak hanya dinilai dari nasab atau posisi, tetapi dari rekam tindakan yang dapat diuji. Uji itu berlangsung setiap hari. Setiap hari publik memberikan penilaian.

Ketika penilaian itu konsisten positif, legitimasi tumbuh dengan kuat. Legitimasi kuat mencerminkan bahwa pemimpin memiliki dasar yang kokoh dalam menjalankan tugas. Dasar ini bukan sekadar formalitas. Dasar ini berasal dari penerimaan sosial yang terbentuk dari proses panjang. Proses panjang itu terlihat dalam dengan jelas di ruang digital.

Pada akhirnya, pemimpin masa kini memerlukan dua fondasi utama, yaitu moralitas yang diakui publik dan rekam tindakan yang stabil. Moralitas berasal dari nilai budaya yang menuntut kebijaksanaan dan keseimbangan. Rekam tindakan berasal dari ruang digital yang menyimpan seluruh jejak komunikasi. Ketika kedua fondasi ini berpadu, publik melihat kelayakan yang lengkap. Kelayakan ini menjadi bentuk mutakhir dari tradisi lama yang terus hidup. Bentuk inilah yang kini dikenal sebagai Wahyu Kepabron di Era Digital.

Share:

0 comments