RINDU TANPA NAMA

Baca Juga

Kadang senja datang bukan membawa ketenangan, tapi semacam kegelisahan yang diam-diam mengetuk dada. Seorang laki-laki, yang sudah cukup dewasa untuk paham bahwa hidup bukan hanya tentang bertahan, tapi juga tentang kehilangan, duduk diam menatap langit yang mulai beranjak gelap. Tidak ada musik, tidak ada suara televisi, hanya sunyi yang menggema di kepala. Sunyi yang bentuknya bukan cuma sepi, tapi semacam rasa ditinggal oleh dirinya sendiri. Yang tersisa hanya tubuh, tapi jiwa seolah sedang berjalan pulang ke masa kecil yang jauh.

Ilustrasi (Gambar : GeneratedAI)

Ada masa ketika ia bisa tertawa hanya karena temannya terpeleset di pematang sawah. Masa di mana hujan bukan musuh, melainkan sahabat. Dulu, bermain hujan-hujanan di sawah adalah puncak kegembiraan. Basah kuyup, menggigil, lalu pulang dan dimarahi ibu karena baju penuh lumpur. Tapi setelah itu, disuguhkan tempe bakar buatan ayah yang terasa seperti hidangan raja. Tak ada restoran di dunia yang bisa menyaingi nikmatnya makan sambil berselimut sarung, usai bermain hujan dan dimarahi dengan cinta.

Kini, segalanya berbeda. Hujan hanya berarti kemacetan, banjir, atau janji yang tertunda. Tak ada lagi sawah, tak ada lagi alasan untuk berlari tanpa tujuan. Hujan tak lagi menyegarkan, malah menambah sesak hati yang sudah penuh beban. Dunia orang dewasa memang kejam, bukan karena dendam, tapi karena terlalu sunyi.

Menjadi dewasa berarti harus pandai berakting. Tersenyum ketika ingin menangis, menyapa ketika ingin menghindar, dan berteman dengan orang-orang yang sebenarnya tak pernah peduli. Persahabatan berubah jadi transaksi. Ada yang datang hanya saat butuh, pergi ketika tak berguna lagi. Ia lelah dengan kepalsuan itu, tapi tak punya pilihan lain. Dunia kerja, dunia sosial, semua menuntut topeng yang harus terus dipakai.

Di desa dulu, semua orang tahu nama semua orang. Sore-sore dihabiskan dengan memancing di sungai, menyusuri aliran air sambil bercanda dan menertawakan nasib ikan yang kurang beruntung. Seusai itu, mandi di sungai, bermain air sampai kulit keriput, lalu pulang dengan baju setengah kering dan hati yang penuh. Tak pernah ada hari yang terasa hampa.

Waktu kini jadi musuh yang tak terlihat. Setiap detiknya adalah peringatan bahwa tubuh tak sekuat dulu. Punggung yang mudah pegal, mata yang cepat lelah, dan kepala yang mulai sulit mengingat nama-nama kecil di masa lalu. Penyakit datang satu per satu seperti tamu tak diundang. Kolesterol, maag, kadang cemas yang datang tanpa sebab. Semua itu bukan hanya menyiksa tubuh, tapi juga menggerus semangat.

Pernah satu malam, ia mendengar suara tawa dari luar jendela. Beberapa anak kecil sedang bermain petak umpet. Ia tak tahu siapa mereka, tapi suara tawa itu menampar kenangannya. Begitulah dulu dirinya. Menyatu dengan malam, bermain tanpa takut esok harus bangun pagi. Kini, ia bahkan takut tidur karena mimpi sering mengembalikan luka-luka lama.

Ada rasa iri yang pelan-pelan tumbuh saat melihat anak-anak. Iri karena mereka belum tahu bahwa dunia dewasa adalah ladang duri. Iri karena mereka bisa tertawa tanpa alasan, marah tanpa dendam, dan lupa tanpa beban. Ia mencoba meniru mereka, ikut tertawa, tapi yang keluar hanya senyum yang dipaksakan.

Di rumahnya ada satu kardus penuh benda-benda lama: yoyo, gambar tempel, beberapa mainan plastik dari pasar malam. Ia tak pernah membuka kardus itu lagi, karena takut akan banjir kenangan yang tak bisa ia bendung. Kadang, benda kecil menyimpan luka besar.

Suatu sore ia duduk di taman dan melihat seorang ayah menyuapi anaknya. Tempe goreng, sambal, dan nasi hangat. Sederhana, tapi pemandangan itu membuat matanya panas. Ia ingat betul bagaimana ayahnya dulu memasak dengan alat seadanya. Makanan ayahnya bukan sekadar pengisi perut, tapi penanda bahwa rumah itu masih hangat, bahwa ada cinta yang bisa disantap.

Ada hari-hari tertentu ketika tubuhnya menolak bangun dari tempat tidur. Bukan karena sakit, tapi karena lelah yang terlalu dalam. Lelah yang bukan soal pekerjaan, tapi karena terlalu lama berpura-pura. Lelah menjadi orang dewasa yang harus kuat, yang harus mandiri, yang tak boleh merengek.

Tak jarang ia bertanya pada dirinya sendiri: untuk apa semua ini? Gaji bulanan, cicilan kredit, tanggung jawab sosial. Apa semua ini layak ditukar dengan kenangan bermain kelereng di tanah lapang? Jawabannya selalu menggantung, tak pernah benar-benar jelas.

Kalau boleh memilih, ia ingin sehari saja kembali ke masa kecil. Cukup sehari, untuk bermain, berlarian, dan tertawa lepas. Tak perlu gawai, tak perlu media sosial. Hanya dirinya, teman-temannya, dan lapangan luas tempat mereka membangun dunia khayal.

Sahabat sejatinya dulu adalah orang-orang yang kini entah di mana. Ada yang jadi guru, ada yang merantau, ada pula yang sudah tiada. Tak ada grup WhatsApp, tak ada reuni, hanya ingatan yang mulai kabur tapi masih hangat di hati.

Ia sempat mencoba menuliskan semua ini. Bukan untuk dijual, bukan untuk dibaca orang, tapi sebagai cara untuk tetap waras. Tulisan itu ia simpan dalam folder bernama "Pulang". Karena ia tahu, tiap kata adalah langkah kecil untuk kembali ke dirinya yang dulu.

Pagi hari selalu terasa kosong. Matahari terbit tanpa sambutan, kopi diseduh tanpa percakapan. Kadang ia membuka jendela, berharap ada sesuatu yang datang. Tapi yang datang hanya angin, membawa dingin dan kenangan yang samar.

Ia mencoba berdamai dengan kesendirian, meski sesekali tubuhnya menolak. Ada malam-malam di mana ia hanya ingin dipeluk. Bukan oleh kekasih, tapi oleh seseorang yang mengerti bahwa menjadi dewasa artinya kehilangan tempat pulang.

Sampai pada titik tertentu, ia menyadari: tak ada yang benar-benar bisa ia kembalikan. Masa kecil sudah usai, dan kenangan hanya bisa disimpan, bukan diulang. Tapi ia bisa belajar mencintai hidup hari ini, dengan cara yang sama seperti ia mencintai masa lalunya.

Perlahan, ia mulai menemukan momen kecil yang membuatnya tersenyum. Seorang anak yang memanggilnya "Om" lalu tertawa, seekor kucing yang tidur di teras, atau senja yang warnanya mirip sore di kampung dulu. Hidup memang tak bisa diulang, tapi bisa ditenun kembali dengan benang kenangan.

Jika ada yang ia sesali, mungkin hanya satu: dulu terlalu cepat ingin dewasa. Terlalu cepat ingin bebas, padahal kebebasan ternyata punya harganya sendiri. Kini ia tahu, masa kecil bukan tempat tinggal, tapi tempat pulang.

Dan malam ini, sebelum tidur, ia berdoa pelan. Bukan minta kaya, bukan minta terkenal, tapi minta agar esok bisa tertawa seperti anak kecil lagi. Sekali saja. Tanpa beban. Tanpa alasan. Karena kadang, satu tawa cukup untuk menghidupkan kembali seseorang yang hampir mati di dalam.

Share:

0 comments