KAMPUS ASING DI INDONESIA ; EMANG KENAPA?
Baca Juga
Beberapa
hari yang lalu, sebagian dari kita tersentak dengan headline sebuah
surat kabar terkemuka di Indonesia yang menulis bahwa tahun ini rencananya akan
ada 5-10 perguruan tinggi asing yang akan mulai beroperasi di Indonesia.
Pemerintah membuka keran lebar-lebar bagi perguruan tinggi asing tersebut untuk
membuka semacam kampus cabang-nya di Indonesia dengan dalih untuk
meningkatkan layanan pendidikan tinggi serta dalam rangka menyongsong era industry
4.0. Pemerintah juga berujar bahwa dalam era globalisasi seperti saat ini,
pemerintah tidak bisa melarang ekspansi perguruan tinggi asing ke Indonesia.
Sah-sah
saja dalih yang diungkapkan oleh pemerintah tersebut. Namun pertanyaannya,
apakah sudah pada tahap useless peran perguruan tinggi Indonesia yang
jumlahnya mencapai 4.400 kampus dalam hal menyiapkan SDM-SDM unggul menghadapi
era industry 4.0 sehingga harus perlu mengimpor perguruan tinggi asing
ke Indonesia?
Pertanyaan
ini kemudian bisa saja menjadi otokritik bagi pemerintah itu sendiri atau
justru berbalik menjadi otokritik bagi perguruan tinggi di Indonesia, sudah
sejauh manakah perguruan tinggi di Indonesia merespon isu-isu kekinian
di berbagai bidang, seperti era industry 4.0 ini? Bagi PT besar di Indonesia,
otokritik ini akan dengan mudah dijawab dengan menyatakan bahwa mereka sudah
memiliki sekian ratus doctor lulusan PT Top Dunia, sekian ratus professor, kolaborasi
riset dengan peneliti asing, kerjasama dengan kampus top dunia, maupun
menyiapkan infrastruktur riset dan pengembangan diri dengan kualitas internasional.
Mereka sudah menangkap gelagat isu pengembangan mutu akademik /
pendidikan dari jauh-jauh hari. Sehingga banyak PT besar di Indonesia sudah mencuri
start tatkala PT-PT lainnya sedang asyik menjalankan ritual-ritual
akademik yang itu-itu saja. Lantas bagaimana dengan PT-PT diluar yang
besar-besar itu?
Saya
kok mbatin bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah saat ini
sebenarnya adalah sebuah sindiran bagi PT di Indonesia untuk segera bangun dari
zona nyamannya dan segera berlari mengejar ketertinggalan kita dari sisi
kualitas dan mutu akademik. Kiranya perlu kita pahami bersama bahwa kualitas akademik / pendidikan sendiri berimbas pada mutu
lulusan dan sumber daya manusia yang dihasilkan.
Kita tahu bersama bahwa selama ini banyak PT yang berlindung dengan dalih bahwa pemerintah tidak akan membunuh PT di Indonesia dan sudah menjadi keharusan pemerintah untuk menolak segala upaya yang akan melemahkan PT yang ada di Indonesia, yang salah satunya adalah melalui pembukaan kampus asing di Indonesia.
Kita tahu bersama bahwa selama ini banyak PT yang berlindung dengan dalih bahwa pemerintah tidak akan membunuh PT di Indonesia dan sudah menjadi keharusan pemerintah untuk menolak segala upaya yang akan melemahkan PT yang ada di Indonesia, yang salah satunya adalah melalui pembukaan kampus asing di Indonesia.
Agaknya
pemerintah mulai sadar bahwa apa yang selama ini dijalankan justru membuat PT
yang ada semakin terlena dalam zona nyamannya dan tidak melakukan inovasi untuk
meningkatkan kualitas, mutu, dan prestasi akademiknya. Kebanyakan hanya
melakukan ritual-ritual akademik khas perguruan tinggi. Tidak lebih.
Dan
langkah pemerintah ini walau sebenarnya masih banyak kekurangan dan celah untuk
dikritisi, kita patut apresiasi sebagai upaya untuk meningkatkan mutu akademik
PT di Indonesia dengan cara kompetisi terbuka di Indonesia secara
langsung. Mungkin bagi sebagian kalangan, cara ini akan dinilai sebagai cara
paling liberal untuk meningkatkan mutu di bidang pendidikan. Mengutip tulisan
sdr. Nanang Martono dalam bukunya “Sekolah Publik vs Sekolah Privat : dalam
wacana kekuasaan, demokrasi, dan liberalisasi”, ia menyampaikan bahwa
persaingan atau kompetisi adalah jargon kelompok liberal. Konsep persaingan
atau kompetisi yang akan meningkatkan kualitas bisa saja benar. Namun akan
merugikan sebagian pihak terutama di kalangan masyarakat kebawah, terutama
dalam hal biaya.
Silahkan
saja orang men-cap liberal dengan ide pembukaan kompetisi peningkatan
kualitas akademik dengan cara pembukaan kampus asing ini, tapi saya kok merasa
ini adalah cara terakhir yang mungkin harus ditempuh oleh pemerintah untuk ngupraki
PT yang ada agar memperbaiki tata kelola akademiknya dan peningkatan mutu.
Kita
coba lihat bagaimana ketika konsep akreditasi diterapkan sebagai hal untuk ngupraki
para PT yang ada. Secara teori, seharusnya PT yang sudah terakreditasi maka
prestasi dan mutu akan meningkat karena proses akreditasi sendiri membutuhkan
banyak persyaratan yang harus dipenuhi,yang kesemuanya jika mampu dipenuhi maka
akan menghasilkan output yang baik. Namun kenyataannya justru berbeda. Poses
akreditasi malah menjadikan PT harus terbirit-birit menyiapkan dokumen-dokumen
yang seabreg yang sebenarnya tidak ada lantas diada-adakan. Padahal jika
berbicara konsep dari akreditasi sendiri, ini berarti berbicara tentang keseluruhan
proses akademik di PT. Proses akreditasi hanya sebagai checkpoint proses
akademik di PT tersebut. Lagi-lagi, kenyataan yang ada berbanding terbalik
dengan konsep yang diinginkan. Proses penyiapan akreditasi dijadikan sebagai ajang
sulap simsalabim untuk meraih angka-angka tertentu dalam proses
akreditasi.
Kemudian
konsep rangking PT di Indonesia. Konsep ini sebenarnya baik untuk mengukur dan
melihat bagaimana kualitas akademik PT dihitung secara kuantitatif dan dibuat
peringkat. Namun lagi-lagi konsep ini mentah dengan adanya lembaga-lembaga
pemeringkat PT dari organisasi dan lembaga diluar pemerintah. Dan celakanya
lagi, pemerintah sendiri justru tidak lantas melawan lembaga-lembaga
pemeringkat ini dengan semakin meningkatkan kualitas pemeringkatan milik
pemerintah itu sendiri. Namun justru membiarkannya. Alhasil, PT lantas tidak
menjadikan hasil peringkat dari pemerintah sebagai acuan, dan malah lebih focus
ke peringkat dari lembaga-lembaga tersebut karena dianggap lebih mudah dengan
persyaratan yang relative lebih sedikit. Dan tidak sedikit pula yang menjadikan
peringkat dari lembaga ini sebagai nilai jual pemasaran PT kepada orang
tua dan calon mahasiswa.
Dari
cara yang sudah ditempuh pemerintah serta membandingkannya dengan kenyataan
yang ada, kiranya apa yang dilakukan oleh pemerintah saat ini menjadi sedikit
lebih rasional, walaupun saya sendiri tidak sepenuhnya setuju. Tapi mungkin
saja inilah obat yang harus kita telan untuk menyembuhkan penyakit ogah
move on dari zona nyaman perguruan tinggi kita agar kedepannya segera
sadar, bangkit, dan berlari mengejar ketertinggalan kualitas dan mutu yang ada
sehingga kita benar-benar mampu menghasilkan sumber daya manusia unggul untuk
menghadapi tantangan zaman tanpa harus impor produk asing lagi.
Tags:
Pendidikan
0 comments