SAAT RUANG PUBLIK PENONTON PIALA DUNIA 2018 BERPINDAH

Baca Juga

Musim piala dunia 2018 telah dimulai semingguan yang lalu tepat saat muslim di dunia mengakhiri Ramadhan dan menyambut takbir idul fitri. Ada semacam wabah khusus yang menjangkiti para pecinta olahraga sepak bola, bahkan yang tidak menyukai sepak bola pun ikut-ikutan kena wabah ini. Wabah yang hanya terjadi 4 tahun sekali dan menjadi salah satu perhelatan olahraga terbesar yang pernah ada dan selalu dinanti.
Di Indonesia (bahkan di berbagai negara), lazim diadakan nobar (nonton bareng) piala dunia yang biasanya diadakan di balai desa (saat masih jarang yang punya tv), pos ronda, warung kopi, hingga kafe-kafe yang banyak menjamur di perkotaan. Nobar ini semacam menjadi temporary trend selama piala dunia berlangsung. Para penonton hanya cukup membeli kopi atau hidangan menu yang ada di tempat lalu setelahnya mereka bisa ikutan nonton. Tak jarang, ada juga yang sampai memasang tarif masuk nobar (biasanya ada di café-café besar).
Masyarakat yang sedang nonton bareng (Sumber : Merdeka dot com)
Ruang-ruang public yang selalu ramai saat musim piala dunia seperti ini menjadi wadah baru untuk bersosialisasi, bertukar pengalaman, informasi, hingga ajang jual beli merchandise. Bahkan ruang-ruang public ini tak jarang dijadikan arena diskusi yang seru antar penggila bola. Saat nonton bareng, mereka yang hadir tak jarang mengeluarkan celotehan-celotehan komentar, pujian, bahkan makian saat ada pelanggaran atau gagal memasukkan bola ke gawang. Semua terangkai seru dalam sebuah ruang public bernama nonton bareng. Namun ruang ini agaknya mulai bergeser disaat teknologi sudah semakin maju dan memanjakan penggunanya.
STREAMING DAN CHANNEL TV YANG KAPITALIS
Sudah menjadi kebiasaan bahwa siaran piala dunia adalah salah satu siaran termahal yang pernah ada. Stasiun-stasiun TV berebut untuk memperoleh hak siar ini selama penyelenggaraan. Mereka tak segan membayar dengan biaya yang kadang tak masuk dalam nalar logika masyarakat awam. Namun dibalik itu semua, sesungguhnya ini adalah cara lain untuk menambang rupiah melalui iklan di acara 4 tahunan. Mereka mematok tarif mahal untuk para pengiklan selama pertandingan.
Dampaknya adalah siaran tv khusus acara piala dunia melalui parabola tidak bisa tayang. Hanya bisa ditayangkan di jaringan manual / antenna biasa. Padahal tayangan tv melalui antenna biasa terkadang tidak jernih dan banyak semutnya. Tak jarang yang hanya Nampak bayangannya saja. Apalagi bagi mereka yang tinggal jauh / terhalang alam dari stasiun pemancar tv di daerah. Parabola adalah solusi agar mereka tetap bisa menyaksikan siaran tv. Namun saat seperti ini, maka hanya berita saja yang bisa mereka saksikan beberapa jam setelah pertandingan berlangsung.
Bagi para pengusaha warung kopi, café, tempat nongkrong, dengan adanya pembatasan ini alhasil pilihan mereka adalah menggunakan tv kabel berbayar lebih atau memanfaatkan tv streaming dari luar negeri. Dengan TV kabel, otomatis pengeluaran café/warung kopi/tempat nongkrong tersebut akan bertambah. Sehingga wajar jika mereka mematok tarif masuk, tak sekedar mensyaratkan membeli menu yang mereka sajikan (yang tak jarang juga harga menunya bisa dikatakan cukup mahal)
Bagi yang sudah bekerja atau memiliki kemampuan finansial, ini tidak menjadi masalah. Namun bagi yang pas-pasan tentu ini akan menyulitkan untuk sekedar menyaksikan hiburan piala dunia ini. Sehingga kini seiiring majunya teknologi dan semakin murahnya paket data yang ditawarkan oleh provider-provider kartu GSM di Indonesia, tidak sedikit dari mereka yang beralih untuk menonton pertandingan piala dunia melalui tv streaming di gadget mereka. Inilah yang kemudian menjadikan ruang-ruang public yang dulunya rame dan berfungsi ganda, kini menjadi sepi dan tidak sepopuler sebelumnya. Padahal ruang public ini bisa menjadi fungsi social, salah satunya menghalau sifat eksklusifisme dan tidak mau bersosialisasi.
MEDIA SOSIAL DAN ARENA BERKOMENTAR
Sepak bola tanpa komentar adalah ibarat sayur tanpa royco, kurang gurih. Komentar dalam sepak bola itu keluar secara alami. Bahkan orang yang gak ngerti sepakbola sekalipun bisa ikut-ikutan komentar dan jadi komentator karbitan saat pertandingan piala dunia. Saat tim jagoannya kalah, tidak sedikit yang berkomentar ala bekas pemain professional, yang bilang “seharusnya dia itu jadi penyerang, kenapa dipasang jadi kiper”.
Meme Nonton Bola yang sesungguhnya (Sumber : Istimewa)
Namun lagi-lagi, dulu arena nobar yang selalu riuh rendah dengan komentar-komentar para penontonnya, kini beralih ke media social, seperti facebook dan twitter. Di twitterland, bisa jadi tiap gerakan pemain akan dikomentari dengan twit-twit ala komentator terkenal. Bagi yang punya follower 3 digit dan aktif, mudah bagi mereka untuk mendapatkan tanggapan dari penonton lain yang juga ikut berkomentar di twitter. Bagi yang hanya punya 1 atau 2 digit follower, maka cuitan mereka bagai monolog di atas panggung yang hanya berucap satu arah saja, tidak ada yang menanggapi. Ini yang menjadikan media social semacam twitter berubah fungsi menjadi ruang public baru bagi para penonton piala dunia.
Bahkan bagi yang sedang nonton bareng sekalipun, komentar mereka yang dahulunya meramaikan, sekarang sudah berpindah ke media-media social. Nonton bareng terasa jadi anyep tanpa bumbu komentar para penontonnya. Mata mereka menyaksikan pertandingan di layer tv, fisik mereka ada di lokasi nobar, namun pikiran dan mulut mereka ada di layar-layar HP dengan media social yang siap menerima tarian jari mereka.
Belum lagi bagi yang menyaksikan pertandingan piala dunia melalui tv streaming. Banyak channel online yang menyediakan arena berkomentar melalui fasilitas live chat untuk menyemarakkan nonton via streaming. Inilah realita yang saat ini terjadi bahwa ruang-ruang public untuk saling berkomentar, berpendapat, dan menyampaikan gagasan/ide kita saat ini sudah berpindah ke dunia maya yang kita kadang tidak tahu dengan siapa kita berkomentar disana.
*** 
Realitas kita saat ini adalah realitas semu dengan hadirnya media-media social. Dalam kajian politik dan social, masyarakat kita saat ini sedang menuju pada apa yang disebut post truth era, dimana info-info dari media social menjadi input bagi cara berpikir masyarakat kita tanpa tahu apakah info tersebut benar atau tidak.
Dalam dunia per-nobaran, kita juga disuguhkan dengan realitas bahwa masyarakat kita saat ini mulai berubah dengan menjadikan media social dan internet sebagai ruang public baru yang menggantikan nobar yang sesungguhnya. Jikapun masih ada yang hadir dalam nobar sebagai sebuah ruang public, realitas yang terjadi tidak sama dengan yang dahulu, dimana fisik dan pikiran juga hadir disana. Ada dunia lain yang mengiringi kehadiran mereka yang membuat perhatian mereka tak jarang teralihkan saat pertandingan berlangsung.
Ini tantangan kita Bersama untuk bagaimana menghadirkan ruang-ruang public yang nyata yang bisa menjadi tempat berkumpul, bersosialisasi, syukur-syukur menjadi arena bisnis, sehingga ruang public ini tidak sekedar menjadi fungsi hiburan, tapi juga bisa menjadi fungsi social. Alangkah indahnya jika kita bisa menjadikan piala dunia sebagai jembatan untuk kita semakin mengenal dan dikenal masyarakat sekitar kita, bukan hanya sekedar untuk memuaskan hasrat nonton pribadi.

Share:

0 komentar