SABDA AYAH DI WAKTU SENJA

Baca Juga

Pada senja yang mencium ujung pelipis langit,
ketika angin memetik harpa di pucuk-pucuk cemara,
duduklah aku, seorang ayah,
dengan kedua putri kembarku
yang wajahnya laksana cermin memantul cahaya surya
namun jiwanya menjelma dua padma yang berbeda warna.

I. Sang Sulung: Sarah Zaheen Shanaya

Wahai putriku, engkau kunamai:
Sarah — nama ibunda para nabi,
dari tanah pasir dan doa Ibrahim,
yang di rahimnya tumbuh takdir bagi bangsa-bangsa.
Ia bukan sekadar istri,
tapi matriarka ilahi,
lambang kesabaran dan kekuatan perempuan yang bijak.

Lalu kupasangkan padamu nama: Zaheen,
dari lembah Persia yang arif,
artinya kecerdasan yang tajam bagai bilah mimpi.
Wahai buah hatiku,
biarlah otakmu berpendar seperti permata
yang menyala dalam gelap dunia,
dan tuturmu menjadi mantram yang meneduhkan bathin banyak jiwa.

Dan kuakhiri dengan nama: Shanaya,
dari akar-akar bhāratīya,
yang artinya: "terhormat, agung dalam cahaya".
Bagai jyoti yang menari di cakrawala,
engkau, wahai Shanaya,
adalah putri dari fajar,
yang berjalan di bumi membawa jejak Sarasvatī.

II. Sang Bungsu: Aisha Fatheen Kanaya

Dan engkau, wahai putri kembarku yang kedua,
kuberi nama: Aisha,
nama istri Rasul yang hidup dalam percakapan sejarah,
yang cerdas, kuat, dan penuh pesona.
Di sana ada hidup, ada gerak,
sebab ‘Aisha’ adalah nafas perempuan yang menyala
dalam rumah tangga wahyu.

Lalu kusematkan padamu nama: Fatheen,
dari Persia yang sama,
artinya: “bijak, tajam dalam nalar.”
Wahai engkau si penanya soal-soal langit,
semoga pikiranmu seperti titik-titik bindu,
yang mengurai semesta menjadi makna,
dan matamu menangkap rahasia di balik kelopak waktu.

Terakhir, kau kunamai: Kanaya,
dari bahasa ibumu yang lahir dari kitab purba,
artinya: putri yang elok, cahaya dewi, perhiasan bumi.
Wahai Kanaya, engkau adalah ratna,
batu mulia dalam guci hati ayahmu.
Setiap langkahmu adalah mantra yang bergema
dalam mandala kasih yang kuanyam dalam doa-doaku.

III. Sabda Sang Ayah

Maka, wahai Sarah dan Aisha,
Zaheen dan Fatheen,
Shanaya dan Kanaya —
enam nama, satu jiwa, dua cahaya.
Engkau bukan hanya buah rahim ibumu,
engkau adalah aksara suci yang kuukir di atas langit-langit batin,
agar dunia tahu,
bahwa cinta ayahmu bukan sekadar warisan darah,
tapi warisan makna,
yang hidup dalam sanskriti,
dalam budaya, dalam doa, dan dalam harapan.

Jadilah engkau candrikā—bulan yang memantulkan cahaya cinta,
Jadilah engkau kumudvatī—teratai yang mekar di tengah arus zaman.
Sebab dalam dirimu telah kusematkan
tiga peradaban: Arab, Persia, dan Nusantara,
agar kelak bila dunia bertanya,
mengapa ayahmu memilih nama itu,
kau bisa menjawab:
“Sebab kami adalah puisi yang ditulis dalam tiga bahasa,
namun dibaca dalam satu cinta.”

 

Share:

0 comments