KONTEN DI UJUNG NAPAS
Baca Juga
Satu video mampir ke beranda saya, datang dari salah satu akun berbagi informasi di Bengkulu. Isinya menggemaskan sekaligus mengerikan: seorang warga sedang melakukan tindakan kompresi dada—semacam CPR—pada penumpang kapal yang baru saja tenggelam dalam musibah kapal karam. Ombak dan angin barangkali sedang tidak mood hari itu, lalu memutuskan menjungkalkan kapal yang terbuat seluruhnya dari kayu itu ke dalam laut. Tapi yang paling bikin saya tercekat bukan soal tragedi airnya, melainkan tangan si penolong yang satunya lagi. Ia tak hanya sibuk menyelamatkan nyawa, tapi juga sibuk mengatur sudut kamera. Seolah nyawa manusia yang sedang dikompresi itu, adalah tambahan bumbu untuk sebuah vlog.
Dalam situasi genting, di mana manusia seharusnya saling menguatkan dalam kegentingan, kita justru menemukan manusia yang menunggu timing terbaik untuk memencet tombol "rekam". Saya menduga, tak main-main, orang ini adalah bagian dari generasi Facebook Pro yang sekarang tengah menancapkan kuku-kukunya dalam-dalam di dunia maya. Mereka adalah generasi yang meyakini bahwa setiap momen, bahkan yang mengandung darah dan napas terakhir, bisa didandani menjadi konten. Sebuah konten yang bisa diuangkan—meski recehan—tapi tetap memabukkan.
![]() |
Ilustrasi Orang Sedang Menolong Korban Tenggelam di Laut tapi Sambil Merekam untuk Konten (Gambar : AI Generated) |
Bila dulu kita diajari bahwa kemanusiaan itu di atas segalanya, sekarang sepertinya ajaran baru sedang menyalip dari kanan. Ajaran bahwa segala hal bisa jadi komoditas. Facebook Pro menyediakan karpet merah bagi mereka yang mau sedikit 'nakal', sedikit 'nekat', dan tak punya urat malu. Semua hal bisa dibikin konten. Dari tukang tambal ban sampai kematian tetangga. Semua bisa masuk timeline.
Saya tidak akan mempermasalahkan orang yang mencari nafkah dengan cara terhormat, termasuk jadi konten kreator. Tapi persoalannya, banyak yang sekarang tak lagi bisa membedakan antara cuan dan adab. Norma dikorbankan di altar algoritma. Etika diremukkan di kolom komentar. Martabat dijadikan narasi clickbait. Dan semua itu terjadi dalam satu aplikasi biru yang dulu cuma dipakai buat update status galau.
Mari kita kembali ke video CPR tadi. Orang-orang di sekeliling tidak terlihat panik. Tidak juga tampak cemas. Mereka seperti sedang nonton pertunjukan jalanan. Ada yang pakai HP dengan dua tangan. Ada juga yang lebih niat, membawa gimbal. Gimbal, Bung! Seolah sudah tahu akan ada pertunjukan berdarah dan mereka tak mau kehilangan angle terbaik. Saya tidak tahu apa yang lebih gila dari ini. Mungkin kalau nanti ada yang live sambil bilang, “Jangan lupa like, komen, dan subscribe ya. Kita lagi nyelametin orang nih...”
Fenomena ini bukan cuma soal perubahan teknologi. Ini soal perubahan cara berpikir. Dulu, orang mengabadikan momen untuk dikenang. Sekarang, orang menciptakan momen agar bisa diabadikan. Perbedaannya tipis tapi tajam. Dan Facebook Pro adalah ladang basah bagi orang-orang yang sudah kehilangan kemampuan membedakan antara aksi nyata dan gimmick.
Kita berada di zaman ketika tragedi tak lagi menuntut empati, tapi eksposur. Ketika suara tangisan dikalahkan oleh suara notifikasi. Dan ketika kematian bisa menjadi peluang untuk "engagement". Ini bukan soal satu-dua orang. Ini sudah menjadi gerakan massal. Gerakan diam yang didorong oleh algoritma dan disemangati oleh dolar.
Pernah lihat konten orang berantem di pinggir jalan, yang direkam sambil diberi narasi dramatis? Atau suami yang mengunggah video istri sedang ngamuk, lalu diberi caption jenaka? Itu semua hasil dari satu mentalitas yang sama: apapun bisa dijadikan tontonan, asal bisa menghasilkan. Facebook Pro tidak memberi batasan tegas soal apa yang layak atau tidak. Ia hanya peduli pada jumlah viewer dan durasi tonton.
YouTube, walau juga sama-sama berorientasi pada uang, masih punya pagar etika yang agak tinggi. Monetisasi tidak diberikan sembarangan. Konten harus lulus banyak aturan: dari soal hak cipta, kekerasan, eksploitasi, bahkan hingga tampilan thumbnail. Facebook, sebaliknya, justru seperti pasar malam yang semua boleh asal rame. Boleh kasar, asal rame. Boleh jorok, asal rame. Dan yang penting, rame = uang.
Dalam Facebook Pro, kita seperti diajak kembali ke zaman manusia purba, tapi dengan gadget di tangan. Orang bisa memvideokan orang sekarat tanpa rasa bersalah. Bisa menonton orang dipermalukan tanpa rasa jijik. Bisa membagikan itu semua dengan caption: “Semoga jadi pelajaran.” Padahal yang dia harapkan bukan pelajaran, tapi share dan like.
Yang lebih mengerikan, anak-anak muda mulai menjadikan ini sebagai role model. Mereka mulai percaya bahwa profesi paling keren adalah “konten kreator Facebook Pro”. Tidak perlu bakat. Tidak perlu pendidikan. Cukup kuota dan sedikit kepekaan untuk mencari momen tragis. Makin tragis, makin manis.
Saya tidak ingin menyamaratakan semua. Masih banyak konten kreator yang punya hati dan nurani. Tapi kalau Anda mau jujur buka Facebook sekarang, apa yang lebih sering Anda lihat? Video prank norak? Keluarga bertengkar di depan kamera? Atau orang sakit yang direkam tanpa blur? Jangan-jangan kita memang sedang menikmati realitas yang sudah ambyar ini.
Dunia digital punya kuasa ajaib: ia bisa membungkus kekejian menjadi hiburan. Membuat kita tertawa atas kesedihan orang. Dan membuat kita merasa tak bersalah karena hanya “menonton”. Tapi lupa bahwa dengan menonton dan membagikan, kita ikut mendukung produksi konten semacam itu.
Konten bukan dosa. Tapi konten yang menjadikan manusia sebagai bahan bakarnya, itu sudah menjurus ke neraka etik. Kita harus mulai bertanya: sampai sejauh mana kita akan membiarkan ini terjadi? Apakah nanti akan ada orang sekarat yang disuruh ulang adegan supaya dapat angle yang lebih bagus?
Mungkin kita sudah terlalu lelah memperdebatkan soal etika di era digital. Tapi bukan berarti kita harus menyerah. Harus tetap ada suara yang berkata: “Ini salah.” Harus ada yang berani berkata: “Tolong, ini sudah gila.”
Kalau tidak, kita semua akan menjadi seperti mereka. Bukan penonton, bukan pelaku, tapi bagian dari mesin besar yang memproduksi tontonan keji dan menertawakannya bersama-sama.
Saya percaya media sosial diciptakan bukan untuk membuat kita mati rasa. Tapi kini, tiap hari kita dicekoki konten-konten yang memaksa kita untuk menertawakan luka orang lain, hingga akhirnya kita tidak lagi merasa bersalah.
Ketika konten sudah menjadi candu, kita lupa bahwa manusia bukan bahan baku. Kita lupa bahwa empati tak bisa dijadikan format video pendek. Kita lupa bahwa ada nyawa di balik layar yang mungkin sedang benar-benar berjuang untuk hidup.
Facebook Pro bisa jadi ladang emas. Tapi juga bisa jadi ladang yang menumbuhkan gulma-gulma tak beretika. Dan jika kita tidak mulai membersihkan gulma itu, maka sebentar lagi kita sendiri akan ditelan.
Tidak semua hal harus direkam. Tidak semua tragedi harus diberi caption. Ada hal-hal yang cukup disaksikan dengan air mata, bukan dengan kamera. Ada nyawa yang layak ditolong dengan dua tangan penuh, bukan satu tangan dan satu kamera.
Kita mungkin tidak bisa menghentikan kegilaan ini dalam semalam. Tapi kita bisa memilih untuk tidak ikut dalam arus. Bisa memilih untuk tidak menonton. Tidak menyukai. Tidak membagikan.
Dan mungkin, dengan itu, kita sedang menyelamatkan satu nyawa: nyawa empati yang sedang sekarat dalam diri kita sendiri.
0 comments