Pendidikan dasar dan menengah, fondasi bagi pembangunan manusia Indonesia, kini dihadapkan pada sebuah ironisme. Di satu sisi, negara mengumandangkan wajib belajar 9 tahun, menjamin akses pendidikan bagi seluruh rakyatnya. Di sisi lain, akreditasi PAUD dan Dikdasmen masih menjadi momok yang menghantui satuan pendidikan.
Pertanyaan mendasar pun mengemuka: sejauh mana relevansi akreditasi di tengah wajib belajar yang meniscayakan pemerataan kualitas pendidikan? Bukankah seharusnya negara bertanggung jawab penuh atas terpenuhinya standar nasional pendidikan di setiap sudut negeri, alih-alih melemparkan tanggung jawab tersebut melalui mekanisme akreditasi?
Akreditasi: Instrumen Peningkatan Mutu atau Beban Birokrasi?
Akreditasi, dalam konsep idealnya, merupakan instrumen penting untuk menjamin dan meningkatkan mutu pendidikan. Sekolah yang terakreditasi diharapkan mampu menyediakan layanan pendidikan berkualitas yang sesuai dengan standar nasional. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan akreditasi seringkali jauh panggang dari api.
Alih-alih menjadi pemicu peningkatan mutu, akreditasi justru kerap dipandang sebagai beban birokrasi oleh satuan pendidikan. Berbagai persyaratan administratif dan teknis yang harus dipenuhi menimbulkan tekanan tersendiri bagi sekolah. Energi dan sumber daya yang seharusnya difokuskan untuk meningkatkan mutu pembelajaran justru terkuras untuk mengurus akreditasi.
Survei yang dilakukan oleh Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) pada tahun 2018 menunjukkan bahwa sebanyak 70% guru merasa terbebani dengan proses akreditasi. Mereka mengeluhkan banyaknya dokumen yang harus disiapkan dan prosedur yang berbelit-belit. Hal ini tentu saja mempengaruhi fokus dan konsentrasi guru dalam melaksanakan tugas utamanya, yakni mengajar.
Selain itu, akreditasi juga rawan dipolitisasi dan dikomersialisasi. Tidak sedikit oknum yang mencoba mencari keuntungan pribadi di balik proses akreditasi. Praktik suap, gratifikasi, dan manipulasi data kerap terjadi demi memperoleh status akreditasi tinggi. Hal ini tentu saja merusak citra akreditasi sebagai instrumen peningkatan mutu pendidikan.
Instrumen akreditasi yang ada saat ini juga dirasa belum mampu menangkap esensi kualitas pendidikan secara komprehensif. Fokus penilaian masih terlalu banyak pada aspek input dan proses, sementara aspek output dan outcome relatif terabaikan. Padahal, tujuan akhir pendidikan adalah menghasilkan lulusan yang berkompeten dan berkarakter, bukan sekedar memenuhi persyaratan administratif.
Akreditasi seharusnya tidak hanya menilai kelengkapan dokumen dan sarana prasarana sekolah, tetapi juga harus memperhatikan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kualitas pendidikan, seperti kualitas guru, iklim pembelajaran, dan partisipasi masyarakat.
Data dari Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2022 menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan negara-negara lain dalam hal literasi, numerasi, dan sains. Hal ini mengindikasikan bahwa sistem pendidikan kita belum mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas internasional. Akreditasi seharusnya mampu mendorong sekolah untuk terus berbenah diri dan meningkatkan mutu layanan pendidikan, sehingga dapat menghasilkan lulusan yang berdaya saing global.
Wajib Belajar: Tanggung Jawab Siapa?
Amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sudah sangat jelas: wajib belajar 9 tahun, meliputi pendidikan dasar dan menengah. Artinya, setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu sesuai standar nasional tanpa terkecuali. Pertanyaannya kini, siapa yang seharusnya bertanggung jawab menjamin terpenuhinya standar nasional pendidikan tersebut?
Dalam konteks wajib belajar, tanggung jawab utama ada di pundak pemerintah. Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menyediakan akses pendidikan yang berkualitas bagi seluruh rakyatnya. Ini bukan sekedar menyediakan sekolah dan guru, tetapi juga menjamin bahwa setiap sekolah memiliki sumber daya yang memadai untuk menyelenggarakan pendidikan berkualitas.
Pemerintah wajib menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, mulai dari gedung sekolah yang layak, perpustakaan yang lengkap, laboratorium yang memenuhi standar, hingga akses internet dan teknologi informasi yang mendukung proses pembelajaran. Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai merupakan fondasi bagi terselenggaranya pendidikan berkualitas.
Selain itu, pemerintah juga bertanggung jawab menyediakan tenaga kependidikan yang kompeten dan berkualitas. Guru merupakan ujung tombak pendidikan. Kualitas guru sangat menentukan kualitas lulusan. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap sekolah memiliki guru yang cukup jumlahnya, berkualifikasi, dan mendapatkan pengembangan profesional yang berkelanjutan.
Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada tahun 2022 menunjukkan bahwa masih terdapat kekurangan guru sebanyak 1,3 juta orang di seluruh Indonesia. Distribusi guru juga belum merata, dengan konsentrasi guru yang lebih banyak di perkotaan dibandingkan di pedesaan. Hal ini tentu saja mempengaruhi kualitas pendidikan di daerah terpencil.
Pemerintah juga harus menjamin ketersediaan dana pendidikan yang cukup dan merata bagi semua sekolah. Dana pendidikan digunakan untuk membiayai operasional sekolah, pengadaan sarana dan prasarana, pengembangan profesional guru, serta berbagai program peningkatan mutu pendidikan. Ketersediaan dana yang cukup merupakan syarat mutlak bagi terselenggaranya pendidikan berkualitas.
Anggaran pendidikan Indonesia saat ini sudah mencapai 20% dari APBN, sesuai dengan amanat konstitusi. Namun, efektivitas penggunaan anggaran tersebut masih perlu ditingkatkan. Banyak dana pendidikan yang tidak terserap dengan baik atau dialokasikan untuk kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan peningkatan mutu pembelajaran.
Melemparkan tanggung jawab pemenuhan standar nasional pendidikan kepada sekolah melalui mekanisme akreditasi justru menunjukkan ketidakhadiran negara dalam menjalankan kewajibannya. Sekolah dipaksa berjuang sendiri untuk memenuhi standar akreditasi, sementara pemerintah terkesan lepas tangan.
Akreditasi seharusnya bukan menjadi syarat mutlak bagi sekolah untuk mendapatkan dukungan pemerintah. Semua sekolah, baik yang terakreditasi maupun belum terakreditasi, berhak mendapatkan dukungan yang memadai dari pemerintah dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Reorientasi Akreditasi: Menuju Pendidikan Berkualitas
Semangat peningkatan mutu melalui akreditasi seringkali terdistorsi oleh berbagai praktik yang justru menjauhkan akreditasi dari tujuan mulianya. Alih-alih menjadi proses berkelanjutan yang terintegrasi dalam sistem manajemen sekolah, akreditasi justru sering dipersiapkan secara dadakan, seolah hanya untuk memenuhi tuntutan administratif dan memperoleh status terakreditasi.
Budaya mutu belum tertanam kuat dalam jiwa sebagian besar satuan pendidikan. Akreditasi dipandang sebagai sebuah "proyek" yang harus diselesaikan dalam waktu singkat, bukan sebagai sebuah proses pembelajaran dan perbaikan yang berkelanjutan. Sekolah cenderung fokus pada pemenuhan persyaratan administratif dan teknis, sementara esensi peningkatan mutu seringkali terabaikan.
Fenomena "dadakan" dalam menghadapi akreditasi ini menunjukkan bahwa akreditasi belum benar-benar dimaknai sebagai sebuah instrumen peningkatan mutu. Sekolah masih terjebak dalam pola pikir "seremonial" dan "formalitas", di mana akreditasi dipandang sebagai sebuah kegiatan yang harus dilakukan untuk memenuhi tuntutan birokrasi, bukan untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan.
Kondisi ini tentu saja memprihatinkan. Akreditasi yang seharusnya menjadi momentum bagi sekolah untuk berbenah diri dan meningkatkan mutu justru terjebak dalam rutinitas yang tidak bermakna. Sekolah cenderung mencari jalan pintas untuk memperoleh status terakreditasi, tanpa benar-benar berkomitmen untuk melakukan perbaikan yang substansial.
Oleh karena itu, diperlukan reorientasi mendasar dalam pelaksanaan akreditasi. Akreditasi harus dimaknai sebagai sebuah proses pembelajaran dan perbaikan yang berkelanjutan, bukan sekedar kegiatan seremonial yang dilakukan secara periodik. Sekolah harus didorong untuk mengintegrasikan akreditasi dalam sistem manajemen sekolah dan menjadikan akreditasi sebagai budaya mutu.
Wacana mengenai urgensi akreditasi di tingkat PAUD dan Dikdasmen juga perlu diangkat ke permukaan. Dalam konteks wajib belajar, di mana setiap warga negara berhak mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu tanpa terkecuali, kehadiran akreditasi justru dipertanyakan. Akreditasi cenderung menciptakan kastanisasi di antara satuan pendidikan dan bertentangan dengan semangat pemerataan kualitas yang diamanatkan dalam wajib belajar.
Jika semua sekolah wajib memenuhi standar nasional pendidikan, lalu apa fungsi akreditasi? Bukankah seharusnya pemerintah menjamin bahwa setiap satuan pendidikan, baik negeri maupun swasta, telah memenuhi standar tersebut sebelum diizinkan beroperasi? Akreditasi seharusnya tidak dijadikan alat untuk mengukur kelayakan sekolah dalam mendapatkan dukungan pemerintah. Semua sekolah berhak mendapatkan dukungan yang sama dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Membangun Sistem Pendidikan yang Berkeadilan
Membangun sistem pendidikan yang berkeadilan menjadi tujuan luhur yang melandasi setiap upaya reformasi pendidikan di Indonesia. Keadilan dalam konteks ini berarti menjamin hak setiap warga negara, tanpa terkecuali, untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Hal ini tentu saja menuntut kesetaraan akses dan kualitas pendidikan di seluruh pelosok negeri, terlepas dari latar belakang sosial, ekonomi, geografis, maupun kondisi lainnya.
Dalam kerangka mewujudkan keadilan pendidikan tersebut, diskursus mengenai akreditasi PAUD dan Dikdasmen perlu terus dilakukan secara mendalam dan komprehensif. Pertanyaan krusial mengenai penting tidaknya akreditasi di tingkat pendidikan dasar harus dikaji secara cermat dengan mempertimbangkan berbagai perspektif, sebelum kita sampai pada sebuah kesimpulan yang tepat dan bijaksana.
Akreditasi, di satu sisi, dipandang sebagai instrumen penting dalam menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan. Melalui serangkaian proses penilaian yang sistematis dan terstandarisasi, akreditasi diharapkan mampu memberikan jaminan kualitas layanan pendidikan yang diselenggarakan oleh suatu satuan pendidikan. Akreditasi juga dapat berfungsi sebagai pendorong bagi sekolah untuk terus berbenah diri, melakukan evaluasi diri, dan meningkatkan kualitas layanan pendidikan secara berkelanjutan.
Di sisi lain, keberadaan akreditasi di tingkat PAUD dan Dikdasmen juga menuai berbagai kritik dan pertanyaan. Dalam konteks wajib belajar 9 tahun, di mana negara menjamin penyediaan layanan pendidikan dasar yang bermutu bagi seluruh warga negara, akreditasi justru dipandang berpotensi menciptakan disparitas antar sekolah. Sekolah yang terakreditasi A cenderung dianggap lebih baik daripada sekolah yang terakreditasi B atau C, sehingga memicu persaingan yang tidak sehat dan menimbulkan ketidakadilan dalam akses terhadap pendidikan berkualitas.
Selain itu, proses akreditasi yang seringkali dianggap rumit, berbelit-belit, dan menuntut banyak persyaratan administratif juga menjadi sorotan. Alih-alih fokus pada peningkatan mutu pembelajaran, sekolah justru disibukkan dengan pengurusan akreditasi yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya. Hal ini tentu saja tidak efisien dan dapat menghambat upaya peningkatan mutu pendidikan yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, diskursus mengenai penting tidaknya akreditasi di tingkat PAUD dan Dikdasmen harus terus dilakukan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, akademisi, praktisi pendidikan, hingga masyarakat. Kajian yang mendalam dan komprehensif perlu dilakukan untuk mengidentifikasi manfaat dan mudarat akreditasi, menganalisis dampaknya terhadap kualitas dan kesetaraan pendidikan, serta merumuskan alternatif solusi yang lebih efektif dan berkeadilan.
Kesimpulan mengenai perlu tidaknya akreditasi di tingkat PAUD dan Dikdasmen harus didasarkan pada kajian yang objektif dan komprehensif tersebut. Jika akreditasi dipandang masih relevan dan bermanfaat dalam meningkatkan mutu pendidikan, maka perlu dilakukan reformasi mendasar dalam sistem dan pelaksanaannya agar lebih efisien, efektif, dan berkeadilan. Namun, jika akreditasi dipandang lebih banyak menimbulkan mudarat dan ketidakadilan, maka perlu dipertimbangkan alternatif lain yang lebih tepat dalam menjamin kualitas dan kesetaraan pendidikan di tingkat dasar.
Dengan terus mengkaji dan mendiskusikan persoalan akreditasi secara terbuka dan kritis, diharapkan kita dapat menemukan solusi terbaik demi mewujudkan sistem pendidikan yang berkeadilan dan berkualitas bagi seluruh anak bangsa.