DEMOKRASI SEMU : ORGANISASI DAN BAYANG-BAYANG PENGUASA
Baca Juga
Negeri ini dipenuhi hiruk-pikuk organisasi, partai, perkumpulan, yang berlomba-lomba mendeklarasikan diri sebagai wadah aspirasi, benteng perubahan, pelopor kemajuan. Namun di balik gegap gempita retorika dan parade slogan, tersembunyi kenyataan pahit yang kerap luput dari sorotan. Realitas itu bernama ketergantungan. Ketergantungan yang membelenggu, melumpuhkan, dan pada akhirnya mereduksi organisasi menjadi budak kekuasaan.
Organisasi-organisasi ini, dengan segala atribut dan klaim idealismenya, kerap kali berdiri di atas fondasi rapuh. Mereka gagap dalam kemandirian, terutama dalam hal finansial. Alih-alih membangun sistem pengelolaan yang sehat dan berkelanjutan, mereka justru terjebak dalam lingkaran setan; mengemis belas kasihan, mengharap kucuran dana, dari para penguasa.
Awalnya mungkin terasa mudah. Pintu-pintu terbuka lebar, dana mengalir deras, kegiatan berjalan meriah. Namun perlahan tapi pasti, jerat ketergantungan mulai mengikat. Organisasi yang seharusnya menjadi pilar demokrasi, berubah menjadi pion dalam permainan politik. Suara kritis terbungkam, idealime tergadai, demi menjaga aliran dana yang menjadi napas kehidupan.
![]() |
Ilustrasi (Gambar : Istimewa) |
Ironisnya, fenomena ini terjadi di semua lini. Partai politik yang seharusnya menjadi lokomotif perubahan, justru asyik bermanuver demi mendapatkan jatah kekuasaan. Organisasi masyarakat sipil yang seharusnya menjadi pengawal demokrasi, malah tergoda menjadi kepanjangan tangan penguasa. Lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi kawah candradimuka, terjerembab dalam kubangan pragmatisme.
Mereka lupa, atau mungkin pura-pura lupa, bahwa kemandirian adalah harga mati. Kemandirian finansial memberi organisasi kekuatan untuk bergerak bebas, menyuarakan kebenaran, tanpa takut kehilangan dukungan. Kemandirian organisasi adalah fondasi utama bagi tegaknya demokrasi yang sehat. Tanpa kemandirian, organisasi hanya akan menjadi kumpulan oportunis yang haus kekuasaan.
Lihatlah partai-partai politik kita. Banyak yang terjebak dalam pusaran pragmatisme. Ideologi dan platform perjuangan hanya menjadi jargon kosong, yang siap ditukar dengan kursi empuk dan pundi-pundi rupiah. Mereka berlomba-lomba mendekati penguasa, menawarkan dukungan, demi mendapatkan imbalan. Akibatnya, partai politik kehilangan ruhnya sebagai wadah aspirasi rakyat.
Organisasi masyarakat sipil pun tak luput dari jerat ini. Banyak yang awalnya lahir dari semangat idealisme, berjuang untuk keadilan, menyuarakan suara rakyat yang tertindas. Namun seiring berjalannya waktu, godaan kekuasaan dan materi mulai menggerogoti. Mereka terbuai janji-janji manis, terlena iming-iming proyek, hingga akhirnya kehilangan independensinya.
Lembaga pendidikan, yang seharusnya menjadi benteng moral dan intelektual, juga tak kebal dari virus pragmatisme. Universitas-universitas berlomba-lomba menjalin kerjasama dengan penguasa, menawarkan program-program yang menggiurkan, demi mendapatkan kucuran dana. Akibatnya, riset-riset kritis terpinggirkan, kebebasan akademik terancam, dan kampus kehilangan marwahnya sebagai tempat pencarian kebenaran.
Ketergantungan pada kekuasaan telah menciptakan budaya ABS (Asal Bapak Senang). Organisasi-organisasi sibuk menebar pujian, menutupi borok, menghindari kritik, demi menjaga hubungan baik dengan penguasa. Akibatnya, ruang publik dipenuhi kepalsuan, kebenaran dibungkam, dan masyarakat terjebak dalam ilusi.
Ketergantungan ini juga melahirkan mentalitas instan. Organisasi-organisasi enggan membangun sistem pengelolaan yang mandiri dan berkelanjutan. Mereka lebih memilih jalan pintas, mengemis dana, mencari sponsor, daripada bekerja keras membangun kemandirian. Akibatnya, organisasi menjadi rapuh, rentan terhadap intervensi, dan mudah dibajak oleh kepentingan politik.
Fenomena ini tentu saja sangat memprihatinkan. Organisasi-organisasi yang seharusnya menjadi pilar demokrasi, justru terjebak dalam lingkaran setan ketergantungan. Mereka kehilangan ruhnya, mengorbankan idealismenya, demi memuaskan dahaga kekuasaan. Akibatnya, demokrasi kita berjalan tertatih-tatih, masyarakat kehilangan kepercayaan, dan negara terancam stagnasi.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Tentu saja, solusinya adalah membangun kemandirian. Organisasi-organisasi harus berani melepaskan diri dari jerat ketergantungan, menciptakan sistem pengelolaan yang sehat, dan mencari sumber pendanaan yang independen. Hanya dengan kemandirian, organisasi dapat menjalankan fungsinya secara optimal, menyuarakan kebenaran tanpa rasa takut, dan menjadi motor penggerak perubahan.
Partai politik harus kembali pada khitahnya sebagai wadah aspirasi rakyat. Mereka harus berani menolak godaan kekuasaan, mengutamakan kepentingan rakyat, dan membangun sistem kaderisasi yang kuat. Partai politik yang mandiri dan berintegritas adalah kunci bagi tegaknya demokrasi yang sehat.
Organisasi masyarakat sipil harus tetap menjaga independensinya. Mereka harus berani mengkritik penguasa, menyuarakan aspirasi rakyat, dan mengawal jalannya pemerintahan. Organisasi masyarakat sipil yang kritis dan mandiri adalah pilar penting bagi terciptanya masyarakat yang adil dan demokratis.
Lembaga pendidikan harus menjadi benteng moral dan intelektual. Universitas-universitas harus berani menolak intervensi politik, menjaga kebebasan akademik, dan memprioritaskan riset-riset yang bermanfaat bagi masyarakat. Lembaga pendidikan yang mandiri dan berintegritas adalah kunci bagi kemajuan bangsa.
Membangun kemandirian memang bukan perkara mudah. Dibutuhkan komitmen, kerja keras, dan keberanian untuk keluar dari zona nyaman. Namun, ini adalah harga yang harus dibayar jika kita ingin membangun organisasi yang kuat, berintegritas, dan bermartabat.
Kemandirian adalah kunci bagi tegaknya demokrasi yang sehat. Organisasi-organisasi yang mandiri akan menjadi pilar-pilar penyangga, yang mampu menahan terpaan badai dan menjaga keseimbangan. Mereka akan menjadi pengawal kebenaran, penyuarakan aspirasi rakyat, dan motor penggerak perubahan.
Jangan biarkan organisasi kita terjebak dalam belenggu emas kekuasaan. Mari kita bangun kemandirian, jaga integritas, dan perjuangkan idealisme. Hanya dengan cara itu, kita dapat mewujudkan cita-cita luhur bangsa, menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan bermartabat. Ingatlah, organisasi yang merdeka adalah organisasi yang mandiri!
0 comments