BAHAN BAKAR DARI AIR LAUT, ASA DARI KEPUTUSASAAN DI TENGAH KONDISI KELANGKAAN BBM DI BENGKULU

Baca Juga

Saya bukan ahli kimia. Saya juga bukan orang teknik. Tapi saya pernah bergaul dengan banyak orang teknik. Terutama waktu saya masih sering keliling daerah-daerah di Indonesia mengikuti professor saya, bertemu banyak sarjana dan guru besar. Dari mereka, saya belajar satu hal penting: teknologi tidak selalu harus masuk akal di awal.

Saya juga dulu tidak percaya bahwa air bisa jadi bahan bakar. Logika saya menolak. Tapi hati saya bertanya-tanya. Apalagi setelah melihat kondisi Bengkulu yang semakin hari semakin menyedihkan. Bukan karena bencana alam, tapi bencana antrian.

SPBU di Bengkulu kini seperti situs ziarah. Ramai. Dikunjungi sejak subuh. Kendaraan berderet hingga dua kilometer. Tidak hanya sekali. Hampir tiap hari. Seperti prosesi panjang tanpa ujung.
Ilustrasi kendaraan memakai bahan bakar air laut (Gambar : AI Generated)

Saya tahu, di Jakarta, isu BBM memang tidak sekeras itu. Tapi di Bengkulu, itu menjadi topik sehari-hari. Menjadi pembuka obrolan di warung kopi. Menjadi candaan getir di grup WhatsApp RT. Menjadi alasan untuk datang terlambat ke kantor.

Orang-orang kini lebih banyak memilih tinggal di rumah. Jalanan lengang. SPBU justru ramai. Ironi yang membalik keseharian kota ini. Saking seringnya melihat antrian, saya jadi hafal kendaraan siapa saja yang rutin datang.

Lalu muncullah ingatan saya pada Nikuba. Singkatan dari “Niku Banyu (Itu Air ; Bahasa Jawa)”. Saya pertama kali dengar tiga tahun lalu. Dari berita kecil di koran nasional. Penemunya bukan profesor. Bukan juga insinyur senior. Hanya warga biasa dari Cirebon. Tapi bisa bikin kendaraan jalan pakai air.

Teknologi ini kemudian sempat diujicoba oleh TNI. Heboh. Viral. Tapi seperti biasa, publik cepat lupa. Lebih banyak yang sinis daripada yang penasaran. “Mana bisa motor jalan pakai air?” begitu kira-kira komentar mereka. Kepala BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) pun sampai mengirim tim untuk mengecek kesana.

Saya pun termasuk yang skeptis waktu itu. Tapi kalau sudah tidak ada bensin, akal sehat pun bisa berubah. Kini saya malah tergoda untuk mencari tahu lebih lanjut. Bukan karena ingin gaya-gayaan, tapi karena benar-benar butuh.

Satu waktu, saya sedang menunggu giliran donor darah. Di rumah sakit. Tidak sengaja saya bertemu suami teman kuliah saya dulu. Seorang dosen teknik mesin. Perbincangan ringan kami berubah jadi serius saat saya iseng menyebut soal Nikuba.

Mata dia langsung berbinar. Dia bilang, itu bukan hal baru buat dia. Justru dia sedang meneliti hal serupa. Bukan pakai air biasa. Tapi air laut. Menurutnya, kadar mineral dan elektrolit di air laut justru lebih mendukung reaksi elektrolisis.

Saya mendengarkan dengan antusias. Katanya, alat itu dipasang di mobil miliknya sendiri. Tidak sepenuhnya mengganti bensin, tapi menguranginya secara signifikan. Biasanya seminggu butuh 30 liter. Kini cukup dua liter. Sisanya dibantu oleh proses dari air laut.

Alat itu memang tidak murah. Tapi juga tidak semahal mobil listrik. Tidak perlu charging station. Tidak perlu ganti baterai mahal. Cukup bawa sebotol air laut, dan teknologi kecil di bawah kap mesin.

Bayangkan jika teknologi ini bisa diterapkan luas di Bengkulu. Kita punya pantai. Kita punya air laut gratis. Kita tidak tergantung pada truk tangki dari Jambi atau Lubuk Linggau. Kita bisa mandiri dalam urusan energi.

Saya mulai memikirkan kemungkinan untuk menyambung komunikasi lagi dengan teman saya tadi. Sudah lama tidak bertemu. Tapi situasi sekarang membuat saya merasa perlu untuk bertindak. Setidaknya mendengar penjelasannya sekali lagi.

Bisa jadi ini bukan solusi sempurna. Tapi lebih baik mencoba sesuatu daripada hanya mengeluh. Bengkulu terlalu indah untuk dibiarkan lumpuh karena BBM. Warga Bengkulu terlalu tangguh untuk menyerah hanya karena bahan bakar.

Teknologi memang sering dipandang aneh saat pertama kali muncul. Ingat waktu orang memperkenalkan mobil? Dibilang gila. Bahkan Thomas Edison pun dulu diragukan. Tapi sejarah membuktikan, mereka yang percaya pada ide gila, akhirnya menciptakan perubahan.

Mungkin, inilah saatnya kita percaya pada ide yang terdengar gila itu. Mengubah air menjadi tenaga. Menggerakkan kendaraan dari sumber yang kita miliki melimpah. Laut. Yang dulu hanya untuk wisata dan nelayan, kini bisa menjadi sumber energi.

Saya tidak menganjurkan pemerintah langsung adopsi teknologi ini tanpa uji. Tapi membuka pintu diskusi, membuka ruang eksperimen, memberi dukungan kepada peneliti lokal — itu bisa dimulai. Pemerintah provinsi bisa mulai dari kampus-kampus teknik.

Bayangkan jika setiap kendaraan dinas pemerintah dipasangi alat penghemat BBM berbasis air. Minimal bisa jadi percontohan. Jika berhasil, rakyat akan ikut. Jika gagal, kita tidak kehilangan apa-apa. Karena sekarang pun kita sedang kehabisan.

Saya ingin menyampaikan ini langsung ke Gubernur. Tapi saya tidak punya jalur langsung (kecuali kalau harus kontak via TikTok. Tapi saya tidak terbiasa) Maka saya tulis di sini, berharap sampai. Harapan kecil yang saya titipkan di antara paragraf demi paragraf ini.

Masalah BBM di Bengkulu bukan semata soal distribusi. Ini soal ketergantungan. Dan seperti kecanduan, kita harus punya cara untuk lepas. Harus punya keberanian untuk mencoba yang berbeda.

Tidak semua harus dimulai dari pemerintah pusat. Kadang, gerakan kecil di daerah bisa jadi besar. Asal ada kemauan dan keberanian untuk mencoba. Bukan untuk mencari sensasi. Tapi untuk menyelamatkan mobilitas masyarakat.

Masyarakat tidak butuh janji BBM akan lancar minggu depan. Mereka butuh solusi sekarang. Antrian sudah membuat ekonomi lokal terganggu. UMKM kesulitan beroperasi. Pekerja harian kehilangan penghasilan.

Jika ada alat yang bisa mengubah air laut jadi tenaga gerak, kenapa tidak? Bahkan jika hanya mengurangi BBM separuhnya, itu sudah sangat berarti. Warga tidak akan keberatan membawa jerigen air laut setiap pagi, asal bisa tetap jalan.

Ini bukan soal menolak kendaraan listrik. Tapi Bengkulu belum siap ke sana. Belum ada infrastruktur pendukungnya yang cukup memadai. Ada charging station, tapi tidak banyak. Kalau semua orang punya kendaraan listrik, antrian tetap saja bakal terjadi. Malah bisa lebih parah dari BBM. Tapi kita punya air. Dan kita punya orang-orang yang mau berpikir di luar kebiasaan.

Di situlah harapan itu bersembunyi. Di balik sinisme. Di balik antrian yang tak kunjung habis. Di balik keputusasaan yang pelan-pelan menggerogoti semangat warga.

Saya ingin melihat Bengkulu melangkah lebih cepat. Tidak terus-menerus terjebak dalam krisis yang sama. Jika jalan keluar itu adalah air, maka mari kita gali, uji, dan sebarkan. Sebelum kita benar-benar kehabisan bensin — dan harapan.

Tangkapan layar beberapa pemberitaan di media online nasional soal temuan teknologi Nikuba (Sumber : Google / Istimewa)


Share:

0 comments