PILKADA, MILITER, DAN KEGAGALAN PARPOL
Baca Juga
Banyak yang
menyebut tahun 2018 adalah tahun politik. Ini adalah masa 1 tahun sebelum genderang perang bernama Pileg dan
Pilpres serentak akan dilaksanakan. Di tahun ini pula, Pemilihan kepala daerah
serentak gelombang 3 akan dilaksanakan, serta dimulainya tahapan pendaftaran
partai politik pesera pemilu 2019. Ibarat sebuah mesin, maka tahun 2018 ini
adalah tahapan pemanasan para partai politik sebelum menggeber kekuatan penuh di tahun depan.
Diantara semua
hajatan-hajatan politik tersebut, pilkada serentak gelombang 3 ini adalah yang
cukup menarik untuk dibicarakan. Selain karena jumlah daerah yang
menyelenggarakan cukup banyak, juga karena adanya kandidat kepala daerah yang
berasal dari pensiunan militer serta aparat kepolisian. Pada tahun 2015,
tercatat ada 17 calon kepala daerah yang berasal dari TNI dan 10 orang calon
kepala daerah yang berasal dari Kepolisian. Pada tahun 2017, ada 4 calon kepala
daerah dari TNI dan 3 calon kepala daerah yang berasal dari kepolisian.
Sedangkan untuk tahun 2018, tercatat ada 3 calon kepala daerah yang berasal
dari TNI dan 3 calon yang berasal dari kepolisian.
Sebenarnya sah-sah
saja siapapun yang akan maju menjadi calon kepala daerah. Itu adalah hak
politik yang dilindungi oleh Undang-Undang. Memang ada pengecualian, bahwa bagi
prajurit TNI dan Polri yang masih berdinas aktif, dilarang untuk ikut
berpolitik dan maju dalam kontestasi pemilihan umum, terkecuali jika mereka
mengundurkan diri dari dinas aktif dan kembali menjadi warga sipil. Namun,
melihat cukup banyaknya calon kepala daerah sejak 3 tahun terakhir, menjadikan
ini sebuah fenomena menarik dalam kaitannya dengan partai politik.
Partai politik
adalah kendaraan resmi bagi warga
negara yang ingin terjun dan aktif dalam dunia perpolitikan. Sejak pertama kali
Indonesia berdiri, partai politik telah dikenal oleh bangsa ini, bahkan sebelum
Indonesia merdeka, partai politik pun sudah ada yang berdiri dan beraktifitas
di negeri yang dulunya dikenal sebagai Hindia Belanda. Seiring dengan orde
reformasi, partai politik bak jamur
di musim hujan. Setiap pemilu, tak kurang dari 10 partai mengikuti pesta
demokrasi 5 tahunan ini. Melalui partai politik, setiap orang dibukakan
jalannya untuk menduduki jabatan politik di pemerintahan.
Namun apakah hanya
untuk itu saja alasan mengapa harus ada partai politik?
Adanya partai
politik, diharapkan menjadi kawah
candradimuka serta institusi resmi untuk menggodok warga negara dalam
memahami politik, mendidiknya agar bisa berpolitik, serta tempat aktualisasi
dalam keinginan untuk berpolitik. Sederhananya, partai politik adalah
sekolahnya para calon politisi. Disini warga negara diajari tentang kepemimpinan, diajari
bagaimana menjadi seorang pemimpin, bagaimana mengurus negara, serta bagaimana
berpolitik itu sendiri. Harapannya, warga negara yang menjadi kader partai
politik lebih bisa diandalkan kemampuannya dalam urusan politik maupun proses
politik serta mampu mendulang suara dari masyarakat saat adanya hajatan politik
bernama pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah.
Namun, melihat
data-data yang disebutkan sebelumnya, kiranya menjadi perhatian kita, mengapa
kini ada beberapa calon-calon kepala daerah yang justru bukan berasal dari warga
sipil yang kader partai politik yang ternyata disukai oleh masyarakat? Apakah
ini adalah tanda bahwa masyarakat gagal
move on dari kepemimpinan sipil oleh [mantan] militer?
Kita masih ingat
di era orde baru, banyak kepala daerah yang berasal dari militer. Saat itu,
militer memang diperbolehkan berpolitik dengan adanya dwifungsi ABRI yang
dicetuskan oleh Jenderal Besar A.H. Nasution. Dimana-mana kita bisa melihat
pejabat bupati, gubernur, maupun menteri sekalipun diisi oleh bukan hanya
pensiunan militer, melainkan juga prajurit-prajurit aktif. Pada Pelita I ada jabatan sipil sebesar 73 persen yang
diisi oleh anggota ABRI aktif, pada Pelita II sebesar 76,9 persen, pada Pelita
III sebesar 59,2 persen, pada pelita IV sebesar 51,8 persen, pada pelita V
hanya tinggal 44,4 persen. Tren yang sama terjadi pada komposisi anggota
Kebinet Pembangunan. jika dalam tiga Pelita pertama, rata-rata 31,2 persen
anggota kabinet adalah ABRI aktif, maka dalam tiga Pelita terakhir rata-rata
hanya 9,6 persen anggota kabinetnya yang berasal dari ABRI aktif.
Mungkin selain
memang aturan yang membolehkan, rezim saat itu yang dipimpin oleh seorang
militer juga lebih mempercayakan soal urusan kepemimpinan ini pada lembaga
militer. Kita tahu bersama bahwa kepemimpinan adalah hal yang sangat mengakar
diajarkan dalam dunia militer. Disana terlihat ada ketegasan, kedisiplinan,
serta komando yang kuat.
Beberapa kali saya
mengobrol dengan para si mbah di
daerah saya. Mereka banyak bercerita bagaimana saat daerah saya dipimpin oleh
seorang ABRI, daerah saya menjadi aman. Harga-harga sembako murah. Serta menurunnya
angka criminal. Terlepas dari banyak factor/kenyataan yang bisa saja membantah
pernyataan itu semua, sebagai masyarakat kecil mereka tahunya saat itu
daerahnya aman, harga murah, dan bisa hidup tenang saat dipimpin oleh seorang
militer.
Bayang-bayang ini
mungkin yang lantas menghinggapi masyarakat kita saat ini. Masyarakat sudah
kehilangan kesabarannya mendapatkan kepastian hidup dari pemimpin daerah yang
berasal dari masyarakat sipil. Masyarakat kini (mungkin) sudah muak dengan janji-janji para politisi
yang hanya menjadikan mereka sebagai objek semata saat pemilu. Setelah
terpilih, tidak sedikit yang kemudian lupa dengan janji-janji yang mereka
ucapkan saat kampanye dan merayu masyarakat untuk mendukungnya.
Latar belakang
militer ataupun sipil sebenarnya tidak menjamin seseorang akan berhasil dalam
memimpin suatu daerah. Namun satu hal yang pasti bahwa setidaknya calon yang
memiliki latar belakang sebagai militer lebih memiliki modal popularitas
seperti gertakan, kedisiplinan, dan
ketegasan dibanding calon berlatar belakang sipil. Modal inilah yang bisa saja
menjadi tolak ukur pertama dari masyarakat ketika menentukan pilihan calon
kepala daerah. Kita bisa coba tengok dalam poster-poster, baliho, iklan, maupun
saat kampanye, calon kepala daerah yang memiliki latar belakang militer banyak
yang tidak segan menonjolkan sisi militeristiknya kepada masyarakat. Inilah hal
yang menjual dari mereka kepada para konstituennya.
Adanya fenomena
ini, seolah memunculkan hipotesa bahwa partai politik telah gagal melakukan
kaderisasi calon pemimpin. Walaupun persentase calon kepala daerah yang
berlatar belakang sipil jauh lebih besar, namun dengan adanya fenomena ini,
menjadi otokritik bagi para partai politik untuk membenahi system perkaderannya.
Kemunculan para calon dari militer ini juga justru ternyata banyak yang
didukung dan disorong oleh partai politik itu sendiri. Ini semakin memperkuat
hipotesa sebelumnya bahwa jangan-jangan partai politik itu sendirilah
yang maunya instan-instan saja. Terima
beres produk jadi saat ada perhelatan demokrasi. Sah-sah saja kalaupun ada yang
berspekulasi bahwa munculnya fenomena ini sebagai tanda ingin kembalinya
militer kedalam politik. Namun satu hal yang pasti bahwa masih ada
Undang-Undang yang melarang aktifnya militer dan polisi dalam politik.
Tidak bisa
dipungkiri bahwa mencetak seorang pemimpin yang handal, cakap, mumpuni, dan
berkharisma adalah suatu proses yang panjang yang memerlukan waktu tidak
sebentar. Tentunya juga perlu biaya dan tenaga. Namun jika proses ini mampu
dilakukan oleh tiap partai politik, niscaya kedepan tidak akan adalagi yang
namanya krisis calon kepala daerah berlatarbelakang sipil yang cakap dan layak
pilih. Tapi jika partai politik itu sendiri tidak mau melakukan proses
pengkaderan pemimpin ini dan maunya nyari
yang instan, maka siap-siaplah kedepan akan semakin banyak calon-calon
kepala daerah cabutan dari berbagai
latar belakang.
Ini kemudian bukan
lantas menghakimi bahwa calon kepala daerah berlatar belakang militer adalah
tidak bagus dan tidak layak. Hanya saja perlu dipahamkan bahwa kepemimpinan
bergaya militer lebih berbau
kepemimpinan perang dan satu komando terpimpin. Dan ini sangat berbeda tentunya
dengan kepemimpinan sipil yang lebih berbau
dialog dan jaring aspirasi. Tapi sekali lagi, ini tidak lantas
meng-generalisasi semua calon berlatar belakang militer maupun sipil adalah
seperti yang disebutkan tersebut.
Menutup cerita
panjang ini, kiranya kita perlu merenungkan kembali, pantaskah kita memiliki
banyak partai politik saat partai politik itu sendiri gagal menghasilkan
calon-calon pemimpin terbaiknya untuk dihibahkan kepada masyarakat. Atau
jangan-jangan kita lebih perlu memperbanyak impor
produk jadi dari latar belakang lain selain sipil untuk menjadi pemimpin di
masa mendatang? Entahlah……. Waktu yang akan menjawabnya.
Tags:
Sospol
6 comments
tulisan yang berat, "memaksa" pembaca untuk memikirkan kembali realita yang ada... keren lah ^^
BalasHapusTerimakasih ibu 🙏🙏🙏
HapusTerima kasih Mas Andi sharing pandangannya.
BalasHapusJika berbicara pengkaderan pemimpin, mungkin kita harus mempersiapkan sedini mungkin generasi muda untuk tidak anti kepada politik.
Kondisi perpolitikan yang saat ini rasakan, menurut hemat saya adalah cerminan dari miniatur aktivitas mahasiswa saat di kampus. Selalu saja konflik, adu strategi yang kurang elegan untuk maju menjadi seorang pemimpin.
di era keterbukaan seperti ini, para politisi cenderung diframing negatif karena media yang belum berimbang dalam mempublikasikan kepala daerah yang berhasil memimpin daerah dan dicintai oleh rakyatnya.
jika dilihat dari riwayat kepemimpinan RI 1 (Militer, lalu Sipil, Militer, Sipil lagi), menurut Mas Andi mungkinkan nanti akan kembali ke militer?
Terimakasih mas Rio sudah berkenan mampir.
HapusIni yang menjadi PR kita bersama, bahwa tidak sedikit dari generasi muda kita yang tidak mau bahkan antipati terhadap politik. Tentu ini juga bukan salah mereka. Mereka bisa jadi hanya korban dari "Dagelan" para politisi kita saat ini. Langkah menjadi antipati terhadap politik mungkin saja cerminan dari kondisi politik kita saat ini.
Bagaimanapun juga, kita tidak boleh "alergi" dengan politik. Setidaknya jika kita tidak mau terjun ke politik, kita harus mendorong orang baik untuk terjun ke politik agar kedepan wajah perpolitikan kita berubah.
Perihal kembali ke Militer atau tidak, itu satu hal yang bisa saja terjadi dan bisa juga tidak. Sebenarnya tidak masalah dipimpin oleh sipil atau militer, asalkan bisa mensejahterakan rakyatnya dan bukan pencitraan terus yang dilakukan.
Politik kita belum pada tahap untuk berebut mensejahterakan masyarakatnya. Lebih pada perebutan kekuasaan, jabatan, dan materi semata.
Demikian mas Rio
Terima kasih pandangannya Mas Andi. Senang bisa membaca tulisan Mas Andi.
BalasHapusSama-sama mas :)
Hapus