Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami
Kemarin sore, udara Bengkulu masih mengandung sisa-sisa panas dari matahari yang seharian tak mau berkompromi. Saya melangkah keluar dari gedung pertemuan, hasil workshop kawan-kawan aktivis lingkungan masih bergema di kepala. Hari itu, saya memang sengaja tidak membawa kendaraan. Bukan karena ingin bergaya hemat, tapi lebih ke alasan efisiensi yang kini terasa semakin relevan. Di tengah krisis BBM, antrean motor dan mobil mengular sampai ke mulut jalan. Daripada harus ikut mengantre lima jam hanya demi 5 liter bensin, lebih baik saya minta istri yang menjemput anak—sementara saya memesan ojek online saja.

Pengemudi ojol yang datang sore itu mengenakan jaket hijau lusuh yang warnanya mulai pudar. Helmnya ada dua: satu untuk dia, satu untuk saya. Kami menyusuri jalan utama kota Bengkulu yang kini menjadi semacam lorong bensin. Di kiri-kanan jalan, SPBU disesaki motor. Dalam kondisi seperti itu, saya rasa, mengobrol lebih baik daripada mengutuk jalanan.
Ilustrasi Ojol dan Penumpang (Gambar : AI Generated)

Saya mulai dengan pertanyaan ringan: sudah antre berapa jam hari ini? Dia tersenyum miris, “Tadi pagi lima jam, Pak. Itu pun cuma dapat tiga liter.” Saya mengangguk, pura-pura tidak kaget. Walau dalam hati saya tetap bertanya-tanya, bagaimana orang seperti dia bisa tetap tersenyum dalam tekanan seperti itu? Mungkin karena sudah terbiasa, atau mungkin karena dalam hidupnya, senyum adalah salah satu bentuk perlawanan.

Obrolan kami lalu mengalir. Ia mulai bercerita tentang rekan-rekannya sesama pengemudi ojol yang kini sebagian sudah pindah kerja karena keadaan kelangkaan BBM saat ini. Ada yang jadi pedagang bensin eceran, ada yang jadi joki pengunjal bensin (tukang beli bensin dengan kendaraan, lalu dijual ke pengecer dengan harga tinggi). “Yang penting gak nganggur, Pak,” katanya. Saya diam sejenak. Ada kebenaran sederhana yang terasa begitu kuat dari kalimat itu. Karena dalam hidup, kadang yang kita butuhkan bukan jabatan, tapi keberanian untuk terus bergerak.

Lalu ia bertanya saya kerja di mana. Saya jawab singkat, “Ngajar di kampus.” Ia tampak tertarik. Lalu bertanya di program studi apa. Saya bilang di manajemen. Saat itu saya mulai merasa bahwa pengemudi ini bukan pengemudi biasa. Ada ketertarikan yang khas dalam pertanyaannya. Dia tahu istilah akademik. Tahu bahwa manajemen bukan sekadar mengelola orang, tapi juga mengelola kemungkinan.

Dan seperti mendapat bahan bakar baru, ia pun mulai menyodorkan pertanyaan demi pertanyaan soal manajemen. Tentang kepemimpinan, tentang bagaimana orang bisa tahu arah kalau tidak ada peta, tentang mengapa strategi tak selalu berhasil. Saya menjawab semampu saya. Kadang serius, kadang dengan contoh dari kehidupan pribadi saya. Salah satunya tentang bagaimana saya membangun sistem kecil di keluarga.

Saya ceritakan padanya, bahwa saya percaya sistem itu bukan hanya milik perusahaan besar. Di keluarga kecil saya, kami punya sistem keuangan, sistem waktu belajar anak, sistem darurat kalau saya tiba-tiba harus absen selamanya. Karena saya percaya, manajemen bukan teori. Ia adalah cara menyusun hidup supaya tidak kacau ketika guncangan datang tiba-tiba.

Saya tambahkan, bahwa kalau sistem itu bagus, maka orangnya bisa diganti, tapi kerja tetap jalan. Dan dalam hal ini, seorang gubernur atau walikota mestinya tidak sibuk tampil di televisi atau media sosial. Ia mestinya sibuk merancang sistem. Agar ketika dia lengser, rakyat tetap bisa menikmati hasil kerja, bukan cuma kenangan foto bersama.

Ia mengangguk, entah benar-benar paham atau hanya sopan. Tapi saya lanjutkan, karena momentum percakapan itu terlalu sayang untuk dilewatkan. Ia lantas bertanya mengaitkannya dengan politik. Di Bengkulu, warganya ini sangat tertarik dengan obrolan politik. Bahkan mungkin 70% obrolan warung kopi topiknya soal politik. Inilah kenapa Bengkulu ini beda dengan yang lain.

Saya katakan bahwa dalam politik, sistem itu sering kalah oleh popularitas. Karena sistem tidak bisa dijual cepat. Ia tidak memukau. Ia bekerja diam-diam, di balik layar.

Saya lalu mencontohkan Anies Baswedan. Saat ia memimpin Jakarta, banyak yang mengkritiknya tidak “kelihatan kerja.” Padahal, ia sedang membuat sistem transportasi bernama Jaklingko. Sistem itu tidak menggantungkan diri pada satu operator, tapi menyambungkan berbagai moda dan tarif dalam satu integrasi. Itu bukan ide populer. Tapi lima tahun kemudian, orang baru sadar bahwa sistem itu menyelamatkan banyak orang dari keruwetan harian.

“Kalau gubernur Bengkulu sekarang gimana, Pak?” tiba-tiba dia bertanya. Saya tertawa kecil. Saya jawab, “Saya bukan komentator politik.” Tapi ia terus mendesak. Katanya, “Saya ingin tahu dari sisi manajemen. Kan sudah seratus hari kerja, tapi belum terasa sistemnya.” Pertanyaan itu menohok, tapi juga jujur. Saya tidak bisa menolaknya.

Saya lalu menjelaskan bahwa seratus hari bukan waktu yang cukup untuk membangun sistem. Tapi cukup untuk menunjukkan arah. Kalau sampai seratus hari rakyat tidak bisa menebak arah ke mana kepemimpinan ini akan dibawa, maka itu masalah manajerial. Karena seorang pemimpin yang baik adalah seorang komunikator sistem.

Saya tidak menjawab apakah gubernur sekarang baik atau tidak. Saya lebih suka menunjukkan bahwa ukuran keberhasilan bukan pada pidato atau trending di Media Sosial, tapi pada apakah rakyat bisa hidup lebih mudah. Kalau antre BBM tetap lima jam, maka itu tanda sistem distribusi belum berubah.

Ia mengangguk lagi. Kali ini lebih dalam. “Berarti jadi gubernur itu kayak manajer ya, Pak?” Saya jawab, “Ya. Tapi lebih rumit, karena stakeholder-nya banyak, dan ekspektasinya liar.” Ia tertawa. Saya pun ikut tertawa. Tawa dua orang di atas motor, di tengah jalan yang padat kendaraan yang sedang mengantre, terasa seperti jeda dari peliknya hidup.

Saya tahu, pengemudi ini tidak sedang bercanda. Ia serius ingin tahu. Mungkin karena ia juga pernah kuliah. Mungkin karena ia sedang mencari arah baru dalam hidup. Atau bisa jadi, karena hidup telah mengajarkannya bahwa ilmu tidak hanya milik mereka yang di balik meja.

Kami tiba di depan rumah. Saya turun dari motor, mengembalikan helm. Ia tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Saya pun mengangguk, mengucapkan doa dalam hati: semoga sistem dalam hidupnya terus menguat. Karena dalam dunia yang tak menentu ini, sistem adalah satu-satunya jaring pengaman.

Saat saya masuk rumah, obrolan tadi masih membekas. Saya berpikir, mungkin seharusnya kita semua belajar manajemen. Bukan untuk jadi manajer perusahaan, tapi untuk jadi manajer hidup. Supaya kita tidak tenggelam dalam kekacauan yang kita ciptakan sendiri.

Saya jadi teringat mahasiswa-mahasiswa saya. Mereka sering bertanya, “Pak, kalau nanti saya tidak kerja di kantor, apa gunanya belajar manajemen?” Sekarang saya tahu jawaban terbaiknya: karena hidupmu sendiri adalah perusahaan terpenting yang akan kamu kelola seumur hidupmu.

Jadi, jika suatu hari kamu jadi sopir, guru, kepala dusun, atau bahkan hanya kepala dapur, jangan minder. Selama kamu tahu cara mengatur, menyusun, dan membenahi, kamu sudah menjalankan peranmu sebagai manajer. Dan itu sudah cukup mulia.

Saya tidak tahu latar belakang pengemudi tadi. Tapi saya tahu, ia telah membuat saya menulis ini. Ia telah mengingatkan saya bahwa ilmu bukan untuk digantung di dinding, tapi untuk dijalani dalam keseharian.

Maka saya percaya, selama masih ada orang seperti dia, negeri ini tidak akan benar-benar kehilangan arah. Karena harapan tak selalu lahir dari kantor gubernur. Kadang, harapan itu datang dalam bentuk tukang ojol, di tengah sore yang panas, dengan dua helm dan sejuta cerita.
Bengkulu itu seperti rumah di ujung gang sempit. Jalannya cuma satu. Kalau ada truk besar mogok di tengah gang itu, semua penghuni rumah harus jalan kaki atau menunggu sampai mogoknya selesai. Tidak ada pintu belakang. Tidak ada jalur alternatif.

Saya tidak sedang membesar-besarkan masalah. Cobalah tengok berita-berita beberapa hari terakhir. BBM langka, antrean mengular sepanjang dua kilometer di banyak SPBU. Tidak hanya motor dan mobil, kadang sampai truk pengangkut sayur pun ikut antre. Tentu saja semua ini tidak terjadi dalam ruang hampa.
Ilustrasi Multi Jalur Suplai BBM ke Bengkulu (Gambar : AI Generated)
Pendangkalan di alur pelabuhan Pulau Baai jadi pangkal perkara. Kapal tanker tidak bisa bersandar. BBM tak bisa diturunkan. Dan begitu satu jalur ini terhambat, bengkulu seperti dikerangkeng. Tidak ada opsi lain.

Lalu datanglah solusi darurat: mendatangkan BBM dari luar, lewat darat. Lewat jalur yang kalau kita sering lewati, tahu persis betapa berkeloknya. Truk dari Jambi dan Linggau jadi penyambung nyawa. Tapi biaya logistik melonjak. Setiap liter yang dikirim, Pertamina rugi—tapi tetap dikirim.

Kita harus berterima kasih pada para sopir tangki BBM itu. Mereka adalah pahlawan logistik dalam senyap. Jalanan lintas Sumatera itu tidak main-main. Tanjakan, tikungan tajam, longsoran di musim hujan, itu semua adalah sahabat harian mereka.

Tapi kita tidak bisa terus-menerus hidup dalam mode darurat. Maka saya ingin bicara tentang tiga hal: jangka pendek, menengah, dan panjang. Tiga skala waktu ini harus kita pikirkan bersama. Tidak bisa hanya berharap satu solusi ajaib turun dari langit.

Jangka pendek dulu. Yang paling mudah dan harus segera dilakukan: keruk alur laut Pulau Baai. Ini seperti membersihkan saluran air mampet. Bukan soal politik, ini soal teknis. Tinggal alokasikan anggaran dan kerja cepat.

Jangan tunggu investor. Jangan tunggu lelang internasional. Waktu tidak sedang memihak. Setiap hari menunggu, antrean makin panjang, kepercayaan publik makin tergerus.

Gubernur, Wali Kota, dan DPRD bisa patungan anggaran jika Pelindo, Kementerian, atau pemerintah pusat tidak mau membiayai. Saya tahu, anggaran daerah tidak sekuat itu. Tapi untuk kepentingan mendesak seperti ini, pemanfaatan belanja tidak terduga bisa digeser.

Sambil mengeruk, kita juga perlu mendata semua SPBU. Mana yang bisa dijadikan prioritas distribusi. Mana yang bisa difungsikan khusus untuk sektor strategis: rumah sakit, ambulans, dan logistik pangan dan mana yang SPBU banyak bocor ke para pengecer.

Masyarakat juga perlu diberi informasi yang jelas. Jangan hanya bicara "panic buying" tanpa menunjukkan bukti. Warga antre bukan karena panik, tapi karena benar-benar butuh. Menyalahkan rakyat adalah cara paling malas dalam manajemen krisis.

Sekarang jangka menengah. Kita harus membuka opsi logistik darat secara lebih serius. Artinya, perbaikan jalan lintas barat dan tengah Sumatera dan penyelesaian jalur tol Bengkulu-Linggau yang baru selesai 1 tahap saja, harus menjadi prioritas. Pendalaman studi untuk usulan pembukaan jalur kereta api Linggau-Pulau Baai. Pemerintah pusat dan daerah harus duduk satu meja.

Jangan anggap pembangunan jalan itu cuma proyek infrastruktur biasa. Ini adalah soal konektivitas hidup dan mati. Bengkulu tidak boleh lagi mengandalkan satu jalur pelabuhan.

Logistik BBM bisa dipecah. Sebagian masuk lewat pelabuhan, sebagian lewat darat. Diversifikasi sumber distribusi. Ini sama dengan membagi risiko. Kalau satu jalur terganggu, jalur lain bisa menopang.

Di jangka menengah pula, kita bisa mulai membangun depo penyangga. Gudang BBM dengan cadangan untuk 30 hari. Letaknya di titik strategis, misalnya perbatasan dengan Sumatera Selatan. Sehingga pengiriman dari dua arah tetap memungkinkan.

Saya pernah membaca dalam satu artikel tentang depo BBM kecil di daerah terpencil di Kalimantan. Fungsinya bukan untuk distribusi harian, tapi cadangan saat cuaca ekstrem atau jalur terganggu. Di Bengkulu, ini bahkan lebih relevan.

Nah, masuk ke jangka panjang. Inilah waktunya Bengkulu memikirkan kemandirian energi. Saya tidak sedang bicara kendaraan listrik (mobil). Itu terlalu jauh, dan ekosistemnya belum sepenuhnya siap. Teknologinya masih terlalu mahal. Tapi kita bisa bicara biogas, panel surya, atau teknologi hybrid.

Bengkulu punya banyak potensi air. Mikrohidro bisa dijadikan sumber listrik lokal. Bisa juga dijadikan pengganti untuk pompa-pompa BBM yang selama ini tergantung genset. Di kampung-kampung, listrik dari mikrohidro bisa menyokong ekonomi kecil.

Energi matahari? Sangat mungkin. Daerah pantai punya paparan cahaya hampir maksimal. Tapi butuh kemauan dan dukungan teknologi. Pemerintah daerah bisa mulai dari kantor-kantor OPD. Jadikan contoh, bukan sekadar slogan.

Di masa depan, kemandirian energi tidak boleh lagi jadi jargon. Ia harus jadi sistem. Kalau selama ini kita membangun jalan tol untuk konektivitas mobilitas, maka energi adalah konektivitas kehidupan.

Pendidikan juga tidak boleh ketinggalan. Anak-anak SMA dan SMK di Bengkulu bisa diberi kurikulum energi terbarukan. Bangun semangat kemandirian dari sekolah. Siapa tahu, insinyur yang akan menemukan solusi energi murah lahir dari sini. SMA Muhammadiyah 4 Bengkulu dan SMAK St. Carolus sudah mencontohkannya. Bahkan Kepala Sekolahnya sampaiu diundang ke Brazil untuk menceritakan projectnya ini sebagai praktik baik di institusi pendidikan.

Saya tahu, semua ini tidak mudah. Tapi kalau kita terus berpikir seperti sekarang, kita hanya akan jadi penonton. Sementara krisis demi krisis datang silih berganti.

Menunggu solusi dari pusat bisa seperti menunggu janji mantan. Bisa datang, bisa juga tidak. Maka biarkan Bengkulu menulis skenario solusinya sendiri. Lewat tangan-tangan warganya yang bekerja dengan ketulusan dan kemauan.

Krisis BBM ini membuka mata kita: Bengkulu terlalu rapuh untuk dibiarkan tanpa rencana cadangan. Sudah saatnya kita berpikir seperti daerah kepulauan. Mandiri dalam logistik. Tangguh dalam konektivitas.

Saya menulis ini bukan untuk menyalahkan siapa pun. Tapi untuk mengingatkan bahwa waktu kita terbatas. Dan kalau kita tidak berubah sekarang, mungkin nanti kita tidak bisa lagi memilih untuk berubah.
Hari senin siang (26 Mei 2025), gubernur menjelaskan di media bahwa salah satu penyebab terjadinya antrian panjang kendaraan di berbagai SPBU di Bengkulu adalah karena adanya Panic Buying. Istilah ini mungkin terdengar asing, namun sebenarnya sering terjadi di sekitar kita dalam beberapa tahun terakhir. 

Panic buying atau pembelian panik adalah perilaku konsumen yang membeli barang dalam jumlah besar dan tidak wajar karena ketakutan akan kelangkaan atau kenaikan harga barang tersebut di masa depan. Perilaku ini biasanya dipicu oleh krisis, rumor, atau informasi yang menimbulkan kecemasan, seperti bencana alam, konflik, pandemi, atau isu kenaikan harga.
Ilustrasi Panic Buying (Gambar : AI Generated)
Lalu apakah fenomena antrian super panjang di Bengkulu ini termasuk dalam panic buying seperti yang dijelaskan oleh Gubernur?

Antrian BBM di Bengkulu saat ini tidak semata-mata disebabkan oleh panic buying, meskipun fenomena tersebut mungkin ikut memperburuk keadaan. Ada beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa masalah utamanya adalah gangguan pasokan struktural, bukan kepanikan konsumen.

Beberapa hal yang bisa menjelaskan mengapa ini bukan masuk kategori panic buying :

• Masalah Utama: Pendangkalan Alur Laut

Sejak pelabuhan Pulau Baai mengalami pendangkalan, kapal tanker Pertamina tidak bisa lagi bersandar. Ini menyebabkan distribusi BBM harus dialihkan lewat darat dari Jambi dan Lubuk Linggau. Hal ini menyebabkan pasokan melambat dan terbatas.

• Tren Antrian Terjadi Sebelum Panic Buying

Antrian panjang di SPBU sudah terjadi secara bertahap selama beberapa minggu terakhir. Ini menunjukkan krisis pasokan sudah berlangsung lama dan bukan reaksi sesaat akibat kepanikan.

• Panic Buying sebagai Efek, Bukan Sebab

Ketika masyarakat melihat SPBU kosong atau mendengar kabar bahwa pengiriman BBM tersendat, sebagian memang akhirnya berebut isi BBM saat ada pengiriman. Ini menciptakan ilusi panic buying, padahal mereka hanya mencoba bertahan hidup dalam kondisi pasokan terbatas.

• Kelangkaan BBM Eceran dan Ojek Online

Banyak pertamini tutup. Ojek online tidak beroperasi karena kehabisan BBM. Ini menunjukkan bahwa sistem distribusi informal pun lumpuh, bukan hanya karena kepanikan, tapi memang karena tidak ada stok BBM yang bisa dibeli.

• Harga BBM Eceran Melonjak

Jika ini murni panic buying, BBM tetap tersedia namun mahal. Tapi kenyataannya, harga naik karena barangnya memang sangat langka, bukan karena diborong. Buktinya pembelian BBM di SPBU dibatasi per kendaraan maksimal hanya 30 liter untuk mobil dan 5 liter untuk motor.

Kesimpulannya, indikasi ke arah panic buying memang ada, namun bukan faktor utama. Yang lebih dominan adalah krisis pasokan akibat kendala logistik struktural yang seharusnya jadi perhatian serius pemerintah daerah dan pusat.
Di Jakarta, orang ribut karena laut ditimbun-timbun. Alasannya macam-macam, mulai dari ancaman lingkungan, rusaknya ekosistem, sampai kekhawatiran tentang siapa yang bakal menikmati hasil reklamasi itu. Sebagian khawatir kalau daratan baru itu nanti akan jadi milik segelintir orang kaya yang bisa beli pulau seharga dua mobil Pajero. Sementara rakyat jelata cuma bisa menikmati laut dari jendela bus Transjakarta, sambil ngelus dada. Tapi itu Jakarta, tempat segala hal bisa jadi polemik nasional.

Sementara itu, di Bengkulu, kondisinya agak nyeleneh. Kalau di Jakarta orang khawatir laut ditimbun, di Bengkulu justru lautnya semakin timbul sendiri. Bukan karena pembangunan, tapi karena pendangkalan. Alur laut Pulau Baai pelan-pelan mulai berubah nasibnya, dari jalur logistik menjadi semacam kolam rendam berpasir. Kapal-kapal pengangkut BBM pun mendadak merasa seperti sedang main sand castle di pantai.

Di tengah hiruk-pikuk orang Jakarta yang khawatir lautnya menyusut, Bengkulu malah sibuk memikirkan gimana caranya supaya lautnya bisa sedikit lebih dalam. Ini ironi yang sebetulnya enak buat dibikin meme. Tapi karena kita bukan bangsa pememe, ya akhirnya cuma bisa jadi bahan obrolan sambil ngopi di warung. Orang sini kalau bahas soal pendangkalan alur laut nadanya udah kayak ngomongin mantan yang gak move on-move on.
Ilustrasi Pengerukan Pasir (Gambar : AI Generated)

Kalau dibiarkan terus, nanti kapal-kapal Pertamina bisa nyangkut beneran di tengah laut, nunggu pasang. Lucunya, kita bukan marah sama laut, tapi malah maklum. “Namanya juga laut,” kata orang. Seolah laut itu semacam manusia yang bisa salah jalan gara-gara kurang tidur.

Yang membuat geli, untuk urusan ini, kita justru mesti bayar kapal keruk buat bantu ngambil pasir yang bikin alur laut jadi dangkal. Padahal di tempat lain, kapal-kapal pengangkut pasir justru diusir. Di Bangka, misalnya. Kapal keruk datang, masyarakat demo. Di Bengkulu, kapal keruk datang, masyarakat malah kasih kopi. Aneh, tapi nyata.

Harusnya, pasir laut yang bikin susah ini malah bisa jadi peluang. Bayangkan, kalau kita bisa kelola hasil kerukannya, bisa saja jadi pemasukan daerah. Tak usah jauh-jauh dipikirkan untuk ekspor ke luar negeri dulu. Dijual ke proyek-proyek lokal pun udah lumayan. Hitung-hitung bantu pembiayaan perbaikan jalan yang lubangnya sudah seperti danau mini.

Tapi ya itu, kadang kita ini terlalu baik. Pasir laut yang jelas-jelas bisa dijual, malah kita perlakukan seperti masalah. Kita bayar orang untuk mengambilnya, bukan untuk membeli. Ini kalau ibarat makan, seperti beli nasi uduk tapi yang dibayar tukang nasinya biar mau diambil.

Ada juga yang bilang, mungkin karena belum ada perda yang ngatur soal pengelolaan hasil pengerukan pasir laut. Maka dari itu, niat baik pun sering kali mandek di tengah jalan. Bukan karena gak ada kemauan, tapi karena terlalu banyak prosedur yang harus dicium dulu. Belum lagi soal siapa yang boleh mengelola, siapa yang nanti ambil untung, dan siapa yang bisa bikin proposal dengan kop surat berwarna.

Sementara menunggu itu semua dibereskan, kapal-kapal besar yang mau sandar di Pelabuhan Pulau Baai hanya bisa melongo. Mereka tahu, semakin dangkal alurnya, semakin besar kemungkinan mereka harus balik kanan. Sudah rugi waktu, rugi BBM, rugi marwah juga. Kapal sebesar itu, masa nyangkut di dasar laut kayak ember tua.

Kondisi ini bukan cuma merugikan Pertamina, tapi juga bikin masyarakat Bengkulu menanggung dampaknya. BBM makin langka. Antrian di SPBU makin panjang. Orang yang biasanya ngopi pagi di warung, sekarang pagi-pagi sudah berdiri di depan motor, meratap. Bensin tinggal satu bar, tapi SPBU antrinya satu kilometer.

Sekarang, kalau ada yang bilang Indonesia itu kaya pasir, saya setuju. Tapi kalau orang Jakarta kaya pasir karena proyek reklamasi, Bengkulu kaya pasir karena lautnya memang sedang berubah jadi taman pasir. Ini kaya yang bikin bangkrut. Kaya yang bikin kapal ogah datang. Kaya yang bikin gubernur bingung cari cara.

Ironi ini makin kentara kalau kita lihat potensi yang terbuang. Pasir yang bisa dijual, malah dibuang. Dana yang bisa masuk, malah bocor. Masyarakat yang bisa untung, malah buntung. Kalau ini terus terjadi, jangan salahkan kalau nanti ada yang minta pisah dari NKRI karena merasa dianaktirikan—tentu ini cuma satire, jangan baper.

Maka, perlu cara pandang yang agak nyentrik. Jangan selalu lihat pasir laut itu sebagai biang kerok. Kadang, biang kerok itulah yang bisa jadi penyelamat. Asal dikelola dengan benar, hasil kerukan itu bisa jadi penyambung hidup. Minimal bisa mengurangi beban APBD yang selama ini kerja keras cuma buat nutupi jalan bolong.

Bahkan kalau perlu, kita bisa belajar dari Singapura yang beli pasir dari mana-mana buat tambah daratan. Kita, yang punya pasir melimpah, malah bingung sendiri. Ini seperti orang yang punya kebun durian, tapi tiap hari sarapan gorengan. Bukan karena gak suka durian, tapi karena gak tahu cara manjat pohon.

Padahal kalau mau jujur, potensi Bengkulu ini luar biasa. Lautnya indah, hasil buminya lumayan, dan sekarang, pasirnya pun banyak. Tinggal butuh keberanian untuk bilang: “Kita bisa.” Sayangnya, keberanian itu sering terhalang oleh ketakutan dikira korupsi. Kadang, niat baik bisa tampak jahat kalau prosedurnya belum dilengkapi.

Sudah waktunya Bengkulu ambil langkah maju. Tak perlu menunggu komando dari pusat. Kalau menunggu terus, bisa-bisa nanti kapal Pertamina datang bukan bawa BBM, tapi bawa nasi kotak buat rapat koordinasi. Kita terlalu sering mengadakan rapat, padahal yang kita butuh cuma satu: tindakan.

Kalau proyek pengerukan ini bisa dibereskan, dampaknya bisa luar biasa. BBM bisa kembali lancar. Logistik bisa jalan lagi. Pendapatan daerah naik. Dan yang terpenting: masyarakat bisa kembali hidup tanpa harus begadang antri bensin.

Harusnya kita bangga punya laut yang masih bisa dikeruk. Daripada punya gunung yang tinggal nama. Daripada punya jalan yang tinggal lubang. Daripada punya SPBU yang isinya cuma papan bertuliskan: “BBM Habis.”

Tapi tentu semua itu butuh keseriusan. Pemerintah daerah harus bisa jadi pelopor. Tak cukup hanya dengan lempar pernyataan di media. Harus ada tindakan nyata. Entah itu menggandeng swasta, atau mendirikan BUMD yang khusus mengelola pasir laut.

Bayangkan, betapa bahagianya nelayan, sopir truk, tukang parkir, sampai mahasiswa jika kapal BBM kembali bisa sandar tanpa drama. Tak perlu lagi susah payah cari bensin eceran harga dua puluh ribu. Tak perlu lagi bangun subuh cuma untuk antri. Semua kembali normal, semua kembali wajar. Semua berawal dari: mengelola pasir.

Saya percaya, dari pasir pun kita bisa bangkit. Kita ini bangsa besar, yang sering jatuh bukan karena kurang sumber daya, tapi karena kurang ngopi bareng. Kurang ngobrol. Kurang percaya sama potensi sendiri. Padahal, laut itu milik kita semua.

Kalau dikelola dengan benar, hasil kerukan pasir bisa jadi berkah. Bisa untuk membangun jalan-jalan yang lubangnya sudah kayak permukaan bulan. Bisa untuk membiayai beasiswa anak-anak nelayan. Bisa untuk perawatan puskesmas yang lampunya masih pakai senter.

Orang Jakarta boleh terus ribut soal reklamasi. Biarkan mereka dengan kegelisahannya. Sementara Bengkulu, bisa mengambil peran lain. Peran sebagai daerah yang cerdas mengelola kekayaan alamnya. Termasuk pasir laut yang selama ini dianggap hama.

Yang kita butuhkan sekarang bukan orang-orang pintar baru. Tapi orang-orang yang berani mengambil keputusan. Yang paham bahwa pasir bisa jadi musuh, tapi juga bisa jadi kawan. Tinggal bagaimana kita memperlakukannya.

Kalau perlu, kita bikin slogan baru untuk Bengkulu. “Bengkulu: Negeri Seribu Pasir, Seribu Solusi.” Mungkin terdengar lucu. Tapi dalam kelucuan itu, terkandung harapan. Harapan bahwa suatu hari nanti, Bengkulu bisa berdiri gagah—berkat pasirnya.
Saya bukan ahli kimia. Saya juga bukan orang teknik. Tapi saya pernah bergaul dengan banyak orang teknik. Terutama waktu saya masih sering keliling daerah-daerah di Indonesia mengikuti professor saya, bertemu banyak sarjana dan guru besar. Dari mereka, saya belajar satu hal penting: teknologi tidak selalu harus masuk akal di awal.

Saya juga dulu tidak percaya bahwa air bisa jadi bahan bakar. Logika saya menolak. Tapi hati saya bertanya-tanya. Apalagi setelah melihat kondisi Bengkulu yang semakin hari semakin menyedihkan. Bukan karena bencana alam, tapi bencana antrian.

SPBU di Bengkulu kini seperti situs ziarah. Ramai. Dikunjungi sejak subuh. Kendaraan berderet hingga dua kilometer. Tidak hanya sekali. Hampir tiap hari. Seperti prosesi panjang tanpa ujung.
Ilustrasi kendaraan memakai bahan bakar air laut (Gambar : AI Generated)

Saya tahu, di Jakarta, isu BBM memang tidak sekeras itu. Tapi di Bengkulu, itu menjadi topik sehari-hari. Menjadi pembuka obrolan di warung kopi. Menjadi candaan getir di grup WhatsApp RT. Menjadi alasan untuk datang terlambat ke kantor.

Orang-orang kini lebih banyak memilih tinggal di rumah. Jalanan lengang. SPBU justru ramai. Ironi yang membalik keseharian kota ini. Saking seringnya melihat antrian, saya jadi hafal kendaraan siapa saja yang rutin datang.

Lalu muncullah ingatan saya pada Nikuba. Singkatan dari “Niku Banyu (Itu Air ; Bahasa Jawa)”. Saya pertama kali dengar tiga tahun lalu. Dari berita kecil di koran nasional. Penemunya bukan profesor. Bukan juga insinyur senior. Hanya warga biasa dari Cirebon. Tapi bisa bikin kendaraan jalan pakai air.

Teknologi ini kemudian sempat diujicoba oleh TNI. Heboh. Viral. Tapi seperti biasa, publik cepat lupa. Lebih banyak yang sinis daripada yang penasaran. “Mana bisa motor jalan pakai air?” begitu kira-kira komentar mereka. Kepala BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) pun sampai mengirim tim untuk mengecek kesana.

Saya pun termasuk yang skeptis waktu itu. Tapi kalau sudah tidak ada bensin, akal sehat pun bisa berubah. Kini saya malah tergoda untuk mencari tahu lebih lanjut. Bukan karena ingin gaya-gayaan, tapi karena benar-benar butuh.

Satu waktu, saya sedang menunggu giliran donor darah. Di rumah sakit. Tidak sengaja saya bertemu suami teman kuliah saya dulu. Seorang dosen teknik mesin. Perbincangan ringan kami berubah jadi serius saat saya iseng menyebut soal Nikuba.

Mata dia langsung berbinar. Dia bilang, itu bukan hal baru buat dia. Justru dia sedang meneliti hal serupa. Bukan pakai air biasa. Tapi air laut. Menurutnya, kadar mineral dan elektrolit di air laut justru lebih mendukung reaksi elektrolisis.

Saya mendengarkan dengan antusias. Katanya, alat itu dipasang di mobil miliknya sendiri. Tidak sepenuhnya mengganti bensin, tapi menguranginya secara signifikan. Biasanya seminggu butuh 30 liter. Kini cukup dua liter. Sisanya dibantu oleh proses dari air laut.

Alat itu memang tidak murah. Tapi juga tidak semahal mobil listrik. Tidak perlu charging station. Tidak perlu ganti baterai mahal. Cukup bawa sebotol air laut, dan teknologi kecil di bawah kap mesin.

Bayangkan jika teknologi ini bisa diterapkan luas di Bengkulu. Kita punya pantai. Kita punya air laut gratis. Kita tidak tergantung pada truk tangki dari Jambi atau Lubuk Linggau. Kita bisa mandiri dalam urusan energi.

Saya mulai memikirkan kemungkinan untuk menyambung komunikasi lagi dengan teman saya tadi. Sudah lama tidak bertemu. Tapi situasi sekarang membuat saya merasa perlu untuk bertindak. Setidaknya mendengar penjelasannya sekali lagi.

Bisa jadi ini bukan solusi sempurna. Tapi lebih baik mencoba sesuatu daripada hanya mengeluh. Bengkulu terlalu indah untuk dibiarkan lumpuh karena BBM. Warga Bengkulu terlalu tangguh untuk menyerah hanya karena bahan bakar.

Teknologi memang sering dipandang aneh saat pertama kali muncul. Ingat waktu orang memperkenalkan mobil? Dibilang gila. Bahkan Thomas Edison pun dulu diragukan. Tapi sejarah membuktikan, mereka yang percaya pada ide gila, akhirnya menciptakan perubahan.

Mungkin, inilah saatnya kita percaya pada ide yang terdengar gila itu. Mengubah air menjadi tenaga. Menggerakkan kendaraan dari sumber yang kita miliki melimpah. Laut. Yang dulu hanya untuk wisata dan nelayan, kini bisa menjadi sumber energi.

Saya tidak menganjurkan pemerintah langsung adopsi teknologi ini tanpa uji. Tapi membuka pintu diskusi, membuka ruang eksperimen, memberi dukungan kepada peneliti lokal — itu bisa dimulai. Pemerintah provinsi bisa mulai dari kampus-kampus teknik.

Bayangkan jika setiap kendaraan dinas pemerintah dipasangi alat penghemat BBM berbasis air. Minimal bisa jadi percontohan. Jika berhasil, rakyat akan ikut. Jika gagal, kita tidak kehilangan apa-apa. Karena sekarang pun kita sedang kehabisan.

Saya ingin menyampaikan ini langsung ke Gubernur. Tapi saya tidak punya jalur langsung (kecuali kalau harus kontak via TikTok. Tapi saya tidak terbiasa) Maka saya tulis di sini, berharap sampai. Harapan kecil yang saya titipkan di antara paragraf demi paragraf ini.

Masalah BBM di Bengkulu bukan semata soal distribusi. Ini soal ketergantungan. Dan seperti kecanduan, kita harus punya cara untuk lepas. Harus punya keberanian untuk mencoba yang berbeda.

Tidak semua harus dimulai dari pemerintah pusat. Kadang, gerakan kecil di daerah bisa jadi besar. Asal ada kemauan dan keberanian untuk mencoba. Bukan untuk mencari sensasi. Tapi untuk menyelamatkan mobilitas masyarakat.

Masyarakat tidak butuh janji BBM akan lancar minggu depan. Mereka butuh solusi sekarang. Antrian sudah membuat ekonomi lokal terganggu. UMKM kesulitan beroperasi. Pekerja harian kehilangan penghasilan.

Jika ada alat yang bisa mengubah air laut jadi tenaga gerak, kenapa tidak? Bahkan jika hanya mengurangi BBM separuhnya, itu sudah sangat berarti. Warga tidak akan keberatan membawa jerigen air laut setiap pagi, asal bisa tetap jalan.

Ini bukan soal menolak kendaraan listrik. Tapi Bengkulu belum siap ke sana. Belum ada infrastruktur pendukungnya yang cukup memadai. Ada charging station, tapi tidak banyak. Kalau semua orang punya kendaraan listrik, antrian tetap saja bakal terjadi. Malah bisa lebih parah dari BBM. Tapi kita punya air. Dan kita punya orang-orang yang mau berpikir di luar kebiasaan.

Di situlah harapan itu bersembunyi. Di balik sinisme. Di balik antrian yang tak kunjung habis. Di balik keputusasaan yang pelan-pelan menggerogoti semangat warga.

Saya ingin melihat Bengkulu melangkah lebih cepat. Tidak terus-menerus terjebak dalam krisis yang sama. Jika jalan keluar itu adalah air, maka mari kita gali, uji, dan sebarkan. Sebelum kita benar-benar kehabisan bensin — dan harapan.

Tangkapan layar beberapa pemberitaan di media online nasional soal temuan teknologi Nikuba (Sumber : Google / Istimewa)


Saya menulis ini di pagi hari. Bukan dari meja kerja, tapi dari jok kendaraan yang saya duduki sudah tiga jam lebih. Di depan saya, deretan mobil dan motor mengular. Diam. Tidak bergerak. Hanya sesekali klakson bersahutan, lebih karena putus asa daripada marah. Di belakang saya, tukang ojek bergumam, “Bensin tinggal satu bar, kalau gak gerak juga, saya pulang.”

Bapak Gubernur, saya tahu Anda bukan Tuhan. Tapi saya juga tahu, Anda bukan penonton. Dalam situasi seperti ini, warga menanti arahan. Kami tidak butuh pengumuman panjang, cukup satu kebijakan kecil saja, yang bisa membuat kami sedikit bernapas. Misalnya: izinkan kami bekerja dari rumah, setidaknya untuk seminggu dua minggu ke depan.
Ilustrasi pekerja harus masuk kantor walau BBM habis dimana-mana (Gambar : AI Generated)

Kita sudah satu bulan hidup dalam krisis bensin yang tak masuk akal. Tapi dalam empat hari terakhir, krisis itu berubah menjadi bencana. Antrian dua kilometer bukan lagi berita, tapi rutinitas. Di SPBU Pagar Dewa, saya lihat orang-orang tidur di dalam mobil. Di SPBU lainnya, ada yang bawa tikar, selimut, bahkan termos kopi. Ini bukan antre BBM, ini mirip antre sembako zaman krisis moneter dulu.

Saya tahu betul, tidak semua pekerjaan bisa dikerjakan dari rumah. Tapi banyak yang bisa. Guru-guru bisa mengajar via daring. Pegawai administrasi bisa mengurus dokumen dari ruang tamu rumahnya. Bahkan mahasiswa, yang semestinya semangat ke kampus, kini memilih bertahan di kos karena tidak tahu harus isi bensin di mana. Kalau ini bukan alasan kuat untuk WFH, lalu apa lagi?

Saya membayangkan anak-anak sekolah yang harus jalan kaki pagi-pagi. Saya membayangkan para ibu yang harus titipkan anak ke tetangga karena harus antre bensin sampai siang. Saya juga membayangkan sopir ambulans yang mengeluh, “Kalau dapat bensin hari ini, berarti pasien bisa diantar.” Kondisi ini sudah bukan soal BBM lagi, tapi soal kemanusiaan. Dan saya percaya, pemerintah daerah punya hati untuk itu.

Dulu, waktu pandemi Covid melanda, kita bisa cepat ambil keputusan. Sekolah diliburkan, kerja dipindah ke rumah, bahkan pasar pun diatur dengan sistem ganjil genap. Sekarang, krisis ini juga soal darurat, hanya beda bentuk. Tidak berbahaya secara medis, tapi membuat ekonomi rumah tangga babak belur. Apakah kami harus menunggu semuanya lumpuh baru kita bergerak?

Bekerja dari rumah bukan kemunduran, Bapak Gubernur. Justru itu bentuk kepedulian pemerintah pada rakyatnya. Daripada warga memaksa berangkat dengan ojek mahal, atau harus menolak kerja karena kendaraan mogok kehabisan bensin, bukankah lebih bijak jika kita beri mereka opsi aman? Toh, produktivitas tidak selalu tergantung jarak tempuh. Kadang, yang membuat kami produktif justru adalah rasa dipahami.

Saya tidak menyalahkan siapa-siapa. Pendangkalan alur laut itu bukan kesalahan Anda. Kapal tidak bisa sandar bukan keputusan Pemprov. Tapi saya percaya, Anda bisa menyelamatkan situasi ini dari memburuk. Minimal, dengan memberi ruang adaptasi. Karena hari ini, yang paling kami butuhkan bukan bensin semata, tapi kebijakan yang masuk akal.

Surat ini tidak saya tujukan dengan kemarahan. Hanya keprihatinan yang ditulis dari pinggir SPBU, dengan jari gemetar karena udara pagi yang dingin dan suara keluhan yang terus terdengar. Kami tidak meminta banyak, Bapak. Hanya sedikit ruang agar kami bisa bertahan, dan terus percaya bahwa pemerintah masih ada untuk kami.

Saya percaya, Anda mendengar ini. Dan saya lebih percaya lagi, Anda bisa bertindak. Terima kasih, sebelum semuanya terlambat.
Di Bengkulu hari ini, BBM sudah tidak lagi sekadar kebutuhan, tapi semacam legenda urban. Sejak pendangkalan di alur laut Pelabuhan Pulau Baai membuat kapal tanker tak bisa bersandar, distribusi BBM pun berubah arah, dari laut ke darat. Truk-truk dari Jambi dan Lubuklinggau jadi pahlawan baru, walau harus menempuh jalan berliku dengan risiko kerugian harian bagi Pertamina. Puluhan juta rupiah dikorbankan setiap hari, demi tugas negara yang katanya harus tetap jalan walau dompet korporasi megap-megap. Tapi ya itu tadi, namanya tugas negara, mau gak mau harus jalan terus, walau yang rugi bukan cuma Pertamina, tapi juga rakyat yang antre sampai punggung pegal.

Pemandangan antrean kendaraan di SPBU-SPBU Bengkulu kini lebih panjang dari skripsi mahasiswa semester akhir. Ada yang sampai satu kilometer, bikin jalur utama macet dan warga sekitar harus cari jalur tikus untuk bisa sampai rumah. Mereka yang dulunya lewat depan SPBU sambil nyetel lagu, sekarang harus lewat belakang rumah tetangga sambil minta maaf karena nabrak pot bunga. Sopir truk sampai ojek online kini lebih banyak ngeluh daripada narik, karena bensin segalon saja lebih mahal dari ongkos harian. Ironisnya, di negeri kaya sumber daya ini, warganya harus berebut bensin kayak main rebutan kursi di acara tujuhbelasan.
Ilustrasi Harta Karun Bernama Bensin (Gambar : AI Generated)

Bukan cuma antre yang jadi masalah, tapi juga soal keberadaan BBM itu sendiri. Di banyak SPBU, bensin tinggal nama, solar tinggal kenangan, dan Pertamax cuma bisa dibayangkan. Mereka yang tak sabar antre, atau kalah cepat, harus rela beli di eceran dengan harga 15 hingga 20 ribu per liter. Itu pun kalau ada. Kalau tidak, ya silakan dorong kendaraan sambil merenungi nasib dan mengingat kembali siapa yang dulu bilang negara ini kaya minyak. Rasanya ingin kirim bensin pakai jasa online, tapi kurirnya pun kehabisan bensin.

Di kampung-kampung, keberadaan pertamini jadi seperti warisan leluhur. Kalau ada yang buka, langsung diserbu bak lapak diskon di Harbolnas. Yang penting bisa beli duluan, urusan harga belakangan. Di sinilah hukum pasar bekerja tanpa etika: langka berarti mahal, dan kebutuhan mendesak berarti bisa dimanfaatkan. Mereka yang punya stok bensin jadi semacam orang suci, didatangi dari berbagai penjuru dengan niat dan doa. Bahkan ada yang rela begadang, cuma buat dapet jatah tiga liter.

Kondisi ini bikin warga Bengkulu makin kreatif. Ada yang mulai simpan bensin dalam galon air mineral, ada pula yang mulai modifikasi kendaraan jadi hemat bahan bakar ala kadarnya. Saking parahnya, ada yang bilang motor listrik lebih baik, tapi mereka lupa, listrik juga sering mati. Maka berputarlah lagi lingkaran setan infrastruktur yang selalu tertinggal dari kebutuhan. Di tengah semua itu, hanya satu yang konsisten: rasa frustasi warga yang tak tahu harus mengeluh ke siapa.

Pulau Baai kini seperti titik luka yang belum disembuhkan. Pendangkalan yang tak ditangani dengan serius berbuah panjangnya antrean dan mahalnya harga bensin. Rakyat cuma bisa berharap, semoga mereka yang punya wewenang tak hanya lihai berpidato, tapi juga cekatan mencari solusi. Kalau tidak, jangan salahkan kalau kepercayaan publik ikut menguap bersama aroma bensin oplosan.

Lucunya, di tengah keterbatasan ini, masih ada saja spanduk besar di SPBU yang menuliskan: “Kami melayani Anda dengan sepenuh hati.” Entah spanduk itu dibuat sebelum krisis atau memang sedang sarkas terhadap kondisi sekarang. Karena yang terjadi justru sebaliknya: warga antre sampai 5 jam, itu pun belum tentu. Kalau ini disebut pelayanan, maka kita memang sudah memasuki fase pelayanan rasa pengorbanan. Semacam ujian nasional versi BBM.

Kehadiran truk-truk pengangkut BBM dari luar kota kini jadi pemandangan yang mengundang haru. Setiap truk datang, warga bersorak seperti melihat rombongan pahlawan pulang dari medan perang. Tapi di balik sorak-sorai itu, ada rasa getir: mengapa harus sejauh itu demi setetes bensin? Bukankah negeri ini punya potensi energi yang katanya melimpah ruah? Kalau harus mengemis BBM ke provinsi tetangga, lalu apa fungsi pelabuhan yang dibangun dengan dana triliunan itu?

Yang paling miris, krisis ini menggerus kepercayaan. Rakyat jadi apatis, karena terlalu sering dijanjikan tapi tak kunjung diberi. Mereka mulai percaya bahwa solusi itu mahal dan sering tertunda karena alasan birokrasi. 

Mungkin, dari semua ini, yang paling pantas dikritik adalah kebiasaan menunda. Pendangkalan alur laut bukan kejadian semalam, tapi sesuatu yang bisa diprediksi dan diantisipasi. Tapi karena terbiasa “nanti dulu,” maka krisis datang, dan rakyat yang paling dulu kena dampaknya. Kalau perencanaan sudah benar sejak awal, mungkin truk-truk BBM itu tak perlu menempuh ratusan kilometer hanya demi menyuplai satu kota. Tapi ya, kita ini memang sering lebih sibuk urus seremoni daripada urus solusi.

Toh kita tahu, ini bukan pertama kali Bengkulu mengalami kelangkaan BBM. Tapi tak pernah ada upaya jangka panjang yang benar-benar dijalankan. Seakan kita hanya tahu cara menyelesaikan masalah saat masalahnya sudah meledak. Sisanya, kita hanya pandai menyalahkan: entah cuaca, entah logistik, entah “faktor teknis.” Padahal kalau mau jujur, banyak yang bisa dicegah, asal ada kemauan dan keberanian untuk kerja keras.

Dan sampai hari ini, warga masih antre. Masih ada yang bangun jam 4 pagi bukan untuk salat tahajud atau jogging, tapi demi bisa isi bensin. Masih ada yang pasrah beli BBM eceran dengan harga selangit, karena tak ada pilihan lain. Masih ada yang mengeluh, masih ada yang diam, tapi semua sepakat: krisis ini tak wajar. Dan yang paling menyedihkan adalah: kita mulai terbiasa dengan yang tak wajar itu.

-------------------
Bonus gambar tambahan

Ilustrasi bangun pagi untuk antri BBM di SPBU (Gambar : AI Generated)


Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • SAYA, OJOL, DAN OBROLAN DIANTARA DUA HELM
  • PROGRAM KULIAH MAGANG KERJA DI TAIWAN ; BENAR ATAU PENIPUAN?
  • KRISIS BBM DI BENGKULU ; SOLUSI ITU ADA, TAPI BUTUH KEBERANIAN MENGEKSEKUSINYA
  • WASPADA CALO BEASISWA KE TAIWAN

Ramadhan Bercerita

PARIWARA

PARIWARA

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar