EFEK DOSEN MAIN KURANG JAUH ; GAUDEAMUS IGITUR DIBILANG LAGU SESAT?

Baca Juga

Sore itu langit kota kami sedang mendung syahdu, seolah mengerti perasaan teman saya yang duduk di depan meja dengan wajah ditekuk tujuh lipatan. Kami sedang berada di sebuah warung kopi langganan yang biasanya riuh rendah, namun entah kenapa aura teman saya ini membuat kopi yang saya pesan terasa lebih pahit dari biasanya. Ia baru saja pulang dari kampus setelah seharian mengikuti rapat maraton kepanitiaan wisuda universitasnya yang konon sangat melelahkan jiwa dan raga. Saya yang niat awalnya ingin minta traktir gorengan jadi urung karena melihat gelagatnya yang seperti orang baru saja kalah judi bola. Ia menghela napas panjang berkali-kali, sepertinya sedang menata kalimat agar sumpah serapahnya tidak keluar secara membabi buta. Sebagai kawan yang baik dan budiman, saya membiarkannya menumpahkan segala uneg-uneg yang menyumbat di dada agar tidak jadi penyakit stroke di usia muda.

Setelah menyeruput kopinya yang tinggal separuh, ia mulai bercerita bahwa rapat tadi berjalan cukup alot dan menguras emosi, terutama di sesi pembahasan prosesi senat. Teman saya ini kebetulan dipercaya menjadi salah satu panitia inti yang mengurusi detail acara wisuda agar terlihat sakral dan megah. Di tengah rapat, dengan niat yang sungguh mulia, ia mengusulkan agar paduan suara menyanyikan lagu Gaudeamus Igitur saat senat universitas memasuki ruangan. Menurutnya, lagu itu punya magis tersendiri yang bisa bikin suasana wisuda jadi merinding disko saking khidmatnya. Ia berpendapat bahwa lagu itu sudah semacam lagu wajib tidak tertulis bagi wisudawan di seluruh penjuru dunia. Rasanya ada yang kurang jleb kalau momen pemindahan kuncir toga tidak dibarengi dengan alunan nada klasik yang megah itu.

Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Namun, apa yang terjadi selanjutnya justru membuat teman saya ini melongo tak percaya, seolah-olah ia baru saja melihat sapi terbang melintasi gedung rektorat. Usulannya itu ditolak mentah-mentah oleh salah satu anggota panitia yang kebetulan merupakan dosen senior dan mantan petinggi di salah satu fakultas di kampus tersebut. Penolakan itu bukan didasari oleh alasan teknis durasi atau ketiadaan penyanyi, melainkan karena alasan yang menurut teman saya sangat "ajaib". Sang dosen sepuh itu menolak lagu Gaudeamus Igitur diputar karena menganggap lagu itu berasal dari tradisi gereja yang tidak sesuai dengan napas kampusnya. Teman saya sempat terdiam beberapa detik, mencoba mencerna logika macam apa yang sedang dipakai oleh beliau. Ia merasa seperti sedang berada di lorong waktu, terlempar ke masa di mana segala sesuatu dicurigai tanpa dasar yang jelas.

Mendengar cerita itu, saya yang sedang mengunyah tahu bunting sontak berhenti mengunyah karena saking herannya dengan jalan pikir yang diceritakan teman saya. Bisa-bisanya di era informasi yang serba terbuka ini, masih ada akademisi yang memelihara ketakutan tak berdasar terhadap sebuah karya seni legendaris. Padahal setahu saya, universitas adalah tempat bertemunya segala macam pemikiran, tempat di mana nalar diuji dan wawasan diperluas tanpa sekat-sekat prasangka. Kalau lagu wisuda saja dipermasalahkan dengan sentimen keagamaan yang sempit, bagaimana nasib diskursus ilmu pengetahuan yang lebih kompleks nanti. Teman saya melanjutkan ceritanya, bahwa ia sempat mencoba berargumen dengan sopan untuk meluruskan pandangan bapak dosen tersebut. Ia berusaha menjelaskan bahwa lagu itu sifatnya universal dalam konteks akademik dan sudah diadopsi oleh ribuan kampus di dunia tanpa memandang latar belakang agama.

Dalam debat kecil di ruang rapat itu, teman saya mencoba menggunakan logika balik yang cukup cerdas untuk mematahkan argumen soal "tradisi gereja" tersebut. Ia berkata pada sang dosen, kalau memang kita mau konsisten menolak segala hal yang berbau tradisi gereja, maka wisuda itu sendiri harusnya ditiadakan. Perlu diketahui bersama bahwa sejarah wisuda, mulai dari jubah toga hingga topi segi lima, itu semua berakar kuat dari tradisi gereja abad pertengahan di Eropa. Universitas-universitas tertua di dunia dulunya didirikan oleh ordo keagamaan, dan pakaian wisuda itu adalah adaptasi dari jubah para pendeta. Jadi, sungguh sebuah ironi yang menggelikan jika lagunya ditolak karena alasan asal-usul, tapi kostumnya dipakai dengan bangga sambil senyum-senyum difoto.

Teman saya bercerita bahwa ia menjelaskan panjang lebar soal sejarah toga itu di depan forum rapat, berharap bisa membuka sedikit cakrawala pemikiran para hadirin. Bahwa toga yang hitam panjang itu menyimbolkan kaum terpelajar yang memisahkan diri dari keduniawian, sebuah konsep yang sangat kental nuansa klerusnya di masa lalu. Bahkan istilah gelar akademik seperti "bachelor" pun punya akar sejarah yang tak bisa dilepaskan dari konteks keagamaan masa lampau di Barat. Jadi kalau mau "murni" dan anti-barat atau anti-gereja, ya sekalian saja wisudanya pakai baju adat daerah masing-masing tanpa embel-embel toga. Tapi tentu saja, argumen rasional itu memantul begitu saja di tembok keteguhan hati sang dosen senior yang sepertinya sudah imun terhadap fakta sejarah.

Yang membuat teman saya makin geleng-geleng kepala adalah ketika sang dosen mengeluarkan kartu as argumennya yang kedua, yang menurut saya lebih absurd lagi. Beliau mengklaim bahwa arti dari lirik lagu Gaudeamus Igitur itu mengandung ajakan sesat untuk bersenang-senang dan melupakan Tuhan. Katanya, lirik lagu itu berbahaya bagi moral mahasiswa karena mengajak pada hedonisme yang tidak sesuai dengan nilai luhur bangsa kita. Teman saya sampai ingin memijat keningnya sendiri mendengar interpretasi lirik yang sepertinya didapat dari pesan berantai grup WhatsApp keluarga itu. Bagaimana bisa seorang pengajar mengambil kesimpulan seserius itu hanya dari pembacaan sekilas tanpa memahami konteks budaya dan sastra di baliknya.

Saya mendengarkan keluhan teman saya itu sambil tertawa kecil, menertawakan betapa lucunya nasib nalar di negeri ini yang kadang macet di tempat yang tak terduga. Padahal kalau bapak dosen itu mau meluangkan waktu sedikit saja untuk membaca (bukankah dosen tugasnya membaca?), ia akan tahu makna sebenarnya. Gaudeamus Igitur adalah frasa Latin yang berarti "Karenanya marilah kita bergembira", sebuah ajakan wajar untuk merayakan kelulusan. Lagu ini sejatinya adalah lagu pergaulan mahasiswa abad pertengahan, semacam drinking song atau lagu pesta anak muda zaman old di Eropa sana. Isinya adalah tentang perayaan masa muda, bukan mantra pemujaan atau doa ritual agama tertentu seperti yang ditakutkan.

Jika kita bedah liriknya lebih dalam, lagu ini justru sangat filosofis dan mengingatkan manusia pada kodratnya yang fana dan tidak kekal. Ada bait yang sangat terkenal berbunyi "Post jucundam juventutem, post molestam senectutem, nos habebit humus". Artinya kurang lebih begini Setelah masa muda yang riang, setelah masa tua yang payah, tanah akan memiliki kita. Itu adalah konsep Memento Mori, pengingat akan kematian, bahwa sehebat apapun kita belajar, ujung-ujungnya kita akan mati juga. Jadi di mana letak ajakan sesatnya, wong lagunya malah mengingatkan kita supaya sadar bahwa hidup ini singkat.

Justru lagu ini mengajarkan semangat Carpe Diem, raihlah hari ini, manfaatkan waktu selagi masih muda dan bugar untuk berkarya. Mumpung belum tua, mumpung belum sakit-sakitan, mumpung belum pikun, marilah kita rayakan pencapaian akademik ini dengan sukacita. Pesan moralnya sangat dalam, bahwa kegembiraan wisuda itu hanya sesaat sebelum kita menghadapi realitas hidup yang keras dan akhirnya kematian. Interpretasi "sesat" yang dituduhkan itu rasanya terlalu jauh panggang dari api, menunjukkan betapa minimnya referensi yang dibaca. Mungkin beliau hanya membaca satu baris terjemahan lalu imajinasinya liar kemana-mana sampai ke jurang kesesatan.

Saya jadi ikut merenung mendengar cerita teman saya, bagaimana mungkin orang dengan posisi akademis tinggi bisa memiliki pandangan yang begitu sempit alias "sumbu pendek". Bukankah tugas utama seorang pendidik adalah mengajarkan cara berpikir kritis dan memverifikasi informasi sebelum menghakiminya. Kalau dosennya saja gampang termakan bias informasi dan enggan mencari kebenaran sejarah, bagaimana dengan mahasiswanya nanti. Mahasiswa yang notabenenya adalah generasi Z yang haus informasi butuh mentor yang bisa membuka wawasan, bukan menutupnya. Kasihan sekali mahasiswa kalau harus dicekoki ketakutan-ketakutan irasional yang sebenarnya tidak perlu ada di ruang kuliah.

Kejadian di ruang rapat ini hanyalah potret kecil dari masalah yang lebih besar di dunia pendidikan kita, yaitu matinya nalar kritis di hadapan otoritas senioritas. Seringkali argumen yang masuk akal dan didukung data harus kalah dengan argumen "pokoknya" yang dilontarkan oleh mereka yang merasa lebih tua. Teman saya akhirnya memilih mengalah dalam rapat itu, bukan karena ia setuju, tapi karena ia sadar debat kusir tak akan mengubah batu menjadi roti. Lagu Gaudeamus Igitur pun batal berkumandang, digantikan oleh lagu lain yang dianggap lebih "aman" dan tidak mengundang murka langit menurut tafsir sepihak. Padahal, esensi wisuda tetaplah sama, dan sejarah toga yang mereka pakai pun tetaplah berasal dari tradisi yang mereka hindari itu.

Sungguh sebuah paradoks yang menggelikan, menolak satu elemen budaya karena sentimen, tapi memeluk erat elemen lain dari budaya yang sama tanpa rasa bersalah. Ini ibarat orang yang anti makanan Jepang tapi hobi makan Takoyaki di pinggir jalan karena dikira itu jajanan dari salah satu daerah di Indonesia. Ketidaktahuan sejarah seringkali membuat kita bersikap lucu dan inkonsisten, tapi sayangnya ketidaktahuan itu dipelihara oleh ego. Saya menepuk pundak teman saya, mencoba memberinya sedikit kekuatan agar ia tidak terlalu frustrasi menghadapi realita ini. "Sudahlah," kata saya, "mungkin beliau memang kurang piknik atau kurang referensi bacaan sejarahnya."

Diskusi kami di warung kopi itu berlanjut ke hal-hal yang lebih substansial mengenai masa depan mahasiswa yang dididik oleh model pengajar seperti itu. Mau jadi apa mahasiswa kita jika kebiasaan malas riset dan cepat menghakimi itu menular dari dosen ke anak didiknya. Nanti kita akan punya sarjana-sarjana yang kagetan, yang melihat perbedaan sedikit langsung teriak sesat atau haram tanpa mau tabayyun dulu. Mereka akan gagap menghadapi dunia global yang cair, di mana pertukaran budaya adalah hal yang tak terelakkan. Padahal tantangan zaman sekarang butuh manusia yang luwes, adaptif, dan mampu melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang (helikopter view).

Pendidikan tinggi seharusnya menjadi benteng terakhir akal sehat, tempat di mana segala prasangka diuji dan dibedah, bukan malah dilestarikan. Kalau di kampus saja orang tidak bisa membedakan antara tradisi akademik dan ritual keagamaan, lantas di mana lagi kita bisa berharap. Jangan-jangan nanti ada mahasiswa yang mengajukan skripsi tentang filsafat Yunani ditolak karena dianggap memuja Zeus. Ini lonceng bahaya bagi iklim intelektual kita, yang pelan-pelan digerogoti oleh cara berpikir dangkal yang berbaju kesalehan. Kita butuh dosen yang bisa bilang "Mari kita kaji" bukan dosen yang sedikit-sedikit bilang "Itu berbahaya".

Teman saya itu masih tampak masygul, mungkin membayangkan betapa tidak epiknya wisuda nanti tanpa iringan lagu yang ia perjuangkan. Ia membayangkan para wisudawan berjalan masuk dengan iringan lagu standar yang membosankan, kehilangan momen sakral yang seharusnya bisa dikenang seumur hidup. Padahal musik punya kekuatan untuk membangun emosi, dan Gaudeamus Igitur punya struktur nada yang pas untuk momen perayaan kelulusan. Tapi ya sudahlah, nasi sudah menjadi bubur, lagunya sudah ditolak, dan panitia harus jalan terus. Yang penting honor cair dan acara lancar, begitu mungkin pikir anggota panitia yang lain yang cari aman.

Saya lantas berpikir, jangan-jangan ketakutan berlebihan terhadap hal-hal asing ini adalah wujud dari rasa tidak percaya diri kita sebagai bangsa. Kita takut identitas kita luntur hanya karena menyanyikan sebuah lagu berbahasa Latin yang umurnya sudah ratusan tahun. Padahal identitas yang kuat itu tidak akan goyah hanya karena persentuhan budaya, justru akan semakin kaya. Orang yang percaya diri dengan imannya tidak akan merasa jadi murtad hanya karena mendengar lagu Jingle Bells di mal atau Gaudeamus di wisuda. Sempitnya wawasan membuat kita jadi bangsa yang parnoan, curigaan, dan sibuk mengurusi kulit luar daripada isinya.

Sambil menghabiskan sisa kopi, saya mencoba menghibur teman saya dengan lelucon satir bahwa mungkin tahun depan dia harus usul wisuda pakai musik dangdut saja. Atau sekalian pakai koplo panturaan biar meriah dan pasti tidak akan dituduh kebarat-baratan oleh dosen sepuh itu. Teman saya tertawa kecut, menyadari betapa absurdnya situasi yang ia hadapi di lingkungan kerjanya sendiri. Kami berdua sepakat bahwa menjadi pintar secara akademis belum tentu menjamin seseorang itu bijak dalam bersikap dan berpikir. Gelar berderet ternyata tidak mampu mengobati penyakit "kurang baca" yang sepertinya sudah mewabah di mana-mana.

Obrolan sore itu menyadarkan saya bahwa tugas mencerdaskan kehidupan bangsa ternyata masih jauh dari kata selesai, bahkan di lingkungan kampus sekalipun. Masih banyak PR untuk membenahi cara pikir, bukan sekadar membenahi kurikulum atau membangun gedung bertingkat yang mentereng. Nalar yang sehat adalah aset bangsa yang paling berharga, dan itu harus dijaga dari virus kedangkalan berpikir. Kalau para "Resi" di kampus saja sudah terjangkit virus itu, maka kita tinggal menunggu waktu untuk panen generasi yang bingung arah.

Matahari mulai tergelincir ke barat, dan warung kopi tempat kami nongkrong mulai dipenuhi oleh mahasiswa yang mengerjakan tugas atau sekadar mabar. Saya menatap wajah-wajah muda itu dengan penuh harap, semoga mereka lebih rajin membaca daripada dosen yang diceritakan teman saya tadi. Semoga mereka punya rasa ingin tahu yang besar, yang tidak mudah puas dengan satu sumber informasi yang belum tentu valid. Kalianlah harapan masa depan, Dek, jangan sampai otak kalian jadi tumpul karena dididik untuk takut berpikir berbeda. Gunakan akses internet di tangan kalian untuk mencari kebenaran, bukan sekadar untuk joget-joget di media sosial.

Teman saya akhirnya beranjak dari kursinya, wajahnya sudah sedikit lebih cerah setelah menumpahkan segala kekesalan hatinya pada saya. Ia bersiap pulang, mungkin untuk menyusun rundown acara wisuda yang baru tanpa lagu kebanggaan mahasiswa sedunia itu. Saya pun bersiap pulang, membawa serta cerita lucu sekaligus miris ini sebagai bahan renungan di perjalanan. Bahwa di negeri ini, hal-hal yang logis seringkali kalah oleh hal-hal yang mistis atau sentimen yang tidak pada tempatnya.

Satu hal yang pasti, wisuda akan tetap berjalan, toga akan tetap dipakai, dan mahasiswa akan tetap lulus dengan membawa ijazah. Soal apakah mereka lulus dengan membawa nalar yang kritis atau tidak, itu urusan lain yang lebih rumit dari sekadar lagu. Mungkin suatu hari nanti, ketika generasi teman saya ini memegang kendali, Gaudeamus Igitur bisa berkumandang dengan bebas. Tanpa rasa curiga, tanpa tuduhan sesat, dan disambut sebagai perayaan universal atas kemenangan ilmu pengetahuan.

Sampai saat itu tiba, mari kita nikmati saja drama-drama kecil di dunia pendidikan kita sembari menyeruput kopi dan mengelus dada. Karena marah-marah pun percuma, hanya bikin darah tinggi dan tidak mengubah keputusan rapat yang sudah diketok palu. Lebih baik kita tulis saja jadi cerita, biar bisa dibaca orang banyak dan ditertawakan bersama keabsurdannya. Sebab, menertawakan kebodohan diri sendiri adalah langkah awal untuk menjadi manusia yang lebih waras.

Malam pun turun perlahan di kota kami ini, menutup hari dengan sebuah kesadaran bahwa jalan menuju pencerahan memang berliku dan penuh polisi tidur. Hati-hati di jalan kawan, jangan lupa pakai helm, dan jangan lupa bahagia meski usulan lagumu ditolak mentah-mentah. Hidup memang kadang sebercanda itu, dan kita adalah aktor-aktor yang dipaksa tertawa dalam skenario yang kadang tidak masuk akal.

(Mohon maaf jika ada kesamaan tokoh atau kejadian, ini murni obrolan warung kopi yang mungkin saja terjadi di dimensi lain. Ambil hikmahnya, buang ampas kopinya.)

Share:

0 comments