Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami
Beberapa waktu yang lalu saya membaca berita tentang demo akhir Agustus kemarin yang berakhir dengan penjarahan di beberapa rumah anggota DPR RI. Saya tidak tahu siapa yang memulai, tapi endingnya selalu sama: massa marah, polisi panik, anggota DPR lenyap entah ke mana. Nah, yang bikin ramai di media sosial justru bukan soal televisi yang hilang atau sofa yang digondol, melainkan soal ketiadaan buku di rumah para anggota DPR. Orang-orang ramai berspekulasi, “Oh pantas DPR kita ngawur, lha wong rumahnya saja tidak ada buku bacaan!”

Komentar itu tentu bikin saya tertawa kecil. Saya tertawa bukan karena setuju, tapi karena mengingatkan saya pada kosan teman saya dulu. Kosan itu kecil, isinya cuma kasur tipis, kipas angin, dan beberapa kardus Indomie kosong. Buku? Jangan harap. Tapi apakah itu berarti teman saya tidak membaca? Belum tentu juga. Waktu itu teman saya rajin pinjam buku di perpus kampus. Jadi, ya bisa jadi rumah tanpa buku, tapi otak tetap berisi.
Ilustrasi rumah mewah dan gawai untuk membaca E-Book (Gambar : AI Generated)
Jangan-jangan kasusnya juga sama dengan anggota DPR. Bisa jadi mereka rajin baca, tapi bukan di rumah. Mungkin di kantor. Atau mungkin di ruang VIP lounge bandara. Atau mungkin sambil rebahan di hotel berbintang. Bukan tidak mungkin pula mereka sudah naik level, meninggalkan buku fisik, dan beralih ke Kindle. Kita saja yang masih kagok membaca di HP sambil takut kuotanya habis.

Lagipula, zaman sekarang siapa sih yang masih pamer rak buku tinggi menjulang sampai ke atap? Itu kan gaya lama. Generasi lama bangga kalau rumahnya punya rak penuh buku ensiklopedia, meskipun sebenarnya tidak pernah dibaca. Generasi sekarang lebih suka buku digital. Nggak makan tempat, nggak berdebu, dan kalau dijual di Shopee, ongkirnya gratis.

Saya jadi ingat, dulu ada istilah: “Orang pintar itu bisa dilihat dari rak bukunya.” Nah, coba bayangkan kalau konsep itu masih dipakai di 2025. Saya yakin, banyak orang seperti teman saya langsung auto miskin ilmu, padahal koleksi PDF-nya di cloud bisa bikin Perpusnas minder. Bedanya cuma satu: PDF teman saya kebanyakan bajakan, sementara Perpusnas asli.

Jadi, jangan buru-buru menuduh DPR tidak suka baca hanya karena rumahnya tidak ada buku. Siapa tahu mereka punya ribuan e-book. Bisa jadi mereka lebih rajin download buku daripada kita. Kita baru baca tiga halaman sudah ngantuk, sementara mereka kuat sampai lima bab. Kalau itu benar, berarti sebenarnya yang lebih malas justru kita, rakyat jelata yang hobi menghakimi.

Meski begitu, tetap ada pertanyaan: kalau memang anggota DPR ini rajin baca e-book, kenapa kualitas keputusannya masih amburadul? Apakah Kindle mereka isinya cuma novel Wattpad? Atau jangan-jangan koleksi PDF mereka isinya resep tongseng dan brosur properti? Itu yang kita belum tahu.

Saya pribadi sih agak ragu. Karena saya tahu betul, membaca itu satu hal, memahami itu hal lain. Banyak orang rajin baca, tapi tidak paham isi bacaan. Misalnya saya, sering baca buku filsafat. Tapi ujung-ujungnya yang saya ingat hanya nama penulisnya. Isinya entah kemana. Kalau anggota DPR begitu juga, ya wajar kalau kinerjanya tidak seberapa.

Apalagi, mereka kan sibuk rapat, sibuk kunjungan kerja, sibuk menghadiri pernikahan anak pejabat. Kapan waktunya baca? Kalau pun sempat, paling banter baca papan nama restoran tempat reses. Jadi meskipun ada Kindle, jangan-jangan yang sering dibuka bukan e-book, tapi e-wallet.

Namun, harus jujur saya bilang, kadang kita terlalu cepat menyimpulkan. Demo kemarin, begitu rumah digeledah dan tidak ada buku, langsung dicap “bodoh”. Padahal, kita sendiri pun kalau rumahnya diobrak-abrik, belum tentu ditemukan buku juga. Paling banter ditemukan struk belanja Indomaret dan sisa cicilan paylater.

Fenomena ini mengingatkan saya pada kultur pamer rak buku di media sosial. Ada orang yang dengan bangga selfie di depan rak tinggi penuh buku. Captionnya panjang, kutipannya puitis. Padahal bisa jadi, buku yang paling sering disentuh cuma kamus bahasa Inggris—dan itu pun dipakai buat ganjel pintu. Sementara orang lain yang koleksi bukunya di Kindle, malah diam-diam sudah khatam ratusan judul.

Nah, kalau kita mau adil, harusnya begitu juga menilai DPR. Tidak ada buku fisik di rumah mereka bukan berarti otaknya kosong. Bisa jadi justru sebaliknya, mereka sudah terlalu maju meninggalkan dunia fisik, sementara kita masih terjebak romantisme bau kertas.

Tapi, tentu tidak semua bisa ditutupi dengan alasan e-book. Kalau memang benar rajin membaca, harusnya terlihat dari sikap dan kebijakan. Sayangnya, kualitas kebijakan DPR kita sering bikin rakyat mengelus dada. Misalnya soal pasal-pasal aneh yang tiba-tiba muncul di RUU. Saya jadi curiga, jangan-jangan mereka salah download. Mau download e-book hukum, yang keunduh malah novel Korea.

Skeptis itu wajar. Karena bagaimanapun, bukti paling nyata dari orang yang suka membaca adalah cara berpikirnya. Kalau hasil kebijakannya masih sekelas diskusi warung kopi jam dua pagi, berarti ada yang salah. Entah salah di bacaan, atau salah di otak.

Di sisi lain, saya juga tidak menutup kemungkinan bahwa rumah tanpa buku itu memang cerminan aslinya. Bahwa anggota DPR memang tidak suka membaca, titik. Kalau itu benar, berarti ya sudah, misteri terpecahkan. Mereka tidak suka buku, dan kita tidak boleh berharap banyak.

Namun, ada satu hal yang lebih menggelitik. Kenapa dalam penjarahan itu, rakyat kita justru kepo pada ada-tidaknya buku, bukan pada ada-tidaknya emas batangan atau sertifikat tanah? Apakah karena kita sudah putus asa berharap harta, sehingga yang kita cari hanyalah tanda intelektualitas? Ini pertanyaan filosofis yang mungkin lebih berat daripada skripsi.

Saya juga geli membayangkan, seandainya benar ada buku di rumah DPR, lalu bukunya ketahuan cuma kumpulan pantun atau majalah infotainment. Apa komentar warganet? Mungkin malah lebih kacau. Karena yang dicari publik bukan sekadar ada buku, tapi buku yang “bermutu”.

Kita seolah ingin DPR kita punya rumah yang penuh buku tebal karya ilmuwan besar. Tapi apakah kita sendiri sanggup membaca buku setebal itu? Belum tentu. Bisa jadi, yang paling kita sanggupi hanya membaca sinopsisnya di Goodreads. Jadi, jangan sok-sokan juga menuntut mereka terlalu tinggi.

Saya akhirnya sampai pada kesimpulan sementara: rumah tanpa buku bukan masalah. Rumah tanpa wifi mungkin lebih gawat. Karena tanpa wifi, koleksi e-book pun jadi mubazir. Dan mungkin, justru itu yang dialami DPR. Koleksi PDF segunung, tapi wifi mati karena lupa bayar.

Toh, kalau dipikir-pikir, kita juga tidak pernah menanyakan isi HP mereka. Bisa jadi, folder mereka penuh dengan buku digital. Atau bisa juga, penuh dengan folder bernama “kerja” yang isinya hanya foto-foto rapat. Kita tidak tahu.

Yang jelas, tuduhan bahwa DPR tidak suka baca hanya karena rumahnya kosong dari buku fisik, agak terburu-buru. Bisa benar, bisa salah. Sama halnya dengan tuduhan bahwa semua rakyat malas baca. Padahal mungkin kita hanya malas membeli. Kalau gratisan, semua semangat.

Lucunya, kasus ini membuat saya membayangkan satu adegan absurd: anggota DPR yang sedang duduk di ruang rapat, tiba-tiba asyik membuka Kindle. Bukan untuk membaca RUU, tapi membaca novel romantis. Dari jauh, kelihatannya serius, padahal yang dibaca adegan cinta-cintaan.

Apa pun itu, kisah rumah DPR tanpa buku tetap jadi bahan sindiran yang segar. Sindiran bahwa wakil rakyat harusnya jadi teladan, bukan malah jadi bahan olok-olok. Apalagi di tengah kondisi negeri yang sudah ruwet begini, jangan sampai wakil rakyat kita menambah luka dengan kebodohan yang bisa dihindari.

Kalau mereka benar-benar rajin membaca, maka semestinya kita melihat buahnya. Bukan hanya dari pidato yang tertata, tapi juga dari kebijakan yang logis. Kalau itu belum terlihat, berarti memang ada yang salah. Entah salah di bacaan, entah salah di penggunanya.

Namun, meski begitu, saya tetap mencoba positif. Saya anggap saja, rumah tanpa buku itu bukan tanda kebodohan, tapi tanda efisiensi. Mereka tidak mau rumahnya penuh debu. Mereka memilih cara modern. Mereka memilih Kindle. Kita saja yang belum sanggup beli Kindle, jadi iri.

Dan pada akhirnya, cerita ini hanya menambah daftar panjang keanehan negeri kita. Demo, penjarahan, rumah tanpa buku, dan rakyat yang malah sibuk berdebat soal perpustakaan pribadi anggota DPR. Lucu sekali, tapi juga menyedihkan.

Buku memang penting, tapi jangan lupa: lebih penting lagi adalah akal sehat. Dan sayangnya, akal sehat tidak bisa diunduh lewat Kindle.
Kita sedang berada di sebuah negeri yang katanya demokrasi, tetapi lebih mirip panggung wayang yang dalangnya entah siapa. Layar kaca menampilkan demo besar dua hari berturut-turut, ribuan orang berteriak sampai suara habis, menuntut wakil rakyat bicara, tetapi yang ditunggu malah tidak muncul. Mereka memilih WFH, bekerja dari rumah, atau lebih tepatnya bersembunyi dari kenyataan. Masyarakat marah, rakyat menjerit, tapi DPR memilih diam seribu bahasa. Pertanyaannya: apakah kita masih bisa hidup tanpa mereka? Atau justru lebih lega jika mereka tidak ada?

Malam kemarin suasana pecah. Api dari ban menyala di aspal, batu beterbangan, dan gas air mata jadi bau yang menyengat hidung. Demo berubah jadi anarkis, dan sebuah nyawa melayang, seorang ojol yang tewas dilindas Rantis Brimob. Seharusnya DPR yang bertanggung jawab, sebab semua ini berawal dari kelalaian mereka membaca suara rakyat. Namun anehnya, kemarahan massa justru dialihkan ke Polri. DPR selamat, untuk sementara. Tapi apakah kita akan terus membiarkan mereka berlindung di balik tubuh aparat?
Ilustrasi DPR didemo rakyat (Gambar : AI Generated)

Setiap kali rakyat marah, DPR punya jurus klasik: menghilang. Mereka tidak datang ke ruang sidang, mereka tidak muncul di depan rakyat, bahkan pernyataan pun nihil. Seolah-olah jabatan itu hanya untuk memamerkan jas dan dasi di awal masa kampanye. Bayangkan, lembaga yang dibiayai triliunan rupiah hanya menjadi rumah kosong ketika rakyat mengetuk pintunya. Lantas apa gunanya mereka? Kalau rumah kosong lebih baik dijual, lalu uangnya dipakai untuk rumah sakit gratis bagi rakyat.

Demokrasi presidensial memang menempatkan presiden di pucuk eksekutif, tapi jangan lupa, legislatif tetap ada untuk mengawasi. Masalahnya, DPR kita bukan mengawasi, melainkan melayani kepentingan yang mereka sendiri tidak pernah jujur menyebutkan. Saat rakyat menuntut keadilan, mereka pura-pura tuli. Saat rakyat menolak UU kontroversial, mereka berpura-pura sibuk. Saat rakyat lapar, mereka sibuk menghitung honor rapat. Apa artinya wakil rakyat yang tak pernah benar-benar jadi wakil?

Mungkin kita harus berani membayangkan Indonesia tanpa DPR. Kedengarannya radikal, tapi bukankah radikal hanya berarti kembali ke akar? Akar demokrasi adalah rakyat. Jika DPR justru merampas suara rakyat, kenapa kita tidak kembali langsung pada akar itu? Rakyat bicara tanpa perantara, rakyat menentukan nasibnya sendiri, rakyat yang berunding di lapangan, bukan di gedung megah dengan marmer yang berkilau. Bukankah itu lebih jujur?

Sejarah memberi contoh: ada banyak negara yang tetap hidup walau legislatifnya mandul, atau bahkan dibekukan sementara. Thailand pernah berkali-kali hidup dengan parlemen dibubarkan, tapi rakyat tetap bisa makan, sekolah tetap berjalan, jalan tetap ramai. Memang ada represi, tapi ada juga perlawanan. Indonesia, dengan segala kekayaan sosialnya, bisa lebih kreatif. Apa kita harus terus percaya bahwa DPR adalah "ruh demokrasi" kalau ruh itu sendiri sudah bolong dimakan rayap?

Ironinya, DPR sering merasa mereka lah inti dari demokrasi. Mereka berbicara seolah tanpa mereka negeri ini bubar. Tapi lihatlah kenyataan: banyak undang-undang penting lahir bukan dari DPR yang mendengar rakyat, melainkan dari rakyat yang memaksa. Reformasi 1998 bukan hadiah DPR, melainkan hasil keringat, darah, dan air mata rakyat. Jadi, siapa yang lebih layak disebut jantung demokrasi? Rakyat atau gedung parlemen?

Hari-hari ini rakyat sudah bosan dengan jargon. Demokrasi tak lagi punya makna ketika DPR sibuk menyelamatkan kursinya sendiri. Demokrasi tak lagi terasa indah kalau rakyat dipaksa tunduk pada aturan yang mereka sendiri tidak pernah merasa ikut merumuskannya. Kita dipaksa menerima UU yang lahir di tengah malam, tanpa debat publik, tanpa ruang partisipasi. Kalau seperti ini, untuk apa ada DPR?

Bayangkan uang triliunan yang dipakai untuk menggaji dan memanjakan mereka. Dari mobil dinas, kunjungan kerja, honor rapat, perjalanan luar negeri, sampai urusan rumah dinas yang mewah. Semua itu berasal dari pajak rakyat. Padahal di kampung-kampung, ada anak sekolah yang harus jualan gorengan dulu baru bisa beli buku. Ada orang sakit yang ditolak rumah sakit karena BPJS-nya menunggak. Bukankah lebih adil jika uang itu dipakai langsung untuk rakyat daripada memberi makan kursi kosong?

Kemarahan rakyat tak datang tiba-tiba. Ia tumbuh dari pengkhianatan yang berulang. Setiap periode, rakyat berharap akan ada yang berubah, akan ada yang peduli, tapi yang datang selalu sama: janji-janji yang basi. Rakyat disuruh menunggu lima tahun sekali, lalu dipaksa melupakan luka selama lima tahun itu. Begitu terus, siklus yang tidak pernah berhenti. Pertanyaannya: sampai kapan kita rela hidup seperti ini?

Membubarkan DPR mungkin terdengar utopis, tapi bukankah semua perubahan besar berawal dari ide yang dianggap mustahil? Dahulu orang berpikir mustahil melawan kolonialisme, tapi nyatanya kita merdeka. Dahulu orang bilang mustahil rakyat bisa menjatuhkan Soeharto, tapi 1998 membuktikan sebaliknya. Jadi, mustahil itu hanya mitos yang diciptakan oleh mereka yang takut kehilangan privilese.

Banyak yang bilang, tanpa DPR kita akan kacau. Tapi coba lihat, dengan DPR pun kita tetap kacau. Jadi apa bedanya? Kalau kacau sudah jadi bagian sehari-hari, kenapa tidak mencoba bentuk kekacauan yang lebih adil? Kekacauan di mana rakyat punya suara, bukan hanya kursi kosong. Kekacauan di mana rakyat bisa bicara langsung, bukan lewat juru bicara yang bahkan tidak kita kenal.

Kita harus jujur mengakui, DPR tidak lagi jadi ruang representasi rakyat. Mereka lebih mirip klub eksklusif yang pintunya hanya bisa dibuka dengan uang miliaran saat kampanye. Rakyat miskin? Jangan harap. Suara mereka hanya jadi latar, bukan isi. Kalau representasi hanya milik orang kaya, lalu apa gunanya demokrasi?

Kalau kita percaya bahwa negara adalah rumah bersama, maka DPR adalah tamu yang terlalu lama menempati ruang tamu. Mereka duduk, makan, minum, tidur, tapi tidak pernah bayar kontrakan. Mereka membuat aturan seenaknya, bahkan memutuskan siapa yang boleh masuk rumah dan siapa yang harus keluar. Rakyat? Cuma penonton dari jendela, menunggu kapan rumah itu bisa kembali milik bersama.
Membincangkan wilayah 3T seperti Enggano sesungguhnya berbicara tentang keadilan pembangunan yang tak kunjung tiba. Pulau kecil yang menjorok ke Samudra Hindia ini kerap menjadi citra tentang tepi NKRI yang masih menanti sentuhan negara secara nyata. Selama puluhan tahun, status Enggano sebagai kecamatan di bawah kabupaten menandakan bahwa negara hadir, namun sekadar secara administratif.

Tak dapat dimungkiri, skema birokrasi yang kaku dan hierarkis justru sering memperpanjang jarak antara kebutuhan nyata warga dengan solusi kebijakan yang diharapkan. Dalam banyak kasus, keputusan strategis tentang layanan publik, infrastruktur, bahkan penanganan bencana, kerap kali harus menunggu proses panjang yang melibatkan lintas tingkatan pemerintahan. Tidak jarang, hasil akhirnya justru tak menyentuh akar persoalan.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Bila menilik lebih dalam, model pemerintahan kecamatan di wilayah seperti Enggano ternyata lebih banyak menghadirkan batasan daripada peluang. Kewenangan yang terbatas serta anggaran yang serba pas-pasan menambah rumit upaya memajukan wilayah yang sudah sejak awal berangkat dari posisi tidak setara.

Banyak warga dan pelaku pembangunan di Enggano mengakui bahwa tantangan terbesar adalah pada kecepatan dan ketepatan respons pemerintah. Seringkali, ada jarak waktu yang sangat lama antara pengajuan kebutuhan masyarakat dengan realisasi program pemerintah. Dalam konteks ini, wilayah terluar seperti Enggano nyaris selalu menjadi prioritas kedua setelah kebutuhan daerah pusat atau kabupaten.

Ketika pembangunan berjalan lamban, masyarakat lokal harus menerima fakta bahwa akses kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur tetap tersendat. Bahkan, dalam kondisi krisis, seperti saat pandemi atau bencana alam, respons pemerintah menjadi ujian nyata bagi tata kelola wilayah terpencil. Keadaan ini semakin menegaskan bahwa model birokrasi lama tidak sanggup menjawab kompleksitas kebutuhan wilayah 3T.

Ada pertanyaan yang mengemuka, mengapa negara belum berani mendesain ulang model pemerintahan untuk wilayah dengan tantangan unik seperti Enggano? Jawaban yang sering muncul adalah kekhawatiran akan inkonsistensi kebijakan serta potensi tumpang tindih kewenangan. Namun, jika stagnasi dibiarkan, wilayah seperti Enggano akan semakin jauh tertinggal.

Pengalaman masa lalu, di mana pemerintah pusat pernah bereksperimen dengan berbagai model pemerintahan khusus, menjadi pembelajaran penting. Model otorita Batam, otonomi khusus Papua dan Aceh, hingga keistimewaan DIY, merupakan upaya negara untuk menjawab tantangan lokalitas, meski dengan motivasi yang beragam. Namun, belum ada model yang benar-benar didedikasikan khusus bagi wilayah 3T yang berkarakter geografis dan sosial unik seperti Enggano.

Kalau kita bicara mengenai pengelolaan wilayah khusus, Batam memang sering disebut sebagai contoh otorita yang efektif. Namun, Batam adalah kawasan ekonomi strategis yang berbeda orientasinya dengan wilayah 3T. Sementara itu, Aceh dan Papua diberi otonomi khusus karena sejarah konflik dan identitas. Lalu, di mana posisi Enggano dan puluhan wilayah 3T lain yang bukan kawasan industri, bukan pula wilayah dengan status politik khusus?

Banyaknya tantangan itu memperlihatkan bahwa upaya membangun wilayah 3T harus dimulai dari desain tata kelola yang benar-benar baru dan tidak sekadar hasil adaptasi dari model lama. Justru, keberanian untuk keluar dari zona nyaman model birokrasi konvensional menjadi syarat utama agar wilayah seperti Enggano mampu mengejar ketertinggalan.

Sebagai pengajar, saya kerap mendapati bahwa logika “one size fits all” dalam tata kelola pemerintahan justru memperparah ketimpangan antarwilayah. Enggano hanyalah salah satu dari banyak wilayah yang menjadi korban generalisasi kebijakan yang tidak peka pada konteks. Sudah saatnya, negara berani mendesain sistem yang benar-benar tailor-made.

Jika menilik Undang-Undang Pemerintahan Daerah, memang ada ruang untuk pembentukan entitas administratif baru. Namun, realisasi di lapangan masih sangat minim. Salah satu sebabnya, tidak adanya model yang benar-benar relevan bagi kebutuhan wilayah 3T seperti Enggano—yang, sekali lagi, bukan wilayah industri, bukan pula kantong konflik, melainkan pulau terdepan dengan segala keterbatasannya.

Merumuskan Otorita Khusus Terintegrasi

Atas dasar refleksi panjang atas kegagalan model lama, saya menawarkan satu gagasan baru: Otorita Khusus Terintegrasi (OKT). OKT adalah model pemerintahan yang tidak sekadar menambah struktur birokrasi, namun mendesain ulang secara radikal cara negara hadir dan bekerja di wilayah-wilayah ekstrem seperti Enggano.

Dalam skema OKT, wilayah seperti Enggano dikelola oleh sebuah otorita yang bertanggung jawab langsung kepada kementerian, khususnya Kementerian Dalam Negeri. Mandat yang diberikan luas dan terintegrasi, mulai dari pengelolaan layanan publik, pengembangan infrastruktur, hingga penyusunan kebijakan pembangunan. Kepala Otorita diangkat Presiden, sehingga stabilitas kepemimpinan lebih terjaga.

Dengan model ini, tidak lagi terjadi tumpang tindih atau tarik-ulur kepentingan antara kabupaten, provinsi, maupun pusat. Otorita Khusus Terintegrasi diberi kewenangan penuh dalam hal perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, namun tetap dengan mekanisme pengawasan ketat dari pusat dan lembaga audit independen.

OKT juga memiliki karakteristik utama, yaitu fleksibilitas dan keterbukaan dalam merekrut tenaga profesional serta ASN dari seluruh Indonesia. Model pengelolaan sumber daya manusia ini memungkinkan wilayah 3T mendapatkan SDM terbaik dengan insentif yang kompetitif dan sistem merit yang jelas.

Lebih jauh, Otorita Khusus Terintegrasi diberikan kewenangan fiskal khusus. Anggaran yang dialokasikan tidak lagi terfragmentasi, melainkan berbentuk block grant yang dapat dikelola secara mandiri, disesuaikan dengan kebutuhan dan prioritas nyata di lapangan. Ini membuka ruang bagi inovasi dalam pengelolaan keuangan daerah.

Berbicara tentang regulasi, tentu pembentukan OKT membutuhkan dasar hukum yang kuat, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun revisi undang-undang terkait. Namun, urgensi pembentukan OKT dapat lebih cepat dijawab dengan mengadopsi semangat “affirmative action” untuk wilayah 3T. Dengan demikian, proses hukum berjalan seiring dengan eksekusi nyata di lapangan.

Melalui OKT, Enggano diharapkan bisa menjadi lokomotif percepatan pembangunan di wilayah 3T. Semua program dan proyek strategis bisa langsung dirancang, diputuskan, dan dieksekusi oleh Otorita, tanpa harus menunggu restu dari level pemerintahan di atasnya. Hal ini akan sangat membantu percepatan layanan publik dan pembangunan infrastruktur dasar.

Model serupa sudah diterapkan di beberapa negara lain dengan karakteristik wilayah terpencil dan terluar. Misalnya, Northern Territory di Australia dan Nunavut di Kanada, yang mendapatkan kewenangan administratif langsung dari pemerintah pusat. Keberhasilan dua wilayah itu dalam menata pelayanan publik dan infrastruktur menjadi referensi penting, meski tentunya harus diadaptasi dengan konteks Indonesia.

Perlu dicatat, meski langsung di bawah kementerian, Otorita Khusus Terintegrasi tidak boleh menjadi lembaga yang tertutup. Harus ada ruang partisipasi masyarakat dan mekanisme checks and balances. Proses perumusan kebijakan, penyusunan anggaran, hingga pelaksanaan program harus terbuka bagi publik dan melibatkan pemangku kepentingan lokal.

Selain pengawasan internal dan audit eksternal, pelibatan universitas, lembaga riset, dan organisasi masyarakat sipil akan memperkuat tata kelola OKT. Mereka berperan tidak hanya sebagai mitra pembangunan, tetapi juga sebagai watchdog yang kritis terhadap pelaksanaan kebijakan di lapangan.

Pada titik ini, transformasi digital juga menjadi pilar utama. Dengan kondisi geografis Enggano yang menantang, pengelolaan layanan publik berbasis digital akan sangat membantu transparansi, efisiensi, dan kecepatan layanan. Sistem e-government bisa dioptimalkan untuk manajemen keuangan, administrasi kependudukan, hingga layanan kesehatan dan pendidikan.

Tentu saja, keberhasilan Otorita Khusus Terintegrasi sangat bergantung pada komitmen politik pemerintah pusat. Alokasi dana, kejelasan kewenangan, serta konsistensi pengawasan harus benar-benar dijaga. Jangan sampai model baru ini hanya menjadi nama tanpa substansi, atau justru menjadi ruang baru bagi praktik-praktik penyimpangan.

Di sisi lain, teori administrasi negara klasik yang dikemukakan Max Weber tentang birokrasi memang menekankan pentingnya struktur hierarkis dan rasionalitas aturan. Namun, dalam konteks wilayah 3T seperti Enggano, model weberian ini acap kali justru menghadirkan hambatan baru, sebagaimana dikritik Herbert Simon lewat gagasan bounded rationality—di mana pengambilan keputusan dalam organisasi publik tidak pernah sepenuhnya rasional karena terbatasnya informasi dan sumber daya di lapangan. Dalam prakteknya, keterbatasan tersebut semakin nyata di wilayah terpencil, sehingga diperlukan lembaga yang lebih luwes dan adaptif. Menarik untuk dicermati, Elinor Ostrom pernah menegaskan bahwa kelembagaan publik harus dibangun secara tailor-made, sesuai konteks sosial dan lingkungan lokal, agar dapat benar-benar menjawab kebutuhan warga.

Kemudian, konsep governance dari James Rosenau serta pendekatan collaborative governance yang diusung Ansell dan Gash mempertegas urgensi sinergi multi-aktor dalam tata kelola publik, terutama untuk wilayah-wilayah yang kompleks seperti 3T. Keduanya menyebut bahwa pemerintahan yang efektif membutuhkan keterlibatan langsung masyarakat sipil dan dunia usaha, bukan hanya negara. Sementara itu, Christopher Hood dalam konsep new public management menekankan perlunya efisiensi, akuntabilitas, dan inovasi dalam organisasi publik—suatu prinsip yang sangat sesuai dengan semangat Otorita Khusus Terintegrasi yang penulis tawarkan. Dengan mengadopsi pemikiran para ahli tersebut, desain OKT bagi Enggano dan wilayah 3T lain dapat benar-benar berakar pada landasan teoritik kuat, sekaligus tetap adaptif terhadap dinamika zaman.

Menyusun Jalan Baru Wilayah 3T

Setiap kebijakan baru selalu berpotensi menimbulkan resistensi. Tidak terkecuali OKT. Penolakan bisa datang dari birokrasi lama yang merasa kehilangan kewenangan, atau dari elite lokal yang khawatir kehilangan pengaruh. Oleh sebab itu, komunikasi publik yang jujur dan dialogis sangat diperlukan sejak awal.

Masyarakat lokal perlu dilibatkan secara aktif dalam proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan OKT. Mereka harus didengarkan aspirasinya, diberi ruang dalam pengawasan, dan diberdayakan dalam pelaksanaan program. Dengan demikian, keberadaan Otorita benar-benar menjadi milik bersama, bukan sekadar proyek dari atas.

Pemberdayaan masyarakat lokal juga menjadi kunci dalam memastikan keberlanjutan program. Tidak cukup hanya membangun infrastruktur atau layanan publik, namun juga membangun kapasitas warga agar mampu mengelola, merawat, dan mengembangkan hasil pembangunan secara mandiri di masa depan.

Penguatan identitas dan budaya lokal menjadi bagian integral dari OKT. Setiap kebijakan pembangunan harus menghargai dan merangkul kearifan lokal, memastikan Enggano tidak kehilangan identitasnya di tengah derasnya arus modernisasi dan pembangunan.

Dalam konteks geopolitik, pembentukan Otorita Khusus Terintegrasi juga menjadi bukti nyata kehadiran negara di wilayah perbatasan. Ini sangat penting dalam mempertegas kedaulatan dan integrasi nasional, khususnya di tengah meningkatnya dinamika kawasan regional.

Tidak kalah penting, pembangunan OKT harus berorientasi pada keberlanjutan lingkungan. Setiap proyek pembangunan wajib memastikan perlindungan ekosistem pulau, mengingat Enggano adalah wilayah yang sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan. Pelibatan ahli lingkungan dan komunitas lokal mutlak diperlukan.

Di sisi lain, ekonomi lokal harus menjadi prioritas. Otorita perlu mendorong pengembangan sektor-sektor potensial, seperti perikanan, pariwisata berbasis alam, dan pertanian organik yang sesuai dengan daya dukung pulau. Dukungan teknologi tepat guna dan akses pasar juga harus menjadi agenda strategis.

Agar pelayanan publik benar-benar berkualitas, penempatan guru, tenaga kesehatan, dan ASN profesional di Enggano perlu diberikan insentif khusus dan perlakuan afirmatif. Dengan demikian, wilayah 3T tidak lagi menjadi tempat “buangan” ASN, melainkan menjadi lokasi pengabdian yang bergengsi.

Selanjutnya, sinergi dengan perguruan tinggi dan dunia usaha akan mempercepat transfer teknologi dan inovasi. Enggano bisa menjadi laboratorium inovasi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kolaborasi dengan universitas akan membuka peluang riset terapan dan pengembangan kapasitas lokal yang berkelanjutan.

Dalam hal pembiayaan, Otorita perlu memastikan transparansi dan akuntabilitas anggaran. Seluruh proses perencanaan dan penggunaan dana harus terbuka, dengan sistem pelaporan daring yang dapat diakses publik dan diaudit oleh lembaga independen. Ini menjadi pondasi utama membangun kepercayaan masyarakat dan mencegah praktik korupsi.

Tak kalah penting adalah membangun indikator keberhasilan yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada peningkatan kualitas hidup warga. Indeks kebahagiaan, kesehatan, pendidikan, dan pelestarian lingkungan menjadi ukuran utama keberhasilan OKT di masa depan.

Setiap proses perubahan membutuhkan waktu dan adaptasi. Oleh karena itu, pembentukan OKT harus diiringi dengan mekanisme monitoring dan evaluasi yang rutin. Setiap kebijakan yang tidak berjalan efektif harus segera dievaluasi dan diperbaiki, dengan melibatkan masukan dari masyarakat dan para ahli.

Akhirnya, yang terpenting dari semua ini adalah memastikan bahwa Otorita Khusus Terintegrasi bukan sekadar solusi teknokratis, tetapi benar-benar menjadi jalan baru bagi keadilan pembangunan di wilayah 3T. Enggano harus menjadi contoh nyata bagaimana negara hadir, bukan sekadar di atas kertas, tetapi juga dalam realitas keseharian warga.

Pembentukan OKT tidak boleh dianggap sebagai proyek sementara. Ini harus menjadi komitmen jangka panjang negara dalam menuntaskan ketimpangan pembangunan. Setiap perubahan yang terjadi harus berpihak pada masyarakat, bukan pada elit atau kelompok tertentu.

Dengan kehadiran OKT, diharapkan wilayah 3T seperti Enggano tak lagi terpinggirkan. Sebaliknya, mereka justru bisa tumbuh menjadi pusat-pusat inovasi yang menginspirasi wilayah lain. Negara tidak lagi hadir sebagai “tamu”, melainkan benar-benar menjadi “tuan rumah” di rumahnya sendiri.

Afirmasi Komitmen dan Argumen Kunci

Pada akhirnya, gagasan pembentukan Otorita Khusus Terintegrasi adalah refleksi dari tanggung jawab negara yang sesungguhnya. Inilah saatnya membuktikan bahwa keadilan pembangunan tidak berhenti di pulau-pulau besar, melainkan menjangkau hingga ke pulau terluar seperti Enggano.

Argumen utama yang harus dipegang adalah tidak ada satupun wilayah yang boleh dibiarkan berjalan sendiri tanpa uluran tangan negara. OKT menjadi instrumen nyata mewujudkan janji keadilan sosial dalam konstitusi dan cita-cita Nawacita yang digadang-gadang selama ini.

Kita belajar dari kegagalan masa lalu bahwa tata kelola birokrasi lama tidak sanggup melayani kebutuhan unik wilayah 3T. Kini, keberanian dan inovasi kebijakan adalah jawaban. Dengan OKT, negara bisa melompat lebih cepat, tanpa dibelenggu pola lama yang justru menghambat.

Dengan modal desain kelembagaan yang adaptif, komitmen politik yang kuat, dan pengawasan publik yang ketat, OKT sangat mungkin menjadi lokomotif baru pembangunan di wilayah 3T. Tentu, kesuksesannya membutuhkan gotong royong semua pihak—masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha.

Tidak ada kata terlambat untuk berubah. Justru, menunda berarti memperdalam jurang ketimpangan dan menambah beban masa depan bangsa. Enggano dan puluhan wilayah 3T lainnya pantas memperoleh keadilan yang telah lama mereka nanti-nantikan.

Referensi dalam tulisan ini cukup sebagai penguat argumen utama, bukan sebagai ornamen akademik. Pengalaman Batam, praktik otonomi di negara lain, serta pengalaman Indonesia dalam membangun kawasan khusus menjadi bahan pembelajaran yang memperkaya argumentasi.

Saya percaya, kehadiran Otorita Khusus Terintegrasi akan menjadi babak baru dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia. Model ini bukan sekadar solusi teknis, tetapi sekaligus bukti kehadiran negara yang lebih adil, responsif, dan berpihak pada yang paling membutuhkan.

Semoga Enggano, dan wilayah 3T lain, segera merasakan perubahan nyata dari keberanian negara dalam mendesain ulang tata kelola wilayahnya. Hanya dengan cara inilah, Indonesia benar-benar hadir dan berdaulat di setiap jengkal tanah airnya.
Beberapa hari terakhir jagat media sosial dan ruang-ruang redaksi diramaikan oleh berita yang tak hanya menggelitik nalar publik, tetapi juga membuat banyak profesional mengernyitkan dahi. Beberapa nama yang sebelumnya duduk sebagai menteri dan wakil menteri, kini dilantik menjadi komisaris di sejumlah BUMN besar. Salah satunya bahkan diketahui tidak menamatkan pendidikan S1-nya, namun ditunjuk menjadi komisaris di perusahaan plat merah yang berperan strategis dalam perekonomian nasional. Lebih menarik lagi, latar belakangnya adalah seorang musisi band, bukan pebisnis, bukan ekonom, apalagi orang dengan pengalaman manajerial. Paling tinggi pengalaman manajerialnya adalah pimpinan partai kelas medioker.

Ini bukan sekadar guyonan dunia maya. Ini soal serius. Sebab ketika jabatan komisaris dijadikan tempat menampung tim sukses, loyalis, bahkan artis, maka arah tata kelola perusahaan negara berada di jalur yang salah. Kita semua tahu, komisaris bukan jabatan simbolik. Mereka adalah penjaga gawang, pengawas strategis yang menentukan apakah perusahaan berjalan sesuai arah atau justru tergelincir karena keputusan yang asal-asalan.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Saya tidak sedang mempermasalahkan latar belakang profesi seseorang. Banyak seniman dan musisi yang cerdas dan memiliki wawasan luas. Tapi menjadi komisaris BUMN itu bukan soal pintar bernyanyi atau punya banyak followers. Ini soal kemampuan memahami strategi bisnis, risiko pasar, dinamika ekonomi global, hingga tata kelola korporat yang sehat. Kalau hanya sekadar populer atau dekat dengan kekuasaan, lantas siapa yang akan menjaga integritas dan keberlanjutan perusahaan?

Bayangkan jika kita memilih pilot pesawat bukan karena kemampuannya menerbangkan pesawat, tapi karena dia sering ikut kampanye dan loyal pada partai tertentu. Apa kita rela hidup kita dipertaruhkan di tangan orang yang salah? Logika yang sama harusnya berlaku dalam dunia bisnis, terlebih ketika yang dipertaruhkan adalah uang rakyat.

BUMN bukan milik pemerintah. Mereka milik negara. Ada perbedaan besar antara “pemerintah” dan “negara”. Pemerintah bisa berganti tiap lima tahun, tapi negara adalah entitas yang harus dijaga lintas generasi. Maka, pejabat yang duduk di struktur BUMN seharusnya dipilih bukan karena kedekatannya dengan kekuasaan, tetapi karena kemampuannya menjaga aset publik ini agar terus tumbuh, kompetitif, dan memberi manfaat luas.

Satu hal yang sering dilupakan: jabatan komisaris bukan “hadiah” politik. Ia adalah posisi strategis yang menentukan hidup matinya sebuah perusahaan. Komisaris harus mampu membaca laporan keuangan, memahami portofolio bisnis, mengawasi proyek-proyek strategis, dan memastikan perusahaan taat pada prinsip tata kelola yang baik (good corporate governance). Jika tidak, maka yang terjadi bukan BUMN yang maju, melainkan BUMN yang dikerjai.

Saya khawatir, dalam praktik seperti ini, yang terjadi bukan meritokrasi tapi mediokritas. Orang-orang yang seharusnya duduk karena kompetensi, tersingkir karena tidak punya kedekatan dengan elite politik. Akibatnya, talenta-talenta terbaik bangsa memilih berkarier di luar negeri atau di sektor swasta. Padahal, kita membutuhkan mereka untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional dari dalam.

Sebagian orang mungkin berkata, “Ah, komisaris kan hanya duduk manis, datang rapat sesekali.” Justru itu masalahnya. Karena persepsi bahwa komisaris hanya posisi “titipan”, maka pengawasan menjadi lemah. Banyak kasus korupsi di BUMN terjadi karena pengawasan yang tidak efektif. Dan itu terjadi karena komisarisnya tidak berfungsi sebagai pengawas strategis, melainkan sekadar pelengkap struktur.

Di mata publik, BUMN adalah etalase negara. Ketika masyarakat melihat orang yang tak relevan secara keahlian menduduki posisi strategis di sana, maka kepercayaan publik ikut runtuh. Dan saat kepercayaan runtuh, maka apapun yang dilakukan BUMN akan dipandang dengan sinis, bahkan kalau itu sebenarnya adalah langkah baik.

Saya selalu percaya bahwa organisasi yang baik dibangun di atas fondasi profesionalisme. Kita bisa menengok ke belakang, ke era ketika Bank Mandiri, BNI, hingga BRI mulai bertransformasi bukan karena orang-orangnya dekat dengan penguasa, tetapi karena mereka membawa keahlian, rekam jejak, dan visi jangka panjang.

Kita bisa ambil pelajaran dari perusahaan-perusahaan global yang kuat bukan karena afiliasi politik, tapi karena struktur kepemimpinannya berisi para profesional terbaik. Apakah Apple, Toyota, atau Siemens menunjuk komisaris hanya karena mereka populer di TikTok atau aktif di partai politik? Tidak. Mereka tahu bahwa profesionalisme bukan pilihan, tapi keharusan.

Namun saya juga tidak naif. Politik adalah realitas. Saya paham bahwa dalam sistem demokrasi, selalu ada semacam “utang politik” yang ingin dibayar pasca kemenangan. Tapi membayar utang politik tidak harus merusak sistem yang sudah dibangun dengan susah payah. Ada banyak posisi yang lebih cocok untuk itu—di luar urusan bisnis negara.

Yang perlu kita tanyakan hari ini: mau kita bawa ke mana BUMN kita? Apakah kita ingin mereka menjadi pemain global, menciptakan inovasi, menguasai teknologi, membuka lapangan kerja luas? Atau kita biarkan mereka menjadi ladang balas jasa dan tempat parkir politik?

Masalahnya bukan hanya pada siapa yang duduk, tapi pada budaya dan sistem yang mengizinkan itu terjadi. Kita butuh sistem rekrutmen yang transparan, berbasis kompetensi, dan diawasi publik. Penunjukan komisaris seharusnya melewati proses seleksi terbuka, dengan uji kelayakan, bukan hanya sekedar rapat terbatas di ruangan elit.

Mari kita belajar dari masa lalu. Dulu, banyak BUMN jadi sarang korupsi dan kerugian. Salah satu penyebabnya adalah karena jabatan strategis diisi oleh orang yang tidak kapabel. Mereka tidak paham bisnis, tidak paham risiko, tapi ikut menandatangani keputusan strategis. Hasilnya: kerugian triliunan, dan akhirnya negara juga yang menalangi.

Anak muda hari ini makin kritis. Mereka tahu siapa yang layak duduk di posisi strategis dan siapa yang hanya “nebeng kekuasaan.” Kalau negara tidak segera memperbaiki pola rekrutmen ini, jangan salahkan generasi muda kalau mereka makin apatis terhadap politik dan pemerintahan.

Saya tahu, tulisan ini mungkin tidak populer bagi sebagian kalangan. Tapi ini harus dikatakan. Karena mencintai bangsa bukan berarti membiarkan kesalahan terus berulang. Justru karena cinta, kita harus berani bicara. Kalau bukan kita, siapa lagi?

Pekerjaan rumah kita bukan hanya membangun infrastruktur fisik, tapi juga infrastruktur etika dan profesionalisme. Tanpa itu, maka gedung-gedung tinggi dan proyek-proyek megah tidak akan berarti. Kita butuh pemimpin dan pengawas yang bisa dipercaya, bukan sekadar terkenal.

Satu pertanyaan penting untuk para pengambil kebijakan: apakah kalian ingin tercatat dalam sejarah sebagai pembangun fondasi, atau sebagai perusak sistem? Sejarah akan mencatat. Dan rakyat, perlahan tapi pasti, mulai menyadari siapa yang benar-benar bekerja, dan siapa yang hanya numpang nama.

Saya percaya, kita masih punya harapan. Tapi harapan itu hanya akan hidup jika kita punya keberanian untuk memperbaiki yang salah. Dan perbaikan itu dimulai dari siapa yang kita percayakan untuk mengelola aset publik. Bukan karena dia tim sukses, tapi karena dia ahli dan layak.

Mari berhenti menjadikan komisaris sebagai jabatan pelengkap. Jadikan mereka mitra strategis yang memperkuat bisnis, bukan sekadar stempel kekuasaan. Kalau tidak, kita akan terus berada di lingkaran setan kegagalan.

Karena pada akhirnya, bukan hanya BUMN yang gagal. Tapi kepercayaan rakyat yang hilang. Dan itu jauh lebih berbahaya daripada sekadar laporan keuangan merah.

Negeri ini dipenuhi hiruk-pikuk organisasi, partai, perkumpulan, yang berlomba-lomba mendeklarasikan diri sebagai wadah aspirasi,  benteng perubahan,  pelopor kemajuan.  Namun di balik gegap gempita retorika dan parade slogan,  tersembunyi kenyataan pahit yang kerap luput dari sorotan.  Realitas itu bernama ketergantungan. Ketergantungan yang membelenggu,  melumpuhkan,  dan pada akhirnya mereduksi organisasi menjadi budak kekuasaan.


Organisasi-organisasi ini,  dengan segala atribut dan klaim idealismenya,  kerap kali berdiri di atas fondasi rapuh.  Mereka gagap dalam kemandirian,  terutama dalam hal finansial.  Alih-alih membangun sistem pengelolaan yang sehat dan berkelanjutan,  mereka justru terjebak dalam lingkaran setan;  mengemis belas kasihan,  mengharap kucuran dana,  dari para penguasa.


Awalnya mungkin terasa mudah.  Pintu-pintu terbuka lebar,  dana mengalir deras,  kegiatan berjalan meriah.  Namun perlahan tapi pasti,  jerat ketergantungan mulai mengikat.  Organisasi yang seharusnya menjadi pilar demokrasi,  berubah menjadi pion dalam permainan politik.  Suara kritis terbungkam,  idealime tergadai,  demi menjaga aliran dana yang menjadi napas kehidupan.

Ilustrasi (Gambar : Istimewa)


Ironisnya,  fenomena ini terjadi di semua lini.  Partai politik yang seharusnya menjadi lokomotif perubahan,  justru asyik bermanuver demi mendapatkan jatah kekuasaan.  Organisasi masyarakat sipil yang seharusnya menjadi pengawal demokrasi,  malah tergoda menjadi kepanjangan tangan penguasa.  Lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi kawah candradimuka,  terjerembab dalam kubangan pragmatisme.


Mereka lupa,  atau mungkin pura-pura lupa,  bahwa kemandirian adalah harga mati.  Kemandirian finansial memberi organisasi kekuatan untuk bergerak bebas,  menyuarakan kebenaran,  tanpa takut kehilangan dukungan.  Kemandirian organisasi adalah fondasi utama bagi tegaknya demokrasi yang sehat.  Tanpa kemandirian,  organisasi hanya akan menjadi kumpulan oportunis yang haus kekuasaan.


Lihatlah partai-partai politik kita.  Banyak yang terjebak dalam pusaran pragmatisme.  Ideologi dan platform perjuangan hanya menjadi jargon kosong,  yang siap ditukar dengan kursi empuk dan pundi-pundi rupiah.  Mereka berlomba-lomba mendekati penguasa,  menawarkan dukungan,  demi mendapatkan imbalan.  Akibatnya,  partai politik kehilangan ruhnya sebagai wadah aspirasi rakyat.


Organisasi masyarakat sipil pun tak luput dari jerat ini.  Banyak yang awalnya lahir dari semangat idealisme,  berjuang untuk keadilan,  menyuarakan suara rakyat yang tertindas.  Namun seiring berjalannya waktu,  godaan kekuasaan dan materi mulai menggerogoti.  Mereka terbuai janji-janji manis,  terlena iming-iming proyek,  hingga akhirnya kehilangan independensinya.


Lembaga pendidikan,  yang seharusnya menjadi benteng moral dan intelektual,  juga tak kebal dari virus pragmatisme.  Universitas-universitas berlomba-lomba menjalin kerjasama dengan penguasa,  menawarkan program-program yang menggiurkan,  demi mendapatkan kucuran dana.  Akibatnya,  riset-riset kritis terpinggirkan,  kebebasan akademik terancam,  dan kampus kehilangan marwahnya sebagai tempat pencarian kebenaran.


Ketergantungan pada kekuasaan telah menciptakan budaya ABS (Asal Bapak Senang).  Organisasi-organisasi sibuk menebar pujian,  menutupi borok,  menghindari kritik,  demi menjaga hubungan baik dengan penguasa.  Akibatnya,  ruang publik dipenuhi kepalsuan,  kebenaran dibungkam,  dan masyarakat terjebak dalam ilusi.


Ketergantungan ini juga melahirkan mentalitas instan.  Organisasi-organisasi enggan membangun sistem pengelolaan yang mandiri dan berkelanjutan.  Mereka lebih memilih jalan pintas,  mengemis dana,  mencari sponsor,  daripada bekerja keras membangun kemandirian.  Akibatnya,  organisasi menjadi rapuh,  rentan terhadap intervensi,  dan mudah dibajak oleh kepentingan politik.


Fenomena ini tentu saja sangat memprihatinkan.  Organisasi-organisasi yang seharusnya menjadi pilar demokrasi,  justru terjebak dalam lingkaran setan ketergantungan.  Mereka kehilangan ruhnya,  mengorbankan idealismenya,  demi memuaskan dahaga kekuasaan.  Akibatnya,  demokrasi kita berjalan tertatih-tatih,  masyarakat kehilangan kepercayaan,  dan negara terancam stagnasi.


Lalu,  apa yang harus dilakukan?  Tentu saja,  solusinya adalah membangun kemandirian.  Organisasi-organisasi harus berani melepaskan diri dari jerat ketergantungan,  menciptakan sistem pengelolaan yang sehat,  dan mencari sumber pendanaan yang independen.  Hanya dengan kemandirian,  organisasi dapat menjalankan fungsinya secara optimal,  menyuarakan kebenaran tanpa rasa takut,  dan menjadi motor penggerak perubahan.


Partai politik harus kembali pada khitahnya sebagai wadah aspirasi rakyat.  Mereka harus berani menolak godaan kekuasaan,  mengutamakan kepentingan rakyat,  dan membangun sistem kaderisasi yang kuat.  Partai politik yang mandiri dan berintegritas adalah kunci bagi tegaknya demokrasi yang sehat.


Organisasi masyarakat sipil harus tetap menjaga independensinya.  Mereka harus berani mengkritik penguasa,  menyuarakan aspirasi rakyat,  dan mengawal jalannya pemerintahan.  Organisasi masyarakat sipil yang kritis dan mandiri adalah pilar penting bagi terciptanya masyarakat yang adil dan demokratis.


Lembaga pendidikan harus menjadi benteng moral dan intelektual.  Universitas-universitas harus berani menolak intervensi politik,  menjaga kebebasan akademik,  dan memprioritaskan riset-riset yang bermanfaat bagi masyarakat.  Lembaga pendidikan yang mandiri dan berintegritas adalah kunci bagi kemajuan bangsa.


Membangun kemandirian memang bukan perkara mudah.  Dibutuhkan komitmen,  kerja keras,  dan keberanian untuk keluar dari zona nyaman.  Namun,  ini adalah harga yang harus dibayar jika kita ingin membangun organisasi yang kuat,  berintegritas,  dan bermartabat.


Kemandirian adalah kunci bagi tegaknya demokrasi yang sehat.  Organisasi-organisasi yang mandiri akan menjadi pilar-pilar penyangga,  yang mampu menahan terpaan badai dan menjaga keseimbangan.  Mereka akan menjadi pengawal kebenaran,  penyuarakan aspirasi rakyat,  dan motor penggerak perubahan.


Jangan biarkan organisasi kita terjebak dalam belenggu emas kekuasaan.  Mari kita bangun kemandirian,  jaga integritas,  dan perjuangkan idealisme.  Hanya dengan cara itu,  kita dapat mewujudkan cita-cita luhur bangsa,  menciptakan masyarakat yang adil,  makmur,  dan bermartabat.  Ingatlah,  organisasi yang merdeka adalah organisasi yang mandiri!

Panggung kekuasaan itu hangat. Setiap langkah terasa penting, setiap ucapan dicatat, dan setiap keputusan membawa dampak besar. Maka tak heran bila banyak orang sulit beranjak ketika masa jabatannya selesai. Ada semacam magnet psikologis yang menahan mereka untuk tetap berada di titik pusat, walau sebetulnya panggung telah berubah. Begitu lampu sorot dipadamkan, sebagian tak sanggup duduk di bangku penonton. Mereka ingin tetap bicara, ikut mengatur alur cerita, bahkan kalau perlu—menulis ulang naskahnya.

Ada ironi yang sering muncul: mereka yang dahulu lantang bicara tentang regenerasi dan keterbukaan, justru menjadi penghalang terbesar ketika harus memberi ruang bagi pengganti. Mereka tak rela jika keputusan diambil tanpa “minta izin” kepadanya. Bahkan dalam hal-hal kecil, ia ingin dilibatkan, seolah pengganti hanyalah pelaksana teknis dari pikirannya. Bukan karena mereka tidak percaya, tapi karena mereka tak siap melepaskan. Di sinilah post power syndrome menyelinap, bukan sebagai penyakit, tapi sebagai kebiasaan yang tak disadari.
Ilustrasi Post Power Syndrome (Gambar : GeneratedAI)
Saya sering mendengar cerita dari para pemimpin muda yang menggantikan tokoh senior. Mereka bercerita bagaimana bayangan pemimpin sebelumnya terus hadir: dalam rapat, dalam kebijakan, bahkan dalam pergaulan internal. Sang mantan tak benar-benar pergi. Ia hanya bergeser posisi, tapi tetap mencengkeram. Ketika keputusan baru dibuat, selalu ada komentar, kritik, dan bisikan: "Dulu saya tidak begitu." Apa dampaknya? Inovasi terhambat, tim merasa terbelah, dan sang pemimpin baru seperti berjalan di atas garis tipis.

Ada kebutuhan manusiawi yang sangat mendasar yang sering terabaikan di sini: kebutuhan untuk merasa penting. Kekuasaan, selain memberi akses dan pengaruh, juga menjadi penanda identitas. Maka ketika jabatan hilang, rasa "siapa saya sekarang?" muncul dengan nyaring. Tak semua siap menjawabnya. Banyak yang kemudian berusaha mengganti kekosongan itu dengan menghidupkan kembali peran lamanya. Mereka jadi komentator atas keputusan-keputusan yang bukan lagi miliknya. Bahkan dalam forum sosial, mereka tetap ingin disebut dengan gelar kekuasaan yang sudah selesai.

Lucunya, fenomena ini tidak hanya terjadi di tingkat atas. Kepala sekolah yang pensiun pun bisa mengalami hal serupa. Ia masih merasa berhak menata ruang guru, mengatur jadwal, bahkan menegur staf baru. Semua itu dilakukan bukan karena niat buruk, tapi karena keterikatan emosional yang belum terurai. Kekuasaan telah menyatu dengan identitasnya. Dan melepaskannya sama sulitnya seperti memisahkan daun dari ranting yang telah lama kering.

Banyak orang menyangka post power syndrome hanya dialami oleh mereka yang ambisius. Tidak selalu. Justru kadang mereka yang paling tulus mengabdi, yang paling lama mengurus, yang paling mencintai pekerjaannya—adalah yang paling sulit melepas. Bagi mereka, jabatan bukan semata status, tapi rumah kedua. Maka ketika harus meninggalkannya, ada perasaan kehilangan yang dalam. Sama seperti orang tua yang harus melepas anaknya menikah—penuh restu tapi diam-diam menyimpan cemas.

Ada yang menyikapinya dengan terus hadir di lingkungan lama. Mereka datang ke kantor, duduk di ruang tamu, ikut makan siang. Kadang ikut nimbrung rapat meski tak diundang. Semuanya dilakukan dengan alasan “kangen suasana”. Tapi lama-lama, keberadaan itu menjadi beban. Bayangan masa lalu menghambat langkah masa kini. Dan pengganti pun merasa terus diawasi, bukan diberi ruang.

Saya percaya, seseorang tak perlu menduduki posisi untuk tetap memberi makna. Banyak pemimpin besar yang lebih dihormati setelah turun dari panggung, justru karena mereka tahu kapan harus mundur. Mereka menepi, bukan karena kalah, tapi karena sadar: saatnya yang lain tampil. Mereka tetap berkontribusi, tapi lewat cara yang berbeda—menulis, berbicara, memberi nasihat hanya ketika diminta.

Tantangannya adalah: tidak semua orang bisa membedakan antara kontribusi dan intervensi. Mereka yang terjebak dalam post power syndrome sering mengira campur tangan mereka adalah bentuk peduli. Mereka merasa sedang menjaga warisan, padahal sedang menghambat pertumbuhan. Mereka lupa bahwa setiap pemimpin baru punya konteks yang berbeda. Situasi berubah, tantangan berganti. Maka cara lama tak selalu relevan.

Sering kali, perasaan “saya masih tahu yang terbaik” muncul karena kesalahan dalam mengelola egonya sendiri. Ego yang dulu digunakan untuk memimpin, kini justru menjadi tembok yang menutupi kenyataan. Padahal, semakin tinggi posisi seseorang dulu, seharusnya semakin besar pula kebesaran hatinya untuk mundur. Tapi itu tidak mudah. Sebab yang ditinggalkan bukan hanya jabatan, tapi juga rasa dihormati, disambut, dan dituruti.

Budaya kita juga berperan dalam memperpanjang fenomena ini. Kita terlalu mudah menyanjung masa lalu dan enggan mengoreksi ketidaksesuaian. Kita masih suka memanggil mantan pejabat dengan gelarnya, masih memberi kursi khusus di forum-forum diskusi, dan masih meminta pendapat atas isu yang sudah tidak lagi menjadi wilayahnya. Tanpa sadar, kita ikut memelihara ilusi bahwa kekuasaan bisa diwariskan secara informal.

Tak salah menghormati mereka yang dulu berjasa. Tapi salah bila itu membuat sistem tidak berjalan sehat. Pemimpin baru perlu ruang. Ia butuh kebebasan untuk mengambil keputusan, gagal, belajar, dan tumbuh. Bila setiap langkahnya dibayang-bayangi penilaian orang lama, maka perubahan sulit terjadi. Dan organisasi hanya akan berjalan di tempat, seperti roda yang berputar tanpa bergerak.

Saya tidak sedang menyalahkan siapapun. Ini soal pemahaman. Soal kesiapan mental untuk menyambut babak baru dalam hidup. Ketika seseorang gagal menata fase pasca-kekuasaan, maka ia akan terjebak dalam nostalgia yang tidak produktif. Hidupnya diisi dengan mengomentari masa kini, bukan menjalani masa depan. Ia tak sadar, bahwa semakin ia mendikte, semakin ia kehilangan pengaruh.

Di sisi lain, tidak sedikit juga yang berhasil melewati fase ini dengan elegan. Mereka bertransformasi menjadi penasehat, mentor, atau pelaku sosial. Mereka tidak ngotot didengarkan, tapi justru semakin dihormati karena sikap bijaknya. Mereka hadir bukan untuk bersaing dengan pengganti, tapi untuk menjadi sumber refleksi. Mereka menghidupi peran barunya, tanpa mengaitkan semua pada masa kejayaannya.

Mereka tahu, kemuliaan seorang pemimpin tidak terletak pada berapa lama ia berkuasa, tetapi pada bagaimana ia mengakhiri kekuasaannya. Apakah ia mundur dengan kepala tegak dan hati lapang, ataukah ia terus menggantung di balik layar, menolak ditinggal pergi oleh zamannya? Pilihan ini menentukan apakah ia akan dikenang sebagai tokoh, atau hanya sebagai bayang-bayang yang mengganggu.

Kita perlu membangun kultur baru: bahwa setiap jabatan itu ada waktunya, dan setiap orang akan punya panggungnya sendiri. Perubahan adalah keniscayaan. Yang tidak berubah hanyalah kebutuhan untuk terus memberi makna. Maka, daripada terus berada di pinggir ring, lebih baik turun dan melatih petinju baru. Ajari mereka teknik, beri mereka semangat, lalu beri mereka ruang bertarung sendiri.

Saya percaya, bangsa yang sehat adalah bangsa yang tidak bergantung pada satu tokoh. Ia tumbuh karena ekosistemnya mendukung. Karena setiap generasi belajar dari yang lama, tapi tidak diikat olehnya. Karena pemimpin-pemimpin terdahulu legowo melepas kendali dan percaya pada estafet kepemimpinan.

Bila kita ingin sistem yang kuat, kita butuh pemimpin yang tahu kapan harus pergi. Yang tidak memaksakan cara lama untuk zaman baru. Yang tidak memonopoli kebenaran. Karena pada akhirnya, kepemimpinan bukan soal siapa yang paling lama memimpin, tapi siapa yang paling bijak mengakhiri kepemimpinannya.
Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • RUMAH ANGGOTA DPR TANPA BUKU, MUNGKIN MEREKA SUDAH NAIK LEVEL KE E-BOOK
  • RANGKING DAN AKREDITASI : NAPAS TERAKHIR KAMPUS SWASTA
  • ILMU COCOKLOGI : KEMAJUAN ATAU KEBUNTUAN BERPIKIR [?]
  • HARTA KARUN ITU BERNAMA FORM C1

Ramadhan Bercerita

PARIWARA

PARIWARA

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar