SOLO, SOPIR GRAB, DAN REFORMASI YANG TERSISA DI INGATAN
Baca Juga
Saya sedang di Solo. Sudah dua hari. Acara kampus. Formal, padat, tapi penuh tawa. Malam ini, usai acara penutupan, saya ingin keluar sebentar. Ingin menikmati Solo tanpa batik dan name tag. Hujan sejak pagi membuat niat itu bolak-balik saya pertimbangkan. Ingin jalan kaki, tapi rintiknya belum berhenti juga. Akhirnya saya menyerah pada teknologi. Saya buka ponsel, pesan Grab.
Awalnya saya pilih Grab Bike. Ingin merasakan semilir udara malam Solo sambil hujan kecil. Tapi nihil. Tak ada yang mau ambil order. Mungkin semua pengemudi sedang berteduh di bawah jembatan atau warung kopi. Lalu saya ganti jadi Grab Car. Tak sampai dua menit langsung disambar. Mobilnya datang cepat. Toyota Agya. Warna hitam.
![]() |
Ilustrasi (Gambar : AI Generated) |
Sopirnya ramah. Lelaki paruh baya. Jawa halus. Dari logatnya saya tahu dia wong Solo tulen. Kami langsung klik. Bahasa yang kami pakai pun bukan bahasa Indonesia, tapi bahasa Jawa kromo alus. Sudah jarang saya pakai sehari-hari di Bengkulu. Tapi di Solo, bahasa itu terasa hidup. Seperti pulang ke masa kecil.
Saya sempat berpikir, mungkin saya generasi terakhir di keluarga yang fasih bicara bahasa Jawa halus. Anak-anak saya tumbuh di lingkungan yang semua orangnya berbahasa Indonesia. Bahasa nasional sudah jadi lingua franca di rumah kami. Kadang saya coba ajak mereka ngomong Jawa, mereka jawab pakai Indonesia. Saya kalah. Tapi ya sudahlah.
Sopir itu bertanya, saya dari mana, sedang apa di Solo. Saya jawab singkat, acara kampus. Dia antusias. Lalu bertanya, kampus apa. Saya bilang, dari Muhammadiyah. Seketika nada suaranya berubah. Lebih semangat. Lebih cair. Ia bilang, “Wah, Muhammadiyah itu hebat, Pak.” Saya tertawa kecil.
Lalu ia melanjutkan, “Negara saja utang ke Muhammadiyah, lho.” Saya tahu maksudnya. Ia bicara soal pembayaran klaim BPJS yang sering telat ke rumah sakit Muhammadiyah. Ia bercerita dengan gaya jenaka, tapi isinya serius. “Artinya Muhammadiyah lebih dipercaya rakyat daripada negara,” katanya sambil tertawa. Saya ikut tertawa.
Ia bercerita panjang soal kampus Muhammadiyah. Katanya sekarang sudah jadi kampus elit. Pendaftarnya belasan ribu. Tapi yang lulus wisuda cuma dua ribu. Saya tanya kenapa bisa begitu. Dia menjawab, “Yang lain masih jadi donatur kampus karena tidak lulus-lulus.” Saya tersenyum. Jawaban khas wong Solo.
Saya jawab pelan, “Kalau di tempat kami, beda.” Di kampus saya, kami masih mencari mahasiswa seperti orang mencari sinyal di hutan. Sedikit. Susah. Sistem pendidikan tinggi sekarang berat bagi kampus kecil. Status PTNBH memberi keistimewaan ke yang besar, tapi yang kecil seperti kami jadi megap-megap.
Mobil terus melaju di jalan basah. Lampu kota memantul di aspal. Suasana tenang. Kami masih ngobrol. Lalu topik berubah. Politik. Saya kira cuma di Bengkulu orang suka bicara politik di mana saja. Di warung, di masjid, di acara kawinan. Tapi di Solo pun begitu. Bedanya, di Bengkulu politiknya masa kini. Di Solo, politiknya masa lalu.
Sopir itu tiba-tiba bicara soal 1998. Soal masa reformasi. Ia bilang dirinya dulu aktivis. Tahun 90-an. Ia menyebut beberapa nama. Salah satunya Budiman Sudjatmiko. Ia bilang mereka dulu sering satu gerakan. Ia mengaku pernah berkali-kali menyelamatkan Budiman dari kejaran aparat yang berniat menjebloskannya ke penjara. Saya tertegun.
Dari caranya bercerita, saya percaya. Ia tidak sedang mengarang. Nada suaranya berat ketika menyebut “tahun-tahun itu.” Katanya, banyak kawan yang hilang. Ada yang tak kembali. Ada yang pindah ideologi. Ada yang diam karena kecewa.
Ia bilang sesuatu yang menarik. “Reformasi itu keliru kalau menganggap Amien Rais dan Megawati sebagai tokoh utamanya.” Ia berhenti sebentar, lalu menoleh ke saya. “Mereka hanya punya panggung. Tapi yang berjuang di lapangan, itu anak-anak muda yang tak dikenal.”
Saya mengangguk. Pandangannya tajam, tapi tanpa kebencian. Ia tidak sedang menyerang siapa pun. Ia hanya mengingat. Ia tahu panggung sejarah sering tidak adil. Nama besar sering datang dari mikrofon, bukan dari keringat.
Ia menambahkan, “Waktu itu, kami bergerak di bawah tanah. Tak ada media. Tak ada sorotan. Tapi tanpa kami, tak ada massa yang bergerak.” Saya tidak menjawab. Saya biarkan ia terus bercerita. Saya ingin tahu bagaimana ia memaknai masa itu sekarang.
Lalu ia tertawa. “Dulu kami pikir reformasi akan membawa keadilan. Ternyata yang datang hanya ganti seragam.” Saya tertawa kecil. Kalimatnya pahit, tapi disampaikan dengan ringan. Ia sudah berdamai dengan sejarahnya sendiri.
Saya bertanya, “Kalau sekarang, ikut partai?” Ia menggeleng. “Sudah kapok, Pak.” Katanya, dulu ia pernah dicoba direkrut partai, tapi menolak. Ia merasa sudah cukup berjuang. Sekarang, ia hanya ingin kerja tenang. “Cukup antar orang seperti Bapak,” katanya sambil tersenyum.
Saya kagum. Banyak orang menua dengan getir. Tapi dia menua dengan tenang. Ia berdamai dengan masa lalu tanpa kehilangan semangat. Di usianya sekarang, ia tetap berpikir jernih. Masih mengikuti isu politik, tapi tanpa benci.
Ia bilang masih sering ketemu teman-teman lamanya. Sesekali reuni kecil. Sekadar minum kopi dan membahas masa 98 yang semakin jauh. “Yang bikin sedih, Pak, banyak yang sekarang malah jadi bagian dari sistem yang dulu kami lawan,” ujarnya. Saya paham rasa itu. Idealisme memang punya umur.
Ia bercerita lagi, bahwa dulu pernah ingin kuliah. Tapi tak sempat. Keluarga tak mampu. Ia kerja sambilan sejak SMA. Sekarang, anaknya yang kuliah. Ia bangga sekali. “Mungkin ini balasan dari perjuangan dulu, Pak,” katanya pelan.
Saya menatap keluar jendela. Hujan makin deras. Wiper mobil bergerak ritmis. Jalanan basah, tapi Solo tetap indah. Ada sesuatu yang romantik dari kota ini. Tidak dalam arti cinta, tapi dalam rasa tenang yang lembut.
Obrolan kami berpindah lagi. Soal pendidikan. Ia merasa sekolah sekarang terlalu sibuk mengejar nilai, bukan karakter. Ia bilang, “Kalau anak saya nilainya biasa-biasa saja tapi jujur, saya sudah bangga.” Kalimat sederhana, tapi dalam.
Saya mengangguk. Dunia sekarang memang cepat sekali. Anak-anak seperti dikejar waktu. Nilai, ranking, prestasi, semua jadi ukuran. Padahal yang paling penting, kadang yang tidak bisa diukur.
Ia sempat bertanya, bagaimana pandangan saya soal kampus Muhammadiyah ke depan. Saya jawab, kampus Muhammadiyah akan kuat kalau tetap memegang akar. Tidak ikut-ikutan jadi “negeri rasa negeri.” Kampus harus tetap jadi tempat mencetak manusia, bukan hanya pekerja.
Ia mengiyakan. “Dulu kami berjuang agar rakyat bisa bebas berpikir. Tapi sekarang, pikiran dibatasi oleh algoritma,” katanya. Saya terdiam. Benar juga. Dulu yang dikontrol adalah tubuh. Sekarang, pikiran. Bedanya, sekarang kontrolnya halus dan tersenyum.
Kami tiba di warung yang saya tuju. Sederhana. Warung susu segar pinggir jalan. Uap panas keluar dari panci besar. Aroma khas susu menyeruak. Saya bayar ongkos, lalu berterimakasih sudah diantar ditengah gerimis begini.
Sebelum pergi, ia menyalami saya. “Terima kasih, Pak. Sudah mau ngobrol. Sudah lama saya tidak pakai bahasa kromo.” Saya tertawa. “Sama, pak. Saya juga.” Kami tertawa bersama.
Mobilnya perlahan menjauh. Hujan belum juga berhenti. Saya duduk di kursi plastik, memesan susu segar panas. Sambil menatap jalan, saya berpikir tentang bahasa, tentang perjuangan, tentang usia. Semua bergerak ke arah yang tak bisa saya tahan.
Malam itu saya minum pelan. Mungkin karena susunya panas, atau karena saya ingin menikmati tiap sendoknya. Di luar, lampu jalan memantul di air hujan. Solo malam itu terasa seperti buku lama yang masih wangi.
Saya pulang dengan perasaan hangat. Bukan karena susu, tapi karena percakapan. Kadang, obrolan singkat dengan orang asing memberi makna lebih dalam daripada seminar yang megah. Sopir Grab itu, tanpa sadar, telah mengingatkan saya pada banyak hal. Tentang bahasa yang hilang. Tentang idealisme yang tua. Tentang hidup yang terus berjalan.
Dan saya tersenyum dalam hati. Solo tetap sama. Tenang. Halus. Seperti bahasa yang nyaris punah di lidah saya sendiri.
0 comments