PARADIGMA YANG TERKURUNG DUA KUBU
Baca Juga
Tulisan ini lahir dari kegelisahan yang sudah lama menggantung seperti kabel listrik tua di tiang pinggir kampung, terlihat biasa tapi menyisakan bahaya. Setiap kali saya masuk kelas, selalu muncul tanya yang sama soal metode penelitian, seperti ritual akademik yang tak selesai sejak zaman Comte dan Durkheim. Mahasiswa mengira penelitian hanya punya dua pintu, kuantitatif atau kualitatif, dan mereka merasa wajib memilih salah satunya seperti memilih kubu dalam pertikaian keluarga besar. Saya melihat wajah mereka tegang, seolah salah pilihan akan membuat proposal mereka dikubur hidup-hidup. Aneh sekali karena dunia penelitian sudah lama meninggalkan dikotomi ini. Saya ingin mengajak pembaca melihat duduk persoalannya. Pelan saja, tetapi tetap tegas agar jalan keluar terlihat lebih terang.
Ketika saya menengok perjalanan metodologi, saya menemukan pola unik yang sudah diwariskan bertahun-tahun di kampus. Dua kubu itu awalnya hanya lahir dari kebutuhan pedagogis, bukan dari hukum alam atau wahyu ilmiah. Durkheim berdiri di satu sisi dengan positivismenya, lalu Boas dan Geertz berdiri di sisi lain dengan tafsir budaya. Lama-lama keduanya dianggap sebagai dua jalan besar yang tak boleh ditembus. Padahal para pelopornya sendiri tidak pernah berniat mengikat peneliti generasi berikutnya dengan ikatan besi. Penjelasan sederhana lalu berubah menjadi perintah mutlak. Kita pun mewarisi mitos itu tanpa bertanya ulang.
Setiap tahun saya membaca karya metodolog internasional dan selalu menemukan kalimat bernada sama. Creswell mengingatkan sejak 2009 bahwa dunia penelitian tak sesempit itu. Ia menulis bahwa dikotomi kualitatif dan kuantitatif sudah usang dan penelitian nyata selalu mencampurkan pendekatan. Babbie menambahkan bahwa metode sosial lebih mirip garis kontinu, bukan dua kotak berkotak-kotak. Tashakkori dan Teddlie, tokoh mixed methods, bahkan menolak anggapan bahwa data hanya punya dua warna. Denzin dan Lincoln menguatkan pandangan itu. Semua ini menunjukkan bahwa kita ketinggalan kereta yang sudah berangkat lebih dulu.
Kadang saya membayangkan perdebatan metodologi kita seperti seseorang yang tetap memuja mesin tik saat orang lain sudah memotret dokumen dengan ponsel. Kita terlalu lama memegang cara lama yang membelah dunia menjadi dua bagian. Padahal penelitian modern memberi klasifikasi lebih kaya. Peneliti internasional memilih jenis penelitian berdasarkan tujuan. Ada eksploratif, deskriptif, eksplanatori, evaluatif, prediktif, dan intervensi. Pembagian dua kubu tidak muncul sama sekali di sini.
Kalau kita bicara tentang data, situasinya lebih jelas. Dunia penelitian tidak hanya mengenal angka atau narasi. Ada data observasi, audio visual, arsip, dan dokumentasi. Semua ini memiliki karakter yang berbeda dan tak mungkin dimasukkan ke satu laci saja. Data administrasi juga makin sering dipakai dalam riset sosial kontemporer. Peneliti kini menggabungkan semuanya untuk mendapat gambaran utuh. Pemisahan dua kubu terasa makin rapuh.
Saya selalu tertarik saat membaca daftar metode dalam buku metodologi modern. Ada survei, etnografi, studi kasus, eksperimen, desain kuasieksperimental, analisis dokumen, penelitian historis, mixed methods, dan bibliometrik. Semua ini lahir untuk menjawab kebutuhan penelitian yang bermacam-macam. Sulit membayangkan pembagian dua kubu bisa menampung keragaman ini. Metode tumbuh sesuai masalah. Karena itu, pembagian lama terasa tidak imbang.
Bila dikaitkan dengan paradigma epistemologis, perdebatan makin panjang. Ada positivisme, post-positivisme, interpretivisme, konstruktivisme, kritikal, pragmatisme, fenomenologi, etnometodologi, dan critical realism. Semua ini mengandung cara pandang yang berbeda soal realitas dan cara mengenalinya. Anehnya, kubu kualitatif dan kuantitatif tidak muncul sebagai kategori di sini. Dunia epistemologi jauh lebih rumit dari perdebatan biner. Namun kampus kita tetap sibuk dengan kotak lama.
Setiap kali mahasiswa datang meminta bimbingan, saya bertanya apa tujuan penelitiannya. Banyak yang langsung menjawab bahwa mereka ingin meneliti secara kualitatif. Jawaban itu membuat saya menghela napas. Mereka mengira metode adalah identitas, bukan alat. Mereka ingin merasa “aman” di salah satu kubu. Padahal penelitian tidak berjalan seperti itu. Tujuan harus menentukan jalan, bukan sebaliknya.
Kita harus akui, dikotomi lama memang membantu mahasiswa pemula. Dengan dua pilihan, dunia terasa lebih sederhana. Mereka merasa lebih mudah memulai. Tapi penyederhanaan itu menjadi masalah ketika bertahun-tahun kemudian mereka masih menganggap dua kubu itu sebagai kebenaran absolut. Penyederhanaan berubah menjadi dogma. Dogma membuat pikiran berhenti bertanya.
Di ruang kelas, saya sering menjelaskan bagaimana dikotomi itu membingungkan. Banyak mahasiswa menganggap data nonangka otomatis kualitatif. Mereka mengira angka otomatis kuantitatif. Lalu mereka salah kaprah memahami makna konteks, narasi, atau deskripsi. Mereka memaksa penelitian berjalan dengan logika dua kotak. Ini membuat proposal banjir revisi. Kita bisa mencegah hal ini jika sejak awal memahami masalahnya.
Kampus yang masih mempertahankan pembagian lama biasanya menjadi tempat subur bagi miskonsepsi. Dosen pun kadang mengajarkan metodologi seperti kitab suci yang tidak boleh disentuh. Mahasiswa hanya menyalin pola itu tanpa keberanian mempertanyakan. Padahal literatur internasional sudah lama mengubah arah. Kita seperti terjebak di ruang yang pintunya tidak pernah dibuka. Kita perlu keberanian untuk mulai menggesernya.
Saya pikir perlu kejujuran untuk mengakui bahwa cara kita mengajar metodologi berada dalam fase stagnan. Banyak dosen yang bertahun-tahun memakai slide lama. Banyak buku lokal juga hanya mendaur ulang pola yang sama. Penelitian berubah, tetapi cara mengajar tidak ikut berubah. Ketimpangan ini besar sekali. Kitalah yang harus mengejar ketertinggalan.
Dalam konteks global, penelitian sosial berkembang cepat. Mixed methods tumbuh, analisis big data muncul, etnografi digital tersebar, penelitian evaluatif makin terstandar, dan bibliometrik menjadi arus utama. Sementara itu, mahasiswa Indonesia masih berkutat memilih “kualitatif atau kuantitatif” seperti memilih paket makan siang. Dunia bergerak; kita tidak. Ketertinggalan tidak akan selesai jika kita tetap nyaman.
Beberapa kali saya mengikuti konferensi internasional dan menemukan pola menarik. Tidak ada sesi yang berbicara tentang dua kutub metodologi. Para peneliti mengulas metode sesuai kebutuhan riset, bukan identitas data. Mereka sibuk memperbaiki desain penelitian, bukan memperdebatkan apakah penelitian mereka kualitatif. Saya pulang dari konferensi dengan kesan kuat bahwa kita harus berubah. Perubahan tidak sulit jika kita mau memulai.
Saya sering mencontohkan pada mahasiswa bagaimana sebuah penelitian bisa memakai banyak jenis data. Observasi bertemu survei. Wawancara bertemu dokumentasi. Statistik bertemu narasi. Semuanya dipakai secara fungsional. Mereka terkejut karena selama ini diajarkan bahwa metode harus murni di salah satu kubu. Mereka merasa ada pintu baru terbuka. Pintu itu perlu dijaga agar tetap terbuka.
Banyak kasus di mana penelitian gagal bukan karena datanya buruk, tetapi karena pemahaman metodologinya sempit. Mahasiswa memaksakan data naratif menjadi model kuantitatif. Atau sebaliknya, data angka diperlakukan seperti cerita panjang. Kesalahan ini muncul akibat dikotomi lama. Kita perlu menata ulang cara berpikir. Penelitian butuh fleksibilitas.
Saya merasa penting menggarisbawahi posisi teoritik yang sehat. Jenis penelitian ditentukan oleh tujuan, sifat data, metode pengumpulan data, dan paradigma yang dipakai. Empat hal ini membantu kita menentukan langkah penelitian secara logis. Empat hal ini juga lebih konsisten dengan literatur internasional. Jika kita mengajarkan ini, mahasiswa lebih mudah memahami gambaran besar. Gambaran besar lebih penting dari sekat sempit.
Dalam banyak kelas, saya melihat bagaimana mahasiswa mulai memahami jalan baru ketika diberi contoh konkret. Mereka merasa lebih bebas, tetapi juga lebih terarah. Mereka tahu alasan memilih metode, bukan hanya mengikuti tradisi. Mereka belajar menyusun argumen, bukan sekadar memungut istilah yang mereka sendiri tidak pahami. Perubahan kecil ini memberi dampak besar. Kita perlu memperluasnya.
Saya teringat percakapan dengan seorang mahasiswa yang terjebak dalam asumsi bahwa semua penelitian kualitatif harus memakai wawancara mendalam. Ia tidak tahu bahwa dokumentasi atau observasi pun bagian dari kualitatif. Ia mengira model biner itu seperti undang-undang. Saya menjelaskan perlahan. Ia mengangguk sambil tertawa kecil. Semacam pencerahan sederhana.
Ada pula mahasiswa yang merasa penelitian kuantitatif selalu harus uji pengaruh X terhadap Y. Mereka sibuk mencari variabel hanya karena merasa itu “standar”. Mereka tidak sadar bahwa penelitian deskriptif atau prediktif juga bagian dari kuantitatif. Kesalahan ini terjadi bukan karena mereka malas. Mereka hanya diajarkan dengan cara lama. Cara itu sudah tidak sesuai konteks.
Dalam diskusi kelompok, saya selalu mendorong mahasiswa untuk membaca literatur metodologi terbaru. Mereka menemukan istilah baru yang tidak pernah diajarkan. Mereka melihat keragaman yang menandakan bahwa penelitian terus berkembang. Mereka sadar bahwa dikotomi lama hanyalah titik awal, bukan tujuan. Pemahaman ini memberi mereka ruang berpikir. Ruang itu penting untuk kreativitas.
Di titik ini, kita perlu tegas menyatakan bahwa dikotomi itu sudah gugur. Ia bukan gugur kemarin atau tahun lalu. Ia gugur sejak puluhan tahun lalu. Dunia akademik internasional tidak lagi memakai pembagian biner. Ia hanya hidup di beberapa kampus Asia Selatan dan sebagian Afrika. Indonesia termasuk wilayah yang masih memegangnya erat. Kita harus keluar dari pola ini.
Saya ingin menekankan bahwa perubahan tidak harus heroik. Kita cukup mulai mengubah cara mengajar dan cara memahami metodologi. Kita cukup membuka akses pada literatur yang lebih luas. Kita cukup menantang asumsi yang sudah terlanjur dianggap suci. Perubahan kecil ini bisa menciptakan dampak besar. Kita tinggal memulainya.
Dalam praktik, banyak mahasiswa merasa lebih nyaman ketika saya berkata bahwa tidak masalah memakai lebih dari satu jenis data. Mereka merasa seperti diberi izin untuk bernapas lebih lega. Mereka tidak lagi terikat pada batasan sempit. Mereka mulai memahami logika di balik metode. Pemahaman ini penting dalam penelitian.
Setelah beberapa tahun mengajar, saya menyadari bahwa kebingungan metodologi adalah masalah struktural. Masalah ini hidup di kurikulum, buku ajar, dan tradisi kampus. Ia membuat ratusan mahasiswa setiap tahun bekerja dengan kerangka yang tidak lengkap. Jika kita tidak memperbaikinya, kita akan melahirkan peneliti yang tidak siap menghadapi dunia riset internasional. Kita harus menata ulang dari akar.
Dalam obrolan santai dengan beberapa kolega, saya mendengar keluhan sama. Mereka merasa penelitian mahasiswa kurang kreatif. Mereka menyalahkan kemampuan analisis atau minat baca. Padahal sumber masalahnya ada pada pemahaman metodologi yang sempit. Pikiran yang dibatasi dua kubu tidak akan mampu melahirkan ide yang beragam. Kita harus memperluas batas itu. Kita harus memberi ruang.
Ketika membaca proposal mahasiswa, saya sering menemukan standar lama yang sudah tidak relevan. Mereka menulis metode hanya untuk memenuhi syarat administrasi. Mereka tidak memahami alasan di baliknya. Mereka mengulang pola yang diajarkan. Pola itu harus diperbarui. Pembaruan ini akan berdampak pada kualitas penelitian.
Jika kita ingin mengejar standar internasional, langkah awalnya sederhana. Kita berhenti mengajarkan metodologi dengan pola dua kubu. Kita mulai memperkenalkan klasifikasi berdasarkan tujuan, data, metode, dan paradigma. Kita membiasakan mahasiswa dengan cara berpikir kontinu. Cara berpikir ini lebih sehat. Cara ini juga lebih sesuai dengan perkembangan dunia.
Saya yakin banyak dosen di Indonesia yang memahami perkembangan metodologi ini. Masalahnya, perubahan tidak selalu didukung struktur institusi. Beberapa kampus tetap memakai buku ajar lama. Beberapa tidak memberi ruang untuk pembaruan kurikulum. Perubahan akhirnya bergerak lambat. Tapi lambat pun lebih baik daripada berhenti.
Di tahap ini, saya ingin mengajak pembaca membayangkan situasi yang lebih baik. Kita punya ruang kelas yang memberi pemahaman metodologi secara komprehensif. Mahasiswa memahami alasan memilih metode. Dosen lebih fleksibel dalam membimbing. Penelitian menjadi lebih kreatif. Gambaran ini tidak mustahil.
Ada satu hal penting yang perlu terus diingat. Penelitian bukan pertarungan antara dua kubu. Ia adalah proses mencari pemahaman paling tepat sesuai pertanyaan penelitian. Pertanyaan yang baik akan membawa kita ke data yang tepat. Data yang tepat akan membawa kita ke metode yang sesuai. Proses ini tidak butuh dikotomi lama.
Tulisan ini ingin memberi dorongan agar kampus Indonesia mulai menata ulang cara memahami metodologi. Kita memiliki tanggung jawab untuk mengikuti perkembangan dunia. Kita tidak boleh terlalu nyaman dengan pola lama. Kenyamanan hanya membuat kita tertinggal. Kita harus mulai bergerak.
Saya percaya mahasiswa Indonesia mampu mengikuti perkembangan ini. Mereka hanya butuh panduan yang lebih mutakhir. Mereka butuh ruang untuk bereksperimen. Mereka butuh kebebasan intelektual yang tidak dibatasi sekat biner. Ruang seperti ini penting untuk masa depan penelitian.
Pada akhirnya, perubahan metodologi bukan soal mode akademik. Ia soal cara kita memandang ilmu pengetahuan. Jika kita memandang penelitian sebagai proses yang terus berkembang, kita akan meninggalkan dikotomi lama. Jika kita tetap memegang dua kubu, kita akan berjalan di tempat. Pilihannya ada pada kita.
Tulisan ini saya tutup dengan satu kalimat sederhana. Kita perlu keluar dari perangkap dua kubu metodologi. Perangkap itu sudah terlalu lama membatasi pikiran mahasiswa. Dunia penelitian bergerak jauh. Kita harus bergerak bersama. Kita tidak boleh ketinggalan.
Tags:
Pendidikan
Perguruan Tinggi



0 comments