MAGISNYA JOGJA : TEMPAT MENCARI GELAR SARJANA HINGGA GELAR GUS
Baca Juga
Jogja, kota pelajar, kota budaya, kota gudeg, kota kenangan. Julukan itu melekat erat, mencerminkan pesona Jogja yang khas, memikat hati siapa saja yang singgah. Tak heran banyak orang datang untuk menuntut ilmu, mencari pengalaman, mencicipi manisnya kehidupan. Jogja merangkul mereka semua, menawarkan kehangatan, kenyamanan, dan kesempatan.
Namun, ada fenomena unik terjadi di Jogja. Fenomena yang tak selalu tertangkap mata, tersembunyi di balik hiruk pikuk kehidupan kota. Jogja, dengan segala daya tariknya, mampu mengubah jalan hidup seseorang, mengubah impian, mengubah identitas. Kisah ini bermula dari seorang pemuda, datang dari jauh, berbekal semangat membara, ingin meraih gelar sarjana di salah satu kampus keagamaan ternama. Ia bermimpi menjadi intelektual muslim, menyebarkan ilmu pengetahuan, menebar manfaat bagi umat.
![]() |
Ilustrasi (Gambar : Pngtree) |
Namun takdir berkata lain. Jalannya tak semulus yang dibayangkan. Tantangan datang silih berganti, godaan dunia menghampiri, membuatnya goyah, ragu akan pilihannya. Ia terlena, terpikat gemerlap dunia, lupa akan tujuan awal. Studinya terbengkalai, gelar sarjana yang diimpikan tak kunjung diraih. Namun, ia tak ingin pulang, tak ingin meninggalkan Jogja. Ia telah jatuh cinta pada kota ini, pada suasana nyaman, pada keramahan penduduknya, pada budaya yang kaya. Ia memutuskan untuk menetap, mencari jalan hidup baru, mengukir takdirnya sendiri.
Di tengah pencarian jati diri, ia menemukan peluang tak terduga. Ia melihat celah, memanfaatkan situasi, menciptakan persona baru. Ia bertransformasi, menjadi sosok yang berbeda, sosok yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia menjadi seorang penceramah, menyampaikan ceramah agama, menghibur jamaah dengan gaya bicaranya yang khas. Ia mulai dikenal, diundang ke berbagai acara, namanya semakin populer.
Seiring berjalannya waktu, ia semakin percaya diri, semakin berani, semakin kontroversial. Ia melontarkan pernyataan-pernyataan kontroversial, menghina orang lain, merendahkan profesi tertentu. Ia lupa diri, terbuai popularitas, terlena pujian. Hingga suatu hari, perbuatannya menuai kecaman, videonya viral, namanya menjadi trending topic. Publik geram, menuntut pertanggungjawaban, mengungkap identitas aslinya. Terkuaklah fakta mengejutkan, ia bukanlah seorang sarjana, bukan pula anak kyai. Gelar "Gus" yang ia sandang hanyalah tempelan, topeng untuk menutupi masa lalunya.
Kisah ini menjadi pelajaran berharga, refleksi bagi kita semua. Jogja, dengan segala keindahannya, memang memiliki daya magis, mampu mengubah hidup seseorang. Namun, perubahan itu bisa berujung positif, bisa pula negatif. Semua tergantung pada diri kita sendiri, pada pilihan yang kita buat, pada jalan yang kita tempuh. Jogja menawarkan kesempatan, tetapi tidak menjamin kesuksesan. Jogja memberikan kebebasan, tetapi tidak membebaskan dari tanggung jawab.
Jogja, kota istimewa, kota yang tak pernah berhenti memberi kejutan. Tak hanya gelar sarjana, master, atau doktor, Jogja kini juga menawarkan gelar baru, gelar "Gus" bagi mereka yang pandai memanfaatkan peluang. Bahkan, bagi mereka yang ingin lebih dekat dengan budaya Jawa, Jogja membuka kesempatan menjadi abdi dalem keraton, meski bukan warga asli Jogja.
Jogja, kota inklusif, merangkul semua orang, dari berbagai latar belakang, dari berbagai daerah. Jogja, rumah kedua bagi siapa saja yang ingin merasakan kehangatan, kedamaian, dan kebahagiaan. Jogja, kota yang selalu dirindukan, kota yang tak pernah terlupakan.
0 comments