SENJA DAN PERGI

Baca Juga

Senja tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya tahu diri, bahwa cahayanya tak pantas menyaingi malam. Di antara desir angin yang menggugurkan daun tua, ia pamit dalam bias jingga. Di jalanan kota, pekerja menggulung harapan dalam tas ransel yang usang. Mereka pulang membawa sisa tenaga, bukan kemenangan. Sebab hidup tak selalu harus menang; kadang cukup selamat saja.

Pernah satu kali aku mengejar senja dari atas sepeda ontel. Aku kayuh sambil menggumam lagu kenangan, berharap bisa menambatkan waktu. Tapi senja, seperti cinta, hanya bisa dinikmati, bukan dikejar. Ia tak menunggu siapa pun, apalagi aku yang telat sadar. Maka aku berhenti di jembatan tua, sembari menatap matahari tergelincir dengan tenang. Di sana aku belajar: pergi tak selalu menyakitkan.
Senja di Balai Buntar Bengkulu (Foto : Dokumen Pribadi)
Orang-orang sibuk memotret langit saat senja menyala. Tapi siapa yang memotret raut wajah ibu yang menanti nasi di atas dandang? Di sela keindahan yang diburu, sering kali ada yang terlupa. Bahwa senja bukan hanya tentang warna, tapi tentang waktu yang seharusnya disedekahkan kepada Tuhan. Aku pernah terpaku di jalan, padahal azan magrib telah menggetarkan angkasa. Dan saat itu aku malu, karena memuja ciptaan lebih dari Pencipta.

Langit merah, langit yang sedang mengucapkan selamat tinggal. Tetapi manusia sering kali mengartikan itu sebagai pemandangan indah belaka. Padahal, ia adalah pertanda: malam sedang berjalan dari ufuk timur. Aku mendengar desir langkah waktu yang menua, perlahan, tapi pasti. Senja adalah undangan, bukan untuk pesta, tapi untuk perenungan. Sebab tak semua keindahan harus dirayakan dengan tepuk tangan—kadang cukup dengan sujud.

Di antara suara motor dan klakson yang bertalu-talu, ada satu waktu yang seharusnya sakral. Senja. Ia hadir untuk memberi isyarat: cukup, berhentilah. Tapi seringkali kita terlalu keras kepala untuk mendengar bahasa langit. Kita terus menambal ambisi di jalan yang retak. Dan lupa, bahwa tubuh punya hak untuk diam, dan hati punya hak untuk kembali.

Dulu aku pikir senja adalah hadiah. Tapi kini aku tahu, ia adalah pengingat. Pengingat bahwa segala yang terang akan padam, dan segala yang kuat akan rehat. Ia membelai bumi dengan warna hangat, tapi pesannya dingin: waktu habis. Aku duduk sendiri di warung kopi yang menghadap sawah, menanti kegelapan datang tanpa tergesa. Di antara isak langit dan sunyi desa, aku merasa ditatap oleh Tuhan.

Ada orang yang menyukai senja karena estetikanya, tapi aku menyukai senja karena kejujurannya. Ia tak pernah bohong tentang perpisahan. Ia selalu datang dengan batas, bukan janji. Tak seperti pagi yang menjanjikan banyak hal, senja hanya datang untuk menutup. Dan justru karena itu, ia terasa lebih bisa dipercaya.

"Sudah dulu, ya," kata senja kepada hari. Tapi manusia, entah kenapa, selalu merasa belum cukup. Masih ada pekerjaan, masih ada target, masih ada perasaan yang belum tuntas. Padahal, tidak semua hal harus selesai dalam satu waktu. Bahkan bunga pun tak mekar dalam sehari. Maka biarlah senja mengajarkan sabar—dengan warna, bukan kata.

Senja itu seperti ibu yang memanggil anaknya pulang sebelum malam terlalu larut. Ia tidak menghardik, hanya memberi isyarat lewat langit yang memerah malu. Tapi anak-anak zaman kini terlalu sibuk bermain, sampai lupa arah rumah. Mereka menunda pulang, sampai malam kehilangan kesabaran. Lalu ketika gelap benar-benar datang, mereka menangis mencari terang. Tapi senja sudah tak bisa kembali.

Dalam tiap salat magrib, ada percakapan sunyi antara hamba dan Tuhannya. Bukan sekadar ritual, tapi pengakuan bahwa waktu ini milik-Nya. Aku sering terlambat, sering kalah oleh deretan hal duniawi. Tapi saat aku benar-benar hadir dalam sujud itu, senja terasa lebih dalam. Ia bukan cuma langit merah, tapi pintu. Pintu menuju kesadaran, bahwa dunia tak harus dipeluk erat-erat.

Tak jarang aku mendengar seseorang berkata, "Ah, aku lebih suka malam." Tapi mereka lupa, bahwa malam hanya ada karena senja memberi jalan. Tak ada gelap yang tak melalui jingga lebih dulu. Maka mencintai malam tanpa memahami senja, seperti mencintai dewasa tanpa melewati luka. Dan di antara luka dan lega, senja menjadi jembatan yang paling jujur.

Pulang adalah kata paling indah diucapkan saat senja. Bukan hanya soal rumah, tapi soal kembalinya jiwa dari kebisingan dunia. Di kursi kayu depan rumah, ayahku biasa duduk dengan teh dan diam. Tidak ada obrolan, hanya anggukan perlahan. Aku baru paham, diam ayah saat senja itu adalah bentuk terima kasih kepada waktu.

Kau tahu, bahkan burung pun pulang saat senja datang. Tapi kita? Kita malah terbang lebih jauh, menantang malam dengan ambisi. Hingga kadang tersesat di gelap yang kita buat sendiri. Senja ingin kita pulang, tapi kita malah menambah langkah. Hingga saat sadar, rumah hanya tinggal alamat yang tak kita ingat.

Mereka yang meninggalkanmu di waktu senja, bukan berarti tak cinta. Mungkin mereka hanya tahu kapan harus berhenti. Seperti senja yang tahu dirinya tak bisa menggantikan malam, ia pergi dengan elegan. Perpisahan tak selalu menyakitkan jika kau tahu alasannya. Dan pergi bukan berarti menghilang, kadang hanya memberi ruang untuk rindu tumbuh.

Senja mengajarkanku satu hal yang tak pernah diajarkan sekolah: cukup itu indah. Tak harus sempurna, tak harus panjang, tak harus menang. Cukup hadir, cukup sadar, cukup pulang. Maka bila suatu hari aku pergi, biarlah aku pergi seperti senja. Tidak mengejutkan, tapi dikenang.

Share:

0 comments