PULAU BAAI DAN HARTA KARUN BERNAMA BENSIN

Baca Juga

Di Bengkulu hari ini, BBM sudah tidak lagi sekadar kebutuhan, tapi semacam legenda urban. Sejak pendangkalan di alur laut Pelabuhan Pulau Baai membuat kapal tanker tak bisa bersandar, distribusi BBM pun berubah arah, dari laut ke darat. Truk-truk dari Jambi dan Lubuklinggau jadi pahlawan baru, walau harus menempuh jalan berliku dengan risiko kerugian harian bagi Pertamina. Puluhan juta rupiah dikorbankan setiap hari, demi tugas negara yang katanya harus tetap jalan walau dompet korporasi megap-megap. Tapi ya itu tadi, namanya tugas negara, mau gak mau harus jalan terus, walau yang rugi bukan cuma Pertamina, tapi juga rakyat yang antre sampai punggung pegal.

Pemandangan antrean kendaraan di SPBU-SPBU Bengkulu kini lebih panjang dari skripsi mahasiswa semester akhir. Ada yang sampai satu kilometer, bikin jalur utama macet dan warga sekitar harus cari jalur tikus untuk bisa sampai rumah. Mereka yang dulunya lewat depan SPBU sambil nyetel lagu, sekarang harus lewat belakang rumah tetangga sambil minta maaf karena nabrak pot bunga. Sopir truk sampai ojek online kini lebih banyak ngeluh daripada narik, karena bensin segalon saja lebih mahal dari ongkos harian. Ironisnya, di negeri kaya sumber daya ini, warganya harus berebut bensin kayak main rebutan kursi di acara tujuhbelasan.
Ilustrasi Harta Karun Bernama Bensin (Gambar : AI Generated)

Bukan cuma antre yang jadi masalah, tapi juga soal keberadaan BBM itu sendiri. Di banyak SPBU, bensin tinggal nama, solar tinggal kenangan, dan Pertamax cuma bisa dibayangkan. Mereka yang tak sabar antre, atau kalah cepat, harus rela beli di eceran dengan harga 15 hingga 20 ribu per liter. Itu pun kalau ada. Kalau tidak, ya silakan dorong kendaraan sambil merenungi nasib dan mengingat kembali siapa yang dulu bilang negara ini kaya minyak. Rasanya ingin kirim bensin pakai jasa online, tapi kurirnya pun kehabisan bensin.

Di kampung-kampung, keberadaan pertamini jadi seperti warisan leluhur. Kalau ada yang buka, langsung diserbu bak lapak diskon di Harbolnas. Yang penting bisa beli duluan, urusan harga belakangan. Di sinilah hukum pasar bekerja tanpa etika: langka berarti mahal, dan kebutuhan mendesak berarti bisa dimanfaatkan. Mereka yang punya stok bensin jadi semacam orang suci, didatangi dari berbagai penjuru dengan niat dan doa. Bahkan ada yang rela begadang, cuma buat dapet jatah tiga liter.

Kondisi ini bikin warga Bengkulu makin kreatif. Ada yang mulai simpan bensin dalam galon air mineral, ada pula yang mulai modifikasi kendaraan jadi hemat bahan bakar ala kadarnya. Saking parahnya, ada yang bilang motor listrik lebih baik, tapi mereka lupa, listrik juga sering mati. Maka berputarlah lagi lingkaran setan infrastruktur yang selalu tertinggal dari kebutuhan. Di tengah semua itu, hanya satu yang konsisten: rasa frustasi warga yang tak tahu harus mengeluh ke siapa.

Pulau Baai kini seperti titik luka yang belum disembuhkan. Pendangkalan yang tak ditangani dengan serius berbuah panjangnya antrean dan mahalnya harga bensin. Rakyat cuma bisa berharap, semoga mereka yang punya wewenang tak hanya lihai berpidato, tapi juga cekatan mencari solusi. Kalau tidak, jangan salahkan kalau kepercayaan publik ikut menguap bersama aroma bensin oplosan.

Lucunya, di tengah keterbatasan ini, masih ada saja spanduk besar di SPBU yang menuliskan: “Kami melayani Anda dengan sepenuh hati.” Entah spanduk itu dibuat sebelum krisis atau memang sedang sarkas terhadap kondisi sekarang. Karena yang terjadi justru sebaliknya: warga antre sampai 5 jam, itu pun belum tentu. Kalau ini disebut pelayanan, maka kita memang sudah memasuki fase pelayanan rasa pengorbanan. Semacam ujian nasional versi BBM.

Kehadiran truk-truk pengangkut BBM dari luar kota kini jadi pemandangan yang mengundang haru. Setiap truk datang, warga bersorak seperti melihat rombongan pahlawan pulang dari medan perang. Tapi di balik sorak-sorai itu, ada rasa getir: mengapa harus sejauh itu demi setetes bensin? Bukankah negeri ini punya potensi energi yang katanya melimpah ruah? Kalau harus mengemis BBM ke provinsi tetangga, lalu apa fungsi pelabuhan yang dibangun dengan dana triliunan itu?

Yang paling miris, krisis ini menggerus kepercayaan. Rakyat jadi apatis, karena terlalu sering dijanjikan tapi tak kunjung diberi. Mereka mulai percaya bahwa solusi itu mahal dan sering tertunda karena alasan birokrasi. 

Mungkin, dari semua ini, yang paling pantas dikritik adalah kebiasaan menunda. Pendangkalan alur laut bukan kejadian semalam, tapi sesuatu yang bisa diprediksi dan diantisipasi. Tapi karena terbiasa “nanti dulu,” maka krisis datang, dan rakyat yang paling dulu kena dampaknya. Kalau perencanaan sudah benar sejak awal, mungkin truk-truk BBM itu tak perlu menempuh ratusan kilometer hanya demi menyuplai satu kota. Tapi ya, kita ini memang sering lebih sibuk urus seremoni daripada urus solusi.

Toh kita tahu, ini bukan pertama kali Bengkulu mengalami kelangkaan BBM. Tapi tak pernah ada upaya jangka panjang yang benar-benar dijalankan. Seakan kita hanya tahu cara menyelesaikan masalah saat masalahnya sudah meledak. Sisanya, kita hanya pandai menyalahkan: entah cuaca, entah logistik, entah “faktor teknis.” Padahal kalau mau jujur, banyak yang bisa dicegah, asal ada kemauan dan keberanian untuk kerja keras.

Dan sampai hari ini, warga masih antre. Masih ada yang bangun jam 4 pagi bukan untuk salat tahajud atau jogging, tapi demi bisa isi bensin. Masih ada yang pasrah beli BBM eceran dengan harga selangit, karena tak ada pilihan lain. Masih ada yang mengeluh, masih ada yang diam, tapi semua sepakat: krisis ini tak wajar. Dan yang paling menyedihkan adalah: kita mulai terbiasa dengan yang tak wajar itu.

-------------------
Bonus gambar tambahan

Ilustrasi bangun pagi untuk antri BBM di SPBU (Gambar : AI Generated)


Share:

0 comments