SAAT DI DAERAH LAIN RIBUT KARENA PASIR LAUTNYA DI KERUK, DI BENGKULU JUSTRU PASIR LAUT YANG TIDAK DIKERUK YANG BIKIN JADI RIBUT
Baca Juga
Di Jakarta, orang ribut karena laut ditimbun-timbun. Alasannya macam-macam, mulai dari ancaman lingkungan, rusaknya ekosistem, sampai kekhawatiran tentang siapa yang bakal menikmati hasil reklamasi itu. Sebagian khawatir kalau daratan baru itu nanti akan jadi milik segelintir orang kaya yang bisa beli pulau seharga dua mobil Pajero. Sementara rakyat jelata cuma bisa menikmati laut dari jendela bus Transjakarta, sambil ngelus dada. Tapi itu Jakarta, tempat segala hal bisa jadi polemik nasional.
Sementara itu, di Bengkulu, kondisinya agak nyeleneh. Kalau di Jakarta orang khawatir laut ditimbun, di Bengkulu justru lautnya semakin timbul sendiri. Bukan karena pembangunan, tapi karena pendangkalan. Alur laut Pulau Baai pelan-pelan mulai berubah nasibnya, dari jalur logistik menjadi semacam kolam rendam berpasir. Kapal-kapal pengangkut BBM pun mendadak merasa seperti sedang main sand castle di pantai.
Di tengah hiruk-pikuk orang Jakarta yang khawatir lautnya menyusut, Bengkulu malah sibuk memikirkan gimana caranya supaya lautnya bisa sedikit lebih dalam. Ini ironi yang sebetulnya enak buat dibikin meme. Tapi karena kita bukan bangsa pememe, ya akhirnya cuma bisa jadi bahan obrolan sambil ngopi di warung. Orang sini kalau bahas soal pendangkalan alur laut nadanya udah kayak ngomongin mantan yang gak move on-move on.
Kalau dibiarkan terus, nanti kapal-kapal Pertamina bisa nyangkut beneran di tengah laut, nunggu pasang. Lucunya, kita bukan marah sama laut, tapi malah maklum. “Namanya juga laut,” kata orang. Seolah laut itu semacam manusia yang bisa salah jalan gara-gara kurang tidur.
Yang membuat geli, untuk urusan ini, kita justru mesti bayar kapal keruk buat bantu ngambil pasir yang bikin alur laut jadi dangkal. Padahal di tempat lain, kapal-kapal pengangkut pasir justru diusir. Di Bangka, misalnya. Kapal keruk datang, masyarakat demo. Di Bengkulu, kapal keruk datang, masyarakat malah kasih kopi. Aneh, tapi nyata.
Harusnya, pasir laut yang bikin susah ini malah bisa jadi peluang. Bayangkan, kalau kita bisa kelola hasil kerukannya, bisa saja jadi pemasukan daerah. Tak usah jauh-jauh dipikirkan untuk ekspor ke luar negeri dulu. Dijual ke proyek-proyek lokal pun udah lumayan. Hitung-hitung bantu pembiayaan perbaikan jalan yang lubangnya sudah seperti danau mini.
Tapi ya itu, kadang kita ini terlalu baik. Pasir laut yang jelas-jelas bisa dijual, malah kita perlakukan seperti masalah. Kita bayar orang untuk mengambilnya, bukan untuk membeli. Ini kalau ibarat makan, seperti beli nasi uduk tapi yang dibayar tukang nasinya biar mau diambil.
Ada juga yang bilang, mungkin karena belum ada perda yang ngatur soal pengelolaan hasil pengerukan pasir laut. Maka dari itu, niat baik pun sering kali mandek di tengah jalan. Bukan karena gak ada kemauan, tapi karena terlalu banyak prosedur yang harus dicium dulu. Belum lagi soal siapa yang boleh mengelola, siapa yang nanti ambil untung, dan siapa yang bisa bikin proposal dengan kop surat berwarna.
Sementara menunggu itu semua dibereskan, kapal-kapal besar yang mau sandar di Pelabuhan Pulau Baai hanya bisa melongo. Mereka tahu, semakin dangkal alurnya, semakin besar kemungkinan mereka harus balik kanan. Sudah rugi waktu, rugi BBM, rugi marwah juga. Kapal sebesar itu, masa nyangkut di dasar laut kayak ember tua.
Kondisi ini bukan cuma merugikan Pertamina, tapi juga bikin masyarakat Bengkulu menanggung dampaknya. BBM makin langka. Antrian di SPBU makin panjang. Orang yang biasanya ngopi pagi di warung, sekarang pagi-pagi sudah berdiri di depan motor, meratap. Bensin tinggal satu bar, tapi SPBU antrinya satu kilometer.
Sekarang, kalau ada yang bilang Indonesia itu kaya pasir, saya setuju. Tapi kalau orang Jakarta kaya pasir karena proyek reklamasi, Bengkulu kaya pasir karena lautnya memang sedang berubah jadi taman pasir. Ini kaya yang bikin bangkrut. Kaya yang bikin kapal ogah datang. Kaya yang bikin gubernur bingung cari cara.
Ironi ini makin kentara kalau kita lihat potensi yang terbuang. Pasir yang bisa dijual, malah dibuang. Dana yang bisa masuk, malah bocor. Masyarakat yang bisa untung, malah buntung. Kalau ini terus terjadi, jangan salahkan kalau nanti ada yang minta pisah dari NKRI karena merasa dianaktirikan—tentu ini cuma satire, jangan baper.
Maka, perlu cara pandang yang agak nyentrik. Jangan selalu lihat pasir laut itu sebagai biang kerok. Kadang, biang kerok itulah yang bisa jadi penyelamat. Asal dikelola dengan benar, hasil kerukan itu bisa jadi penyambung hidup. Minimal bisa mengurangi beban APBD yang selama ini kerja keras cuma buat nutupi jalan bolong.
Bahkan kalau perlu, kita bisa belajar dari Singapura yang beli pasir dari mana-mana buat tambah daratan. Kita, yang punya pasir melimpah, malah bingung sendiri. Ini seperti orang yang punya kebun durian, tapi tiap hari sarapan gorengan. Bukan karena gak suka durian, tapi karena gak tahu cara manjat pohon.
Padahal kalau mau jujur, potensi Bengkulu ini luar biasa. Lautnya indah, hasil buminya lumayan, dan sekarang, pasirnya pun banyak. Tinggal butuh keberanian untuk bilang: “Kita bisa.” Sayangnya, keberanian itu sering terhalang oleh ketakutan dikira korupsi. Kadang, niat baik bisa tampak jahat kalau prosedurnya belum dilengkapi.
Sudah waktunya Bengkulu ambil langkah maju. Tak perlu menunggu komando dari pusat. Kalau menunggu terus, bisa-bisa nanti kapal Pertamina datang bukan bawa BBM, tapi bawa nasi kotak buat rapat koordinasi. Kita terlalu sering mengadakan rapat, padahal yang kita butuh cuma satu: tindakan.
Kalau proyek pengerukan ini bisa dibereskan, dampaknya bisa luar biasa. BBM bisa kembali lancar. Logistik bisa jalan lagi. Pendapatan daerah naik. Dan yang terpenting: masyarakat bisa kembali hidup tanpa harus begadang antri bensin.
Harusnya kita bangga punya laut yang masih bisa dikeruk. Daripada punya gunung yang tinggal nama. Daripada punya jalan yang tinggal lubang. Daripada punya SPBU yang isinya cuma papan bertuliskan: “BBM Habis.”
Tapi tentu semua itu butuh keseriusan. Pemerintah daerah harus bisa jadi pelopor. Tak cukup hanya dengan lempar pernyataan di media. Harus ada tindakan nyata. Entah itu menggandeng swasta, atau mendirikan BUMD yang khusus mengelola pasir laut.
Bayangkan, betapa bahagianya nelayan, sopir truk, tukang parkir, sampai mahasiswa jika kapal BBM kembali bisa sandar tanpa drama. Tak perlu lagi susah payah cari bensin eceran harga dua puluh ribu. Tak perlu lagi bangun subuh cuma untuk antri. Semua kembali normal, semua kembali wajar. Semua berawal dari: mengelola pasir.
Saya percaya, dari pasir pun kita bisa bangkit. Kita ini bangsa besar, yang sering jatuh bukan karena kurang sumber daya, tapi karena kurang ngopi bareng. Kurang ngobrol. Kurang percaya sama potensi sendiri. Padahal, laut itu milik kita semua.
Kalau dikelola dengan benar, hasil kerukan pasir bisa jadi berkah. Bisa untuk membangun jalan-jalan yang lubangnya sudah kayak permukaan bulan. Bisa untuk membiayai beasiswa anak-anak nelayan. Bisa untuk perawatan puskesmas yang lampunya masih pakai senter.
Orang Jakarta boleh terus ribut soal reklamasi. Biarkan mereka dengan kegelisahannya. Sementara Bengkulu, bisa mengambil peran lain. Peran sebagai daerah yang cerdas mengelola kekayaan alamnya. Termasuk pasir laut yang selama ini dianggap hama.
Yang kita butuhkan sekarang bukan orang-orang pintar baru. Tapi orang-orang yang berani mengambil keputusan. Yang paham bahwa pasir bisa jadi musuh, tapi juga bisa jadi kawan. Tinggal bagaimana kita memperlakukannya.
Kalau perlu, kita bikin slogan baru untuk Bengkulu. “Bengkulu: Negeri Seribu Pasir, Seribu Solusi.” Mungkin terdengar lucu. Tapi dalam kelucuan itu, terkandung harapan. Harapan bahwa suatu hari nanti, Bengkulu bisa berdiri gagah—berkat pasirnya.
0 comments