MENGAPA MUHAMMADIYAH MENGGUNAKAN METODE HISAB?

Baca Juga

Logo Muhammadiyah

Salah satu saat Muhammadiyah ‘naik daun’ di media massa adalah ketika menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Pasalnya, Muhammadiyah yang memakai metode hisab terkenal selalu mendahului pemerintah yang memakai metode rukyat dalam menentukan masuknya bulan Qamariah. 

Hal ini menyebabkan ada kemungkinan 1 Ramadhan dan 1 Syawal versi Muhammadiyah berbeda dengan pemerintah. Dan hal ini pula yang menyebabkan Muhammadiyah banyak menerima kritik, mulai dari tidak patuh pada pemerintah, tidak menjaga ukhuwah Islamiyah, hingga tidak mengikuti Rasullullah Saw yang jelas memakai rukyat al-hilal. Bahkan dari dalam kalangan Muhammadiyah sendiri ada yang belum bisa menerima penggunaan metode hisab ini.

Umumnya, mereka yang tidak dapat menerima hisab karena berpegang pada salah satu hadits yaitu 

“Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah (idul fitri) karena melihat hilal pula. Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban tigapuluh hari” (HR Al Bukhari dan Muslim)

Hadits tersebut (dan juga contoh Rasulullah Saw) sangat jelas memerintahkan penggunaan rukyat, hal itulah yang mendasari adanya pandangan bahwa metode hisab adalah suatu bid’ah yang tidak punya referensi pada Rasulullah Saw. 

Lalu, mengapa Muhammadiyah bersikukuh memakai metode hisab? 

Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: 
  1. Telah terjadi konjungsi atau ijtimak
  2. Ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam
  3. Pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk. 
Sedangkan argumen mengapa Muhammadiyah memilih metode hisab, bukan rukyat, adalah sebagai berikut.

Pertama, semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat :

“Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS 55:5)

Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.

Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa AzZarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). 

Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim,

“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”. 

Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. 

Yusuf Al Qaradawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.

Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. 

Dr. Nidhal Guessoum (Astrofisikawan dari Aljazair / Professor di American University of Sharjah, Uni Emirat Arab) menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.

Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. 

Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat.  Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajad dan di bawah lintang selatan 60 derajat adalah kawasan tidak normal, di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melabihi 24 jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.

Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. 

Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.

Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. 

Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.

Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras diseluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian system waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita menggunakan hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. 

Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at Tausyiyah) menyebutkan:

"Masalah penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariahdi kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat”.

____________________________________
Catatan : 
  • Materi diatas disarikan dari ceramah Ramadan oleh Prof. Dr. Syamsul Anwar (Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah) dalam pengajian ramadan PP Muhammadiyah tahun 1431 H di UMY.
  • Tulisan ini di buat sebelum penetapan Kalender Islam Global yang ditetapkan pada tahun 2016. Pada tahun 2016 Badan Urusan Agama Republik Turki menyelenggarakan Seminar Internasional Penyatuan Kalender Hijriyah. Hasil voting dari peserta seminar tersebut mendapat respon positif, mayoritas menyetujui untuk segera diberlakukannya Kalender Islam Global.
  • Menurut Prof. Syamsul, tidak   mungkin mewujudkan  kalender  Islam global  kecuali  dengan menggunakan  hisab sebagaimana kita menggunakan hisab untuk menentukan waktu-waktu salat. Hisab memang tidak menjadi metode utama yang digunakan Nabi Muhammad tatkala meninjau awal bulan,  namun isyarat-isyarat di dalam literatur al-Quran dan al-Hadis telah menunjukkan bahwa hisab merupakan metode yang kuat secara nash.
  • Pada tahun 2009, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah telah menerbitkan buku pedoman hisab Muhammadiyah. Silahkan mendownload bukunya disini.

Artikel ini telah disunting pada bulan Maret 2022 dengan penambahan beberapa informasi

Share:

4 komentar

  1. Ada yang bisa menjelaskand n menjawab bantahan dari sobat saya ini..... kita diskusi di Primbon dan Islamic!

    A. Metode hisab ada banyak sekali, kriterianya juga banyak, Misal kriteria MABIMAS (Mentri agama Brunai, Indonesia, Malaysia, Singapura) untuk memulai tanggal minimal 2 derajat, Kriteria Wujudul Hilal Muhammadiyah 0 Derajat, Kriteria Persis 4 Derajat, Ummul Quro/Matla saudi 0 derajat di saudi=>contoh kejadian bulan Romadlon 1434 besok ketinggian bulan diatas ufuk= 0 derajat 44 menit, Menurut Muhammadiyah pagi harinya sudah memasuki tanggal 1 Romadlon, tetapi menurut NU dan Pemerintah esok harinya belum tanggal 1 Romadlon tetapi masih tanggal 30 sa'ban karena belum 2 Derajat.... maka insa alloh awal puasa besok antara muhammadiyah dan NU tidak akan bersamaan dalam mengawali puasanya

    B. Kriteria WH Muhamammadiyah saya sebut bermasalah karena ketika wilayah Indonesia terbagi menjadi 2 daerah (yang satu wilayah sudah lebih dari 0 Derajat yang lainya belum), maka garis tanggalnya ngikuti yg mana, contoh: awal Romadlon besok ketinggian 0 Dr 44 mt itu di Yogyakarta sementara Irian jaya belum ada 0 Derajat,....sekarang Irian akan Mulai puasanya kapan? tg 9 Juli apa Tg 10 Juli? sementara menurut ketetapan Muhammadiyah tg 1 Romadlon= 9Juli ,...nah itu yg jadi masalah...kenapa irian harus mengikuti Yogyakarta....

    MOHON BERILAH PENJELASAN YANG BAIK!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. A. Terimakasih atas komentarnya. Berikut kami jabarkan untuk ramadhan tahun ini :
      1) Menurut Kriteria Sistem Kalender Hijriyah Wujudul Hilal :
      Ijtimak telah terjadi pada 08 Juli 2013 M Pkl. 14:15 WIB, dan waktu matahari terbenam pada Pkl. 17:51:26 WIB, dan Bulan terbenam pada Pkl. 17:54 WIB, tinggi hilal dari horzon 0* 20’ 32,7” (sudah positif). Maka ketiga kriteria Wujudul Hilal sudah terpenuhi, sehingga 1 Ramadhan 1434 H jatuh sejak Pkl. 17:51:26 tanggal 8 Juli 2013 M, dan memulai ibadah puasa pada tanggal 9 Juli 2013 M.
      2) Menurut Kriteria Sistem Kalender Hijriyah Imkanur Rkyat 2-3-8 (MABIMS) :
      Ijtimak telah terjadi pada 08 Juli 2013 M Pkl. 14:15 WIB, dan waktu matahari terbenam pada Pkl. 17:51:26 WIB, dan Bulan terbenam pada Pkl. 17:54 WIB, tinggi hilal dari horzon 0* 20’ 32,7” (< 2*) dimana umur bulan baru 3,51 Jam dan sudut elongasi 4* 47’ 50,5”. Maka hampir dipastikan 1 Ramadhan 1434 H baru akan masuk pada saat matahari terbenam pada tanggal 9 Juli 2013 M Pkl. 17:51:39, dan memulai ibadah puasa pada tanggal 10 Juli 2013 M.

      3) Menurut Kriteria Sistem Kalender Hijriyah LAPAN,
      1 Ramadhan 1434 H baru akan masuk pada saat matahari terbenam pada tanggal 9 Juli 2013 M Pkl. 17:51:39, dan memulai ibadah puasa pada tanggal 10 Juli 2013 M.

      Jadi apabila masing2 kelompok konsisten menggunakan pedomannya masing2, maka tahun ini akan ada banyak perbedaan awal puasa.

      B. Muhammadiyah, Pemerintah, NU maupun ormas2 lain memiliki prinsi kesatuan wilayatul-hukmi, yang artinya dalam satu negara hanya berlaku satu lebaran walaupun metodenya berbeda (satu lebaran dalam setiap metode)

      Demikian jawaban saya.
      Wallahu'alam bishowab

      Hapus
  2. saya dulu berpikir beda2 karena ego masing2 organisasi, ternyata bukan ya mas melainkan ada alasan tersendiri. tapi gak salah kan kalo saya ikut pemerintah.?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tidak salah mas. Yang penting masing-masing memiliki dasar pelaksanaannya. Yang salah itu yang tidak puasa dan tidak melaksanakan perintah Allah.

      Hapus