TAMAT TANPA TANDA SERU
Baca Juga
Beberapa waktu lalu, linimasa media sosial saya dipenuhi oleh anak-anak muda yang baru saja lulus. Mereka riang gembira coret-coret baju, konvoi naik motor, bahkan ada yang berendam di kolam ikan kampus. Saya melihatnya sambil menyeruput kopi dan berpikir: “Apa cuma aku yang tidak pernah merasakan semua itu?” Rasanya seperti menonton kehidupan orang lain dari balik kaca tebal. Saya tidak iri, tentu saja tidak. Tapi ada semacam rasa asing yang perlahan-lahan tumbuh, seperti orang desa yang melihat barongsai lewat di jalan depan rumah: heran dan bingung harus ikut tepuk tangan atau diam saja.
Waktu saya lulus SD, tidak ada pengumuman, tidak ada upacara, apalagi pesta kecil-kecilan. Kami hanya diberi rapor di ruang guru, lalu disuruh pulang. Ibu saya menyambut saya di rumah seperti biasa, tidak ada nasi kuning, tidak ada syukuran, hanya gorengan tempe yang memang sudah jadi menu sore. Saya pun tidak mengeluh. Kala itu, lulus SD terasa seperti melewati satu sungai kecil, bukan seperti menyeberangi samudra kehidupan.
SMP pun tak jauh beda. Tahun itu, sistem ujian nasional berubah. Dari Ebtanas ke UAN, lalu jadi UAS. Nama berubah, rumus berubah, tapi rasa tetap sama: deg-degan dan pasrah. Pengumuman kelulusan dilaksanakan di lapangan sekolah. Anak-anak dikumpulkan seperti sedang apel pagi. Kepala sekolah menyebut bahwa yang hadir berarti lulus, yang tidak datang sudah diberitahu untuk tidak usah datang. Begitu saja. Tidak ada drum band, tidak ada konvoi. Beberapa teman saya coret-coret baju, tapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari dan sebagian besar memang sudah terkenal karena menjadi pasien langganan guru BK.
Saya menyaksikan perayaan itu dari jauh. Tidak ikut. Bukan karena saya alim atau suci, tapi karena saya merasa tidak perlu. Lulus SMP bukanlah momen yang membuat saya ingin melukis seragam dengan spidol permanen. Saya lebih suka pulang cepat, lalu pergi ke warung untuk beli mie goreng bungkus. Merayakan kelulusan dengan makan sendiri di pojokan rumah sambil nonton televisi tabung yang gambarnya masih bergaris-garis.
SMA memberikan sedikit harapan. Beberapa teman mulai bersemangat merencanakan konvoi. Ada yang menyewa pick-up, ada juga yang siap dengan kaleng-kaleng bekas diikat di belakang motor. Tapi saya sudah berikrar dari awal: tidak akan ikut coret-coret, tidak akan ikut pawai. Bukan karena saya ingin jadi pahlawan moral, melainkan karena saya tahu perjuangan saya untuk lulus tidak sederhana. Sistem ujian berubah lagi, dan kali ini lebih rumit. Lulus terasa seperti bisa bernafas lagi setelah ditahan di dalam air selama dua menit.
Hari pengumuman, saya pergi ke panti asuhan. Saya tidak sedang jadi malaikat atau ingin pamer kebaikan. Saya hanya merasa perlu berbagi sesuatu. Kalau saya bahagia, kenapa tidak menularinya sedikit? Teman-teman saya mungkin sedang memutari kecamatan dengan baju penuh coretan. Saya tidak iri, saya hanya merasa bahagia dengan cara yang berbeda. Mungkin memang saya tidak pernah jadi bagian dari ritual kelulusan yang ramai, tapi saya juga tidak merasa kehilangan.
S1 saya jalani di kampus swasta di pinggiran yang jauh dari hiruk pikuk. Tidak seperti anak-anak Teknik yang punya tradisi arak-arakan, kami di fakultas saya lebih senang makan bersama di warung burjo. Ketika wisuda, saya bahkan diminta menjadi perwakilan wisudawan untuk menyampaikan pidato. Sebuah kehormatan, tentu saja. Tapi setelah itu? Pulang, melepas toga, lalu makan bersama keluarga. Tidak ada arak-arakan. Hanya senyum tipis dan rasa syukur yang tertahan.
Momen kelulusan memang penting, apalagi setelah bertahun-tahun bergelut dengan skripsi. Tapi saya, entah kenapa, justru merasa lebih nyaman kalau semua ini cepat selesai. Saya lulus, saya bahagia, tapi saya tidak ingin merayakannya terlalu meriah. Barangkali karena saya selalu merasa bahwa setiap pencapaian adalah titik koma, bukan titik akhir.
S2 saya jalani di Taiwan. Negeri orang, budaya asing, bahasa yang belum sepenuhnya saya kuasai saat itu. Wisuda diadakan secara kolektif. Semua mahasiswa, baik S1, S2, maupun S3, dikumpulkan dalam satu upacara besar. Bagi mahasiswa magister dan doktoral, wisuda hanyalah formalitas. Sebagian besar bahkan belum sidang. Saya sendiri belum sidang waktu itu. Tapi tetap diminta hadir. Jadi ya saya hadir, duduk, mendengar pidato rektor dalam bahasa Mandarin, lalu berfoto sebentar. Tidak ada konvoi, tidak ada coret-coret baju. Hanya toga, kamera, dan langit cerah yang khas musim panas.
S3 saya jalani dengan lebih sepi. Karena sidang dilakukan pada bulan Januari, maka saya tidak ikut wisuda yang digelar 6 bulan kemudian. Saya hanya meminta tolong teman sebagai fotografer, mengenakan toga, dan berfoto di taman kampus. Itu saja. Tidak ada sambutan, tidak ada pidato. Hanya saya dan fotografer yang sesekali memberi arahan gaya. Saya tersenyum dalam foto, tapi dalam hati ada kekosongan kecil: “Oh, jadi begini rasanya lulus S3?”
Saya tidak bermaksud mengeluh. Hidup memang tidak perlu selalu gemerlap. Tapi tetap saja, saat melihat anak-anak SMA coret-coret baju sambil berteriak kegirangan, saya bertanya-tanya: kenapa saya tidak pernah mengalami itu? Apakah saya terlalu serius menjalani hidup? Atau memang takdir saya adalah menjadi penonton dari balik kaca, sementara pesta digelar di luar sana?
Kadang saya berpikir, mungkin saya adalah bagian dari generasi yang terlalu hemat dalam merayakan. Hidup kami diajarkan untuk selalu bersikap sewajarnya. Tidak usah terlalu senang, tidak usah terlalu sedih. Lulus ya lulus, lalu lanjut hidup. Padahal merayakan itu penting. Bukan karena hasilnya, tapi karena prosesnya yang layak dikenang.
Tapi bisa juga karena saya tumbuh di desa. Tempat di mana arak-arakan dianggap norak, dan coret-coret baju dianggap pemborosan. Kami dibesarkan untuk menyimpan baju dengan baik, supaya bisa diwariskan ke adik. Mencorat-coret seragam dianggap seperti menghina perjuangan orang tua yang membeli baju itu dengan susah payah. Jadi ya wajar kalau saya tidak pernah ikut tradisi semacam itu. Bahkan sampai sekarang, saya masih menyimpan beberapa seragam SMA saya dalam kondisi cukup layak.
Kini, saat saya sudah menjadi bapak-bapak, saya kadang bertanya-tanya: apakah saya akan mengizinkan anak saya konvoi kelulusan nanti? Apakah saya akan memarahinya kalau dia mencoret-coret bajunya sendiri? Entahlah. Barangkali saya akan diam saja, atau malah ikut mencoret. Dunia sudah terlalu cepat berubah, dan saya mulai merasa ketinggalan kereta.
Tapi kalau dipikir-pikir, tidak semua perayaan harus berupa sorak-sorai. Kadang, perayaan terbaik adalah duduk tenang di beranda, ditemani kopi, dan hati yang lapang. Tidak semua kegembiraan harus berisik. Ada gembira yang tenang, yang dalam, dan yang cukup diketahui oleh kita sendiri.
Saya menulis ini bukan untuk mengajak kalian berhenti konvoi. Silakan, rayakanlah. Dunia ini sudah cukup suram untuk tidak diisi oleh tawa. Tapi jika ada di antara kalian yang merasa tidak pernah merayakan kelulusan seperti orang-orang, ketahuilah: kamu tidak sendirian. Saya pun begitu. Dan saya baik-baik saja.
Mungkin kelulusan adalah tentang memahami diri. Tentang menutup satu babak dan bersiap untuk babak selanjutnya, tanpa harus mengibarkan bendera. Mungkin, saya ulangi, mungkin... kita terlalu sibuk menulis hidup kita dalam diam, sampai lupa memberi tahu dunia bahwa kita telah selesai menyeberang satu jembatan.
Dan jika kamu pernah merasa aneh, karena tidak ikut coret-coret, tidak ikut arak-arakan, tidak punya foto wisuda yang “instagramable”—tak perlu risau. Kadang hidup kita memang berjalan di jalur sepi. Tapi bukan berarti kita tidak sampai.
Mereka yang berisik belum tentu lebih bahagia. Dan kita yang diam belum tentu kalah. Setiap orang punya caranya sendiri dalam merayakan hidup. Ada yang pakai cat semprot, ada yang pakai sepiring mie goreng. Keduanya sah.
Jadi, apa cuma aku? Mungkin tidak. Mungkin banyak di luar sana yang senasib. Tapi memang tidak semua orang merasa perlu bercerita. Saya saja baru kali ini menuliskannya.
Siapa tahu, tulisan ini bisa menemani kamu yang dulu juga tak pernah merasa “lulus” dalam pengertian umum. Kita mungkin tidak punya foto-foto penuh tawa. Tapi kita punya cerita. Dan kadang, itu lebih dari cukup.
0 comments