NEGERI PARA [ORMAS] PREMAN

Baca Juga

Setiap kali pemerintah membubarkan sebuah organisasi masyarakat (ormas), publik terbelah antara yang mendukung dan yang mencibir. Namun satu pola yang konsisten muncul: pemerintah terlihat galak kepada ormas yang berbau keagamaan, apalagi jika dikait-kaitkan dengan radikalisme. HTI dibubarkan. FPI dibubarkan. Tanpa pengadilan, tanpa kesempatan membela diri di ruang hukum. Seakan hanya satu jenis ormas yang menjadi ancaman: yang berbicara tentang ideologi.

Ironisnya, pada waktu yang sama, banyak ormas yang justru terang-terangan membuat kekacauan di jalan, menggusur warung rakyat, memukul warga, bahkan menantang aparat. Mereka tidak dibubarkan. Tidak dikejar. Tidak ditertibkan. Mereka dibiarkan tumbuh seperti benalu yang makin hari makin merasa berdaulat.

Ilustrasi (Gambar : GeneratedAI)

Di pelataran hukum, pemerintah kerap berdalih menggunakan Perppu sebagai senjata cepat—mengklaim situasi darurat yang tak bisa menunggu proses pengadilan. Tapi anehnya, darurat itu seperti punya seleksi rasa. Hanya terasa jika ormas tersebut mengusung simbol Islam. Begitu bukan agama, atau tidak membawa isu ideologi negara, pemerintah jadi penonton pasif, penuh pertimbangan yang entah demi siapa.

Beberapa pekan terakhir, publik dibuat terperangah oleh berita tentang ormas yang mengancam pejabat tinggi. Seorang gubernur. Bahkan mantan Panglima TNI. Di negara yang sehat, ancaman semacam itu bisa dianggap kriminal. Tapi di negeri ini, pelakunya justru tenang-tenang saja. Tidak ada pernyataan keras dari pemerintah pusat. Tidak ada tindakan tegas dari aparat. Diam.

Barangkali kita sedang hidup di masa ketika loyalitas politik lebih penting daripada kepatuhan hukum. Ormas-ormas jalanan yang jago mengumpulkan massa mendadak diperlakukan istimewa. Mereka tidak disentuh, karena tahu kapan harus teriak dan kapan harus diam. Mereka menguasai ritme politik lokal dan nasional. Suara mereka dibutuhkan saat kampanye. Maka wajar jika setelah pemilu, mereka seolah mendapat piagam kebal hukum.

Fenomena ini bukan soal satu-dua ormas. Ini tentang sikap negara. Tentang kegagalan pemerintah menjaga konsistensi hukum. Ketika satu kelompok dibubarkan karena dianggap mengancam negara, sementara kelompok lain yang merusak tatanan sipil justru diberi ruang, maka keadilan menjadi ilusi.

Tidak ada negara yang kuat jika aparatnya tunduk pada tekanan jalanan. Indonesia bukan negara preman. Tapi perlakuan istimewa terhadap ormas yang gemar memamerkan otot justru menciptakan ilusi kekuasaan alternatif. Warga pun mulai bertanya: siapa sebenarnya yang berkuasa? Negara atau ormas?

Kekhawatiran ini bukan sekadar teori. Sudah banyak warga yang takut membuka usaha di wilayah tertentu karena harus bayar ‘keamanan’. Harus lapor pada ormas. Bukan polisi. Harus tunduk pada peraturan kampung yang dibuat bukan oleh pemerintah, tapi oleh organisasi sipil yang merasa punya hak menentukan hidup orang lain.

Lalu bagaimana dengan HTI dan FPI? Sekali lagi, bukan soal setuju atau tidak setuju terhadap ideologi mereka. Tapi soal prosedur. Soal keadilan. Jika mereka dibubarkan tanpa pengadilan, mengapa ormas kekerasan yang tidak berbasis ideologi justru tetap hidup dan bahkan dirawat?

Konstitusi memberi hak berserikat dan berkumpul. Negara boleh membatasi, tapi harus melalui mekanisme hukum. Tanpa itu, negara menjadi pelaku ketidakadilan. Dan ketika negara tidak adil, maka kekacauan justru lahir dari dalam tubuh kekuasaan sendiri.

Kita tidak boleh memaklumi ormas yang mengancam pejabat negara. Apalagi mantan panglima TNI, simbol kekuatan pertahanan kita. Ini bukan soal pribadi, ini soal martabat negara. Jika ancaman itu tidak ditindak, maka pesan yang kita kirim ke publik adalah: siapa pun bisa menantang negara, asal punya massa.

Ada sebuah kalimat lama yang kini terasa relevan: “Jika negara takut pada rakyat, itu demokrasi. Tapi jika negara takut pada ormas, itu malapetaka.” Kita mungkin sedang mendekati titik itu. Negara yang tunduk pada tekanan ormas bukan negara demokrasi, tapi negara yang disandera oleh suara jalanan.

Mengapa pemerintah tidak berani bertindak tegas? Apakah karena sudah terlanjur berhutang suara pada ormas-ormas itu? Atau karena struktur kekuasaan kita kini sudah terlalu tergantung pada mobilisasi politik berbasis massa?

Dalam banyak kasus, kekuasaan memang berhutang pada organisasi yang mampu menggerakkan lapisan bawah. Tapi hutang itu tidak boleh dibayar dengan diamnya hukum. Hukum tidak boleh kalah oleh logistik kampanye. Hukum tidak boleh tunduk pada massa.

Wajah negara tercermin dari keberaniannya bersikap adil, bukan dari kehebatannya membungkam yang lemah. Jika ormas agama bisa dibubarkan karena ideologinya, maka ormas kekerasan berbasis premanisme juga harus dibubarkan karena perilakunya.

Sungguh memalukan jika negara hanya berani menghadapi mereka yang tidak bisa melawan balik. Tapi mendadak lembek ketika berhadapan dengan mereka yang siap kerahkan ratusan orang dalam sehari. Padahal hukum tidak mengenal jumlah pendukung. Hukum hanya mengenal benar dan salah.

Kita juga harus jujur. Sebagian aparat memang punya kedekatan emosional dengan ormas-ormas tertentu. Karena pernah sama-sama “berjuang” di masa lalu, atau karena hubungan pribadi. Tapi negara tidak boleh dikelola dengan rasa sungkan. Negara harus dikelola dengan prinsip dan keberanian.

Apa yang terjadi saat ini bukan hanya soal ketidakadilan, tapi soal krisis keteladanan. Jika rakyat melihat aparat tunduk pada ormas, maka mereka juga akan ikut mencari pelindung informal. Ini melahirkan budaya perlindungan ala mafia: siapa kuat, dia yang mengatur.

Pemerintah harus segera membenahi pendekatan terhadap ormas. Bukan hanya soal siapa dibubarkan dan siapa tidak. Tapi soal konsistensi. Jika HTI dianggap mengancam NKRI, maka ormas yang menantang panglima TNI jelas lebih nyata mengancam. Jangan pura-pura buta.

Ketika aparat takluk pada tekanan massa, maka hukum berubah menjadi alat politik. Ini berbahaya. Karena hukum tidak lagi menjadi pagar yang melindungi warga, tapi menjadi senjata yang diarahkan hanya pada pihak yang tidak menguntungkan kekuasaan.

Kita harus bicara jujur. Di banyak kota, ormas-ormas ini telah mengambil alih peran pemerintah lokal. Mereka menentukan siapa boleh berjualan di mana. Siapa boleh buka warung. Bahkan siapa boleh mengadakan konser. Ini bukan lagi civil society. Ini kekuasaan tandingan.

Mereka memakai jaket ormas, tapi gaya mereka lebih mirip geng jalanan. Premanisme yang dibungkus dengan narasi ‘kearifan lokal’. Mereka menuntut dihormati, tapi tak pernah mau mengikuti hukum. Mereka meminta ruang, tapi tidak pernah memberi rasa aman.

Adalah tanggung jawab kita semua untuk mengingatkan pemerintah: keberanian tidak boleh dipilih-pilih. Jika berani kepada HTI dan FPI, maka harus lebih berani lagi kepada ormas yang melanggar hukum di jalan. Kalau tidak, maka keberanian itu hanya jadi topeng politik.

Saat publik menyaksikan perbedaan perlakuan ini, maka kepercayaan terhadap negara akan terkikis. Negara terlihat tidak adil. Dan ketidakadilan adalah pintu masuk kehancuran negara manapun dalam sejarah dunia.

Mungkin inilah saatnya kita bertanya ulang: apakah pemerintah masih punya kendali atas negara ini? Ataukah kendali itu sudah diam-diam berpindah ke tangan ormas-ormas yang kini merasa kebal, merasa berhak, merasa berkuasa?

Jika pembubaran ormas harus dilakukan, lakukan dengan adil. Jangan hanya karena mereka tidak punya backing politik. Jangan hanya karena mereka tidak bisa mengancam dengan ribuan massa. Negara tidak boleh bersikap pengecut.

Kita tidak butuh negara yang galak ke satu sisi tapi cengeng ke sisi lain. Kita butuh negara yang tegas kepada semua. Yang adil kepada semua. Karena hanya dengan itu, hukum akan dihormati, dan demokrasi akan tumbuh sehat.

Sudah cukup kita menonton aksi ormas yang menantang negara. Sudah cukup kita membiarkan ancaman pada pejabat dianggap sebagai hal biasa. Ini saatnya negara bangun. Bangkit. Dan berdiri tegak dengan hukum.

Tidak ada kompromi untuk premanisme. Apalagi jika premanisme itu dibungkus baju ormas. Tidak ada ruang untuk kekerasan yang dilabeli perjuangan. Tidak ada tempat untuk tirani jalanan dalam negara hukum.

Semoga keberanian yang dulu dipakai untuk membubarkan ormas agama, bisa juga dipakai untuk membereskan ormas yang justru membuat rakyat takut di negeri sendiri.

Share:

0 comments