SENJA KALA PERGERAKAN MAHASISWA
Baca Juga
Dari seberang
istana presiden, Nampak 2 orang bapak-bapak sedang menikmati makan siangnya di
sebuah warung makan kaki lima. Sesekali si bapak meneguk kopi hitam pekatnya yang
tinggal seperempat gelas itu untuk mendorong nasi yang telah dikunyahnya di
mulut.
“Min, coba lihat
orang-orang itu yang sedang demo di depan istana”, ucap Paijo membuka obrolan
ketika makanan di hadapannya telah ludes disantapnya
“Iya Jo, emang
kenapa? Biasa aja kalo itu mah. Kan emang sering orang-orang pada demo depan
istana”
“Iya, maksudku
bukan demonya. Tapi orang yang demo. Akhir-akhir ini yang aku lihat di TV,
Koran, maupun melihat langsung disini, rata-rata yang demo adalah masyarakat
kecil, buruh / pekerja, sopir taksi / bus / kendaraan umum, dan orang-orang
yang menuntut rasa keadilan. Selama setahun terakhir, jarang aku lihat ada
mahasiswa yang bawa bendera organisasinya demo di depan istana. Ini pada kemana
ya mahasiswa? Tumben amat mereka sekarang gak hobi demo”
“Kamu gak tau Jo?
Kan sekarang mahasiswa sudah gak tertarik lagi dengan yang begituan. Mereka disibukkan
dengan tugas-tugas akademik di kelas, bikin project, maupun hal-hal lain yang
menurut mereka lebih seksi”
“Bener juga kamu
Min”
…………
***
Sejarah Indonesia
tidak bisa dilepaskan dari peran mahasiswa dan organisasi pergerakan mahasiswa.
Sejak sebelum merdeka, embrio negara Indonesia sudah dimunculkan oleh para
mahasiswa Indonesia yang tengah studi di Belanda yang berkumpul dalam
Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging). Walaupun tujuan awalnya hanya
sebagai organisasi untuk kumpul-kumpul dansa
dan pidato, namun pada perjalanannya, organiasi pergerakan mahasiswa pertama ini
ikut membidani lahirnya rasa Ke-Indonesiaan di kalangan pelajar dan mahasiswa
Indonesia pra Kemerdekaan.
Selanjutnya pasca
kemerdekaan, pergerakan mahasiswa semakin banyak mewarnai kehidupan berbangsa
dan bernegara. Lahirnya Himpunan Mahasiswa Islam pada tahun 1948 menjadi
tonggak sejarah baru pergerakan mahasiswa Indonesia. HMI ikut memainkan peran
pentingnya dalam melahirkan kader-kader intelektualnya yang kelak banyak yang menjadi
pemimpin dan tokoh-tokoh nasional.
Aksi-aksi pasca
Gestapu dan tritura, juga tidak terlepas dari peran organisasi pergerakan
mahasiswa. Pun begitu dengan peristiwa Malari di Jakarta. Di semua peristiwa
tersebut, hampir tidak bisa dinafikkan peran penting organisasi pergerakan
mahasiswa dalam menggodok isu dan mengerahkan massanya.
Dan kejayaan
organisasi pergerakan mahasiswa mencapai puncak keemasannya tahun 1998 dimana
rezim 32 tahun berhasil ditumbangkan oleh gabungan berbagai organisasi
pergerakan mahasiswa serta masyarakat. Inilah masa-masa kejayaan dan musim
tersubur dalam melahirkan organisasi-organisasi pergerakan mahasiswa yang baru.
Pasca reformasi, organsiasi pergerakan mahasiswa panen calon-calon kader di pelbagai kampus di Indonesia. Mahasiswa-mahasiswa
baru banyak yang berbondong-bondong mendaftarkan diri mengikuti perkaderan
organisasi ini. Pun begitu dengan organisasi intra kampus seperti BEM dan DPM. Organisasi-organisasi
ini menjadi idaman para mahasiswa untuk mengaktualisasikan diri selama menempuh
studi di perguruan tinggi. Mereka berhasil terhipnotis
oleh cerita-cerita perjuangan mahasiswa di era reformasi. Alhasil, kita bisa melihat
bagaimana mahasiswa lantas ikut serta sebagai parlemen jalanan dalam kurun
waktu 15 tahun pasca reformasi. Tak hanya itu, taman-taman kampus juga sering
penuh terisi sebagai ruang-ruang diskusi mahasiswa. Atau bahkan hanya sebagai taman baca bagi sebagian mahasiswa yang
ingin menghabiskan waktunya membaca buku dengan nuansa terbuka, seperti di
taman. Mereka menempa diri menjadi kader intelektual dan ideologis melalui
organisasi-organisasi pergerakan mahasiswa.
Di masa 10 tahun
pemerintahan Presiden SBY, organisasi pergerakan mahasiswa masih memiliki daya
tariknya. Dalam setahun, tak kurang dari 15 demonstrasi dilakukan oleh berbagai
elemen pergerakan mahasiswa di seputaran Jakarta (berdasarkan berita yang
diekspos oleh media-media nasional). Ini belum termasuk yang didaerah-daerah.
Di era 2004 – 2012,
tiap kali pengkaderan, bisa dikatakan rata-rata organisasi pergerakan mahasiswa
di salah satu kampus di Yogyakarta bahkan mampu mengkader 10 – 50 mahasiswa baru
tiap periodisasi pengkaderannya. Di salah satu kampus swasta terbesar di
Yogyakarta, pada periode itu tak kurang dari 10 organisasi pergerakan mahasiswa
ekstra kampus eksis disana. Dan tiap
kali melakukan kaderisasi, mereka mampu memikat puluhan mahasiswa.
Jumlah mahasiswa
yang mengikuti organisasi pergerakan mahasiswa ini lantas sangat mewarnai
kehidupan aktifitas kemahasiswaan di kampus. BEM dan DPM menjadi rebutan organisasi
ekstra kampus. Mereka berlomba dan bersaing untuk menempatkan kader-kadernya
memimpin 2 organisasi tertinggi
tingkat kampus. Di beberapa kampus, bahkan organisasi-organisasi ini membentuk
partai-partai politik mahasiswa agar bisa bertarung dalam pemilu raya
mahasiswa. Keberadaan partai-partai ini tentu menjadi pewarna yang menarik
dalam meriah nya kehidupan mahasiswa
di kampus. Tak jarang, obrolan-obrolan di kantin, maupun lorong-lorong kelas
tak akan jauh-jauh dari isu politik local kampus, kebijakan universitas, daerah,
hingga nasional. Intinya isu tentang kebijakan dan politik. Tak perduli itu local
maupun nasional.
Namun seiring
perkembangan zaman, masa kejayaan organisasi pergerakan mahasiswa inipun mulai
bergeser. Para mahasiswa tidak lagi menjadikan organisasi pergerakan sebagai
sebuah rumah besar pengkaderan intelektual dan ideologis. Mahasiswa-mahasiswa sekarang jarang yang tertarik
dengan organisasi model organisasi ekstra kampus yang struktural-birokratis-rigid-politis.
Kebanyakan dari mereka lebih tertarik dengan komunitas-komunitas atau
forum-forum yang nuansanya lebih santai dan kekinian. Apalagi ditambah dengan
majunya teknologi informasi serta masuknya era disruptif. Ini semakin
menenggelamkan pamor pergerakan mahasiswa.
Jika kita menengok sejenak ke kampus, maka akan Nampak
bahwa rasanya kita telah sangat lama menanggalkan status sebagai mahasiswa (S1).
Dulu saat menjadi menjadi mahasiswa (S1), kita akan dengan mudah menemukan
mahasiswa yang menenteng buku-buku yang judulnya saja sangat berat [bagi
mahasiswa awam] dipahami. Juga kita akan dengan mudahnya menemukan
diskusi-diskusi sore di taman maupun kantin yang temanya sedikit membikin dahi
berkernyit. Kini, kita hanya akan menemukan mahasiswa yang selalu merundukkan
kepala melihat gadget nya yang
senantiasa tersambung dengan power bank.
Di kampus kita juga akan susah menemukan poster-poster maupun iklan bernada
provokatif, agitatif, maupun propaganda. Ini semua tergantikan dengan
poster-poster bernada ajakan untuk membuat suatu inovasi disruptif di segala
bidang. Bahkan stand pendaftaran
organisasi pergerakan mahasiswa pun akan semakin sulit ditemukan di kampus seiiring
semakin mudahnya kita melakukan rekrutmen secara online. Demonstrasi adalah
sebuah kata yang kini dijauhi oleh mahasiswa. Ini semua seolah menegaskan bahwa
organisasi-organisasi pergerakan mahasiswa semakin dijauhi oleh para mahasiswa.
Lantas apa yang membuat pergerakan mahasiswa ini
semakin dijauhi oleh para mahasiswa?
Pertama adalah tentang system pengkaderan. Di beberapa
pergerakan mahasiswa masih ditemukan model pengkaderan yang harus mengisolasi
para pesertanya selama acara. Mereka diinapkan dalam suatu tempat dan diminta
untuk mengikuti agenda selama beberapa hari yang kebanyakan hanya diisi ceramah
dan diskusi. Mahasiswa zaman sekarang berbeda dengan dulu. Mereka ini lahir dan
besar di era teknologi informasi yang maju sedemikian pesat. Agak susah menemukan mahasiswa zaman
sekarang yang mau tidak update di status media sosialnya, barang seharipun. Ditambah
harus mengikuti kegiatan selama beberapa hari di sebuah tempat yang kadang itu
jauh dari pemukiman. Alhasil, mereka tidak melirik sedikitpun untuk menjadi
kader di organisasi pergerakan mahasiswa.
Yang kedua adalah tentang kegiatan. Pergerakan
mahasiswa dari dulu program kerjanya secara garis besar lebih banyak berkutat
pada seminar, diskusi, dan bedah buku. Paling banter adalah rihlah / jalan-jalan. Itupun topiknya tidak akan
jauh-jauh dari politik maupun kebijakan. Suatu hal yang tak terbayangkan bahwa
selama menjadi kader aktif di pergerakan mahasiswa, kegiatannya hanya berkutat
pada hal-hal tersebut. Mahasiswa zaman sekarang lebih menuntut pada
kegiatan-kegiatan inovatif serta mampu menjadi jembatan ekonomi pasca lulus
kuliah. Tak heran, kini mahasiswa lebih senang untuk beradu proposal ide bisnis
daripada beradu argument tentang pemikiran seorang tokoh ideologis dengan
bukunya yang tebal-tebal.
Yang ketiga adalah keluwesan. Di pergerakan mahasiswa,
para kader diajarkan untuk patuh pada aturan dan kebiasaan yang kadang sangat
rigid. Memang benar ini terbukti membentuk kedisiplinan para kader. Namun mahasiswa
saat ini justru banyak yang tidak menyukainya. Mereka lebih senang dengan model
forum / organisasi yang luwes, santai, dan menyesuaikan zaman. Mereka kini
lebih senang mengikuti forum-forum / organisasi yang lebih mengedepankan
ide-ide kreatif (non politik) daripada hanya sekedar menunaikan aturan /
kebiasaan organisasi yang dianggap kurang bermakna secara praksis.
Yang keempat adalah orientasi. Banyak mahasiswa saat
ini menyukai organisasi yang mampu memberikan jalan ekonomi bagi anggotanya. Mereka
diberikan pelatihan-pelatihan hingga praktek langsung untuk membuka usaha,
dibukakan jejaring relasi bisnisnya, bahkan ada yang memberikan pendampingan
untuk usaha yang sedang dijalankan. Orientasi bisnis masa depan sekarang lebih seksi daripada orientasi menjadi
politisi maupun birokrat. Seiring banyaknya tulisan-tulisan, cerita, buku,
maupun seminar-seminar dari para pengusaha sukses yang memulai usahanya dari
saat kuliah, menjadikan mereka seolah tersihir untuk ikut menduplikasi
orientasi bisnis mereka sedini mungkin. Ini amat berbeda dengan orientasi yang
ada di pergerakan mahasiswa yang mayoritas diarahkan menjadi politisi maupun
birokrat.
Dan selain keempat factor tadi, masih ada banyak factor
yang mungkin mempengaruhi fenomena semakin tidak diminatinya pergerakan
mahasiswa bagi para mahasiswa. Jika para organisasi pergerakan mahasiswa tidak
menangkap fenomena ini secara bijak, maka mungkin saja kita tidak akan lagi
mendapati anak-anak kita dikader dan menjadi anggota suatu organisasi
pergerakan mahasiswa di masa mendatang. Kemauan untuk berubah dan menyesuaikan
zaman adalah factor kunci untuk tetap menjaga eksistensi mereka. Dan seandainya
mereka masih tetap mempertahankan gaya lamanya, maka niscaya kita hanya tinggal
menghitung tahun hingga organisasi ini bubar dengan sendirinya ditinggalkan
oleh anggotanya dan tidak adanya penerus kader organisasi. Semoga ini tidak benar-benar terjadi !!
Tags:
Pendidikan
0 komentar