HIDUP DI INDONESIA, SEKARANG-SEKARANG INI KOK GAK ASIK LAGI
Baca Juga
Dulu, hidup di Indonesia itu asik. Semua serba sederhana, apa-apa gampang, dan kalaupun ada aturan, ya masih bisa ditawar. Tapi sekarang, kok ya rasanya hidup jadi lebih ribet. Salah satunya karena soal musik. Bayangkan, sekarang mau muter lagu di warung kopi aja bisa bikin orang deg-degan, takut ada yang tiba-tiba datang narik royalti. Saya jadi ingat, kata orang dulu “musik itu bahasa universal”, sekarang kayaknya musik itu sudah berubah jadi “bahasa invoice”.
Kalau kita ingat, musik dulu jadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Pengamen di bus kota, odong-odong yang lewat gang-gang, sampai kaset bajakan di terminal, semua jadi warna kehidupan. Kita tidak pernah mikir soal hak cipta atau royalti. Semua berjalan apa adanya. Sekarang? Bus kota sudah jarang, odong-odong jadi barang langka, dan kaset bajakan sudah punah ditelan Spotify. Tapi yang lebih sedih, musik yang dulu menemani keseharian kita, sekarang malah jadi sumber ketakutan.
Coba bayangkan odong-odong. Dulu, anak-anak bisa joget dengan bahagia ditemani suara lagu anak-anak yang diputar kencang dari speaker mini di gerobak warna-warni. Sekarang, bapaknya malah bingung: kalau muter lagu ciptaan A atau B, apa harus setor royalti dulu? Lah, bagaimana mungkin orang yang modal cat semprot sama boneka Mickey Mouse bekas masih harus mikirin pembayaran royalti? Boro-boro, kadang bensin odong-odongnya aja masih nyicil.
Situasi jadi tambah aneh ketika kita masuk ke kafe-kafe. Dulu, kafe itu identik dengan musik. Entah musik jazz, pop akustik, atau minimal suara penyanyi indie yang bikin suasana syahdu. Tapi sekarang, coba mampir ke beberapa kafe, kok suasananya malah sunyi senyap, kayak perpustakaan. Katanya, si pemilik kafe takut dipalak lembaga pengumpul royalti. Lah, gimana mau betah nongkrong kalau yang terdengar cuma suara sedotan minum dan notifikasi Shopee dari HP tetangga meja?
Bahkan lebih lucu lagi, ada cerita bahwa muter suara burung pun bisa dianggap melanggar hak cipta. Jadi kalau kafe mau bikin suasana natural dengan suara ciutan burung, itu pun katanya harus bayar. Lha ini gimana ceritanya? Burungnya siapa, suaranya siapa, yang pungut siapa. Kalau sudah begini, saya jadi curiga, jangan-jangan nanti ada yang menagih royalti kalau kita lagi siulan di kamar mandi.
Yang lebih gila lagi, konon pengamen pun bisa kena masalah. Bayangkan ada pengamen, modalnya cuma gitar satu senar atau kadang cuma tepuk-tepuk tangan sambil nyanyi. Eh, dia disuruh mikirin royalti juga. Lah wong dia nyanyi untuk nyari makan kok. Kalau begini, lama-lama pengamen bisa kena pasal juga. Bisa-bisa kita lihat headline berita: “Seorang pengamen divonis bersalah karena tidak membayar royalti saat menyanyikan lagu Peterpan.” Kan absurd sekali.
Indonesia memang punya aturan soal hak cipta, dan itu penting, supaya pencipta lagu dapat apresiasi yang layak. Tapi masalahnya, praktik di lapangan malah kebablasan. Jadi bukannya bikin adil, malah bikin hidup jadi kaku. Semua jadi serba salah. Orang kecil yang seharusnya bisa hidup dengan musik, malah ketakutan. Yang tadinya musik itu bikin cair suasana, sekarang malah bikin suasana jadi tegang.
Kalau dibandingkan dengan negara lain, ternyata ada cara yang lebih masuk akal. Di Amerika misalnya, ada lembaga khusus seperti ASCAP atau BMI yang ngurusin lisensi musik. Tapi yang ditarik bukan odong-odong, bukan warung kopi, apalagi pengamen. Mereka fokusnya ke bisnis besar, seperti radio, televisi, atau tempat hiburan yang memang skala ekonominya besar. Jadi yang bayar royalti adalah pihak yang benar-benar mendapat keuntungan komersial besar dari musik, bukan orang kecil yang cuma nyambung hidup.
Di Inggris pun sama. Ada PRS (Performing Rights Society) yang mengatur soal hak cipta. Tapi peraturannya jelas, tarifnya juga transparan, dan ada kategori tertentu yang dibebaskan. Jadi kalau kamu nyanyi di pesta pernikahan kampung, ya nggak perlu takut. Lha kalau di sini, pesta pernikahan pun kadang ditagih. Bayangkan, ada orang nikahan, sudah keluar biaya gedung, catering, make up, eh masih ditagih lagi karena muter lagu. Bisa-bisa nanti tukang rias pengantin ikut menambahkan biaya “royalti make up”.
Di Jepang, mereka punya JASRAC (Japanese Society for Rights of Authors, Composers and Publishers). Tapi mereka juga punya mekanisme khusus supaya tidak memberatkan pelaku kecil. Bahkan ada paket lisensi murah untuk kafe kecil atau toko buku. Jadi, tidak ada cerita kafe jadi sunyi senyap kayak kuburan hanya karena takut royalti. Orang Jepang saja, yang konon aturannya ribet, masih bisa lebih fleksibel daripada kita.
Kita sebenarnya paham, pencipta lagu itu perlu dihargai. Mereka sudah bikin karya, masa tidak dapat apa-apa. Tapi masalahnya, implementasi di sini kayak main tangkap jaring. Semua disapu rata. Tidak peduli siapa yang muter, untuk apa, dan seberapa besar dampaknya. Pokoknya asal muter lagu, ya bayar. Logika sederhananya: kalau kamu muter lagu satu menit di warung, itu sama saja kayak kamu punya stasiun TV. Lah, aneh to.
Yang bikin tambah rumit, ternyata lembaga pengumpul royaltinya juga banyak. Ada beberapa Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang semuanya merasa punya hak untuk nagih. Jadi, kadang pemilik kafe bingung, ini saya harus bayar ke siapa? Kalau bayar ke LMK A, nanti LMK B protes. Kalau bayar ke B, nanti yang C ngamuk. Jadi bukannya tenang, malah pusing tujuh keliling. Serasa bayar utang ke rentenir, sudah bayar satu, masih ada yang nagih lagi.
Kisruh soal royalti ini bahkan sudah sampai ke Mahkamah Konstitusi. Bayangkan, masalah musik bisa masuk ke level pengadilan tertinggi. Sungguh tidak terbayangkan oleh kita yang dulu tahunya musik itu sekadar hiburan. Kalau dulu kita lihat pengadilan biasanya membahas korupsi, politik, atau sengketa tanah. Sekarang, bisa juga membahas soal lagu “Kemarin” yang dinyanyikan di kafe tanpa izin. Rasanya kayak hidup di negara sinetron.
Dan jangan lupa, di balik semua ini, ada politisi yang juga ikut nimbrung. Ada yang pura-pura bela pencipta lagu, ada juga yang pura-pura bela rakyat kecil. Padahal, ujung-ujungnya, ya ada kepentingan. Seolah-olah musik yang tadinya netral dan penuh perasaan, sekarang jadi panggung politik juga. Jadi makin runyam, makin ribet, makin jauh dari esensi awalnya.
Hidup di Indonesia jadi terasa kurang asik karena hal-hal seperti ini. Dulu kita bisa santai nongkrong sambil dengerin musik, sekarang malah was-was. Dulu kita bisa senyum lihat odong-odong lewat, sekarang jadi mikir “waduh, apa bapaknya udah bayar royalti?”. Dulu kita bisa ketawa denger pengamen nyanyi fals, sekarang malah mikir “jangan-jangan nanti ditangkap polisi.” Semua jadi absurd.
Musik seharusnya mendekatkan orang. Tapi sekarang malah menjauhkan. Orang jadi males pasang musik di kafe. Pengamen jadi takut. Orang bikin pesta jadi ribet. Padahal, musik itu semestinya seperti udara: mengalir, gratis, dan dinikmati semua orang. Tapi di sini, musik sudah berubah jadi seperti oksigen tabung: kalau mau pakai, ya harus bayar.
Tags:
SeloSeloan
0 comments