ROSETTA DARI NUSANTARA ; SAAT BAHASA INDONESIA MEMBUKA PINTU DUNIA

Baca Juga

Menarik kalau dipikir. Hari ini di Samarkand, bahasa Indonesia berbicara ke dunia. Dua abad lalu di tepi Sungai Nil, sebuah batu ditemukan di reruntuhan benteng tua. Batu itu diam, hitam, berat. Tapi di permukaannya ada tiga tulisan. Tiga bahasa. Salah satunya Yunani kuno, yang sudah dikenal. Dua lainnya tidak. Batu itu kemudian diberi nama Rosetta Stone.

Batu Rosetta itu mengubah sejarah manusia. Karena dari batu itu, manusia akhirnya bisa membaca hieroglif Mesir kuno - bahasa yang sebelumnya terkunci ribuan tahun. Bayangkan, seluruh peradaban besar, seluruh pemikiran, hukum, filsafat, teknologi pertanian, astronomi, seni, dan ritual Mesir kuno. semua terkunci hanya karena satu hal: bahasa. Dunia buta pada masa lalu karena tidak tahu bagaimana membaca. Hingga Champollion, seorang filolog Prancis, berhasil membandingkan ketiga tulisan di batu itu, dan membuka pintu pengetahuan baru.

Ilustrasi Batu Rosetta Nusantara (Gambar : AI Ilustrated)

Saya jadi berpikir, hari ini yang kita rayakan di Tashkent bukan sekadar upacara bahasa. Ini mirip peristiwa Rosetta versi Indonesia. Ketika bahasa kita naik menjadi bahasa resmi UNESCO, artinya dunia mulai membuka diri untuk membaca kita. Tapi lebih dari itu, ini kesempatan bagi kita untuk membaca dunia dengan bahasa kita sendiri. Karena selama ini, banyak ilmu dan wacana global hanya tersedia dalam bahasa asing. Artinya hanya segelintir orang yang bisa membacanya. Sisanya, hanya menunggu terjemahan yang sering tidak lengkap.

Dengan pengakuan UNESCO ini, posisi bahasa Indonesia berubah. Bahasa kita bukan lagi penerima, tapi pengirim. Kita tidak hanya menerjemahkan ilmu dari luar ke dalam, tapi bisa juga menulis ilmu kita sendiri untuk dunia luar. Seperti Batu Rosetta yang membuka peradaban Mesir, bahasa Indonesia punya potensi membuka pengetahuan dunia bagi rakyatnya sendiri.

Saya teringat satu hal yang sering saya lihat di lapangan. Banyak orang pandai di desa-desa, petani, guru, nelayan, punya pengalaman dan kearifan luar biasa. Tapi semua terjebak karena tidak tersambung dengan bahasa ilmu pengetahuan modern. Buku-buku riset, hasil konferensi, jurnal internasional, semuanya dalam bahasa asing. Akibatnya, ilmu berhenti di meja akademisi. Tidak turun ke tangan rakyat. Seperti prasasti yang tidak terbaca. Seperti peradaban Mesir sebelum Batu Rosetta ditemukan.

Kalau bahasa Indonesia terus berkembang jadi bahasa ilmu pengetahuan, kita akan punya Rosetta kita sendiri. Bahasa yang bisa menjembatani laboratorium dan sawah. Bahasa yang bisa menjelaskan algoritma dan akhlak dalam kalimat yang sama. Bahasa yang bisa menjelaskan riset AI, tapi juga bisa menjelaskan filosofi gotong royong dengan presisi ilmiah. Karena inti dari semua bahasa adalah kemampuan mengubah pengetahuan menjadi pemahaman.

Hari ini Prof. Abdul Mu’ti (Mendikdasmen RI) akan berpidato di UNESCO dalam bahasa Indonesia. Pidato itu bukan hanya simbol politik, tapi pernyataan budaya: bahwa kita siap bicara dalam bahasa kita sendiri. Kita siap menyampaikan ide kita dengan kosakata kita. Kita tidak lagi hanya mendengar terjemahan dunia, tapi ikut menulis kalimatnya. Ini langkah yang kecil di mata politik, tapi besar dalam sejarah pemikiran.

Rosetta Stone dulu ditemukan secara kebetulan oleh tentara Napoleon. Tapi efeknya luar biasa. Ia membuka mata manusia terhadap masa lalu. Bahasa Indonesia di UNESCO mungkin bukan kebetulan, tapi hasil perjuangan panjang. Efeknya juga bisa luar biasa. Ia bisa membuka masa depan. Ia bisa membuka akses masyarakat terhadap ilmu. Ia bisa membuat ilmu tidak lagi terkurung di ruang elit.

Selama ini banyak anak muda takut membaca jurnal ilmiah. Bukan karena tidak pintar, tapi karena bahasanya asing. Banyak petani takut membaca laporan riset pertanian. Banyak perawat bingung membaca laporan medis global. Kalau semua itu tersedia dalam bahasa Indonesia yang kuat, yang kaya istilah ilmiah, maka bangsa ini tidak lagi menunggu diterjemahkan. Bangsa ini akan membaca langsung. Berpikir langsung. Berinovasi langsung.

Bahasa adalah alat membaca dunia. Batu Rosetta memberi manusia kunci untuk membaca masa lalu. Bahasa Indonesia, jika dikuatkan, bisa jadi kunci untuk membaca masa depan. Dan yang menarik, ini bukan tentang nasionalisme kosong. Ini tentang efisiensi pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan tidak bekerja lewat kebanggaan, tapi lewat pemahaman. Dan pemahaman hanya datang kalau bahasa yang digunakan adalah bahasa yang dipahami.

Saya ingin melihat nanti bagaimana UNESCO mencatat pidato Mendikdasmen. Apakah mereka akan menulis “Speech delivered in Bahasa Indonesia” di arsipnya. Karena kalimat itu sederhana, tapi maknanya dalam. Sama dalamnya dengan tulisan kecil di batu Rosetta yang dulu dianggap remeh tapi kemudian mengubah arah sejarah.

Kalau dulu dunia belajar memahami Mesir karena bahasa, sekarang dunia bisa belajar memahami Indonesia juga lewat bahasa. Dan lebih penting lagi, rakyat Indonesia bisa memahami dunia lewat bahasanya sendiri. Tidak perlu menunggu orang lain menuliskannya untuk kita. Tidak perlu menunggu terjemahan yang datang terlambat. Kita akan membaca sendiri. Kita akan menulis sendiri. Kita akan membuka peradaban kita sendiri.

Begitulah cara peradaban tumbuh: dimulai dari bahasa. Dan hari ini, di Tashkent, pintu itu mulai terbuka.

Share:

0 comments