NEGARA YANG MABUK SUMPAH
Baca Juga
Kalau ada hal yang paling sering dilakukan orang Indonesia selain makan nasi tiga kali sehari dan update status di Instagram, mungkin jawabannya adalah bersumpah. Iya, bersumpah. Saking seringnya, saya kadang curiga jangan-jangan bangsa ini sudah jadi negara dengan “jumlah sumpah per kapita” tertinggi di dunia. Dikit-dikit sumpah. Dikit-dikit janji di atas kitab suci. Mulai dari siswa SMA yang baru lulus sampai pejabat yang baru dilantik, semua dimulai dengan kalimat “Demi Tuhan saya bersumpah…”. Tapi anehnya, entah kenapa negara yang paling sering bersumpah ini juga jadi negara yang paling sering melanggar sumpahnya.
Saya dulu pikir, bersumpah itu sesuatu yang sakral. Begitu seseorang mengucapkan sumpah, langit jadi hening, malaikat menunduk, dan dosa takut mendekat. Tapi di Indonesia, sumpah sudah seperti teh manis, terlalu sering disajikan sampai kehilangan rasa spesialnya. Orang sumpah bukan lagi karena takut Tuhan, tapi karena takut nggak dilantik. Karena kalau nggak bersumpah, nanti dianggap tidak sah. Maka sumpah pun berubah jadi semacam formalitas belaka, semacam password yang harus diucapkan sebelum masuk jabatan.
![]() |
| Ilustrasi Pejabat sedang Disumpah (Gambar : AI Generated) |
Bayangkan, dari sejak muda saja kita sudah dikenalkan dengan sumpah. Ada Sumpah Siswa, Sumpah Mahasiswa, Sumpah Sarjana, Sumpah Profesi, Sumpah ASN, sampai Sumpah Kepala Desa hingga Presiden. Kalau Ketua RT juga bisa disumpah, pasti juga harus disumpah. Pokoknya hidup di Indonesia ini kalau dikumpulkan dari awal sampai akhir bisa kayak buku doa lintas profesi: penuh sumpah. Bahkan ada yang belum kerja pun sudah bersumpah, padahal gaji belum tentu datang, tapi janji sudah berderet.
Saya ingat waktu wisuda dulu, ketua angkatan saya memimpin pembacaan sumpah sarjana. Semua berdiri, tangan kanan diangkat, wajah dibuat khusyuk. Kalimatnya indah: “Saya bersumpah akan menjunjung tinggi nilai kejujuran, integritas, dan tanggung jawab…” dan seterusnya. Tapi begitu keluar dari auditorium, baru parkir motor, sudah ada yang bohongin tukang parkir dengan bilang “Sebentar, Pak, cuma ambil jas toga.” Eh, nggak balik lagi.
Lucunya, sumpah di negeri ini sering diucapkan dengan wajah penuh keyakinan, tapi dijalankan dengan hati penuh alasan. Pejabat bersumpah tidak akan korupsi, tapi kalau ketahuan, bilangnya “saya khilaf”. Dokter bersumpah menolong sesama, tapi kalau pasien nggak mampu, kadang disuruh pulang dulu. Politisi bersumpah demi rakyat, tapi malah sibuk demi proyek. Kalau sumpah itu punya perasaan, mungkin dia sudah lelah.
Saya kadang mikir, kenapa sih kita ini begitu hobi bersumpah? Apakah karena kita bangsa yang religius, atau karena kita bangsa yang seremonial? Mungkin dua-duanya. Kita suka yang megah, yang sakral, yang bikin khidmat. Kita suka upacara, kita suka foto bareng setelah sumpah, kita suka naruh tangan di dada dengan gaya patriotik. Tapi setelah itu? Ya, selesai. Sumpah tinggal di ruangan itu, nggak ikut pulang.
Saya jadi ingat, dulu waktu masih mahasiswa, pernah ikut demo yang salah satunya meneriakkan “Sumpah Mahasiswa Indonesia.” Namanya keren, kayak mau mendirikan negara baru. Isinya pun gagah: “Kami mahasiswa Indonesia bersumpah untuk menegakkan keadilan, melawan penindasan…” dan seterusnya. Tapi kenyataannya, besoknya tetap antre minta tanda tangan dosen, dan kalau nggak ditandatangani, langsung nyumpahin dosennya juga. Sumpahnya belum sehari, sudah dilanggar dengan sumpah serapah.
Kalau di luar negeri, saya perhatikan, orang tidak banyak bersumpah. Mereka tidak terlalu sering janji demi Tuhan. Tapi etos kerja mereka tinggi, rasa malu mereka besar, dan tanggung jawab mereka nyata. Di Jepang, tidak ada sumpah pegawai negeri. Tapi coba lihat, jam kerja mereka sampai lupa istirahat. Di Finlandia, tidak ada sumpah dosen. Tapi pendidikan mereka terbaik di dunia. Sementara kita? Sumpah ada di mana-mana, tapi kejujuran masih langka seperti sinyal 4G di pegunungan.
Saya pernah melihat ada pejabat yang bersumpah dua kali. Pertama saat dilantik, kedua saat tertangkap KPK. Dua-duanya pakai kitab suci. Bedanya, yang pertama di podium, yang kedua di ruang sidang. Kalau kitab sucinya bisa bicara, mungkin dia akan bilang: “Mas, tolong deh, jangan sering-sering bawa saya kalau ujungnya begini.”
Saya tidak menentang sumpah. Tapi saya sedih melihat sumpah kita kehilangan makna. Sumpah di sini lebih sering jadi “event” daripada “komitmen”. Kalau di dunia hiburan, mungkin sumpah ini sudah seperti launching album. Heboh di awal, hilang di tengah, dilupakan di akhir. Padahal sumpah itu seharusnya seperti lagu yang terus dinyanyikan dalam hati, bukan hanya saat ada penonton.
Lucunya lagi, kita ini suka menguji kejujuran orang lain dengan sumpah. “Kalau kamu jujur, sumpah deh!” Kalimat itu sering keluar di sinetron, kadang juga di dunia nyata. Tapi kalau sumpah benar-benar jadi alat ukur kebenaran, mungkin separuh orang Indonesia sudah disambar petir.
Saya kadang berpikir, kalau semua sumpah yang pernah kita ucapkan itu bisa dikumpulkan dan ditagih, mungkin Tuhan sudah bingung harus menagih yang mana dulu. Dari sumpah jabatan sampai sumpah setia waktu pacaran. Dua-duanya sering dilanggar dengan alasan “situasi tidak memungkinkan.”
Lucunya lagi, sebagian orang masih bangga karena sering dilantik, padahal setiap pelantikan berarti satu sumpah lagi yang harus dijaga. Saya kadang ingin bertanya: apa nggak capek hidup dengan tumpukan janji? Kalau semua sumpah itu dibaca ulang, mungkin satu orang pejabat saja sudah cukup untuk bikin Tuhan geleng-geleng kepala.
Saya jadi ingat satu teman yang bilang, “Bangsa kita ini suka mengulang janji, tapi lupa menepati.” Dan mungkin itu benar. Kita terbiasa bersuara keras di awal, tapi pelan-pelan hilang di tengah jalan. Dari sumpah kemerdekaan, sumpah jabatan, sampai sumpah netralitas menjelang pemilu. Semua diucapkan dengan lantang, tapi dijalankan dengan pelan-pelan.
Di sisi lain, mungkin kita juga harus akui, sumpah itu seperti cermin. Semakin sering kita melihatnya, semakin sadar betapa jauh jarak antara ucapan dan tindakan. Tapi ya itu tadi, di Indonesia, cermin lebih sering jadi pajangan daripada alat introspeksi.
Saya membayangkan, kalau setiap orang benar-benar menjalankan sumpahnya, mungkin negara ini akan jadi surga kecil. Pejabat jujur, guru disiplin, dokter melayani dengan tulus, mahasiswa belajar dengan sungguh-sungguh, dan rakyat tidak mudah ditipu. Tapi sayangnya, surga itu masih di atas kertas sumpah, belum di bumi kenyataan.
Jadi mungkin, sudah saatnya kita mengurangi acara sumpah-sumpahan dan mulai menambah acara menepati sumpah. Karena kalau terus begini, sumpah tinggal jadi hiburan tahunan. Bahkan kalau bisa, setiap kali mau bersumpah, kita tanya dulu ke diri sendiri: “Sanggup nggak?” Kalau nggak sanggup, ya jangan sumpah dulu.
Dan di antara sekian banyak sumpah yang pernah lahir di negeri ini, ada satu yang rasanya paling jujur - Sumpah Pemuda. Entah kenapa, sumpah yang satu itu terasa lebih tulus. Mungkin karena diucapkan oleh mereka yang belum punya jabatan, belum punya kepentingan, dan belum punya proyek. Hanya punya satu hal, cinta pada negeri.
Sumpah Pemuda adalah sumpah yang tidak diulang-ulang tapi terus hidup. Tidak dilantunkan di podium tapi bergaung di dada. Tidak dikawal media tapi dikenang sejarah. Sumpah yang tidak butuh tepuk tangan, tapi sampai hari ini tetap membuat kita berdiri tegak.
Jadi, kalau nanti ada yang tanya, sumpah mana yang paling bermanfaat di Indonesia? Jawaban saya sederhana: bukan sumpah jabatan, bukan sumpah profesi, tapi Sumpah Pemuda. Karena hanya sumpah itu yang benar-benar kita rasakan manfaatnya sampai hari ini. Yang lain? Ya... mungkin masih dalam proses belajar menepati.



0 comments