BENGKULU MACET [TANPA] KENDARAAN
Baca Juga
Bengkulu kembali macet. Tapi bukan macet seperti Jakarta. Tidak ada klakson. Tidak ada lampu merah. Tidak ada motor zig-zag. Macetnya Bengkulu itu lebih sunyi. Tidak ada yang bergerak karena tidak ada bensin. Kota terasa seperti ditahan napasnya. Jalan nampak lebih lengang, tapi wajah orang-orang tegang. Inilah jenis kemacetan yang tidak butuh polisi, tapi butuh solusi.
Malam tadi saya ke toko sayur langganan. Kulkas sudah kosong. Biasanya kami suka masak sendiri kalau malam. Tapi dua malam terakhir, makan malam harus pesan lewat Grab. Kata istri, “Sudahlah, toh sayur juga tidak ada.” Saya pikir hanya stok di rumah yang habis. Ternyata stok di gudang toko sayur juga habis.
Saya tanya ke penjualnya, “Bawang merahnya mana, Mbak?” Ia tersenyum kecut. Katanya, “Lagi tidak bisa kirim dari gudang, Pak. Sopirnya tidak bisa jalan. Katanya tidak ada BBM.” Ia cerita sudah telepon berkali-kali, tapi jawabannya sama. Truk tidak bisa berangkat. SPBU kosong.
Sudah hampir seminggu katanya. Mobil barang banyak yang parkir di pinggir jalan, menunggu BBM datang. Tapi BBM tak kunjung datang. Sementara di Jakarta, berita BBM malah ramai karena isu baru: Pertalite diganti etanol 10 persen.
Saya heran. Negara ini bisa bicara tentang BBM nabati, BBM hijau, BBM etanol. Tapi di Bengkulu, BBM fosil pun tidak sampai. Rasanya seperti menonton dua Indonesia. Yang satu sibuk bicara masa depan energi. Yang satu sibuk mencari bensin agar bisa kerja besok pagi.
Jarak Jakarta ke Bengkulu tidak sampai seribu kilometer. Tapi dalam hal distribusi, terasa seperti sepuluh ribu kilometer. Waktu kirim logistik terasa seperti ekspedisi ke luar negeri. Sering saya pikir, apa jarak kita bukan soal kilometer, tapi soal perhatian.
Pernah satu pagi saya iseng melihat berita sebelum berangkat ke kampus. Menteri A bicara soal efisiensi etanol. Menteri B bicara soal kedaulatan energi. Menteri C bilang kendaraan lama mogok karena bahan bakar baru. Semuanya tampak sibuk di layar. Tapi tidak ada satu pun bicara tentang SPBU di Bengkulu yang kering.
Sementara itu, di tayangan lain, muncul penemu BBM nabati dengan RON 98. Katanya lebih ramah lingkungan. Katanya siap membangun SPBU se-Indonesia. Saya tersenyum pahit. Kalau di Bengkulu, jangankan BBM RON 98. RON 92 saja sudah seperti barang mewah.
Antrian di SPBU sekarang panjang. Mobil mengular seperti ular lapar. Sopir-sopir duduk di bawah pohon. Ada yang sambil merokok, ada yang tidur. Semua pasrah. Kadang antre hingga lima jam, lalu petugas bilang: habis. Orang-orang tertawa getir. Sudah biasa.
Untuk mobil dibatasi 25 liter. Motor hanya boleh beberapa liter. Tidak cukup untuk kerja seminggu. Tapi masyarakat sudah terbiasa diatur begitu. Mungkin karena sudah sering dilatih kecewa.
Anehnya, selalu ada pengecer yang punya stok. Jeriken hijau berderet di pinggir jalan. Dijual dengan harga suka-suka. Di depan SPBU yang kosong, pengecer itu seperti pahlawan sekaligus penjahat. Orang marah, tapi tetap beli.
Saya tidak tahu mereka dapat dari mana. Pertamina bilang stok aman. Pemerintah bilang distribusi lancar. Tapi jeriken-jeriken itu bercerita lain. Ada sesuatu di jalur distribusi yang tidak jujur.
Gubernur sempat marah. Katanya Pertamina harus minta maaf. Bahkan harus bikin video permintaan maaf. Katanya, masyarakat panik karena komunikasi Pertamina buruk. Saya setuju. Tapi saya pikir, bukan cuma komunikasi yang buruk. Distribusinya juga.
Dalam dunia korporat, komunikasi adalah bahan bakar kedua setelah produk. Kalau produknya macet, minimal komunikasinya harus lancar. Supaya publik tahu, ini masalah di mana. Bukan diam seperti batu.
Perusahaan besar tidak boleh alergi pada krisis. Karena krisis adalah ujian reputasi. Kalau dalam keadaan normal semua bisa, tapi dalam krisis, hanya yang punya sistem yang kuat yang bisa bertahan.
Seharusnya Pertamina membentuk tim cepat tanggap. Datangi langsung SPBU, libatkan media lokal, buka hotline 24 jam. Transparansi lebih penting daripada seremonial. Masyarakat bukan butuh janji, tapi informasi.
Kalau ada kekurangan pasokan, bilang saja. Kalau karena kapal terlambat, jelaskan. Kalau karena jalur distribusi terganggu, tunjukkan datanya. Kejujuran membuat publik tenang. Diam membuat rumor tumbuh.
Krisis itu seperti kebocoran pipa. Kalau ditutup dengan tangan, tekanan akan naik di tempat lain. Kalau dibiarkan, bocornya makin besar. Satu-satunya cara adalah perbaiki pipa itu, dan beritahu semua orang bahwa sedang diperbaiki.
Saya lihat di kota ini, banyak usaha kecil terhenti. Ojek online parkir. Penjual sayur libur. Angkot tidak jalan. Rantai ekonomi putus hanya karena satu hal: bensin tidak ada. Begitu rapuhnya sistem ekonomi kita.
Padahal Bengkulu bukan kota kecil. Ia punya pelabuhan, punya bandara, punya tambang batu bara. Tapi tetap seperti bukan prioritas dalam hal distribusi BBM. Selalu terakhir, selalu terlambat.
Saya kadang berpikir, apa benar dulu Inggris menukar Bengkulu dengan Singapura karena malaria? Atau karena logistiknya bikin pusing? Bayangkan kalau hari ini masih ada Gubernur Jenderal Inggris di Bengkulu. Mungkin dia pun didemo warga karena SPBU kosong.
Koran mungkin akan menulis: “Gubernur Jenderal Inggris di Bengkulu dikepung massa karena antrian BBM.” Lucu, tapi tidak mustahil. Karena dari dulu sampai sekarang, masalahnya tetap sama: distribusi.
Bengkulu punya sejarah panjang. Dari Fort Marlborough sampai Soekarno diasingkan di sini. Tapi seolah tidak ada yang belajar dari sejarah itu. Infrastruktur dibangun, tapi tidak tuntas. Jalan dibuka, tapi suplai tidak lancar.
Pemerintah pusat sibuk dengan proyek besar. Ibu Kota Baru, kereta cepat, tol laut. Tapi daerah seperti Bengkulu tetap bergantung pada kapal yang datang dua minggu sekali.
Padahal, semua orang tahu, energi adalah darah ekonomi. Kalau darah tersumbat, organ-organ lain mati. Dan di Bengkulu, darah itu tidak mengalir lancar.
Saya jadi ingat waktu listrik di Jawa padam total beberapa tahun lalu. PLN langsung bikin konferensi pers. Menjelaskan penyebabnya. Minta maaf. Berjanji memperbaiki. Dalam hitungan jam, reputasi mereka pulih. Pertamina harusnya belajar dari itu.
Kalau perusahaan sebesar Pertamina tidak bisa menjelaskan kekosongan BBM di satu provinsi kecil, lalu bagaimana mau bicara soal BBM hijau dan kemandirian energi nasional?
Saya percaya, masalah ini bukan di produksi. Tapi di distribusi dan manajemen krisis. Ini bukan soal kilang. Ini soal logistik, integritas, dan koordinasi.
Kalau terus seperti ini, Bengkulu tidak akan pernah maju. Energi habis sebelum ekonomi jalan. BBM datang setelah semangat orang habis.
Saya tidak tahu siapa yang harus disalahkan. Tapi saya tahu siapa yang paling rugi: rakyat kecil yang harus antre bensin setiap minggu.
Sementara di layar TV, para pejabat masih berdebat soal etanol. Di Bengkulu, orang-orang cuma ingin satu hal: bisa mengisi bensin tanpa drama. Itu saja.
Dan mungkin, kalau Inggris tahu betapa ribetnya distribusi BBM ke Bengkulu, mereka akan bersyukur dulu sempat menukar Bengkulu dengan Singapura. Mereka selamat dari antrian panjang di SPBU.



0 comments