1 JAM YANG MENENTUKAN ; SEBUAH DIALOG TENTANG NARASI KEHIDUPAN
Baca Juga
Ilustrasi (Foto : Istimewa) |
Dalam perjalanan hidup manusia, tak ada yang pernah
tahu apa, bagaimana, dan seperti apa yang akan terjadi di masa mendatang. Semua
adalah misteri yang manusia tidak perlu bingungkan, namun persiapkan. Suka
tidak suka, setiap kejadian dalam hidup adalah bait-bait cerita penuh makna
yang harus dilalui oleh setiap manusia hingga pada akhirnya nanti menemui ujung
dari cerita tersebut.
***
Dalam satu kesempatan, ada seorang teman yang
menanyakan apa yang sebenarnya terjadi serta apa yang disampaikan di ruangan itu oleh "si Abah". Pertanyaan
ini merujuk pada kejadian 6 tahun yang lalu saat dimana getir kegagalan terasa
teramat perih sampai lidah dibuat kelu olehnya. Mungkin bagi sebagian orang,
ini adalah kejadian biasa. Namun tidak untuk saya. Ini adalah kali pertama,
ujian hidup terasa lebih berat dari biasanya. Tuhan sedang menguji derajat
sabar ciptaan-Nya.
Sebelum memasuki perkemahan ini, begitu saya lebih
senang menyebutnya, saya mendapat kesan bahwa si Abah adalah sosok intelektual
yang teduh. Ia mampu mengutarakan gagasan-gagasannya dengan bahasa yang lebih
sederhana, untuk ukuran mahasiswa, sehingga mudah untuk dimengerti. Gaya
bicaranya yang lugas, membuat ia sedikit berbeda dari akademisi lainnya, yang
kadang lebih banyak berputar-putar pada kalimat-kalimat baku yang susah
dimengerti bagi sebagian mahasiswa. Paling tidak itu yang tampak ketika
menyaksikan pidato-pidatonya di layar tivi.
Saat pertama kali berjumpa, senyumnya yang khas selalu
dilemparkan dari bibirnya. Ia tak henti menyisipkan narasi-narasi positif
melalui pidatonya. Ini yang membuat semangat anak muda, seperti saya kala itu,
membuncah dan membuncah. Maklumlah, anak kemarin sore yang baru lulus kuliah.
Setidaknya masih ada rasa idealisme yang membekas, dan mendengar
kalimat-kalimat yang terlontar dari beliau, bak
tumbuhan yang kembali tersirami oleh hujan setelah hampir kering tertelan
kemarau.
Malam itu, ia sengaja menempuh 100 Km lebih hanya
untuk mengajak kami berdialog. Dialog yang akan merubah semuanya. Takdir, cara
pandang, capaian, serta target kehidupan kami. Ia memanggil kami melalui salah
satu staffnya untuk datang dan masuk ke ruangan yang telah diatur sebelumnya.
Si abah dengan ramah menyalami kami dan menanyakan
kabar kami. Lalu perlahan ia mulai mengutarakan pesan yang sebenarnya. Pesan
tersebut tidak panjang, namun cukup membuat jantung kami berdegup kencang, membuat
sesak paru-paru kami, dan pada akhirnya melelehkan air mata yang tak mampu lagi
terbendung. Berbagai alasan kami utarakan untuk menolak keputusan itu. Namun ia
hanya bergeming mendengar racauan kami yang sesekali kami selingi dengan
sesenggukan akibat nafas yang terlalu cepat diambil berlomba dengan degup
jantung yang semakin tidak teratur.
Setelah membiarkan kami meluapkan rasa selama beberapa
waktu, kini ia mencoba menyambung cerita dari apa yang ia sampaikan tadi.
"Nak, saya ingin bercerita tentang sebuah kisah
nyata. Maukah kamu mendengarkannya?"
"Iya Bah"
"Beberapa tahun yang lalu, ada sekelompok orang pecinta
alam, yang ingin melakukan ekspedisi pendakian ke 7 puncak dunia / 7 summits
expedition. Mereka menyiapkannya secara bertahun-tahun. Fisik, perlengkapan
pendakian, hingga sponsor mereka siapkan jauh-jauh hari. 2 tahun sebelum
dimulai, sudah ditentukan 4 orang anggota tim dan 1 orang yang menjadi pemimpin
tersebut. Total ada 5 orang dalam tim pendakian ini. Kelima orang ini dengan
dibantu teman-teman lainnya menghabiskan waktu 2 tahun untuk mempersiapkan
segala sesuatunya. Dan ada syarat penting yang harus diingat oleh tim ini
adalah kelima orang ini tidak boleh putus / gagal dalam mendaki ketujuh gunung
tertinggi ini, walaupun hanya gagal 1 kali. Jika gagal 1 gunung saja, maka ia /
orang yang gagal tersebut tidak bisa melanjutkan ke gunung yang selanjutnya.
Pada pendakian gunung 1-4, kelima orang ini sukses. Semua anggota tim berhasil
mencapai puncaknya. Namun saat mendaki gunung ke-5, salah seorang anggota tim
mengalami hipotermia berat, sehingga sangat tidak mungkin si anggota tim yang
mengalami hipotermia ini melanjutkan pendakian ke puncak. Lantas, di tengah
kejadian ini, timbul gagasan untuk kembali saja ke bawah. Anggota tim lainnya menolak
ide ini. Ia menyampaikan bahwa jarak mereka saat ini sudah tidak terlalu jauh
lagi dengan puncak gunung. Jika mereka semua kembali ke bawah, maka mereka
melanggar aturan yang sudah ditetapkan, yang artinya mereka dinyatakan gagal
dalam ekspedisi ini. Dan pendakian sebelumnya akan sia-sia. Jika dipaksakan
tetap mendaki ke puncak sebenarnya bisa saja, namun akibatnya akan fatal. Bisa
jadi nyawa salah satu anggota tim tersebut akan terancam. Dari perdebatan di tengah
pendakian tersebut, akhirnya diputuskan si Ketua Tim akan turun bersama 1
anggota lain untuk membawa 1 anggota tim yang terkena hipotermia berat. Ketua
Tim dan 1 anggota lainnya memilih untuk tidak melanjutkan pendakiannya yang
berjarak tidak jauh lagi dari puncak, untuk menyelamatkan nyawa anggota timnya.
Dan 2 anggota tim lainnya tetap melanjutkan misi pendakian hingga ke
puncak"
Kami hanya tertunduk sembari mengelap butiran-butiran
air mata yang sedari tadi tidak berhenti menetes. Ia pun kembali tersenyum
ramah sembari memastikan bahwa kami mendengarkan cerita beliau tadi.
"Kalian tau tidak bagaimana perasaan kedua orang
yang turun tersebut?"
"Ti...ti...dak bah". Kelu dan kaku rasanya
lidah kami harus menjawab pertanyaan beliau kini.
"Merasa berat dan kecewa itu pasti, manusiawi,
karena sebenarnya tinggal sedikit lagi. Namun mereka berdua sadar bahwa ada hal
yang jauh lebih penting yang harus mereka selamatkan, yaitu nyawa dan masa
depan salah satu anggota tim tersebut yang terkena hipotermia berat. Ingat
bahwa si orang tersebut masih memiliki masa depan yang cukup panjang dibanding
hanya sekedar sebuah menyelesaikan misi. Ini adalah tentang masa depan seorang
manusia"
Kami berdua terdiam walaupun sesekali masih
sesenggukkan mendengar cerita penutup ini. 30 menit yang lalu, kami merasa
bahwa kami tidak memiliki masa depan lagi. Semua sudah kami pertaruhkan demi
satu impian yang sudah kami mulai ini. Namun itu semua pupus dengan datangnya
si Abah menyampaikan pesan tersebut. Kini, 30 menit setelah kalimat pertama
diucapkan dan beberapa saat setelah beliau mengakhiri cerita tadi, kami seperti
tersadar dari tidur dengan mimpi buruk tadi.
"Nak, tidak semua hal yang sudah kita perjuangkan
dan pertaruhkan harus tercapai sepenuhnya. Adakalanya itu gagal. Namun
kegagalan itu ada berbagai macam. Ada satu kegagalan yang sebenarnya itu
bukanlah kegagalan, melainkan sebuah keadaan untuk menghindari kemudharatan
yang lebih besar demi mencapai tujuan yang sama dengan cara yang bisa jadi
berbeda"
"Tapi bah........"
"Begini, kalian itu masih muda. Masih punya masa
depan yang panjang. Abah tidak mau melihat kalian sukses dalam misi ini tapi
menderita seumur hidup setelahnya. Misi ini sebenarnya hanya satu bagian kecil
saja dari apa yang sebenarnya bisa kalian kontribusikan di masa mendatang. Saya
percaya, bahwa kalian yang datang kesini memiliki tekad yang kuat untuk ikut
mensukseskan misi ini. Namun misi ini sesungguhnya masih bisa kalian lakukan di
masa mendatang dengan cara dan jalan yang berbeda dan bisa jadi dampaknya akan
jauh lebih besar daripada misi yang dijalankan saat ini. Abah percaya, bahwa
cerita panjang hidup kalian di masa mendatang tetap bisa menjadikan diri kalian
sebagai bagian penting narasi kehidupan masyarakat kita"
Kami pun memeluknya erat. Di ujung pintu sebelum ia
masuk ke mobilnya, saya memanggilnya dan memeluknya kembali sembari berbisik,
"Bah, suatu saat nanti kita jumpa lagi ya untuk bercerita tentang narasi
panjang yang belum selesai ini".
Dan ia pun membalasnya, "InshaAllah nak.
Sampaikan salamku pada bapak dan ibu di rumah ya"
***
Kini, 6 tahun berlalu. Semua yang ada di ruangan pada
malam itu, terpisah oleh jarak dan waktu. Satu orang berada di negerinya Ratu
Ellizabeth sana. Si abah tetap berada di ibukota dengan tanggungjawab barunya.
Dan aku sendiri, menapaki jalan panjang untuk tetap melanjutkan narasi
kehidupan di pulau formosa. Semuanya kembali pada takdir hidupnya masing-masing
sembari terus menghidupkan mimpi untuk menyelesaikan misi yang sempat tertunda.
Tags:
Nusantara
0 comments