KALAU BUKU BACAAN BISA JADI BARANG BUKTI, WAJAR LITERASI KITA BEGINI-BEGINI SAJA

Baca Juga

Saya pernah nyeletuk di tulisan sebelumnya soal rumah anggota DPR yang katanya kena penjarahan akhir Agustus lalu, kok rak bukunya kosong melompong. Orang-orang di medsos pun langsung jadi Sherlock Holmes, bikin teori konspirasi, “Ah, DPR ini memang nggak suka baca.” Padahal saya coba kasih praduga positif, jangan-jangan mereka udah shifting ke E-Book. Lha wong di era serba digital begini, rak buku fisik itu lebih cocok buat backdrop konten YouTube ketimbang jadi rak serius.

Tapi kemudian, beberapa hari ini, praduga saya yang agak absurd itu mulai menemukan bukti lapangan. Ada kabar yang bikin jidat saya makin berkerut. Seorang pemuda ditangkap karena diduga jadi aktor kerusuhan akhir Agustus kemarin. Yang bikin heboh bukan cuma penangkapannya, tapi juga barang bukti yang disita aparat: buku. Iya, buku.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)
Bukan senjata tajam, bukan bom molotov, bukan catatan strategi makar dengan tinta merah kayak di film-film konspirasi. Tapi buku berjudul Pemikiran Karl Marx karya Frans Magnis Suseno. Sebuah buku yang kalau di FISIP, levelnya udah kayak kitab suci. Banyak mahasiswa yang rela puasa, demi bisa beli buku itu. Dan sekarang, buku itu malah dijadikan barang bukti.

Bayangkan betapa ironisnya. Buku yang mestinya jadi bahan diskusi di kelas filsafat politik malah diperlakukan kayak benda terlarang. Kalau begini, jangan-jangan kelak kamus Bahasa Indonesia juga bisa disita, karena di dalamnya ada kata “revolusi.” Kan bahaya, katanya. Bisa menjerumuskan.

Padahal kalau diteliti lebih dalam, yang paling sering bikin orang jadi tukang rusuh itu bukan buku. Tapi pergaulan. Teman nongkrong yang ngajak demo, grup WhatsApp yang isinya provokasi, atau timeline Twitter/X/TikTok/Facebook yang tiap menit memanaskan suasana. Buku paling cuma menyumbang dua persen. Itu pun kalau bukunya dibaca beneran, bukan cuma buat pajangan biar keliatan intelek.

Coba deh disurvei. Berapa banyak kriminal kelas kakap yang lahir gara-gara membaca buku? Pablo Escobar misalnya, apa iya dia jadi gembong narkoba karena kebanyakan baca teori ekonomi hitam? Atau John Wick jadi tukang bunuh karena baca buku “Seribu Cara Membasmi Musuh dalam 60 Detik”? Kan nggak. Semua karena lingkaran pergaulan dan pilihan hidup.

Saya jadi kepikiran, mungkin aparat kita masih trauma sama slogan “bacalah” di cover buku pelajaran agama. Soalnya, begitu orang kebanyakan membaca, bisa jadi kritis, bisa jadi cerewet, bisa juga jadi tukang protes. Dan itu bikin pusing aparat. Mending rakyat dibiarkan sibuk main "Medsos aliran Salam Interaksi" daripada sibuk baca buku Karl Marx.

Kalau gitu, ya wajar kalau literasi Indonesia rendah. Wong baru baca dikit aja udah bisa dianggap makar. Bayangkan kalau ada anak muda lagi ngeteh di warung sambil baca Das Kapital. Bisa-bisa langsung dipelototin bapak-bapak sebelah yang lagi ngisep rokok kretek.

Lebih lucu lagi kalau saya pikirkan. Apa kabar mahasiswa filsafat, ilmu politik, atau sosiologi? Mereka kan hampir pasti bersentuhan dengan karya-karya Marx, Engels, Lenin, bahkan Mao. Apa setiap kali mereka bikin catatan kuliah, harus sembunyi-sembunyi kayak lagi nulis surat cinta?

Di sinilah ironi itu makin kental. Negara kita masih terjebak pada ketakutan simbolik. Simbol bintang lima di kaos bisa bikin orang dituduh PKI. Buku dengan judul mengandung kata “Marx” langsung dianggap pemicu kerusuhan. Padahal, kalau mau jujur, jumlah orang yang benar-benar paham isi buku itu bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan pembaca malah ngantuk di bab dua.

Saya ingat betul ketika kuliah, banyak teman yang bawa buku Marx cuma buat gaya. Isinya nggak dibaca, cuma untuk berat-beratin tas saja biar nampak kayak anak kuliahan serius. Tapi coba bayangkan kalau buku itu disita aparat. Bisa heboh se-RT.

Kadang saya merasa, perlakuan aparat terhadap buku itu sama kayak mantan yang belum move on. Dikit-dikit curiga. Dikit-dikit takut. Padahal kenyataannya, buku itu nggak lebih berbahaya daripada micin. Yang bikin anak muda rusuh justru lebih banyak karena micin politik.

Tapi jangan salah. Di balik semua keganjilan ini, ada pelajaran yang bisa dipetik. Kita bisa ngerti kenapa anggota DPR itu rumahnya kosong dari buku fisik. Bukan karena mereka males baca, tapi karena buku fisik di negeri ini rawan dijadikan alat bukti. Bayangkan kalau koleksi bukunya terlalu kiri, bisa runyam. Terlalu kanan, bisa juga dicurigai radikal. Jadi mending nggak usah punya buku sama sekali.

Mereka pun mungkin memilih cara aman: beli E-Book, simpan di Kindle, atau download PDF di ponsel. Kalau ada razia, tinggal bilang, “Ini cuma aplikasi komik digital, Pak.” Aman. Selesai.

Bahkan, jangan-jangan ada yang lebih canggih lagi. Mereka simpan buku-buku filsafat itu di cloud storage. Jadi kalau ada penggeledahan, nggak ada bukti fisik. Yang ada cuma akun Google Drive.

Nah, dari situ kita bisa paham. Literasi bangsa ini memang rumit. Di satu sisi kita pengen generasi muda rajin baca, biar pinter, biar kritis. Di sisi lain, kita juga gampang curiga kalau ada orang rajin baca. Apalagi kalau bacaannya berat-berat.

Kalau begini terus, jangan heran kalau indeks literasi kita mentok di angka rendah. Wong membaca saja sudah bikin jantung berdebar, apalagi kalau bacaan itu ada embel-embel ideologi. Mending nonton sinetron, jelas lebih aman.

Saya jadi mikir, jangan-jangan ke depan bakal ada aturan baru: buku-buku filsafat politik harus pakai stiker 18+. Sama kayak rokok. Ada peringatan: “Membaca buku ini dapat menyebabkan Anda dituduh makar.”

Kalau sudah begitu, saya kasihan sama penerbit. Bayangkan bikin katalog buku harus mikir dua kali. Buku motivasi boleh, buku cinta boleh, buku resep kue boleh. Tapi begitu judulnya agak-agak kritis, langsung ditolak. Padahal siapa tahu buku itu cuma teori doang, nggak bisa dipraktikkan juga di dunia nyata.

Akhirnya, yang rugi ya kita-kita juga. Masyarakat jadi makin takut berinteraksi dengan bacaan. Padahal membaca itu mestinya jadi kebiasaan sehat, kayak olahraga otak. Tapi karena dianggap rawan, orang lebih milih olahraga jari lewat scroll TikTok.

Entah kenapa saya jadi ingat pepatah, “Buku adalah jendela dunia.” Tapi di negeri ini, jendela itu kayaknya udah dipasangin jeruji besi. Biar nggak sembarangan orang bisa buka.

Kalau begini, jangan kaget kalau rumah anggota DPR kosong dari buku. Bisa jadi itu bukan tanda kebodohan, tapi tanda kehati-hatian. Mereka tahu, buku lebih berbahaya daripada panci di dapur.

Dan kita, rakyat jelata, ya cuma bisa ketawa getir. Mau beli buku filsafat takut dituduh radikal. Mau baca buku agama takut dituduh intoleran. Akhirnya kita lebih aman baca chat WA keluarga. Itu pun masih bisa berujung cekcok kalau salah paham.

Jadi, apakah masih wajar literasi kita rendah? Tentu wajar sekali. Wong kondisi sosial-politiknya bikin orang lebih takut baca daripada takut utang pinjol.

Maka, kalau ada anggota DPR yang rumahnya kosong dari buku, jangan langsung suudzon. Bisa jadi mereka jauh lebih bijak daripada kita. Mereka tahu, menyimpan buku fisik sama aja kayak nyimpan bom waktu.

Share:

0 comments