Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami
Beberapa waktu lalu, linimasa media sosial saya dipenuhi oleh anak-anak muda yang baru saja lulus. Mereka riang gembira coret-coret baju, konvoi naik motor, bahkan ada yang berendam di kolam ikan kampus. Saya melihatnya sambil menyeruput kopi dan berpikir: “Apa cuma aku yang tidak pernah merasakan semua itu?” Rasanya seperti menonton kehidupan orang lain dari balik kaca tebal. Saya tidak iri, tentu saja tidak. Tapi ada semacam rasa asing yang perlahan-lahan tumbuh, seperti orang desa yang melihat barongsai lewat di jalan depan rumah: heran dan bingung harus ikut tepuk tangan atau diam saja.

Waktu saya lulus SD, tidak ada pengumuman, tidak ada upacara, apalagi pesta kecil-kecilan. Kami hanya diberi rapor di ruang guru, lalu disuruh pulang. Ibu saya menyambut saya di rumah seperti biasa, tidak ada nasi kuning, tidak ada syukuran, hanya gorengan tempe yang memang sudah jadi menu sore. Saya pun tidak mengeluh. Kala itu, lulus SD terasa seperti melewati satu sungai kecil, bukan seperti menyeberangi samudra kehidupan.
Ilustrasi Konvoi Kelulusan Anak SMA (Gambar : GeneratedAI)

SMP pun tak jauh beda. Tahun itu, sistem ujian nasional berubah. Dari Ebtanas ke UAN, lalu jadi UAS. Nama berubah, rumus berubah, tapi rasa tetap sama: deg-degan dan pasrah. Pengumuman kelulusan dilaksanakan di lapangan sekolah. Anak-anak dikumpulkan seperti sedang apel pagi. Kepala sekolah menyebut bahwa yang hadir berarti lulus, yang tidak datang sudah diberitahu untuk tidak usah datang. Begitu saja. Tidak ada drum band, tidak ada konvoi. Beberapa teman saya coret-coret baju, tapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari dan sebagian besar memang sudah terkenal karena menjadi pasien langganan guru BK.

Saya menyaksikan perayaan itu dari jauh. Tidak ikut. Bukan karena saya alim atau suci, tapi karena saya merasa tidak perlu. Lulus SMP bukanlah momen yang membuat saya ingin melukis seragam dengan spidol permanen. Saya lebih suka pulang cepat, lalu pergi ke warung untuk beli mie goreng bungkus. Merayakan kelulusan dengan makan sendiri di pojokan rumah sambil nonton televisi tabung yang gambarnya masih bergaris-garis.

SMA memberikan sedikit harapan. Beberapa teman mulai bersemangat merencanakan konvoi. Ada yang menyewa pick-up, ada juga yang siap dengan kaleng-kaleng bekas diikat di belakang motor. Tapi saya sudah berikrar dari awal: tidak akan ikut coret-coret, tidak akan ikut pawai. Bukan karena saya ingin jadi pahlawan moral, melainkan karena saya tahu perjuangan saya untuk lulus tidak sederhana. Sistem ujian berubah lagi, dan kali ini lebih rumit. Lulus terasa seperti bisa bernafas lagi setelah ditahan di dalam air selama dua menit.

Hari pengumuman, saya pergi ke panti asuhan. Saya tidak sedang jadi malaikat atau ingin pamer kebaikan. Saya hanya merasa perlu berbagi sesuatu. Kalau saya bahagia, kenapa tidak menularinya sedikit? Teman-teman saya mungkin sedang memutari kecamatan dengan baju penuh coretan. Saya tidak iri, saya hanya merasa bahagia dengan cara yang berbeda. Mungkin memang saya tidak pernah jadi bagian dari ritual kelulusan yang ramai, tapi saya juga tidak merasa kehilangan.

S1 saya jalani di kampus swasta di pinggiran yang jauh dari hiruk pikuk. Tidak seperti anak-anak Teknik yang punya tradisi arak-arakan, kami di fakultas saya lebih senang makan bersama di warung burjo. Ketika wisuda, saya bahkan diminta menjadi perwakilan wisudawan untuk menyampaikan pidato. Sebuah kehormatan, tentu saja. Tapi setelah itu? Pulang, melepas toga, lalu makan bersama keluarga. Tidak ada arak-arakan. Hanya senyum tipis dan rasa syukur yang tertahan.

Momen kelulusan memang penting, apalagi setelah bertahun-tahun bergelut dengan skripsi. Tapi saya, entah kenapa, justru merasa lebih nyaman kalau semua ini cepat selesai. Saya lulus, saya bahagia, tapi saya tidak ingin merayakannya terlalu meriah. Barangkali karena saya selalu merasa bahwa setiap pencapaian adalah titik koma, bukan titik akhir.

S2 saya jalani di Taiwan. Negeri orang, budaya asing, bahasa yang belum sepenuhnya saya kuasai saat itu. Wisuda diadakan secara kolektif. Semua mahasiswa, baik S1, S2, maupun S3, dikumpulkan dalam satu upacara besar. Bagi mahasiswa magister dan doktoral, wisuda hanyalah formalitas. Sebagian besar bahkan belum sidang. Saya sendiri belum sidang waktu itu. Tapi tetap diminta hadir. Jadi ya saya hadir, duduk, mendengar pidato rektor dalam bahasa Mandarin, lalu berfoto sebentar. Tidak ada konvoi, tidak ada coret-coret baju. Hanya toga, kamera, dan langit cerah yang khas musim panas.

S3 saya jalani dengan lebih sepi. Karena sidang dilakukan pada bulan Januari, maka saya tidak ikut wisuda yang digelar 6 bulan kemudian. Saya hanya meminta tolong teman sebagai fotografer, mengenakan toga, dan berfoto di taman kampus. Itu saja. Tidak ada sambutan, tidak ada pidato. Hanya saya dan fotografer yang sesekali memberi arahan gaya. Saya tersenyum dalam foto, tapi dalam hati ada kekosongan kecil: “Oh, jadi begini rasanya lulus S3?”

Saya tidak bermaksud mengeluh. Hidup memang tidak perlu selalu gemerlap. Tapi tetap saja, saat melihat anak-anak SMA coret-coret baju sambil berteriak kegirangan, saya bertanya-tanya: kenapa saya tidak pernah mengalami itu? Apakah saya terlalu serius menjalani hidup? Atau memang takdir saya adalah menjadi penonton dari balik kaca, sementara pesta digelar di luar sana?

Kadang saya berpikir, mungkin saya adalah bagian dari generasi yang terlalu hemat dalam merayakan. Hidup kami diajarkan untuk selalu bersikap sewajarnya. Tidak usah terlalu senang, tidak usah terlalu sedih. Lulus ya lulus, lalu lanjut hidup. Padahal merayakan itu penting. Bukan karena hasilnya, tapi karena prosesnya yang layak dikenang.

Tapi bisa juga karena saya tumbuh di desa. Tempat di mana arak-arakan dianggap norak, dan coret-coret baju dianggap pemborosan. Kami dibesarkan untuk menyimpan baju dengan baik, supaya bisa diwariskan ke adik. Mencorat-coret seragam dianggap seperti menghina perjuangan orang tua yang membeli baju itu dengan susah payah. Jadi ya wajar kalau saya tidak pernah ikut tradisi semacam itu. Bahkan sampai sekarang, saya masih menyimpan beberapa seragam SMA saya dalam kondisi cukup layak.

Kini, saat saya sudah menjadi bapak-bapak, saya kadang bertanya-tanya: apakah saya akan mengizinkan anak saya konvoi kelulusan nanti? Apakah saya akan memarahinya kalau dia mencoret-coret bajunya sendiri? Entahlah. Barangkali saya akan diam saja, atau malah ikut mencoret. Dunia sudah terlalu cepat berubah, dan saya mulai merasa ketinggalan kereta.

Tapi kalau dipikir-pikir, tidak semua perayaan harus berupa sorak-sorai. Kadang, perayaan terbaik adalah duduk tenang di beranda, ditemani kopi, dan hati yang lapang. Tidak semua kegembiraan harus berisik. Ada gembira yang tenang, yang dalam, dan yang cukup diketahui oleh kita sendiri.

Saya menulis ini bukan untuk mengajak kalian berhenti konvoi. Silakan, rayakanlah. Dunia ini sudah cukup suram untuk tidak diisi oleh tawa. Tapi jika ada di antara kalian yang merasa tidak pernah merayakan kelulusan seperti orang-orang, ketahuilah: kamu tidak sendirian. Saya pun begitu. Dan saya baik-baik saja.

Mungkin kelulusan adalah tentang memahami diri. Tentang menutup satu babak dan bersiap untuk babak selanjutnya, tanpa harus mengibarkan bendera. Mungkin, saya ulangi, mungkin... kita terlalu sibuk menulis hidup kita dalam diam, sampai lupa memberi tahu dunia bahwa kita telah selesai menyeberang satu jembatan.

Dan jika kamu pernah merasa aneh, karena tidak ikut coret-coret, tidak ikut arak-arakan, tidak punya foto wisuda yang “instagramable”—tak perlu risau. Kadang hidup kita memang berjalan di jalur sepi. Tapi bukan berarti kita tidak sampai.

Mereka yang berisik belum tentu lebih bahagia. Dan kita yang diam belum tentu kalah. Setiap orang punya caranya sendiri dalam merayakan hidup. Ada yang pakai cat semprot, ada yang pakai sepiring mie goreng. Keduanya sah.

Jadi, apa cuma aku? Mungkin tidak. Mungkin banyak di luar sana yang senasib. Tapi memang tidak semua orang merasa perlu bercerita. Saya saja baru kali ini menuliskannya.

Siapa tahu, tulisan ini bisa menemani kamu yang dulu juga tak pernah merasa “lulus” dalam pengertian umum. Kita mungkin tidak punya foto-foto penuh tawa. Tapi kita punya cerita. Dan kadang, itu lebih dari cukup.
Hari ini, cahaya pagi seperti lebih lembut dari biasanya. Matahari menyelinap pelan lewat celah jendela, seolah enggan membangunkan dua bidadari kecil yang masih terlelap di kasurnya. Mereka bernapas bersamaan, tenang, tanpa beban dunia yang belum sepenuhnya mereka pahami. Lima tahun telah berlalu sejak tangisan pertama mereka pecah di ruang bersalin rumah sakit Taiwan, mengalahkan suara ramai pasien di luar jendela hari itu. Dan sungguh, tak ada yang lebih ajaib dari hari ketika cinta tumbuh menjadi dua tubuh mungil yang kini kupanggil: Sarah dan Aisha.

Waktu, seperti biasa, tak pernah mau menunggu. Ia berlari, bahkan kadang melompat, meninggalkan jejak-jejak kenangan yang bahkan belum sempat disentuh sepenuhnya. Baru kemarin rasanya aku menggenggam tangan ibumu yang berkeringat dingin menunggu masuk ruang operasi, wajahnya pucat menahan rasa sakit yang tak mungkin aku bagi. Di antara mesin-mesin medis dan protokol pandemi yang ketat, dua nyawa kecil memilih turun ke dunia, dengan keberanian yang belum sempat mereka sadari. Lahir bukan hanya sebagai bayi, tapi sebagai harapan, sebagai pelita dalam musim yang gelap.
#SarahAisha (Foto : Dokumen Pribadi)
Ingatanku tentang detik-detik itu masih jernih. Suara perawat, suara tangisan pertama kalian yang serempak, seolah sudah sepakat sejak di dalam rahim untuk tidak saling mendahului. Seseorang pernah bilang, anak kembar punya bahasa rahasia, dan aku percaya itu. Sejak dalam perut, kalian sudah saling berbagi ruang, saling dengar detak jantung satu sama lain, saling menyampaikan pesan yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang datang dari surga berdua-dua.

Hari ini, kalian lima tahun. Angka yang barangkali kecil di mata dunia, tapi besar dalam hatiku yang menyaksikan tiap jejak pertumbuhan kalian. Lima tahun berarti lima musim penuh keajaiban. Lima tahun berarti puluhan cium selamat tidur, ratusan tawa tak tertahankan, ribuan pertanyaan lucu yang kadang membuatku terdiam mencari jawaban. Lima tahun berarti aku tak lagi menjadi manusia yang sama—karena kalian mengubahku, tanpa pernah memintanya.

Sarah, Aisha, kalian datang bukan hanya sebagai anak, tapi sebagai puisi. Puisi yang tidak ditulis dengan kata-kata, tapi dengan pelukan hangat, tangis lapar, dan tawa tanpa alasan.

Ibu kalian, ah, dia perempuan paling tabah yang pernah kutahu. Melahirkan kalian bukan sekadar urusan medis, tapi ritual suci antara kehidupan dan kematian. Ia menahan sakit kontraksi sambil mengejar deadline disertasi, ia menyusui kalian sambil membaca jurnal internasional. Ibu kalian adalah bukti bahwa cinta bisa menjadi tenaga yang lebih dahsyat dari apapun di bumi ini. Tanpa dia, kalian tak akan punya cahaya yang begitu lembut seperti sekarang.

Di tahun pertama, kalian nyaris tak bisa kubedakan. Aku harus memberi pita kecil di pergelangan tangan kalian dengan warna yang berbeda. Tapi lama-lama, aku bisa mengenali Sarah dari caranya memeluk boneka, dan Aisha dari matanya yang lebih sering menatap lurus, dalam, seolah tahu sesuatu yang belum aku tahu. Kalian kembar, ya. Tapi kalian juga unik. Dua jiwa dengan dua nada, menyanyikan lagu yang berbeda tapi tetap harmoni.

Ada banyak yang membantu kami saat itu. Dokter, perawat, sahabat-sahabat yang bahkan hanya bisa mengirimkan dukungan lewat layar ponsel. Mereka adalah jembatan-jembatan tak terlihat yang membuat kami tidak tenggelam dalam rasa cemas. Hari ini, di ulang tahun kalian, mari kita kirimkan doa yang dalam untuk mereka semua. Karena tanpa mereka, mungkin cerita ini tidak pernah ada.

Ulang tahun, dalam budaya kita, kadang dirayakan dengan kue, lilin, dan nyanyian. Tapi aku ingin lebih dari itu. Aku ingin ulang tahun kalian menjadi perayaan tentang syukur. Syukur karena kalian ada, karena kalian tumbuh, karena kalian sehat, dan karena kalian mengajarkan aku arti baru tentang waktu: bahwa detik-detik kecil adalah tempat keajaiban sembunyi.

Aku masih menyimpan baju pertama kalian, mungil, dengan noda susu yang tak bisa hilang. Aku masih menyimpan suara pertama kalian menyebut 'Ayah', terekam dalam file audio yang kadang kudengar diam-diam saat rindu. Waktu memang tak bisa kembali, tapi kenangan bisa disimpan, dipeluk, dan dijadikan bahan bakar untuk terus melangkah ke depan.

Sarah, Aisha, kalian mungkin belum memahami sepenuhnya arti hari ini. Tapi suatu saat, kalian akan membaca ini dan mengerti. Bahwa ulang tahun bukan hanya milik kalian, tapi milik kami juga—aku dan bunda kalian. Karena lima tahun lalu, kami juga lahir kembali. Menjadi orang tua, menjadi versi terbaik dari diri kami, karena kehadiran kalian.

Ada malam-malam di mana kalian demam tinggi, dan aku duduk di samping ranjang, menggenggam tangan kalian sambil membaca sabda Tuhan dalam hati. Aku ingin menjadi rumah yang selalu bisa kalian pulang, bahkan saat dunia di luar terlalu bising, terlalu tajam. Aku ingin menjadi langit yang tak pernah marah jika kalian terbang terlalu tinggi, asalkan kalian tahu cara kembali.

Dan kini, di usia lima, kalian sudah bisa berhitung, membaca sedikit, bernyanyi banyak. Kalian punya dunia sendiri: boneka, kertas gambar, dan pertengkaran kecil tentang siapa yang lebih dulu memakai sepatu. Tapi yang membuatku takjub adalah cinta kalian satu sama lain. Seperti ada janji rahasia yang tidak pernah kalian lupakan sejak dalam kandungan.

Aku sering bertanya-tanya, seperti apa kalian nanti di usia sepuluh, dua puluh, tiga puluh. Tapi aku cepat-cepat menepisnya, karena aku tahu, bagian terbaik dari menjadi ayah adalah menyaksikan satu hari saja. Hari ini. Memandangi wajah kalian saat meniup lilin, saat tertawa, saat menghapus  dari pipi masing-masing.

Dunia ini, nak, kadang tak ramah. Tapi selama kalian saling menggenggam, saling menguatkan, kalian akan baik-baik saja. Kalian punya satu sama lain. Kalian punya cerita yang sama sejak dalam rahim. Dan itu, jauh lebih kuat dari segala jenis badai yang mungkin datang.

Aku akan selalu di sini. Menjadi saksi diam yang bahagia saat kalian tumbuh. Aku tidak akan bisa melindungi kalian dari semua luka, tapi aku akan selalu menambal sepatu kalian jika tali sepatunya putus. Aku akan terus berjalan di belakang, memastikan kalian tidak jatuh terlalu keras.

Hari ini ulang tahun kalian, tapi hadiah sejatinya adalah untuk kami. Hadiah berupa tawa-tawa kecil kalian, cium pagi-pagi, dan pertanyaan polos yang kadang lebih tajam dari filsuf. Terima kasih telah memilih kami sebagai rumah kalian.

Selamat ulang tahun, #SarahAisha. Lima tahun bukan waktu yang panjang, tapi cukup untuk membuat kami percaya pada keajaiban. Cukup untuk membuat hidup ini penuh warna. Cukup untuk membuat kami belajar mencintai tanpa syarat.

Dan hari ini, biarkan kami menyanyikan lagu ulang tahun itu bukan hanya dengan suara, tapi dengan air mata haru dan syukur yang tak terhingga.

Ùˆَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ ÙˆَالصَّÙ„َاةِ ÙˆَØ¥ِÙ†َّÙ‡َا Ù„َÙƒَبِيرَØ©ٌ Ø¥ِÙ„َّا عَÙ„َÙ‰ الْØ®َاشِعِينَ

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (QS. Al-Baqarah: 45)

Hari-hari terakhir ini cukup berat bagi saya dan istri. Semua yang terjadi diluar kuasa kami. Mungkin bagi orang lain ini hal biasa, namun tidak untuk kami yang baru saja memulai peran menjadi orangtua yang diamanahi dua orang putri setelah menunggu hampir lima tahun lamanya.

Semua seolah terjadi begitu cepat. Akhir April, dokter yang menangani kami sejak bulan-bulan pertama sudah menanyakan kapan bayi akan dilahirkan. Namun kami berdua masih gamang, kapan waktu yang tepat mengingat ada banyak sekali hal yang menjadi pertimbangan kami berdua.

Selasa 5 Mei 2020, dokter meminta kami menemuinya lagi untuk mengecek semua kondisi sebelum menentukan apakah akan dioperasi tanggal 6 nya atau ditunda minggu depannya menunggu sampai mencukupi 37 minggu. Soal berat badan, berdasarkan hasil USG nya, BB Sarah mencapai 2,3 Kg dan Aisha 2,9 Kg. Namun karena ini adalah alat yg tidak sepenuhnya valid, masih ada margin error sebesar 10-20% (asumsinya bertambah atau berkurang 200 gram). Disini kami mulai ragu untuk memilih tanggal 6 Mei karena jika errornya ke bawah, maka BB Sarah akan hanya 2,1 Kg, 100 gram dibawah standar Taiwan. Sebagai informasi, standar BB bayi baru lahir minimal di Taiwan adalah 2,2 Kg (berbeda dg di Indonesia yg beberapa masih mensyaratkan minimal 2,5 Kg) sesuai dengan kaidah ilmiah terbaru yg menjadi rujukan resmi Kementerian Kesehatan Taiwan.

Ruang PICU, tempat Sarah dan Aisha dirawat selama 8 hari (Foto : Dok Pribadi)

Setelah berdiskusi hampir satu setengah jam dengan dokter, kami memutuskan untuk dioperasi esok harinya. Malam Pkl. 21.30 kami memulai prosedur pra operasi secara maraton hingga subuh sebagai prasyarat. Istri pun mulai di cek NST (Fetal Non Stress Test) untuk merekam kondisi detak jantung bayi dan kontraksi rahim. Kemudian istri juga dites darahnya. Beberapa saat setelah hasilnya keluar, tim perawat yg mengetahui hasil pemeriksaannya buru-buru menelpon dokter kami di rumahnya dan memintanya datang karena ada hasil yg mengkerenyitkan dahi. Dokter pun datang tergesa-gesa walau waktu itu sudah tengah malam dan ia sebenarnya sudah bersiap beranjak tidur.

Dokter menyampaikan bahwa detak jantung Sarah cukup lemah dan terus melemah. Kami pun cukup kaget, karena selama ini di saat kontrol rutin, tidak ditemukan masalah. Dokterpun mengatakan bahwa USG tidak bisa menjadi patokan mengingat ini adalah kehamilan kembar. Selain itu, dokter menemukan bahwa istri saya terkena anemia yg cukup parah yang lagi-lagi tidak terdeteksi saat hamil. Hb nya turun hingga 4 level menjadi 8, padahal Hb manusia normal adalah 12. Apalagi ini akan dioperasi besar, sehingga sangat berpotensi pendarahan dan sangat beresiko tinggi. Dokter memutuskan untuk melakukan transfusi darah sebanyak 2 kali. Selain anemia, istri juga terkena edema yg membuat kakinya bengkak-bengkak. Dan ia juga terkena groin pain di perut bagian bawah yg praktis membuatnya tidak bisa tidur lelap dalam sebulan terakhir akibat nyeri yg tak tertahankan. Hasil NST terakhir yang dijelaskan oleh dokter kepada kami adalah bahwa ternyata rahim istri saya sudah mulai berkontraksi cukup sering walau istri saya tidak merasakannya sama sekali. Ini jika tidak diketahui sejak awal bisa membahayakan ketiganya.

Saat subuh, istri kembali dites darahnya dan Hb sudah naik menjadi 10. Walau masih beresiko, tim dokter menyatakan sudah cukup untuk kemudian dioperasi 2 jam setelahnya. Rabu 6 Mei jam 8 pagi, kami bergerak menuju ruang anestesi sebagai transit pertama sebelum memasuki ruang operasi. Disana sudah menunggu tim dokter anestesi yg dipimpin seorang dokter senior yang ternyata berkebangsaan Malaysia. Ia seorang keturunan tionghoa Malaysia yg sudah lebih dari 30 tahun belajar dan bekerja di Taiwan sebagai dokter anestesi.

Saya diminta menunggu di luar ruangan karena prosedur disini sangat ketat dengan tidak membolehkan siapapun memasuki ruang operasi, walaupun suaminya sekalipun. Di luar ruangan, saya diminta bersiap jika ada hal-hal penting yg memerlukan persetujuan saya.

50 menit pertama, saya terus merapal doa. Ini kali pertama saya punya pengalaman menunggui keluarga yg harus dioperasi. Di tengah rapalan doa, perawat meminta saya untuk segera mengikutinya menuju suatu ruangan. Ia memberitahu, walau dengan bahasa inggris yg terbata-bata namun ia berusaha menjelaskan selengkap mungkin, bahwa kedua bayi kami telah lahir dan istri saya masih di ruang operasi untuk proses menjahit luka. Ia memberitahu bahwa kedua bayi kami mengalami masalah dengan paru-paru dan pernapasannya. Ia meminta saya menandatangani setumpuk dokumen sebagai prasyarat perawatan khusus di ruang PICU. Mendengar penjelasan dari perawat, seketika itu juga kaki saya lemas. Pikiran saya 'blank' sesaat meneropong lorong ruangan PICU yang berisikan perawat dan dokter yg agak berjalan terburu-buru kesana kemari. Dengan perasaan lemas setelah mendengar penjelasan mereka, saya pun menandatangani semua dokumen tanpa menanyakan dokumen apa itu. Dalam pikiran saya, yg penting kedua anak saya dan ibunya selamat. Setelah sekira 45 menit menyelesaikan semua dokumen yg diperlukan, saya diizinkan melihat kedua anak saya.

Deg! Jantung dan seluruh aliran darah saya seolah berhenti, melihat dua bayi kami terbaring di kotak inkubator dengan selang ventilator di hidung dan mulutnya, selang infus di tangannya, dan kabel-kabel di dada dan kakinya untuk memantau detak jantung mereka. Kaki saya lemas melihat pemandangan ini semua. Tak pernah terbayangkan sebelumnya jika kedua anak kami di masa ia baru melihat dunia, sudah harus berjibaku dengan seabreg alat-alat medis untuk membantunya bertahan melewati masa-masa kritis.

Para perawat yang sebelumnya mengantar saya melihat mereka, membiarkan saya berdiri menyendiri di samping kedua kotak inkubator yg di dalamnya berbaring Sarah dan Aisha. Saya berusaha untuk mengontrol emosi saya. Sebagai manusia, saya memiliki batasan untuk bisa membendung air mata saya melihat apa yang saya saksikan saat itu. Saya terisak, larut dalam kesedihan. Sarah, si kakak yg sejak sehari sebelumnya divonis detak jantungnya terus melemah, nampak bernapas tersengal-sengal.  Di tengah emosi yang bergulung-gulung dan air mata yg terus keluar, saya berusaha menguasai diri agar tidak larut dalam kesedihan terus menerus.

"Andi, kamu sekarang sudah menjadi Ayah. Ada istri dan kedua putrimu yg harus kamu pimpin. Mereka butuh melihatmu tegar agar mereka juga bisa kuat". Samar-samar saya mendengar ucapan ini yg terdengar seperti orang berbisik. Entah siapa yang membisiki kalimat ini.

Saya pun buru-buru menguatkan agar bisa menguasai diri. Saya teringat bahwa sebagai orangtua, saya memiliki hal-hal yg harus saya lakukan untuk kedua putri kami sebagai bagian dari melaksanakan sunnah nabi.

Doa nabi Ibrahim AS dan beberapa doa lain yg dicontohkan oleh Rasulullah SAW saya rapalkan di samping telinga mereka berdua yg disekat menggunakan box plastik. Di tengah rapalan doa tersebut, air mata saya kembali tumpah. Padahal, saya sendiri tidak hafal arti doa tersebut kata perkatanya. Hanya beberapa kata saja saya tahu artinya karena dulu pernah sebentar belajar bahasa arab sewaktu S1. Entahlah, mungkin ini yg dinamakan getaran doa disaat doa diucap dengan kesungguhan, walau tak mengetahui arti utuhnya, namun karena kesungguhan menjadikan makna bait-bait doanya larut menjadi getaran yang terus mengetuk pintu 'arsyi sehingga seolah menjadikan pembacanya mengetahui makna bait per bait dari doa tersebut.

Sebenarnya saya ingin melaksanakan sunnah yang kedua untuk Sarah dan Aisha, yaitu mentahnik mereka dengan kurma. Namun karena kondisi yg sangat tidak memungkinkan, saya tidak jadi melaksanakannya. Mungkin ada yg bertanya, apakah saya mengadzani mereka berdua seperti kebanyakan orang?

Kotak Inkubator yang dilengkapi dengan ventilator dan monitor jantung serta paru-paru (Foto : Dok Pribadi)

Sebagai seorang yg awam dalam masalah agama, saya mempercayakan urusan agama kepada para ulama yg kompeten membahas dan memutuskannya. Dan sebagai seorang kader Muhammadiyah, kewajiban saya menaati putusan ulama Muhammadiyah yg terhimpun dalam Kitab HPT yg salah satunya membahas tentang sunnah-sunnah untuk bayi yg baru dilahirkan. Saya berharap bahwa kepatuhan saya pada putusan para ulama Muhammadiyah ini, membawa kebaikan kepada kami sekeluarga karena keberkahan ilmu dari para ulama yg mengkaji dan memutuskannya.

Kurang lebih 15 menit perawat membiarkan saya terus merapal doa di kedua box tersebut, ia lantas memanggil saya untuk diberikan penjelasan lanjutan. Mereka menjelaskan bahwa Sarah dan Aisha bisa 1-2 minggu di ruang PICU - NICU, tergantung kondisinya. Mereka meminta persetujuan saya lagi terkait pemberian susu formula kepada mereka karena jika harus menunggu ASI dari ibunya, bisa jadi tidak cukup dan perlu waktu. Saya dan istri sejak awal sudah bersepakat tidak akan menjadi orangtua anti SUFOR. Bukan, bukan karena kami tinggal di negara Taiwan. Tapi lebih karena kami sadar bahwa sejak awal kehamilan, kami mengetahui bahwa kehamilan istri saya sangat beresiko tinggi. Bahkan di bulan pertama kehamilan, istri sempat masuk ICU di rumah sakit saat tengah malam karena pendarahan. Ini semua menjadikan kami orangtua yang lebih terbuka dengan segala kemungkinan yg akan terjadi, termasuk soal memakai SUFOR ketika kedua bayi kami lahir nantinya.

Setelah berhasil menguasai diri sepenuhnya, saya kembali ke ruangan pemulihan pasca operasi sembari menunggu istri keluar dari ruangan. Ketika perawat memanggil saya, saya melihat wajah istri saya yang masih setengah sadar karena pengaruh anestesi selama operasi berlangsung. Ia pun bertanya soal Sarah dan Aisha karena ia tidak sempat melihat keduanya ketika baru keluar. Dokter langsung membawanya ke ruang PICU setelah mengetahui keadaan mereka ketika diambil dari perut ibunya. Dia hanya bisa mendengar suara tangis mereka berdua dan samar-samar melihat kaki mereka, karena selama operasi, kacamata istri dilepas oleh perawat.

"Alhamdulillah, Sarah dan Aisha sehat. Fisiknya sempurna dan lengkap" jawab saya untuk menenangkannya. Saya segera mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan seputar operasi sembari guyon agar tidak stress.

Sore harinya, setelah ia sepenuhnya sadar dari obat bius yang menguasainya, saya mulai ceritakan pelan-pelan soal Sarah dan Aisha. Ia tidak menangis, namun saya hapal sekali dengan perubahan raut mukanya. 5 tahun cukup untuk membuat saya hapal karakternya. Ia sebenarnya sedih dan ingin menangis, namun mungkin karena sakit bekas operasi, ia susah mengeluarkan airmatanya. Saya berusaha menenangkannya dengan mengatakan bahwa Sarah dan Aisha sudah berada di tangan yg tepat. Semua dokter dan perawat berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan mereka. Saya terus yakinkan dengan mengambil contoh saat saya dioperasi 6 tahun lalu di Taichung. Disini, di Taiwan, keselamatan akan nyawa manusia menjadi prioritas setinggi-tingginya. Tak perduli si pasien apakah punya uang atau tidak, muda belia atau tua renta sekalipun, tapi jika nyawanya terancam karena hal medis, maka prioritasnya adalah menyelamatkan nyawanya. Soal bisa membayar atau tidak, itu nomor 10 dari 11 prioritas.

Saya terus berusaha tegar dan menenangkannya, walau saya sendiri emosinya sangat labil. Saya ingin menangis, namun tidak mungkin saya tunjukkan di depannya.

Di ponsel saya, terus berdatangan ucapan, doa, dan dukungan dari keluarga serta para sahabat. Mereka terus menawarkan bantuan jika saya membutuhkannya. Mereka tahu bahwa saya sendirian saja di Rumah Sakit menunggui dan merawat istri. Bahkan ada yg menawarkan untuk ikut menemani saya di RS. Namun karena kebijakan RS di tengah wabah saat ini, tidak semua orang bisa masuk RS. Hanya mereka yg memiliki kartu NHI yg bisa masuk sebagai upaya tracing jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Disini, cukup satu kartu untuk semua akses. Selain itu, kebijakan di ruang rawat ibu melahirkan, setiap penunggu pasien harus terdaftar terlebih dahulu dan hanya diizinkan satu orang saja. Itupun tiap beberapa jam saya harus dicek suhu tubuhnya.

Beberapa hari di RS, Sarah dan Aisha terus menunjukkan perkembangan yang sangat baik. Saya percaya bahwa selain karena kecanggihan alat medis dan tingginya ilmu pengetahuan yang dikembangkan disini, semakin membaiknya mereka adalah karena doa yang terus diucap oleh ratusan sahabat dan keluarga kami yang tak putus hari-hari ini. Inilah yang kami yakini sebagai kekuatan iman, meyakini sesuatu yang tak tampak namun sangat berdampak.

Memasuki hari kelima, ternyata Allah masih memberikan tanda cintanya untuk menguatkan kami. Istri saya terkena postpartum hypertension. Tekanan darahnya melonjak menjadi 170/100 dan tidak turun seharian. Selalu berkisar antara 150-170/90-100. Dokter segera memberikan obat anti hipertensi. Namun esok harinya, tetap tak kunjung turun. Dokterpun mengatakan kami harus bersiap untuk memeriksakannya ke dokter kardiovaskular untuk mencari tahu penyebabnya seminggu lagi sembari melihat efek obat yg ia berikan. Ia khawatir ini terkait dengan jantung.

Di hari ketujuh, kami sudah diizinkan pulang walau tekanan darah masih tinggi. Namun Sarah dan Aisha masih harus tinggal beberapa hari lagi di RS. Dokter masih ingin melihat perkembangan paru-parunya, cara bernapasnya, memeriksa bilirubinnya (yang sempat tinggi dan alhamdulillah bisa diturunkan setelah di fototerapi sebanyak 2 kali di hari yang berbeda), mengecek pendengaran mereka/ear test echo (karena mereka lahir 10 hari sebelum hari H), mengecek gelombang otaknya/brain echo dan serangkaian tes lainnya (total mencapai 26 items yg harus diuji). Itu semua adalah protokol Taiwan untuk bayi lahir prematur demi memastikan mereka sudah siap untuk dikembalikan ke orangtuanya.

Di hari ke-9, Sarah dan Aisha sudah diizinkan pulang ke rumah. Mereka sudah bisa berkumpul bersama kami. Walau masih ada kekhawatiran, tapi kami percaya bahwa Allah akan senantiasa menjaga mereka. Dan bagi kami yang menerima amanah, kami sudah komitmenkan untuk melakukan yang terbaik dalam menjaga dan merawat amanah Allah ini.

***

Bagi kami, 9 hari ini bukanlah sebuah cobaan ataupun hukuman, melainkan tanda cinta dari Allah untuk menguatkan kami berempat. Allah senantiasa mencintai ciptaan-Nya dengan cara berbeda. Dan kini giliran kami mendapatkan tanda cinta itu. Mungkin dengan cara ini, Allah ingin menjadikan Sarah dan Aisha menjadi pribadi-pribadi kuat agar mampu melewati kerasnya hidup di masa depan. Dan bagi kami orangtuanya, ini adalah bagian dari upaya 'upgrade' keimanan agar terus bisa mentadabburi setiap takdir yang telah Allah catatkan pada kitab Lauhul Mahfuz. Semoga kita senantiasa berada pada jalur iman dan Islam dalam kondisi apapun.

Chiayi, 20 Ramadan 1441 H / 13 Mei 2020

BANI AZHAR

(Andi, Risda, Sarah, Aisha)



Kemarin, saya dikirimi sebuah foto buku dari salah seorang adik kelas saya di kampus. Ia menanyakan ada berapa banyak buku-buku Muhammadiyah yang tersedia di perpustakaan kampus. Saya jawab ada beberapa buku yang merupakan oleh-oleh dari bapak-ibu PP Muhammadiyah yang dulu pernah datang ke kampus kami, Asia University - Taiwan. Ada juga beberapa koleksi buku yang dibawa oleh salah seorang pimpinan kampus yang cukup sering ke Indonesia dan punya hubungan dekat dengan Muhammadiyah. Beliau tiap silaturahmi ke Jogja, selalu pulang dengan beberapa buah buku. Beberapa diantaranya adalah buku-buku cetakan Suara Muhammadiyah.

Salah satu buku yang menjadi koleksi di perpustakaan mini di bus stop di Taiwan (Foto : Nina)

Beliau pernah berujar ke saya, "Sebenarnya Muhammadiyah ini adalah objek riset yang luar biasa. Sebuah organisasi muslim besar yang lahir ratusan tahun yang lalu dan masih ada hingga saat ini. Sayangnya literatur-literatur bagus tentang Muhammadiyah belum banyak yang ditulis dalam bahasa Inggris atau bahasa lainnya. Padahal peran Muhammadiyah sangat besar di Indonesia maupun di kancah internasional melalui 'diplomat-diplomat Muhammadiyah' yang aktif mendamaikan konflik di berbagai negara, juga aktifitas filantropi dan kemanusiannya di luar negeri". Beliau sendiri cukup familiar dengan Muhammadiyah, bahkan punya 2 baju batik resmi Muhammadiyah (yang satu adalah batik hijau Muhammadiyah yang diberikan langsung oleh Prof. Haedar Nashir saat berkunjung ke kampus AU dan satu batik lagi adalah batik Tanwir Muhammmadiyah 2019 di Bengkulu dimana beliau ikut menghadiri dan diundang secara resmi). Bahkan Kantor Muhammadiyah Taiwan pun berada di salah satu gedung di kampus ini karena saking dekatnya hubungan antara kampus Asia University dengan Muhammadiyah.

Taiwan dan Muhammadiyah ini sebenarnya seperti kakak adik, karena umur keduanya hanya berbeda 1 tahun. Republic of China, nama resmi negara Taiwan, lahir tahun 1911 ketika Dinasti Qing sebagai penguasa imperium China terakhir berhasil ditumbangkan oleh kelompok republik pimpinan Dr. Sun Yat Sen. Resminya, Republic of China di deklarasikan pada 1 Januari 1911. Berselang setahun, 18 November 1912 Muhammadiyah lahir dibawah komando KH. Ahmad Dahlan. Jadi, umur negara Taiwan dan Persyarikatan Muhammadiyah sama-sama sudah diatas 100 tahun.

Kembali ke soal buku. Setiap buku yang diperoleh dari Indonesia, akan langsung diserahkan ke perpustakaan kampus sebagai inventaris dan menjadi koleksi bacaan pengunjung. Sejak setahun terakhir, perpustakaan kampus kami membuat perpustakaan mini di pemberhentian bus yang ada di depan kampus kami. Tujuannya adalah memberikan kesempatan orang yang sedang menunggu bus untuk membaca buku-buku koleksi perpustakaan. Setiap satu bulan, koleksi buku yang ada di rak perpustakaan mini ini akan diganti dengan lainnya. Sehingga tiap bulan akan berbeda. Dan bulan ini kebetulan buku terbitan Suara Muhammadiyah yang menjadi koleksinya.

Lalu adakah yang membaca? Padahal buku ini berbahasa Indonesia

Jawabannya ada. Di kampus kami, ada sekitar 150 mahasiswa Indonesia yang sedang studi dimana semua mahasiswa ini adalah pengguna bus rutin setiap harinya untuk bepergian. Selain itu, pemberhentian bus kampus kami juga cukup strategis, sehingga banyak WNI lainnya yang juga turun di tempat ini. Mereka adalah para pekerja Indonesia yang bekerja di pabrik-pabrik di wilayah yang tak jauh dari kampus kami. Alhasil, adanya buku terbitan Suara Muhammadiyah ini menjadi satu-satunya buku berbahasa Indonesia yang bisa dibaca di rak buku perpustakaan mini ini.

Di tengah kondisi seperti saat ini yang mengharuskan menjaga jarak aman agar tidak tertular virus corona, maka keberadaan perpustakaan mini ini menjadi salah satu solusi agar para pengguna bus tidak mengobrol dengan pengguna bus lainnya ketika menunggu bus datang. Semua khusuk membaca buku yang tinggal diambil dari rak saja dan dikembalikan ke rak ketika sudah akan naik bus.

Apakah aman buku-bukunya ditaruh di tempat umum seperti itu?

Aman, karena CCTV ada dimana-mana. Disini karakter masyarakatnya sudah terbentuk sejak kecil bahwa mencuri, nguntit, mengambil barang yang bukan milikny itu adalah perbuatan tidak baik. Sehingga tidak ada buku yang hilang ketika dipamerkan dan dibaca publik.

Sebenarnya dulu Pimred Suara Muhammadiyah pernah mengirim satu kardus majalah Suara Muhammadiyah. Majalah ini lantas menjadi koleksi perpustakaan pusat bahasa kampus kami sebagai referensi baca bagi mahasiswa-mahasiswa lokal dan asing yang sedang belajar bahasa Indonesia. Dan kebetulan saya adalah pengajarnya.

Malam semakin larut, tapi mata tak kunjung terpejam. Rasanya sulit sekali mengembalikan ritme waktu tidur normal. Semenjak memutuskan sekolah lagi, hal seperti ini sangat sering saya alami. Dan malam ini, kantuk tak kunjung datang. Padahal badan saya rasanya pegal-pegal tidak karuan karena seharian kemarin ikut latihan Pencak Silat bersama teman-teman Tapak Suci Taiwan. Sambil sesekali menatap wajah istri yang tertidur pulas, saya mengutak atik akun facebook dan membaca beragam unggahan dan cerita dari jejaring pertemanan saya di facebook. Mayoritas isi cerita mereka soal Idul Adha, Qurban, dan aneka foto ketika mereka memasak daging qurban. Hingga sampailah pada tulisan pak Dahlan Iskan (DIS) tentang Ricky Elson, si jenius yang punya 14 paten di bidang motor listrik yang diceritakannya sebagai sosok cerdas namun “terbuang” karena ekosistem yang belum mendukung. Di tulisan tersebut, Pak DIS, begitu beliau sering disebut dalam akronim kita, menceritakan penyesalannya merayu Ricky untuk pulang ke Indonesia guna mengembangkan teknologi mobil listrik di Indonesia 6 tahun yang lalu saat ia masih menjabat sebagai Menteri BUMN di era SBY. Ide yang cerdas, peluang pasar yang besar, dan para insinyur jenius ternyata tak cukup menjadi modal agar bangsa ini berdaya dalam industri mobil listrik yang sering dibilang sebagai industri otomotif potensial dalam 10 tahun mendatang. 

Lain lubuk lain ilalang, lain rezimnya lain pula kebijakannya. Pasca hiruk pikuk pergantian rezim 5 tahun yang lalu, ide Pak DIS ini menguap begitu saja. Malahan ia dicari-cari kesalahannya hingga di meja hijaukan. Sedangkan Ricky, menepi ke Ciheras dan beternak domba, sebuah bidang baru yang sangat kontras dengan ilmunya yang berhasil mematenkan 14 temuannya tersebut. 

Membaca cerita tersebut, pikiran saya terus-terusan membenarkan apa yang pak DIS tulis. Saat datang ke Taiwan pertama kali 6 tahun yang lalu, di Taiwan belum populer kendaraan listrik. Sebagai mahasiswa di jurusan bisnis, saya acapkali diminta professor untuk memaparkan tentang perkembangan industri otomotif saat itu dan perkiraannya di masa mendatang. Kala itu saya teramat sering mengangkat soal mobil hibrid yang memang sedang trend di Asia Tenggara. Soal masa depan industri otomatif, tentu saja kendaraan listrik adalah jawabannya. Tahun 2013, Taiwan masih berada di tahap pengembangan kendaraan listrik. Walaupun sudah ada semacam electrical bike sharing  di Taiwan, namun itu terbatas hanya ada di Pulau Penghu, sebuah pulau kecil di barat Taiwan. Konsepnya menarik karena ini adalah pilot project  kendaraan listrik pertama di Taiwan. Kebetulan pembimbing saya adalah salah satu tim pengembangan project tersebut. Ia banyak bercerita soal gagasan awal dan bagaimana dinamika untuk mewujudkan kendaraan massal listrik di Taiwan tersebut.

Persis seperti cerita Pak DIS, seandainya 5 tahunan yang lalu negara kita benar-benar fokus mengembangkan teknologi kendaraan listrik dan membangun ekosistem pendukungnya, bisa jadi tahun ini atau paling tidak tahun depan kita sudah bisa menyaksikan kendaraan listrik bersliweran di jalan-jalan Indonesia. Tapi itu seandainya. Kenyataannya ternyata lain bukan?

Saat tahun 2016 saya kembali ke Taiwan untuk melanjutkan studi pasca kepulangan saya ke Indonesia tahun 2014, saya banyak menjumpai kendaraan-kendaraan listrik yang mulai marak digunakan. Awalnya hanya berupa sepeda listrik, tapi tidak lama dari itu, keluarlah kendaraan semacam semi motor listrik. Jenis ini banyak dipakai oleh para pekerja migran dari Indonesia dan Vietnam. Sebagai informasi, para pekerja migran dari Asia Tenggara dilarang mengendarai kendaraan bermotor. Mereka hanya diizinkan memakai sepeda dan kendaraan semi motor bertenaga listrik. Di akhir tahun 2016, Taiwan secara resmi memiliki kendaraan motor listrik pertamanya. Kendaraan ini asli made in Taiwan  dengan merek dagang Gogoro. Apa bedanya dengan kendaraan listrik semi motor yang sebelumnya sudah populer disini? Bedanya terletak pada registrasi kendaraan. Motor listrik dengan merek Gogoro ini diregistrasi secara resmi sebagai kendaraan setara motor berbahan bakar bensin. Bahkan jumlah CC nya dimasukkan setara diatas 100 CC. Di Taiwan sendiri, kita bisa dengan mudah mengidentifikasi besar CC suatu motor dengan melihat warna plat motornya. Plat warna hijau menandakan 50-80 CC, warna putih menandakan 90 - 150 CC, warna merah menandakan diatas 200 CC.
Motor Gogoro (Foto : Taiwan News)

Kembali ke soal Gogoro, ternyata kendaraan ini menjadi primadona baru di Taiwan. Banyak kalangan yang mengganti kendaraan motor mereka dengan motor listrik ini. Alhasil, tak butuh waktu lama, motor listrik dengan merek dagang Gogoro mulai merajai jalanan di Taiwan. Bahkan sejak awal tahun ini, sudah ada 1 merek dagang lain yang mulai ikut bermain di industri motor listrik ini. Jika dilihat dari sisi waktu, Taiwan ternyata “hanya” memerlukan waktu tak kurang dari 7 tahun untuk bisa take off  dalam industri ini. Seiiring dengan aturan kendaraan listrik yang baru disahkan di Indonesia, mungkin sebentar lagi kita akan melihat motor-motor listrik produksi Taiwan mulai membanjiri jalanan Indonesia. Mungkin lho ya........

Di Taiwan sendiri pemerintahnya sangat mendukung perihal industri terbarukan. Walaupun berganti rezim, platformdukungan untuk terus mengembangkan industri kendaraan listrik tetap sama. Bagi pemerintah, politik rezim harus dibedakan dengan politik industri. Industri merupakan nafas kehidupan Taiwan tatkala secara geopolitik, hampir 95 % negara di dunia tidak mengakui Taiwan sebagai sebuah negara. Sehingga mau tidak mau, industri harus menjadi prioritas dukungan bagi siapa saja yang memimpin Taiwan. Dan motor listrik Gogoro adalah salah satu panenan pertama mereka. Bahkan, bis-bis umum di Taiwan mulai banyak yang menggunakan listrik sebagai sumber kekuatannya. Dan minggu kemarin, Pemerintah Taiwan baru saja mengesahkan aturan baru tentang pemberian insentif bagi PO Bus yang mau menggunakan bus listrik sebagai moda usahanya. Tak tanggung-tanggung, per 1 bus di ganjar subsidi hingga TWD 10,000,000 atau sekitar Rp. 4,500,000,000 per tahunnya. Kebijakan ini diharapkan mampu menaikkan jumlah pemakaian kendaraan listrik untuk transportasi umum. Perihal mobil listrik, di Taiwan sudah cukup ramai orang yang menggunakan mobil listrik ini. Beberapa merupakan produksi lokal, dan beberapa lainnya merupakan merek-merek terkenal seperti Tesla. 

Sekali lagi, saya cuma membayangkan, seandainya ide Pak DIS untuk mewujudkan mobil listrik made in dalam negeri  itu terus dilanjutkan, mungkin sekarang headline media massa kita akan sering dihiasi akan kebanggaan bangsa kita  berhasil mewujudkan mobil nasional yang sudah teramat sering digembor-gemborkan namun baru sebatas wacana saja hingga saat ini. Bahkan bisa jadi, euforianya justru akan jauh melampaui berita-berita soal hingar bingar keberhasilan kita merakit mobil yang hanya dibicarakan tiap 5 tahun sekali itu. Ingat, diantara semua komponen mobil listrik, dinamo listrik adalah komponen yang paling sulit dirancang. Dan si jenius Ricky adalah insinyur dengan 14 paten soal dinamo listrik. Ia adalah jawaban atas sulitnya komponen tersebut.

Rasanya sayang sekali melihat ide-ide cemerlang seperti mobil listrik ini dan orang-orang cerdas seperti Ricky Elson harus tersingkir. Jika kondisinya masih terus seperti ini, ingin rasanya saya berhenti menggunakan kalimat “kapan selesai dan balik ke Indonesianya?”  saat bertanya kepada teman-teman yang studi dan berkarya di luar negeri, dan menggantinya dengan kalimat “di negara mana lagi kamu akan melabuhkan karyamu?”

Di beranda Facebook saya malam ini tiba-tiba muncul unggahan berita tentang sekelompok pekerja migran dari Asia Tenggara yang sedang duduk-duduk di pelataran Piramid (ASEAN Square) Taichung yang dibubarkan secara paksa oleh petugas Kepolisian Wilayah Taichung. Dalam berita tersebut, disebutkan bahwa ada larangan dari pemerintah Taiwan untuk duduk-duduk di sekitaran tempat-tempat publik yang sudah ditentukan. Walaupun kegiatan duduk-duduk ini tidak mengganggu masyarakat sekitar, namun kiranya kita perlu memahami adat dan kebiasaan orang Taiwan tentang hal ini.

Para TKI di Taipei Main Station (Sumber : suarabmi.com)

Bagi kita orang Asia Tenggara, berkumpul, bersosialisasi, makan-makan hingga arisan di tempat publik adalah sebuah cara hidup yang kita pakai untuk melepaskan penat pekerjaan. Secara budaya, orang dari Asia Tenggara memang lebih senang untuk kumpul-kumpul, ngobrol-ngobrol, hingga makan-makan dengan sesama orang Asia Tenggara. Soal tempat, karena ini di Taiwan, maka kita cenderung memilih tempat yang gratisan seperti taman atau tempat-tempat umum lainnya yang mudah dijangkau oleh kita.

Sebenarnya kegiatan ini tidak menjadi masalah di Taiwan. Mereka sangat welcome dengan budaya berkumpul kita seperti ini. Namun perlu diingat bahwa, tidak semua tempat umum bisa dijadikan tempat untuk acara kumpul-kumpul seperti ini. Apalagi fasilitas publik seperti Piramid ini lokasinya sangat strategis dan [sayangnya] tidak terlalu luas. Sehingga jika banyak orang berkumpul disini, suasana halaman First Square yang sebenarnya adalah pusat perbelanjaan ini menjadi tidak kondusif. Ditambah lagi terkadang masih saja ada image bahwa orang-orang dari Asia Tenggara ini sering melanggar peraturan. Sehingga bagi sebagian orang lokal, melihat orang-orang Asia Tenggara, utamanya dari kalangan pekerja yang sedang berkumpul, ada kesan takut dan was-was.

Saya sendiri beberapa kali menyaksikan ada pekerja dari Asia Tenggara yang minum dan mabuk di tempat ini. Saat mabuk, mereka kadang hilang kontrol dan teriak-teriak. Ada pula yang menyanyi keras-keras diiringi gitar yang mereka bawa. Budaya ini tentu nampak menyeramkan bagi orang lokal yang bepergian ke pusat perbelanjaan ini. Sehingga wajar jika pemerintah Taichung membuat aturan larangan seperti ini untuk menjaga kondusifitas tempat-tempat publik dan agar difungsikan sebagaimana mestinya.

Selain itu, kita juga perlu pahami bahwa ego sosial masyarakat Taiwan sendiri tidak bisa disamakan dengan orang-orang Asia Tenggara. Sebagian orang Taiwan memiliki tipe tidak mau bersosialisasi dengan orang lain. Kalaupun bersosialisasi, mereka sangat terbatas. Ini berbeda sekali dengan orang dari Asia Tenggara yang gemar bersosialisasi dan berkumpul. 

Makanya bagi beberapa orang Taiwan dari distrik diluar Taipei, ketika mereka datang ke Taipei Main Stations (TMS) di hari minggu, mereka agak aneh sebenarnya melihat fenomena banyak orang Indonesia yang berkumpul di lobi TMS. Di minggu setelah mereka gajian, bahkan sampai berdesakan. Ini adalah budaya yang tidak mereka miliki, duduk berkumpul di tempat-tempat umum. Beruntungnya pemerintah Kota Taipei dan pengelola TMS tidak melarang aktifitas ini sehingga bagi kita orang Indonesia, tempat ini menjadi semacam tempat wisata baru sekaligus menjadi tempat bersosialisasi dengan rekan, teman, dan orang Indonesia lainnya. Selain itu, adanya kegiatan kumpul-kumpul ini juga akan memudahkan ketika mau bertemu dengan sesama orang Indonesia di Taipei di hari minggu. Cukup bilang TMS, maka kita paham dimana harus menemuinya.

***

Sekali lagi, budaya kita sebagai bangsa Asia Tenggara tidak bisa disamakan dan dipaksakan di Taiwan. Mereka memiliki cara hidup dan tata kelolanya sendiri. Sebagai pendatang kita wajib menghormati budaya orang Taiwan yang terkadang tidak menyukai kerumunan massa. Disini hak individu sangat dijamin oleh Undang-Undang. Sehingga jika ada 100 orang Taiwan, 99 diantaranya tidak mempermasalahkan acara kumpul-kumpul kita, namun 1 orang merasa tidak nyaman, maka ia berhak meminta aparat untuk menegur dan membubarkan acara kita. Berkumpul boleh, asal kita menjunjung norma, adab, dan kebiasaan masyarakat setempat. Dan yang terpenting, jangan sampai mengganggu atau merugikan orang lain.
Akhir tahun 2018, publik di Indonesia dikejutkan dengan viralnya berita tentang 300 mahasiswa Indonesia yang melakukan kerja paksa dan disuruh makan daging babi di Taiwan. Berita ini menjadi headline di berbagai surat kabar nasional Taiwan maupun di Indonesia. Namun berita ini menjadi simpang siur karena ada beberapa versi dan bantahan dari pihak kampus yang bersangkutan. Lalu bagaimana cerita yang sebenarnya tentang isu ini?
Gambar Ilustrasi (Sumber : pusatinformasibeasiswa.com)

Kasus ini bermula sebenarnya sejak ditemukannya pelanggaran jam kerja dan jenis pekerjaan bagi peserta kuliah magang dari Sri Lanka, jauh sebelum isu yang terjadi dengan mahasiswa Indonesia. Kala itu ada 40 mahasiswa asal Sri Lanka yang studi di Tainan dipaksa bekerja di rumah pemotongan hewan. Jam kerjanya pun melebihi dari yang seharusnya. Sebagaimana diketahui, seseorang yang memiliki status sebagai resident dan student maka ia hanya diizinkan untuk bekerja selama maksimal 20 jam seminggu. Nah, mahasiswa asal Sri Lanka ini melebihi batas dari waktu bekerja tersebut. Kasus ini sempat mencuat di media daring Taiwan, namun tidak sampai membuat gaduh seperti yang terjadi di awal tahun 2019 ini. Para mahasiswa yang menjadi korban ini, lantas trauma untuk melanjutkan studinya di Taiwan dan memilih untuk pulang ke Sri Lanka.

Kemudian yang terjadi di akhir 2018 pada mahasiswa asal Indonesia ini adalah informasi yang dibeberkan oleh salah satu anggota DPR Taiwan dari Partai Kuo Min Tang. Dia melakukan inspeksi ke salah satu pabrik di Kota Taipei dan mendapati ratusan mahasiswa Indonesia sedang bekerja disana dalam program kuliah magang. Beberapa dari mereka ada yang curhat mereka bekerja melebihi batas maksimal yang seharusnya mereka lakukan. Beberapa dari mereka juga mengeluh tentang minimnya uang yang mereka peroleh dari hasil bekerja tersebut karena harus dipotong untuk biaya kuliah mereka disini.

Lantas, bagaimana kelanjutannya?

Saya dan teman-teman Muhammadiyah Taiwan bergerak cepat merespon kasus ini. Sebenarnya sejak awal tahun 2018, kami di Muhammadiyah Taiwan sudah mulai menyelidiki tentang program ini karena ada sebagian alumni sekolah-sekolah Muhammadiyah yang ditawari untuk ikut program ini. Mereka meminta bantuan untuk mengecek kebenaran dan pelaksanaan program ini di Taiwan. Singkat kata, kami bersepakat untuk merekomendasikan tidak mengambil program ini karena ada beberapa hal teknis di Indonesia yang pelaksanaannya menyimpang dari yang seharusnya. Namun di kasus akhir tahun 2018, kami meresponnya dengan membentuk tim khusus untuk melakukan pencarian fakta terhadap kasus ini. Dan berikut adalah beberapa fakta yang terjadi di Taiwan.

1.Kampus di Taiwan diprediksi banyak yang akan tutup

Di Taiwan terdapat 156 perguruan tinggi yang tersebar di seluruh kabupaten dan kota di Taiwan. Dari 156 perguruan tinggi tersebut, diprediksi akan ada sekitar 15-30 perguruan tinggi akan tutup dalam 5 tahun mendatang. Ini disebabkan karena rendahnya populasi Taiwan yang masuk ke perguruan tinggi. Perlu diketahui bahwa tingkat kelahiran di Taiwan hanya sebesar 1-2 %. Ini berimbas ke jumlah generasi mudanya. Banyak sekolah dan perguruan tinggi yang kembang kempis untuk mempertahankan eksistensi institusinya karena minimnya peserta didik baru yang masuk. Ini tidak hanya terjadi pada institusi swasta saja, namun banyak juga dialami oleh institusi pemerintah / negeri. Dalam kesempatan yang lain, saya mendapatkan informasi bahwa beberapa kampus negeri di Taiwan akan di merger untuk efektifitas dan efisiensi. Pun demikian dengan kampus-kampus swasta. Pilihannya adalah merger dengan institusi lain atau tutup selamanya.

2.Kampus bersaing untuk mendapatkan mahasiswa asing

Dengan adanya fakta bahwa jumlah mahasiswa lokal Taiwan yang semakin sedikit jumlahnya, membuat beberapa kampus mengalihkan fokusnya untuk menarik mahasiswa asing agar masuk ke kampus mereka. Nah, pemerintah Taiwan sejak 2015 meluncurkan program kebijakan baru ke arah selatan, dimana mereka fokus untuk mengembangkan kerjasama di berbagai bidang, salah satunya adalah pendidikan, ke negara-negara di Asia Selatan yang salah satunya adalah negara-negara di kawasan ASEAN. Negara-negara ini memiliki populasi angkatan muda yang cukup tinggi dan potensial untuk didatangkan ke Taiwan. Sehingga, munculah program kuliah magang ini untuk memfasilitasi mahasiswa-mahasiswa dari Asia Selatan agar bisa kuliah di Taiwan dengan skema kuliah sambil bekerja paruh waktu sehingga tidak merepotkan orang tua di negara asal terkait dengan pembiayaan kuliah yang juga tidak murah ini. 

Strategi ini cukup berhasil menarik banyak mahasiswa asing dari Indonesia, Thailand, Vietnam, Sri Lanka dan beberapa mahasiswa asing lainnya. Terdapat lebih dari 8 kampus di Taiwan yang membuka program semacam ini. Prinsipnya adalah para mahasiswa tidak perlu membayar memakai biaya sendiri untuk biaya kuliahnya. Mereka hanya cukup bekerja paruh waktu yang kemudian biayanya dibayarkan ke kampus. Dan ini cukup sukses memperpanjang usia kampus yang dimaksud karena mendapat mahasiswa-mahasiswa baru.

3.Program ini gratis, namun mahasiswa harus bekerja

Dalam pemberitaan yang beredar, program ini sebenarnya tidak memungut biaya pendaftaran apapun kepada calon mahasiswa. Mereka hanya dikenakan biaya untuk pengurusan paspor, pemeriksaan kesehatan, visa, dan pesawat. Namun pada pelaksanaannya banyak agen-agen di Indonesia yang justru mengenakan biaya hingga puluhan juta rupiah. Ini adalah hal teknis pertama yang sudah tidak sesuai dengan prosedur yang dikeluarkan oleh pemerintah Taiwan. Agen-agen ini berdalih bahwa biaya puluhan juta tersebut digunakan untuk pengurusan dokumen dan banyak hal. Padahal jika kita mengurus sendiri ke kantor perwakilan Taiwan di Jakarta, biayanya akan jauh lebih terjangkau. Gambarannya kurang lebih begini :
- Medical Check Up : Rp. 600.000
- Biaya Pembuatan Paspor : Rp. 350.000
- Biaya Pembuatan Visa : Rp. 700.000
- Pesawat dari Indonesia - Taiwan : berkisar antara Rp. 1.500.000 hingga
  Rp. 4.000.000 tergantung maskapai yang digunakan

Faktanya ada mahasiswa yang harus membayar hingga Rp. 20.000.000 untuk mengikuti program ini. Kemudian, saat disini, mahasiswa sebenarnya baru boleh bekerja setelah satu tahun disini. Di tahun pertama mereka fokus untuk kuliah. Namun ternyata dalam pelaksanaannya banyak yang melenceng. Dari pertama kali tiba di Taiwan, mereka sudah bekerja di pabrik-pabrik yang bekerjasama dengan kampus. Bahkan beberapa dari mereka mengakui bekerja lebih dari 20 jam seminggu. Mengapa begitu? Ini dikarenakan uang yang didapat tidak mencukupi untuk kebutuhan mereka sehari-sehari.

Para mahasiswa yang bekerja paruh waktu, mendapatkan gaji TWD 150 per jamnya. Sehingga dalam seminggu mereka mendapatkan gaji (jika 20 jam) sebesar TWD 3,000. Dan selama sebulan berarti akan mendapat total gaji TWD 12,000. Faktanya adalah dari jumlah gaji tersebut, mereka masih harus menyisihkan gaji mereka untuk membayar SPP yang mencapai TW 40,000 persemesternya. Ditambah asuransi kesehatan, biaya asrama / tempat tinggal, dan makan. Sehingga gaji TWD 12,000 dirasa tidak mencukupi untuk hidup sebulan. Alhasil tidak jarang yang berusaha bekerja lebih dari 20 jam seminggu sebagai upaya bertahan hidup disini walaupun ini sebenarnya melanggar peraturan kerja dari pemerintah Taiwan.

4.Mahasiswa bekerja di pabrik yang tidak sesuai perjanjian

Saat di Indonesia, para mahasiswa ini dijanjikan akan bekerja paruh waktu di pabrik-pabrik yang sesuai dengan jurusan yang mereka ambil di Taiwan. Namun faktanya banyak dari mereka yang bekerja tidak sesuai dengan perjanjian tersebut. Bahkan tak jarang yang melenceng jauh. Misalkan mereka kuliah di jurusan teknik elektro. Ternyata saat bekerja mereka justru ditempatkan di rumah pemotongan hewan. Kebanyakan dari mereka tidak berani memprotes penempatan ini karena mereka takut dipulangkan ke Indonesia, takut tidak diurusi oleh agensi disini, selain juga mereka masih sangat muda dan berada di negeri asing. Wajar kemudian banyak yang diam saja terhadap pelanggaran penempatan kerja ini.

Selain tempat bekerja, beberapa dari mereka juga mengalami pelanggaran dalam hal kampus dan jurusan. Kampus dan jurusan yang mereka pilih saat di Indonesia tidak sesusai dengan yang mereka dapat di Taiwan. Misalkan mereka memilih teknik elektro, namun disini justru dimasukkan dalam jurusan manajemen industri. Belum lagi saat di Indonesia, mereka memilih universitas A, namun saat disini mereka justru ditempatkan di universitas C. Setelah kami telusuri, ini dikarenakan kuota yang diberikan oleh kampus yang bersangkutan tidak berbanding lurus dengan jumlah mahasiswa yang masuk. Banyak yang sudah over kuota karena banyaknya peminat program ini. Sehingga mereka dipindahkan ke kampus yang lain yang juga membuka program serupa.

5.Waktu kuliah yang tidak sesuai peraturan

Di peraturan yang ada, mereka sebenarnya hanya boleh bekerja saat akhir pekan saja atau bisa di saat hari bekerja namun porsi waktu belajarnya lebih banyak. Disebutkan bahwa seharusnya mereka itu 4 hari kuliah, 2 hari bekerja, dan 1 hari libur. Namun di lapangan ada beberapa mahasiswa yang justru terbalik waktunya. 2 hari kuliah, 4 hari kerja, dan 1 hari libur. Ini yang kemudian menjadi temuan bahwa program ini banyak yang tidak sesuai prosedur yang ada.

6.Pemerintah Indonesia menghentikan [sementara] pengiriman mahasiswa Indonesia untuk program kuliah magang ke Taiwan


Merespon kejadian ini, pemerintah Indonesia bergerak cepat dengan berkoordinasi dengan berbagai pihak (pemerintah Taiwan, perwakilan Indonesia di Taiwan, dan organisasi pelajar Indonesia) untuk mengatasi persoalan ini. Dan pada bulan februari, pemerintah Indonesia secara resmi menghentikan sementara pengiriman mahasiswa untuk mengikuti program ini hingga pemerintah Taiwan memperbaiki regulasi dan pengawasan yang ada agar kejadian sebelumnya tidak terulang lagi.

***

Taiwan sebenarnya memiliki puluhan institusi pendidikan yang bagus dan bereputasi. Dan mereka memiliki komitmen yang tinggi terhadap menjaga kualitas civitas akademikanya. Pun demikian soal beasiswa. Hampir setiap kampus di Taiwan menawarkan beasiswa kampus yang walaupun nominalnya tidak terlalu tinggi, namun cukup untuk bisa survive di Taiwan sebagai mahasiswa. Sehingga mahasiswa bisa cukup fokus untuk kuliah dan mengembangkan keilmuan mereka di universitas.

Adanya kasus yang sempat booming ini menjadi percikan percikan kecil bagi pemerintah Taiwan untuk terus bekerja dan berinovasi dalam menaikkan kualitas pendidikan mereka. Ditengah hambatan semakin menurunnya jumlah populasi Taiwan, pemerintah Taiwan selalu berusaha untuk terus berkomitmen memberikan pelayanan terbaiknya kepada para mahasiswa asing ini agar mereka nyaman belajar dan tinggal di Taiwan, hingga merasa kerasan dan menjadikan Taiwan sebagai ‘rumah kedua’ mereka. 


Saya pribadi meyakini bahwa adanya kasus ini tidak mengurangi minat mahasiswa untuk studi di Taiwan. Saya menyarankan gunakanlah jalur resmi melalui pendaftaran langsung di universitas yang dituju dan carilah beasiswa melalui pemerintah, kampus, maupun pihak ketiga lainnya. Taiwan adalah negara yang tepat untuk mengembangkan diri dalam hal keilmuan, karena Taiwan merupakan salah satu core dalam industri dunia.
Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • RAPOR TANPA MERAH DAN SEKOLAH TANPA LUKA
  • TEOLOGI UANG DAN BIDANG ILMU EKONOMI SPIRITUAL
  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • MENGUNGKAP NOVELTY DALAM KARYA ILMIAH: SKRIPSI, TESIS, DAN DISERTASI
  • TINGGAL DI BENGKULU ITU SEPERTI PACARAN SAMA MANTAN YANG BAIK : DAMAI TAPI NGGAK TERLALU RAMAI

Ramadhan Bercerita

PARIWARA

PARIWARA

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar